Merajut Kembali Cinta Kasih Antar Umat Beriman
Telah
kita ketahui bersama bahwa agama di Turunkan oleh Tuhan tiada lain supaya
terlimpah curah rahmat kasih sayang serta kedamaian di muka bumi[1].
Jadi kita sebagai umat yang beragama sudah sepatutnya untuk mengindahkan
nilai-nilai tersebut. Jika masih ada orang atau segolongan yang membuat
keributan, penindasan, ketakutan, dan kekacauan sudah dipastikan bahwa dia
bukan orang yang beragama walaupun secara lahiriah mungkin ia memeluk agama
tertentu.
Indonesia
adalah Negara dimana warganya menganut beragam agama. Ada Hindu, Budha, Kong Hu
Chu, Katolik, Protestan, dan Islam. Banyak yang mengatakan bahwa walaupun
disini terdapat berbagai macam agama, tetapi mereka tetap bisa hidup dengan
aman dan damai. Tidak ada konflik-konflik atas nama agama, terlebih kodrat
masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki sikap penyuka kedamaian, tidak
suka kekerasan dan toleransi yang tinggi. Salah satu contoh Islam bisa masuk
secara damai -tanpa peperangan- ke Indonesia yang pada saat itu banyak
rakyatnya yang menganut agama Hindu.
Sayangnya
kerukunan umat beragama di Indonesia saat ini sedang diuji dari berbagai arah.
Konflik-konflik yang sedang terjadi di luar negeri masuk dan menyebar ke Indonesia
selain itu masuk pula pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan norma bangsa
kita. Hal ini diperparah pula dengan kehadiran beberapa oknum yang sering
mengatasnamakan agama, padahal kasus tersebut hanyalah masalah politik,
ekonomi, dan sebagainya sehingga akhirnya terjadilah keretakan hubungan antar
umat beragama di Indonesia. Seperti yang dicatat oleh Setara Institute mengenai
insiden penolakan atas pembangunan gereja HKBP yang berujung pada penusukan
pendeta dan penatua di Desa Ciketing, Bekasi, 12 September 2010. Selanjutnya
perusakan rumah dan masjid di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Bogor, 2
Oktober 2010. Baru-baru ini yang masih sangat hangat dalam perbincangan
internasional, mengenai kehadiran ISIS dan Boko Haram yang sangat mengecewakan
penganut agama non-islam sekaligus menyakiti hati masyarakat muslim itu sendiri
atas kekerasan yang telah mereka lakukan. Ada juga isu-isu bahwa Negara
Perancis telah melarang wanita muslim di negaranya untuk memakai jilbab
sehingga menyebabkan kemarahan umat muslim di dunia. Ada negara eropa yang
membolehkan pemakaian jilbab, tapi susah mendapat pekerjaan. Hal lain yang
paling miris ialah adanya partai yang mengatasnamakan agama, merasa pembela
agama Tuhan, ternyata malah melakukan korupsi dan masih banyak lagi kasus-kasus
lain. Data-data di atas menunjukkan sedikit dari banyaknya kejadian bagaimana
masyarakat Indonesia yang dahulunya memiliki jiwa toleransi lambat laun berubah
menjadi ganas.
Akankah
kita –selaku umat beragama- membiarkan saja keadaan berlalu seperti ini? Adakah
jiwa-jiwa yang terpanggil untuk membangun kembali kepercayaan dan kasih sayang
yang dahulu terajut dengan indah?
Sepertinya
benih-benih harapan telah muncul kembali dengan kehadiran sekelompok orang yang
peduli akan agamanya, yang peduli akan bangsanya, dan yang peduli akan nasib
anak cucunya. Mereka bergerak serentak dengan membawa segenggam keyakinan,
mengurai kembali benang-benang yang kusut, tiada lain untuk terciptanya
kehidupan yang penuh dengan kedamaian di dalam keberagaman. Mereka adalah
pemuda pemudi Muslim dan Nasrani yang tergabung dalam beberapa organisasi
pencinta kedamaian umat beragama.
Ada
beberapa organisasi yang saat ini saya ketahui begitu concern terhadap
masalah-masalah keagamaan, diantaranya Initiative of Change Indonesia, Peace
Generation, dan Young Interfaith Peacemaker Indonesia. Alhamdulillah, saya
termasuk di dalam salah satu organisasi tersebut.
Di
ruang yang terbatas ini, saya hanya akan menceritakan salah satu pengalaman
indah saya ketika ikut dalam kegiatan Peace Generation beberapa bulan yang
lalu.
Sedikit
berbeda dengan training-training yang biasa dilakukan oleh Peace Generation,
saya mengikuti training secara khusus (special) karena bergabung dengan para
peserta dari kalangan mahasiswa Amerika. Mereka semua berasal dari Southern
Adventist University. Memang, dari segi konten tetap sama dengan training Peace
Generation pada umumnya hanya saja semuanya full english. Di training
inilah saya benar-benar merasa tertantang, bukan hanya karena lawan bicara saya
orang bule, tetapi juga karena disana hanya ada sedikit mahasiswa asli
Indonesianya, mungkin hanya empat orang itupun satu diantaranya beragama
Nasrani, selain dari kami sudah dipastikan seluruh mahasiswa dari Amerika
beragama Nasrani yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang. Di sana saya
benar-benar belajar menjadi seorang minoritas dan ingin keluar dari zona nyaman
kemusliman saya.
Hal
lain yang tak kalah menantangnya ialah diantara kami memiliki budaya,
kebiasaan, dan pola pikir yang sangat berbeda. Budaya orang Barat vis a vis
budaya orang Timur. Disanalah kami benar-benar dilatih untuk memiliki
keterbukaan diantara sesama, terlebih mengenai permasalahan agama yang biasanya
sangat sulit untuk disinggung, sebab katanya terlalu sensitif.
Kegiatan
berlangsung selama dua hari di salah satu gedung Universitas Advent Indonesia,
Bandung. Disana, dari pagi hingga sore kami belajar bersama mengenai dya belas
nilai dasar perdamaian dengan penuh gembrot (gembira dan berbobot).
Adapun dua belas nilai-nilai tersebut ialah menerima diri (proud to be me), prasangka
(no suspicious no prejudice), perbedaan etnis (different culture but
still friends), perbedaan agama (different faith but not enemies), perbedaan
jenis kelamin (male and female bot are human), perbedaan status ekonomi (rich
but not poor, poor but not embarrassed), perbedaan kelompok atau geng (gentlemen
don’t need to be gangsters), keanekaragaman (the beauty of diversity), konflik
(conflict can help you grow), menolak kekerasan (use the brain not
your brawn), mengakui kesalahan (not too proud to admit mistake), memberi
maaf (don’t be stingy when forgiving others).
Kedua
belas nilai dasar ini benar-benar telah membuka cara berfikir saya yang dulu
masih tertutup, kaku dan rigit. Misalnya saja mengenai penerimaan terhadap diri
sendiri. Sejak dahulu saya selalu bertanya-tanya mengapa Tuhan menciptakan saya
begini begini, dengan begitu banyak kekurangan yang saya miliki, mengapa Tuhan
memberikan saya orang tua yang begini begini, dan sebagainya. Tetapi setelah
mendapat pembelajaran mengenai konsep penerimaan diri dari Peace Generation,
perlahan-lahan saya menyadari bahwa semua pendapat saya itu salah, saya lebih
memandang keburukan yang ada dari pada kebaikan yang telah Tuhan anugerahkan[2].
Nilai
dasar lain yang benar-benar telah merubah cara pandang saya adalah mengenai
prasangka. Dalam Alquran sendiri, Allah Swt telah mewanti-wanti kepada kita untuk
menjaga diri dari sikap prasangka, Allah Swt berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian
dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain,
dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat,
Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: [49]: 12)
Dalam
kehidupan nyata, banyak prasangka-prasangka yang membuat hubungan umat Islam
maupun Nasrani menjadi retak. Misalnya saja, umat Islam memandang bahwa orang-orang
Kristen memiliki tiga Tuhan dan menyembah patung, orang-orang Kristen gemar
melakukan kristenisasi dengan cara yang tidak etik seperti membagi-bagikan mie
instan supaya warga disana tertarik
memeluk agamanya, orang-orang Kristen juga banyak yang hidupnya dihabiskan
dengan berfoya-foya, minum minuman keras, bahkan berzina. Begitu pun sebaliknya,
banyak prasangka-prasangka umat Nasrani yang ditujukan kepada umat Islam,
seperti islam itu mengajarkan kekerasan, terror-meneror seperti perbuatan yang
dilakukan seorang teroris, tidak ada toleransi, dan ditingkat terparah ada
sebagian diantara mereka yang sampai phobia terhadap islam (islamophobia).
Permasalahan
prasangka sudah menjadi masalah yang begitu besar dan berlarut-larut yang
menyebabkan tiap pribadi memandang sinis lawan bicara yang berbeda dengannya.
Maka dari itu team Peace Generation menyatakan bahwa solusi atau langkah awal
dari penyelesaian masalah prasangka adalah memberanikan diri untuk memulai
komunikasi. Dengan memulai komunikasi, tiap masing-masing pihak, baik dari
Muslim maupun Nasrani sedikit demi sedikit akan timbul rasa saling memahami
satu sama lain. Toh, banyak sekali kesamaan diantara kedua agama ini
seperti sama-sama mengajarkan untuk mencintai Tuhan dan sama-sama mengajarkan cinta kasih kepada sesama (loving
God and loving neighbors).
Pelajaran
mengenai tidak berprasangka (no prejudice) ini selanjutnya langsung saya
praktikkan beberapa hari kemudian. Tepatnya pada hari Sabtu pagi, saya dan
Tanti (seorang muslimah) diajak oleh mereka ke Gereja. Mereka ingin beribadah
sedangkan kami hanya kesana untuk sekedar mengetahui apa saja yang mereka
pelajari di dalam gereja. Jutaan prasangka saya coba hilangkan dan memberanikan
diri untuk kesana. Alhasil, memang nilai-nilai yang diajarkan sama saja
dengan apa yang diajarkan oleh para khatib di masjid, yaitu nilai-nilai
kebaikan kepada Tuhan dan sesama. Walaupun saya tidak menutup mata dengan
adanya perbedaan konsep Tuhan diantara kedua agama ini. Tetapi adanya perbedaan
bukan berarti kita tidak bisa bersatu, apalagi harus saling berhadap-hadapan
(bermusuhan). Tidak. Semua manusia adalah hamba-hamba Tuhan, kita harus
menyayangi mereka jika kita merasa cinta dan sayang kepada Tuhan.
Di
hari sebelumnya, yaitu Jum’at, telah mahfum bahwa akan ada ritual ibadah
besar-besaran yang dilakukan oleh umat Muslim di dunia. Ya, mereka akan melaksanakan
ibadah shalat jum’at di masjid secara berjamaah. Begitu pun dengan saya. Maka saat
hari mendekati waktu shalat, saya dan Mr.Raki (muslim Australia) bergegas untuk
berkunjung ke masjid terdekat. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh keinginan dari
seluruh Mahasiswa Amerika yang berkenan untuk kesana, baik yang perempuan
maupun laki-laki. Setelah sedikit berbicang, akhirnya kami memutuskan untuk
membolehkan mereka ke masjid, sedangkan perempuan diperbolehkan di waktu yang
lain. Saya pribadi merasa takjub dengan keterbukaan mereka. Padahal kita telah
mengetahui bahwa kebanyakan media di Amerika memojokkan Islam yang hal ini
akhirnya berdampak kepada mind set masyarakatnnya. Tetapi mereka
berbeda. Mereka memberanikan diri untuk terlibat langsung (observasi) di dalam
lingkup Islam. Mereka tidak ingin termakan isu-isu yang masih belum jelas
kebenarannya sembari membuang jauh-jauh rasa prasangka.
Setelah
selesai shalat, saya bertanya bagaimana pendapat dan tanggapan mereka ketika
berada di masjid. Semua jawabannya terkesan positif bahkan sebagian ada yang
penasaran dan bertanya beberapa persoalan kepada saya.
Dari
sepenggalangan cerita singkat ini diharapkan dapat memberikan harapan kembali
kepada seluruh umat Muslim dan Nasrani untuk dapat saling memahami satu sama
lain dan menciptakan kedamaian dunia bersama-sama.
Mari
Memulainya
Semua
orang pasti mengharapkan terciptanya perdamaian di muka bumi, mereka ingin
hidup aman dan sejahtera, termasuk saya pribadi. Tidak mungkin bisa mencapai
hidup yang aman dan sejahtera jika keadaan masyarakatnya penuh dengan konflik.
Untuk itu dibutuhkan rencana yang baik guna meredam konflik-konflik tersebut.
Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan perdamaian di dunia,
diantaranya:
a. Mempelajari
dan mempraktikkan 12 nilai dasar perdamaian
Mempelajari
dan mempraktikkan 12 nilai dasar perdamaian menjadi syarat mutlak untuk
terciptanya kedamaian. Saya yakin tiap-tiap agama mengajarkan kedua belas nilai
tersebut. Misalnya saja mengenai menerima diri (syukur) merupakan tuntunan yang
dianjurkan dalam Islam seperti yang tertera dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
pasti azab-Ku sangat berat’ ”. Dilarangnya berprasangka buruk sudah termaktub dalam surat
Al-Hujurat ayat 12. Mengenai ketinggian derajat umat manusia bukanlah dilihat
dari segi fisiknya[3],
melainkan dari tingginya ketakwaan kepada Allah Swt. Selanjutnya mengenai
urusan agama sudah sangat jelas dalam Islam bahwa tidak ada paksaan dalam
memeluk suatu agama[4]
dan mengenai keberagaman dan problem-problem dalam hidup, Allah Swt menyatakan
bahwa itu bukanlah suatu penghalang, melainkan sebagai pembelajaran supaya
dapat hidup lebih baik lagi (dewasa)[5].
Adapun mengenai tindakan kekerasan, sudah sangat gamblang hal itu sangat
bertentangan dengan kepribadian Rasulullah Saw yang begitu mulia dan penuh
cinta kasih sampai-sampai beliau dipuji oleh Allah Swt[6]. Terakhir, mengenai meminta maaf dan memaafkan.
Memang, kedua nilai ini begitu berat untuk kita lakukan, karena biasanya
seseorang yang telah melakukan kesalahan akan berusaha menutup diri seraya
tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan terkadang melemparkan kesalahan pribadi
kepada orang lain. Tetapi jika kita benar-benar ingin menjadi seorang hamba
yang taat, sudah seharusnya kita mengindahkan tuntunannya, begitu pun mengenai
anjuran meminta maaf dan memaafkan. Rasulullah Saw sendiri yang sudah
dinobatkan sebagai manusia yang maksum (terjaga dari dosa) setiap harinya tidak
kurang seratus kali beristigfar kepada Allah. Di kisah yang lain, Rasulullah
Saw memaafkan semua orang-orang penduduk Mekkah saat peristiwa fathul Mekkah. Hal
ini beliau lakukan supaya dapat dijadikan teladan kepada umatnya untuk tidak
malu mengakui kesalahan dan memberi maaf.
Belajar dan
menyebarkan 12 nilai dasar ini dapat dilakukan minimal kepada diri sendiri
terlebih dahulu. Bagaimana mungkin kita bisa menyebarkan atau menyuruh kebaikan
sedangkan kita sendiri belum bisa berdamai dengan diri sendiri? Setelah kita
dapat mempraktikkannya pada diri sendiri, atau setidaknya beriringan dengan
itu, kita dapat menyebarkannya kepada pihak-pihak terdekat seperti keluarga dan
sahabat.
Di sini saya
ingin menekankan keluarga sebagai posisi yang begitu penting dalam membina
kehidupan yang penuh kedamaian. Semua hal bermula dari keluarga, jika suasana
di keluarga baik, insyaallah ke luar pun akan baik. Berarti di dalam keluarga,
seorang pemimpin -Bapak- harus dapat
membimbing istri dan anak-anaknya ke jalan yang benar. Jika kehidupan di
keluarga sudah baik, maka dengan sendirinya keluarga tersebut akan menjadi
teladan dan diteladani oleh keluarga lain dan jika tarafnya sudah semakin jauh,
maka akan tercipta masyarakat yang penuh kedamaian. Selain keluarga dan
masyarakat, lembaga pendidikan pun memiliki peran yang begitu penting untuk
mencetak generasi yang cinta kedamaian.
b.
Mengadakan Dialog
Jika poin
pertama menekankan posisi pribadi atau kepala keluarga yang harus menjadi
prionir perdamaian, maka di poin kedua ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Raja Juli Antoni[7],
seorang Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity, upaya
perdamaian dapat dicapai dengan adanya usaha membuka ruang-ruang dialog bagi
tiap pemeluk agama. Beliau membagi-bagi ruang dialog menjadi tiga tingkatan. Tigkat
pertama top-level of leadership dimana dialog dilakukan pada forum nasional
atau internasional yang dilakukan oleh para ‘elit’ agama dan politik/pemerintahan.
Saya melihat tahap pertama ini sudah banyak dilakukan, bahkan sangat gencar
tapi sayang, efek langsungnya masih belum dirasakan oleh kalangan masyarakat grassroots.
Tingkat kedua middle-range leadership dimana dialog diselenggarakan oleh
kelompok civil society yang tidak memiliki hubungan formal dengan
kekuasaan, biasanya mereka adalah para agamawan, akademisi, pendidik, dan
sebagainya. Memang pada dekade belakangan tingkatan yang kedua ini sudah mulai
gencar juga dengan adanya organisasi-organisasi non-government yang
memberikan fasilitas ruang dialog antar agama dan syukurnya ditanggapi positif
oleh kalangan muda. Banyak dari mereka yang tertarik dengan dialog semacam ini,
karena mereka juga merasa harus bertanggung jawab serta berperan aktif menjaga
perdamaian di bumi. Tingkatan kedua ini memiliki posisi yang strategis yang
mana tingkatan ini berada di tengah-tengah antara kedudukan top-level of
leadership dan grassroots leadership. Jadi, tingkatan kedua ini yang harus
membumikan nilai-nilai dari hasil dialog top-level of leadership ke tingkatan grassroots
leadership. Tingkat ketiga grassroots leadership dimana sebuah dialog
benar-benar terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya. Ketiga tingkatan ini
harus benar-benar dapat memilah, memilih, memahami dan bersikap cerdas terhadap
konflik-konflik agama yang terjadi belakangan, bahwa biasanya hal itu terjadi
bukan karena murni faktor agama melainkan karena ada beberapa faktor seperti
ekonomi ataupun politik yang berselimut di dalam agama sehingga masyarakat pun
tidak berpagi-pagi untuk terpropokasi.
Akhirnya, dari semua dialog ini kita akan menghasilkan sebuah kata
sepakat. Sepakat untuk di sepakati[8],
dan ada juga sepakat untuk tidak di sepakati[9].
c.
Mengadakan
Kerja sama
Kedamaian tidak bisa dicapai jika hanya dengan melakukan dialog
tanpa ada sebuah upaya tindak lanjut. Banyak hal yang dapat dilakukan
pasca dialog yang salah satunya ialah dengan mengadakan kerja sama lintas
agama. Begitu luas ruang kerja sama yang dapat dilakukan mulai dari hal-hal
kecil hingga yang terumit.
Contoh kerja sama lintas agama ialah memberantas kemiskinan,
kebodohan, dan penyakit. Semua itu bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan
yang memadai tanpa pandang bulu. Jika dirasakan berat untuk melakukan hal di
atas, kita masih bisa melakukan hal lain yang lebih kecil tetapi efektif
seperti memberikan hadiah kepada penganut agama yang berbeda. Fakta sejarah
membuktikan bahwa dengan memberikan hadiah, hubungan antar sesama manusia pun
dapat terjalin dengan baik. Dalam kitab Majma al-Zawahid karangan
Al-Haitsami seperti yang dikutip oleh K.H Husein Muhammad[10]
menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Kisra
(gelar Raja Persia) memberi hadiah untuk Nabi dan beliau menerimanya. Kaisar
(gelar Raja Roma) menghadiahi Nabi dan beliau menerimanya. Para Raja (al-Muluk)
memberi Nabi hadiah dan beliau menerimanya.”
Pernyataan di atas dengan gamblang menyatakan bahwa Rasulullah
Muhammad Saw pun dengan senang hati menerima hadiah dari beberapa pembesar
Negara. Kasus lain mencontohkan kalau Rasulullah juga sering memberikan hadiah
kepada non-muslim.
Contoh
kerja sama lain yang dapat dilakukan, dan ini yang menurut saya paling penting,
yaitu bekerja sama untuk memberantas gaya hidup materialis hedonis. Masyarakat
dunia dewasa ini sedang mengalami penyakit kronis[11]
yang tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan tercanggih apapun kecuali obat
ruhani, sedangkan bimbingan ruhani berada di ladang agama. Untuk itu, tiap-tiap
penganut agama –yang taat- harus ekstra kerja keras untuk memulihkan masyarakat
dewasa ini supaya dapat kembali ke jalan agama.
Masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk terciptanya perdamaian,
tetapi ketiga saran di atas setidaknya dapat memberikan gambaran dasar upaya
yang perlu diusahakan. Saya sendiri berharap bangsa Indonesia khususnya dan
dunia umumnya dapat hidup damai, toleran, dan saling bekerja sama. Dengan
adanya kedamaian, kesempatan hidup yang lebih baik lagi dapat dicanangkan
hingga ke anak cucu kita. Sedangkan mengenai konflik-konflik terdahulu,
janganlah kita teruskan. Mari putuskan mulai detik ini dan maafkanlah
tindakan-tindakan dahulu yang pernah mereka lakukan. Masa depan yang cerah
menunggu kita. Ya, masa depan kami dan kalian.[]
[1] Dalam literatur
islam, Nabi Muhammad selalu menganjurkan kita untuk membaca doa ‘Allahumma
Antassalam wa minkassalam wa ‘alaika yauddussalam fa hayyina rabbana bissalam,
tabarakta ya zalzala li wal ikram’
[2] Dalam
literatur islam, Allah bersabda, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan,
‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’ (QS.
Ibrahim [14]: 7)
[3] Seperti apakah
dia laki-laki atau perempuan, apakah dia orang Arab atau non-Arab, apakah dia
kaya atau miskin.
[4] Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat, “Tiada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)…”
(QS. Al-Baqarah [2]: 256), ayat lain menyatakan, “Untukmu agamamu, untukku
agama ku” (QS. Al-Kafirun [109]: 6. Serta ayat, “…barangsiapa
menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki
(kafir) biarlah dia kafir…” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
[5] Al-Qur’an
menyatakan, “wahai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui,
Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Ayat lain Allah menyatakan, “Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja hanya dengan mengatakan,
‘Kami telah beriman’ padahal mereka belum diuji?” (QS. Al-Ankabut [29]: 2)
[6] Al-Qur’an
menyatakan, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
yang agung” (QS. Al-Qolam [68]: 4).
[7] HOPE (House of
Prayer for Everyone). (2008). A Common Word. Australia: Halal Books
Autralia, hlm. vi
[8] Biasanya hasil
sepakat untuk sepakat ialah tiap agama sepakat untuk bekerja sama meningkatkan
sumber daya ruhani manusia, juga sepakat untuk saling hidup damai dan
toleransi.
[9] Biasanya
mereka sepakat bahwa semua agama tidaklah sama (menolak penyamaan agama-agama).
[11] Saat ini
kehidupan masyarakat modern seakan-akan ingin menghilangkan peran Tuhan dari
berbagai aspek kehidupan, selain itu mereka juga sudah memiliki mind set
‘duniawi’ marasa dunia adalah tujuan dari segalanya.
Komentar
Posting Komentar