Sebenarnya, agak kurang cocok untuk membandingkan mereka berdua sebab, meskipun keduanya dapat dikatakan sebagai ulama sekaligus cendekiawan, tetapi setiap person memiliki kecenderungannya masing-masing. Shihab misalnya, ia lebih cocok disebut sebagai ulama dibanding cendekiawan karena uraian-uraiannya yang sederhana dan mudah dimengerti orang awam walau bukan berarti pembahasannya tak mendalam. Sedangkan Bagir cenderung terlihat sebagai seorang cendekiawan karena suka mengangkat isu-isu yang hanya dimengerti kontennya oleh kalangan tertentu saja. Jika yang pertama suka membahas seputar hal-hal yang biasa dipaparkan oleh kalangan ulama tradisional, seperti soal akidah, akhlak, dan syariah dengan balutan ilmu tafsir (sebab memang itulah keahliannya), yang kedua lebih memfokuskan dirinya pada kajian kefilsafatan, filsafat Islam, dan tasawuf. Betapa pun demikian, saya akan mencoba untuk membandingkan titik-titik temu di antara keduanya. Baik Shihab maupun Bagir seringkal
Sama halnya dengan cabang keilmuan keislaman lainnya, tasawuf dipahami secara beragam oleh pelakonnya (umat Islam). Ada yang memahaminya secara sangat spiritualis hingga meninggalkan banyak urusan duniawi, tetapi ada juga yang berusaha mencoba untuk mengompromikannya seperti upaya seorang anak mursyid salah satu tarekat di Jawa Timur yang beberapa waktu lalu bersua dengan saya. Saat diamati, uniknya, ia memiliki pemahaman keislaman yang tak jauh beda dengan saya. Menurutnya, melakoni tasawuf tak harus berarti meninggalkan kemewahan duniawi, pun tak perlu menanggalkan rasio (akal). Menurutnya, seseorang bisa saja menikmati atau merasakan kenikmatan dunia, tetapi tentu hanya sampai dengan genggaman tangan, tidak cinta sampai merasuk ke hati —yang seharusnya cuma diisi dengan kecintaan kepada Allah semata. Tetapi bukan tasawuf jenis ini yang ingin saya ceritakan, melainkan yang pertama tadi, yakni corak tasawuf yang amat sangat menggandrungi spiritualitas sembari “menyingkirkan” h