Sama halnya dengan cabang keilmuan keislaman lainnya, tasawuf dipahami secara beragam oleh pelakonnya (umat Islam). Ada yang memahaminya secara sangat spiritualis hingga meninggalkan banyak urusan duniawi, tetapi ada juga yang berusaha mencoba untuk mengompromikannya seperti upaya seorang anak mursyid salah satu tarekat di Jawa Timur yang beberapa waktu lalu bersua dengan saya.
Saat diamati, uniknya, ia memiliki pemahaman keislaman yang tak jauh beda dengan saya. Menurutnya, melakoni tasawuf tak harus berarti meninggalkan kemewahan duniawi, pun tak perlu menanggalkan rasio (akal). Menurutnya, seseorang bisa saja menikmati atau merasakan kenikmatan dunia, tetapi tentu hanya sampai dengan genggaman tangan, tidak cinta sampai merasuk ke hati —yang seharusnya cuma diisi dengan kecintaan kepada Allah semata.
Tetapi bukan tasawuf jenis ini yang ingin saya ceritakan, melainkan yang pertama tadi, yakni corak tasawuf yang amat sangat menggandrungi spiritualitas sembari “menyingkirkan” hal-hal duniawi. Bahkan dalam tahap tertentu, terkesan eksklusif. Beberapa di antaranya seperti:
Pertama, bagi mereka sebagai muslim seseorang perlu berasosiasi dengan syaikh/mursyid (guru spiritual) melalui tarekat supaya dapat memudahkannya menuju samudra ilahi. Layaknya mobil yang tidak bisa berjalan tanpa petrol, seorang mukmin mustahil bisa meraih “kehadiran” ilahi tanpa berasosiasi dengan syaikh sebab ia memberikan sesuatu yang tidak didapatkan di dalam buku-buku, yakni mutiara samudra ilahi atau “kekuatan” spiritual yang akan ditanamkan ke dalam hati seorang suluk/murid.
Meski sah-sah saja jika ingin berbaiat ke salah seorang sufi/mursyid tetapi kalau menjadikannya sebagai suatu ajaran Islam yang mengikat bahkan fundamental, jujur, saya gagal paham. Yang lebih ekstremnya lagi, dengan menyitir salah satu hadits —yang menurut saya dipahami secara gegabah, sampai ada tarekat yang menyatakan bahwa barangsiapa yang meninggal tanpa berbaiat dengan pemimpinnya (mursyid dari golongannya) meskipun ia adalah seorang muslim, maka sejatinya ia telah mati secara jahiliyah.
Menurut saya, jika mursyid dijadikan sebagai sandaran utama, maka Islam akan menjadi sebuah agama bersistem kependetaan karena seakan-akan telah menunggalkan dan menyempitkan kebenaran Islam hanya pada diri sang syaikh saja.
Sejauh pemahaman saya, baik mursyid atau ulama, sealim apapun, sangat mungkin untuk terjerembab ke dalam kesalahan dan oleh karena itu pandangan mereka hanya bisa dijadikan sebagai sebuah pertimbangan—yang tentu amat perlu untuk diperhatikan. Malah, ada ulama yang rendah hati yang mengatakan bahwa seseorang boleh saja mengikuti dirinya selama ia tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah.
Ciri khas lain dari jenis tasawuf ini ialah mereka terlalu merendahkan urusan dunia, seakan dunia dan seisinya adalah keburukan. Padahal Nabi Muhammad sendiri tak melarang seseorang untuk menggapai dunia. Ia juga terkadang mendoakan permintaan para sahabatnya yang menginginkan hal-hal keduniawian. Bukankah segala sesuatu itu tergantung niatnya? Kalau begitu, seharusnya bukan soal meminta dunia atau akhirat, melainkan apa motif dibalik permohonannya itu. Jika memang semata-mata duniawi, ya memang kurang baik tetapi jika meminta duniawi dengan maksud yang bernilai “ukhawi” tentu tak perlu diharamkan atau dicela.
Misal, saya meminta untuk didoakan menjadi seorang yang kaya raya supaya saya dapat mengayomi kaum duafa, membuat tempat tinggal gratis, membangun lembaga-lembaga pelatihan atau pendidikan dakwah. Jika saya miskin, bagaimana mungkin bisa mengimplementasikan hal tersebut? Bisa sih, tetapi dengan “mengemis” pada Allah yang mungkin tiba-tiba “dana” itu bisa datang mengucur dengan sendirinya, seperti kisah-kisah yang sering saya dengar terkait karamah orang-orang suci. Tapi saya pribadi kurang apresiatif dengan hal ini karena terkesan melambangkan kemalasan berusaha.
Perkara selanjutnya yang tentu masih amat bergandengan ialah soal segala sesuatu yang selalu ditarik ke pemahaman spiritualistik. Maka tak aneh jika sampai ada tafsir sufistis yang banyak sekali menakwil ayat menjadi pemahaman yang full spiritualis. Begitu pun dengan hadits. Salah satunya ialah hadits yang mengungkapkan bahwa Allah lebih senang dengan muslim yang kuat dibanding (umat muslim) yang lemah.
Nah, redaksi kata kuat di sini, alih-alih dipahami sebagai kuat fisik sebagaimana jamak diketahui, mereka menafsirkannya sebagai keteguhan ruhani/iman. Saya pribadi cenderung tak menyetujui pendapat ini. Meski memang kuatnya iman/ruhani adalah sesuatu yang baik, tetapi saya duga kuat keluarnya hadits ini terkait dengan kondisi riuh rendah peperangan saat itu yang memang Rasulullah amat membutuhkan seorang muslim yang pandai berperang, memanah atau berkuda.
Berikutnya, sedikit meleset dari opini banyak cendekiawan muslim modern yang menyatakan bahwa kalangan sufi lebih inklusif dan toleran, ternyata tak semuanya demikian karena ada pula yang berpemahaman “kolot” seperti mengecam hal-hal yang berasal dari “luar” Islam seperti demokrasi dan kebebasan yang menurut mereka itu semua adalah produk-produk yang dibuat oleh syaitan untuk menjauhkan umat muslim dari agamanya.
Tidak hanya sampai di sana, mereka pun suka merendahkan agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen tanpa menggunakan argumentasi yang demonstratif dan cenderung lebih ke arah klaim subjektif.
Di atas itu semua, saya tetap masih dapat melihat poin-poin berharga yang ada di dalam kelompok corak tasawuf jenis ini seperti, dan ini yang paling utama, adanya penekanan yang kuat pada usaha untuk meluruskan dan menyadarkan kembali umat manusia akan tujuan hakiki dilahirkannya mereka ke muka bumi, sesuatu yang banyak dilupakan atau tidak diindahkan oleh manusia pada umumnya. Wallahu ‘alam.[]
sumber gambar: www.muslimmedianews.com
Saat diamati, uniknya, ia memiliki pemahaman keislaman yang tak jauh beda dengan saya. Menurutnya, melakoni tasawuf tak harus berarti meninggalkan kemewahan duniawi, pun tak perlu menanggalkan rasio (akal). Menurutnya, seseorang bisa saja menikmati atau merasakan kenikmatan dunia, tetapi tentu hanya sampai dengan genggaman tangan, tidak cinta sampai merasuk ke hati —yang seharusnya cuma diisi dengan kecintaan kepada Allah semata.
Tetapi bukan tasawuf jenis ini yang ingin saya ceritakan, melainkan yang pertama tadi, yakni corak tasawuf yang amat sangat menggandrungi spiritualitas sembari “menyingkirkan” hal-hal duniawi. Bahkan dalam tahap tertentu, terkesan eksklusif. Beberapa di antaranya seperti:
Pertama, bagi mereka sebagai muslim seseorang perlu berasosiasi dengan syaikh/mursyid (guru spiritual) melalui tarekat supaya dapat memudahkannya menuju samudra ilahi. Layaknya mobil yang tidak bisa berjalan tanpa petrol, seorang mukmin mustahil bisa meraih “kehadiran” ilahi tanpa berasosiasi dengan syaikh sebab ia memberikan sesuatu yang tidak didapatkan di dalam buku-buku, yakni mutiara samudra ilahi atau “kekuatan” spiritual yang akan ditanamkan ke dalam hati seorang suluk/murid.
Meski sah-sah saja jika ingin berbaiat ke salah seorang sufi/mursyid tetapi kalau menjadikannya sebagai suatu ajaran Islam yang mengikat bahkan fundamental, jujur, saya gagal paham. Yang lebih ekstremnya lagi, dengan menyitir salah satu hadits —yang menurut saya dipahami secara gegabah, sampai ada tarekat yang menyatakan bahwa barangsiapa yang meninggal tanpa berbaiat dengan pemimpinnya (mursyid dari golongannya) meskipun ia adalah seorang muslim, maka sejatinya ia telah mati secara jahiliyah.
Menurut saya, jika mursyid dijadikan sebagai sandaran utama, maka Islam akan menjadi sebuah agama bersistem kependetaan karena seakan-akan telah menunggalkan dan menyempitkan kebenaran Islam hanya pada diri sang syaikh saja.
Sejauh pemahaman saya, baik mursyid atau ulama, sealim apapun, sangat mungkin untuk terjerembab ke dalam kesalahan dan oleh karena itu pandangan mereka hanya bisa dijadikan sebagai sebuah pertimbangan—yang tentu amat perlu untuk diperhatikan. Malah, ada ulama yang rendah hati yang mengatakan bahwa seseorang boleh saja mengikuti dirinya selama ia tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah.
Ciri khas lain dari jenis tasawuf ini ialah mereka terlalu merendahkan urusan dunia, seakan dunia dan seisinya adalah keburukan. Padahal Nabi Muhammad sendiri tak melarang seseorang untuk menggapai dunia. Ia juga terkadang mendoakan permintaan para sahabatnya yang menginginkan hal-hal keduniawian. Bukankah segala sesuatu itu tergantung niatnya? Kalau begitu, seharusnya bukan soal meminta dunia atau akhirat, melainkan apa motif dibalik permohonannya itu. Jika memang semata-mata duniawi, ya memang kurang baik tetapi jika meminta duniawi dengan maksud yang bernilai “ukhawi” tentu tak perlu diharamkan atau dicela.
Misal, saya meminta untuk didoakan menjadi seorang yang kaya raya supaya saya dapat mengayomi kaum duafa, membuat tempat tinggal gratis, membangun lembaga-lembaga pelatihan atau pendidikan dakwah. Jika saya miskin, bagaimana mungkin bisa mengimplementasikan hal tersebut? Bisa sih, tetapi dengan “mengemis” pada Allah yang mungkin tiba-tiba “dana” itu bisa datang mengucur dengan sendirinya, seperti kisah-kisah yang sering saya dengar terkait karamah orang-orang suci. Tapi saya pribadi kurang apresiatif dengan hal ini karena terkesan melambangkan kemalasan berusaha.
Perkara selanjutnya yang tentu masih amat bergandengan ialah soal segala sesuatu yang selalu ditarik ke pemahaman spiritualistik. Maka tak aneh jika sampai ada tafsir sufistis yang banyak sekali menakwil ayat menjadi pemahaman yang full spiritualis. Begitu pun dengan hadits. Salah satunya ialah hadits yang mengungkapkan bahwa Allah lebih senang dengan muslim yang kuat dibanding (umat muslim) yang lemah.
Nah, redaksi kata kuat di sini, alih-alih dipahami sebagai kuat fisik sebagaimana jamak diketahui, mereka menafsirkannya sebagai keteguhan ruhani/iman. Saya pribadi cenderung tak menyetujui pendapat ini. Meski memang kuatnya iman/ruhani adalah sesuatu yang baik, tetapi saya duga kuat keluarnya hadits ini terkait dengan kondisi riuh rendah peperangan saat itu yang memang Rasulullah amat membutuhkan seorang muslim yang pandai berperang, memanah atau berkuda.
Berikutnya, sedikit meleset dari opini banyak cendekiawan muslim modern yang menyatakan bahwa kalangan sufi lebih inklusif dan toleran, ternyata tak semuanya demikian karena ada pula yang berpemahaman “kolot” seperti mengecam hal-hal yang berasal dari “luar” Islam seperti demokrasi dan kebebasan yang menurut mereka itu semua adalah produk-produk yang dibuat oleh syaitan untuk menjauhkan umat muslim dari agamanya.
Tidak hanya sampai di sana, mereka pun suka merendahkan agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen tanpa menggunakan argumentasi yang demonstratif dan cenderung lebih ke arah klaim subjektif.
Di atas itu semua, saya tetap masih dapat melihat poin-poin berharga yang ada di dalam kelompok corak tasawuf jenis ini seperti, dan ini yang paling utama, adanya penekanan yang kuat pada usaha untuk meluruskan dan menyadarkan kembali umat manusia akan tujuan hakiki dilahirkannya mereka ke muka bumi, sesuatu yang banyak dilupakan atau tidak diindahkan oleh manusia pada umumnya. Wallahu ‘alam.[]
sumber gambar: www.muslimmedianews.com
Meski berbeda niat dan amalan, semoga dengan cara pendekatan yang mana pun kita bisa kembali ke tempat yang sama.
BalasHapusBagi saya sufi itu bagian dari refleksi qanaat, jadi kalau ada yang ngakunya bertasawuf tapi masih memikirkan tentang kebencian pada suatu golongan, sudah dipastikan mereka bukan ahli taswuf/sufi.
BalasHapusMasa sesederhana itu kesimpulannya kang? Hehe
Hapus