#BookReview ke-2
Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer.
Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya.
Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini.
Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat juga adalah seorang ateis.
Terdiri atas sepuluh bab dan di awali sebuah pendahuluan, Dawkins menuturkan bahwa buku ini utamanya diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup dalam suatu keyakinan agama apa pun hanya saja ia merasa tidak nyaman ––tidak meyakini dan tidak berbahagia di dalamnya–– tetapi takut untuk mengutarakan isi hatinya, khawatir mendapat kecaman atau penolakan dari orang-orang sekitar (orang tua, kerabat, saudara, dll).
Jika anda termasuk di dalamnya, lanjut Dawkins, buku ini sungguh tepat bagi anda, sebab The God Delusion memiliki misi memunculkan kesadaran terhadap sebuah realitas bahwa menjadi seorang ateis merupakan suatu pilihan bebas yang bertanggung jawab, berani, dan sungguh mengesankan.
Judul Orang Tak Beriman yang Sangat Religius, yang dijadikannya sebagai titel bab pertama, bermaksud hendak meluruskan kesalahpahaman banyak kalangan agamawan akan kereligiusitasan para ilmuwan seperti halnya Albert Einsten dan Stephen Hawking.
Ucapan “ilmu tanpa agama pincang, agama tanpa ilmu buta” misalnya. Jika saja mereka membaca lebih banyak lagi karya Einstein, tentu sikap mereka akan berbalik menyerangnya karena istilah agama yang digunakan Einstein amat berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat agama. Selain menyangkal eksistensi Tuhan personal, Einstein pun memahami kata religius sebagai sebuah keterpanaan yang tak terbatas pada entitas dunia, bukan terhadap sesuatu yang sifatnya supra natural.
Masih di bab yang sama, Dawkins juga mengkritik begitu banyaknya orang yang memberikan kedudukan agama di tempat yang “berlebihan” dengan sub judul Penghormatan yang Tak Layak.
Bab II dan III bisa dibilang merupakan jantung dari seluruh isi bukunya, menguraikan hipotesa dan argumen para agawaman tentang Tuhan yang kemudian ia bantah satu per satu; mulai dari 5 bukti populer ala Thomas Aquinas (dalil a posteriori), argumen ontologis St Anselmus ––yang bersandar pada rasio–– (dalil a priori) , argumen keindahan yang sering direfleksikan dalam musik (Beethoven contohnya), hujah pengalaman spiritual yang sifatnya personal, argumen kitab suci, dalil para ilmuan religius, juga pandangan “munafik” Blaise Pascal, serta argumen Bayesian.
Alasan terkuat Dawkins dalam keateisannya sangat terilhami oleh teori evolusi (seleksi alam) Darwin dan ini dibahasnya dengan cukup argumentatif dalam bab selanjutnya yang diberi judul Mengapa Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan. Ia mengatakan,
“seleksi alamiah tidak hanya menjelaskan keseluruhan kehidupan, ia juga membangkitkan kesadaran kita terhadap kekuatan sains untuk menjelaskan bagaimana suatu kompleksitas yang tertata muncul dari hal-hal awal yang sederhana tanpa adanya panduan sadar...Sebelum Darwin, siapa yang bisa menduga bahwa suatu yang tampak didesain sebagai sayap seekor capung atau mata seekor elang sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian panjang sebab-sebab non acak namun sepenuhnya alamiah?”
Lebih lanjut, ia juga “menyemprot” para kreasionis yang sering menuduh kebodohan kaum ateis; bahwa “kebetulan” mustahil menjadi pendesain segala kerumitan struktur organisme dengan mengatakan “tak seorang pun ahli biologi yang waras ––termasuk saya (Dawkins)–– yang menyarankan bahwa kebetulan merupakan pemecahannya.”
Tidak selesai di sana, Dawkins malah mengkritik para kreasionis; menyatakan bahwa argumentasi Si Desain Yang Cerdas (Tuhan) sama rancunya dengan dalil kebetulan dengan memberi pertanyaan “Siapa yang mendesain sang pendesain tersebut?”
Kreasionis juga gemar mengemukakan istilah “Tuhan Gap” yang merasa senang jika ada sesuatu yang belum diketahui oleh manusia sembari mengatakan, “inilah ruang bagi Tuhan” seakan misteri itu tidak akan dapat dipecahkan.
Alih-alih argumen ini mendapat kecaman dari Dietrich Bonhoeffer, teolog kritis asal Jerman, juga oleh Matt Ridley, jurnalis Inggris, yang menuturkan, “sebagian besar ilmuwan merasa bosan dengan apa yang telah mereka temukan. Ketidaktahuanlah yang mendorong mereka untuk terus maju.” Sedangkan kaum kreasionis dan agamawan, lanjut Dawkins, “Bersuka ria dengan misteri dan ingin hal itu tetap misterius.” Perdebatan mengenai apa atau siapa penyebab/penggerak utama alam semesta ini juga mewarnai tulisan Dawkins di bab keempat, meski dengan cara-cara yang defensif-apologetik.
Pada bab lima, Dawkins berusaha untuk memperlemah sejumlah argumentasi agamawan yang mempercayai bahwa setidaknya agama memiliki efek-efek positif dalam kehidupan manusia, seperti memberi penghiburan, pelipur lara, mengurangi stres dan menyuguhkan rasa nyaman.
Menurutnya memang benar bahwa dalam beberapa kasus praktik-praktik agama dapat memberikan manfaat yang demikian, tetapi tidak lantas memperkuat nilai kebenaran klaim-klaim keagamaan, sebab efek-efek itu pun bisa didapatkan di tempat dan cara lain yang sifatnya non-religius.
Dawkins juga sudah mempersiapkan pembahasan khusus soal moralitas yang menurut kalangan agamawan, “Bagaimana mungkin tanpa agama orang dapat atau ingin menjadi baik apalagi tanpa memiliki barometer ilahiah?” sembari menyalahi landasan “gen egois” ala teori evolusinya Darwin, di bab keenam yang diberi judul Asal Usul Moralitas: Mengapa Kita Baik? dan ketujuh ––Buku ‘Bagus’ dan Zeitgeist Moral yang Berubah. Padahal kitab suci itu sendiri, yang sering dijadikan indikator baik-buruk oleh agamawan, memuat sejumlah “kontradiksi nilai moral” sehingga kompromistis mereka ialah dengan memilih dan memilah nilai-nilai moril kitabiah yang sesuai dengan pandangannya, sebagaimana mirip dengan kaum ateis yang mengikuti tuntutan moral tertentu yang relevan.
Bahkan nilai-nilai moril yang suka disangka “baik” pun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber lain di luar kitab suci. Ia menemukan “Sepuluh Perintah Baru” di website ateis sebagai sesuatu yang secara esensi sangat tidak bertabrakan dengan “The Ten Commandment”. Begini isinya:
“1) Jangan melakukan pada orang lain apa yang mungkin kamu tidak ingin mereka lakukan padamu; 2) dalam semua hal, berusahalah untuk tidak merugikan; 3) perlakukanlah sesama manusia, sesama makhluk hidup, dan dunia pada umumnya dengan cinta, kejujuran, keyakinan dan penghargaan; 4) jangan mengabaikan kejahatan atau enggan menegakkan keadilan, tetapi bersedialah selalu memaafkan kesalahan yang diakui secara suka rela dan disesali dengan jujur; 5) jalanilah hidup dengan keceriaan dan kekaguman; 6) berusahalah senantiasa mempelajari hal yang baru; 7) cobalah semua hal, ujilah selalu gagasan-gagasanmu berdasarkan fakta-fakta dan bersiaplah untuk menolak bahkan sebuah keyakinan yang paling berharga sekalipun jika ia tidak sesuai dengan fakta-fakta itu; 8) jangan pernah menyensor atau berhenti dari perdebatan, hargailah selalu hak orang lain untuk tidak setuju denganmu; 9) bangunlah opini-opini yang mandiri berdasarkan penalaran dan pengalamanmu, jangan biarkan dirimu diarahkan secara buta oleh orang lain; 10) pertanyakanlah segala sesuatu.”
Moral, menurut Dawkins, akan senantiasa bergerak menuju sesuatu yang dianggap sebagai perbaikan yang baginya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pandangan-pandangan tokoh yang mendahului zamannya (seperti King Martin Luther, Paul Roberson, Sidney Poitier, Jesse Owens, Jackie Robinson) dan perbaikan di ranah pendidikan khususnya pemahaman yang terus tumbuh bahwa setiap orang senantiasa berbagi rasa kemanusiaan yang sama dengan ras dan jenis kelamin lainnya.
Beralih ke persoalan anak-anak, Dawkins amat sangat tak setuju dengan pola pendidikan keagamaan yang dilakukan oleh para orang tua. Baginya anak-anak terlalu dini untuk memeluk suatu agama tertentu (mewarisi agama orangtuanya).
Sebutan-sebutan seperti “anak katolik” atau “anak muslim” sungguh tak layak, sebab sejatinya mereka tak paham dengan agama tersebut. Untuk itu Dawkins menyarankan supaya sekolah-sekolah dapat menyajikan aneka pandangan hidup atau pelajaran agama-agama yang nantinya si anak dapat secara bebas memilih apa yang dikehendakinya (beragama maupun ateis).
Yang khas dalam buku ini ialah karakternya yang apologetik, menyerang kaum agamawan secara keras, terus terang, dan tanpa basa-basi. Betapapun, permusuhannya terhadap agama sebatas kata-kata sebagaimana ungkapannya yang ditulis pada bab delapan:
“saya mungkin menjawab bahwa permusuhan seperti yang saya dan ateis-ateis lain kadang-kadang ungkapkan, itu sebatas kata-kata. Saya tidak akan membom siapa pun, memenggal siapa pun, melempari dengan batu siapa pun, membakar mereka di atas tiang gantungan, menyalib mereka...hanya karena pertengkaran teologis.”
Keunikan lainnya ialah, baik secara langsung maupun tidak, buku ini pun telah menyerang ––setidanya secara fakta sementara–– pandangan umat Islam yang mengklaim bahwa titik klimaks seorang ilmuwan ––setelah terpesona dengan alam semesta–– adalah kekagumannya akan kebesaran Allah.
Menurut Darwin, sejak awal abad ke-20, kita akan semakin sulit menemukan seorang ilmuwan yang beragama/bertuhan. Mengutip jurnal populer Nature, yang mana salah dua penulisnya ialah Larson dan Witham pada tahun 1998 menunjukkan fakta bahwa hanya sekitar 7% di antara para ilmuwan Amerika yang dianggap cukup istimewa ––oleh kolega mereka–– dipilih menjadi anggota National Academy of Sciences yang percaya terhadap eksistensi Tuhan personal.
Dawkins juga membeberkan beberapa survei/penelitian lain yang pada intinya hendak menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil kemungkinan mereka akan menjadi seseorang yang religius atau beragama.
Tentu saja buku yang sarat pencerahan ini layak dipelajari dan ditanggapi lebih lanjut oleh para pecinta kebenaran, baik itu agamawan, filsuf, maupun ilmuwan. Dan tak menutup kemungkinan akan ada antitesisnya. Mari kita tunggu bersama.
Bekasi, 2 September 2017
Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer.
Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya.
Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini.
Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat juga adalah seorang ateis.
Terdiri atas sepuluh bab dan di awali sebuah pendahuluan, Dawkins menuturkan bahwa buku ini utamanya diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup dalam suatu keyakinan agama apa pun hanya saja ia merasa tidak nyaman ––tidak meyakini dan tidak berbahagia di dalamnya–– tetapi takut untuk mengutarakan isi hatinya, khawatir mendapat kecaman atau penolakan dari orang-orang sekitar (orang tua, kerabat, saudara, dll).
Jika anda termasuk di dalamnya, lanjut Dawkins, buku ini sungguh tepat bagi anda, sebab The God Delusion memiliki misi memunculkan kesadaran terhadap sebuah realitas bahwa menjadi seorang ateis merupakan suatu pilihan bebas yang bertanggung jawab, berani, dan sungguh mengesankan.
Judul Orang Tak Beriman yang Sangat Religius, yang dijadikannya sebagai titel bab pertama, bermaksud hendak meluruskan kesalahpahaman banyak kalangan agamawan akan kereligiusitasan para ilmuwan seperti halnya Albert Einsten dan Stephen Hawking.
Ucapan “ilmu tanpa agama pincang, agama tanpa ilmu buta” misalnya. Jika saja mereka membaca lebih banyak lagi karya Einstein, tentu sikap mereka akan berbalik menyerangnya karena istilah agama yang digunakan Einstein amat berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat agama. Selain menyangkal eksistensi Tuhan personal, Einstein pun memahami kata religius sebagai sebuah keterpanaan yang tak terbatas pada entitas dunia, bukan terhadap sesuatu yang sifatnya supra natural.
Masih di bab yang sama, Dawkins juga mengkritik begitu banyaknya orang yang memberikan kedudukan agama di tempat yang “berlebihan” dengan sub judul Penghormatan yang Tak Layak.
Bab II dan III bisa dibilang merupakan jantung dari seluruh isi bukunya, menguraikan hipotesa dan argumen para agawaman tentang Tuhan yang kemudian ia bantah satu per satu; mulai dari 5 bukti populer ala Thomas Aquinas (dalil a posteriori), argumen ontologis St Anselmus ––yang bersandar pada rasio–– (dalil a priori) , argumen keindahan yang sering direfleksikan dalam musik (Beethoven contohnya), hujah pengalaman spiritual yang sifatnya personal, argumen kitab suci, dalil para ilmuan religius, juga pandangan “munafik” Blaise Pascal, serta argumen Bayesian.
Alasan terkuat Dawkins dalam keateisannya sangat terilhami oleh teori evolusi (seleksi alam) Darwin dan ini dibahasnya dengan cukup argumentatif dalam bab selanjutnya yang diberi judul Mengapa Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan. Ia mengatakan,
“seleksi alamiah tidak hanya menjelaskan keseluruhan kehidupan, ia juga membangkitkan kesadaran kita terhadap kekuatan sains untuk menjelaskan bagaimana suatu kompleksitas yang tertata muncul dari hal-hal awal yang sederhana tanpa adanya panduan sadar...Sebelum Darwin, siapa yang bisa menduga bahwa suatu yang tampak didesain sebagai sayap seekor capung atau mata seekor elang sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian panjang sebab-sebab non acak namun sepenuhnya alamiah?”
Lebih lanjut, ia juga “menyemprot” para kreasionis yang sering menuduh kebodohan kaum ateis; bahwa “kebetulan” mustahil menjadi pendesain segala kerumitan struktur organisme dengan mengatakan “tak seorang pun ahli biologi yang waras ––termasuk saya (Dawkins)–– yang menyarankan bahwa kebetulan merupakan pemecahannya.”
Tidak selesai di sana, Dawkins malah mengkritik para kreasionis; menyatakan bahwa argumentasi Si Desain Yang Cerdas (Tuhan) sama rancunya dengan dalil kebetulan dengan memberi pertanyaan “Siapa yang mendesain sang pendesain tersebut?”
Kreasionis juga gemar mengemukakan istilah “Tuhan Gap” yang merasa senang jika ada sesuatu yang belum diketahui oleh manusia sembari mengatakan, “inilah ruang bagi Tuhan” seakan misteri itu tidak akan dapat dipecahkan.
Alih-alih argumen ini mendapat kecaman dari Dietrich Bonhoeffer, teolog kritis asal Jerman, juga oleh Matt Ridley, jurnalis Inggris, yang menuturkan, “sebagian besar ilmuwan merasa bosan dengan apa yang telah mereka temukan. Ketidaktahuanlah yang mendorong mereka untuk terus maju.” Sedangkan kaum kreasionis dan agamawan, lanjut Dawkins, “Bersuka ria dengan misteri dan ingin hal itu tetap misterius.” Perdebatan mengenai apa atau siapa penyebab/penggerak utama alam semesta ini juga mewarnai tulisan Dawkins di bab keempat, meski dengan cara-cara yang defensif-apologetik.
Pada bab lima, Dawkins berusaha untuk memperlemah sejumlah argumentasi agamawan yang mempercayai bahwa setidaknya agama memiliki efek-efek positif dalam kehidupan manusia, seperti memberi penghiburan, pelipur lara, mengurangi stres dan menyuguhkan rasa nyaman.
Menurutnya memang benar bahwa dalam beberapa kasus praktik-praktik agama dapat memberikan manfaat yang demikian, tetapi tidak lantas memperkuat nilai kebenaran klaim-klaim keagamaan, sebab efek-efek itu pun bisa didapatkan di tempat dan cara lain yang sifatnya non-religius.
Dawkins juga sudah mempersiapkan pembahasan khusus soal moralitas yang menurut kalangan agamawan, “Bagaimana mungkin tanpa agama orang dapat atau ingin menjadi baik apalagi tanpa memiliki barometer ilahiah?” sembari menyalahi landasan “gen egois” ala teori evolusinya Darwin, di bab keenam yang diberi judul Asal Usul Moralitas: Mengapa Kita Baik? dan ketujuh ––Buku ‘Bagus’ dan Zeitgeist Moral yang Berubah. Padahal kitab suci itu sendiri, yang sering dijadikan indikator baik-buruk oleh agamawan, memuat sejumlah “kontradiksi nilai moral” sehingga kompromistis mereka ialah dengan memilih dan memilah nilai-nilai moril kitabiah yang sesuai dengan pandangannya, sebagaimana mirip dengan kaum ateis yang mengikuti tuntutan moral tertentu yang relevan.
Bahkan nilai-nilai moril yang suka disangka “baik” pun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber lain di luar kitab suci. Ia menemukan “Sepuluh Perintah Baru” di website ateis sebagai sesuatu yang secara esensi sangat tidak bertabrakan dengan “The Ten Commandment”. Begini isinya:
“1) Jangan melakukan pada orang lain apa yang mungkin kamu tidak ingin mereka lakukan padamu; 2) dalam semua hal, berusahalah untuk tidak merugikan; 3) perlakukanlah sesama manusia, sesama makhluk hidup, dan dunia pada umumnya dengan cinta, kejujuran, keyakinan dan penghargaan; 4) jangan mengabaikan kejahatan atau enggan menegakkan keadilan, tetapi bersedialah selalu memaafkan kesalahan yang diakui secara suka rela dan disesali dengan jujur; 5) jalanilah hidup dengan keceriaan dan kekaguman; 6) berusahalah senantiasa mempelajari hal yang baru; 7) cobalah semua hal, ujilah selalu gagasan-gagasanmu berdasarkan fakta-fakta dan bersiaplah untuk menolak bahkan sebuah keyakinan yang paling berharga sekalipun jika ia tidak sesuai dengan fakta-fakta itu; 8) jangan pernah menyensor atau berhenti dari perdebatan, hargailah selalu hak orang lain untuk tidak setuju denganmu; 9) bangunlah opini-opini yang mandiri berdasarkan penalaran dan pengalamanmu, jangan biarkan dirimu diarahkan secara buta oleh orang lain; 10) pertanyakanlah segala sesuatu.”
Moral, menurut Dawkins, akan senantiasa bergerak menuju sesuatu yang dianggap sebagai perbaikan yang baginya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pandangan-pandangan tokoh yang mendahului zamannya (seperti King Martin Luther, Paul Roberson, Sidney Poitier, Jesse Owens, Jackie Robinson) dan perbaikan di ranah pendidikan khususnya pemahaman yang terus tumbuh bahwa setiap orang senantiasa berbagi rasa kemanusiaan yang sama dengan ras dan jenis kelamin lainnya.
Beralih ke persoalan anak-anak, Dawkins amat sangat tak setuju dengan pola pendidikan keagamaan yang dilakukan oleh para orang tua. Baginya anak-anak terlalu dini untuk memeluk suatu agama tertentu (mewarisi agama orangtuanya).
Sebutan-sebutan seperti “anak katolik” atau “anak muslim” sungguh tak layak, sebab sejatinya mereka tak paham dengan agama tersebut. Untuk itu Dawkins menyarankan supaya sekolah-sekolah dapat menyajikan aneka pandangan hidup atau pelajaran agama-agama yang nantinya si anak dapat secara bebas memilih apa yang dikehendakinya (beragama maupun ateis).
Yang khas dalam buku ini ialah karakternya yang apologetik, menyerang kaum agamawan secara keras, terus terang, dan tanpa basa-basi. Betapapun, permusuhannya terhadap agama sebatas kata-kata sebagaimana ungkapannya yang ditulis pada bab delapan:
“saya mungkin menjawab bahwa permusuhan seperti yang saya dan ateis-ateis lain kadang-kadang ungkapkan, itu sebatas kata-kata. Saya tidak akan membom siapa pun, memenggal siapa pun, melempari dengan batu siapa pun, membakar mereka di atas tiang gantungan, menyalib mereka...hanya karena pertengkaran teologis.”
Keunikan lainnya ialah, baik secara langsung maupun tidak, buku ini pun telah menyerang ––setidanya secara fakta sementara–– pandangan umat Islam yang mengklaim bahwa titik klimaks seorang ilmuwan ––setelah terpesona dengan alam semesta–– adalah kekagumannya akan kebesaran Allah.
Menurut Darwin, sejak awal abad ke-20, kita akan semakin sulit menemukan seorang ilmuwan yang beragama/bertuhan. Mengutip jurnal populer Nature, yang mana salah dua penulisnya ialah Larson dan Witham pada tahun 1998 menunjukkan fakta bahwa hanya sekitar 7% di antara para ilmuwan Amerika yang dianggap cukup istimewa ––oleh kolega mereka–– dipilih menjadi anggota National Academy of Sciences yang percaya terhadap eksistensi Tuhan personal.
Dawkins juga membeberkan beberapa survei/penelitian lain yang pada intinya hendak menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil kemungkinan mereka akan menjadi seseorang yang religius atau beragama.
Tentu saja buku yang sarat pencerahan ini layak dipelajari dan ditanggapi lebih lanjut oleh para pecinta kebenaran, baik itu agamawan, filsuf, maupun ilmuwan. Dan tak menutup kemungkinan akan ada antitesisnya. Mari kita tunggu bersama.
Bekasi, 2 September 2017
Komentar
Posting Komentar