Langsung ke konten utama

Harun Nasution: Biografi dan Pemikirannya



HARUN NASUTION: BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA
Diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pemikiran Islām Kontemporer yang diampu oleh Dr. Endis Firdaus, M.Ag dan Cucu Surahman, M.Ag, MA





Oleh
M. Jiva Agung                        (1202282)




PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLĀM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allāh karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya saya dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Harun Nasution: Biografi dan Pemikirannya”. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Maka dari itu, harapan saya semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, tak lupa juga kritik konstruktif dan saran yang membangun dari anda sangat kami harapkan untuk memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Akhir kata, semoga makalah yang saya buat ini dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih luas kepada kita semua. ĀmĪn.





Bandung, 14 Februari 2015



                     Penyusun






Daftar Isi



BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Dalam sejarah Islām, mulanya berkembang pemikiran rasional tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islām. Pemikiran rasional ini dipengarūḥ i oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam paparan Alqurān dan ḥadĪṡ. Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islām (1250-1800 M). jadi, hingga abad ke-18 umat Islām berada di abad kejumudan. Baru pada akhir abad 18 atau awal abad 19 munculah tokoh-tokoh pembaharu yang peduli akan Islām saat ini. Munculnya pembaharu-pembaharu dalam Islām adalah karena adanya ide-ide pembaharuan yang ingin dimunculkan agar Islām bisa mendapatkan kejayaannya kembali. Maka muncullah tokoh seperti Jamāl ad-dĪn Al-AfghānĪ, Muḥammad ‘Abduħ, dan sebagainya sebagai motor penggerak pembaharu Islām. Kedaan seperti ini tertular pula ke lingkungan Indonesia. Muncul cendikiawan muslim Harun Nasution. Ia adalah sosok ilmuan muslim dan salah seorang tokoh pembaharu yag sangat terkenal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri. Setiap kali orang mendengar namanya pasti akan terbayang sosok seorang rektor IAIN Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional bahkan liberal. Ia juga hadir karena ingin memunculkan ide-idenya yang menurutnya selama ini terjadi kesalahpahaman tentang Islām itu sendiri.
Ada beberapa pemikiran Harun Nasution yang akan saya angkat dalam makalah ini yang kesemuanya tidak jauh dari permasalahan mengenai pembaharuan Islām di era modern. Dengan mengetahui latar belakang, pemikiran, dan solusi yang ditawarkan oleh Harun, akan menambah kekayaan keilmuan keIslāmaan yang semoga dapat dimanfaatkan demi kemajuan perkembangan Islām itu sendiri.

B.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi Harun Nasution?
2.      Bagaimana pemikiran Harun Nasution?

C.   Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui biografi Harun Nasution.
2.      Mengetahui pemikiran Harun Nasution.










BAB II

PEMBAHASAN

A.   Biografi

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Pemantang Siantar, Sumatera Utara. Bapaknya adalah seorang kadi (penghulu) setempat. Menurut penuturannya, sang ayah sering membaca kitab kuning berbahasa Melayu, suka berkunjung atau berdiskusi  dengan banyak orang yang mengetahui agama. Sang ayah menikah dengan ibunya yang semarga. Padahal dalam hukum adat itu adalah terlarang. Tetapi ayahnya melarang adat. Akibatnya ayahnya perlu membayar denda dan akhirnya pergi ke Pemantangsiantar. Disana lah ia dilahirkan. Ia menjadi anak keempat dari lima bersaudara(Aqib Suminto, 1989, p. 4).
Awalnya ia disurūḥ  oleh orang tuanya untuk masuk sekolah Belanda, HIS. Di rumah, ia belajar ngaji dan menulis bahasa ‘Arab  di sekolah (HIS). Meskipun sekolah umum tapi pelajaran menulis ‘Arab  diberikan, karena masyarakat pada masa itu masih menggunakan tulisan ‘Arab  Melayu (Aqib Suminto, 1989, p. 7).
Harun mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 9)bahwa sejak kecil beliau sudah sering merepotkan guru-gurunya atau orang tuanya karena selalu bertanya: mengapa ini begini, mengapa begitu. Seperti waktu itu, ayahnya walaupun menentang jajahan Belanda, tetap saja memiliki faham fatalis. Ia berpendapat bahwa datang perginya Belanda terserah Allāh. Karena jika dikehendaki Allāh, Belanda akan pergi dengan sendirinya. Untuk itu sang ayah menyarankan kepada anak-anaknya untuk tidak terlalu rebut-ribut menyoalkan urusan perpolitikan. Beliau tidak bisa menerima begitu saja suatu pendapat tanpa ada dialog.
Setelah selesai di HIS lalu ia melanjutkan pendidikannya ke Modern Islāmietische Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukit Tinggi, yakni sekolah guru menengah pertama swasta modern milik ‘Abd al-Ghaffār Jambek, putera Syaikh JamĪl Jambek. Disana bernuansa modern. Ia memakai dasi, dan diajarkan di sekolah bahwa memelihara anjing tidak haram, tidak perlu berwudhu jika ingin memegang Alqurān, tidak perlu merisaukan pemakaian uṣallĪ, dan sebagainya. Ia merasa sekolah ini sangat cocok dengan pemikirannya (Aqib Suminto, 1989, p. 7).
Belum selesai sekolahnya –karena sekolah swasta saat itu masih miskin- sang Ibu memaksanya untuk berguru ke Mekkaħ. Harun menerimanya walaupun sebenarnya lebih senang pergi ke Meṣir. Saat tiba di Mekkaħ. Ia merasa kasihan (baca: malu) kepada keadaan Mekkaħ saat itu layaknya abad pertengahan. Padahal saat itu sudah abad ke-20. Disana tidak ada mobil, yang ada hanya unta dan keledai. Jalanan penuh debu, pasir, kotor, penuh lalat. Orang-orangnya pun masih berpakaian tradisional. Sayangnya, karena kurang fasih berbahasa ‘Arab , ia tidak bersekolah dan hanya membaca buku-buku berbahasa Belanda hingga akhirnya ia memaksa orangtuanya untuk bisa pergi ke Meṣir. (Aqib Suminto, 1989, pp. 9-11)
Setelah belajar beberapa bulan guna mempersiapkan diri untuk sekolah di Al-Azhar, akhirnya ia diterima sebagai mahasiswa Fakultas Uṣul ad-dĪn. Disana beliau lebih unggul dibandingkan teman-temannya dalam bidang bahasa seperti Inggris, dan Perancis. Sembari kuliah di Al-Azhar, ia juga kuliah di Universitas Amerika, Kairo. Disana ia mengambil Fakultas Pendidikan, tetapi karena keadaan di Indonesia sedang semerawut, kuliahnya pun terbengkalai disebabkan tidak adanya kiriman uang. Untungnya ia sempat mendapat gelar BA dalam Studi Sosial di Universitas Amerika pada tahun 1952(Aqib Suminto, 1989, p. 14).
Saat di Meṣir ia mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 16)juga aktif dalam masalah perpolitikan di Perpindom yang terkadang membicakan soal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Diantara usahanya adalah memperkenalkan Indonesia kepada rakyat Meṣir, terutama pemimpinnya. Sementara untuk Indonesia ia beserta rekannya membuat karangan tentang perkembangan politik dan pendidikan di Meṣir. Semangat terjunnya ke dunia politik diakuinya dikarenakan sedang bergemanya nasionalisme di Meṣir.
Setelah memperoleh informasi bahwa Indonesia sudah merdeka. Harun dan kawan-kawan langsung menerjemahkan informasi kemerdekaan Indonesia ke dalam bahasa ‘Arab  dan Inggris. Lalu diberikan ke ‘Azzām. Juga mengirim ke surat-surat kabar seperti Jam’iyyaħ Al-ikhwān al-muslimĪn. Berbagai cara dilakukan seperti nama Presiden Soekarno ditambah dengan Ahmad di depannya. Kemudian M. Hatta dipenuhkankan menjadi Muḥammad Hatta. Dari sinilah dunia ‘Arab  mengenai Indonesia telah merdeka dan banyak dari mereka yang langsung menyokong kemerdekaan Indonesia (Aqib Suminto, 1989, p. 23).
Selanjutnya ia bekerja di kantor Perwakilan RI, Kairo. Duduk di bagian Inggris.  Lalu disurūḥ  pulang pada tahun 1953 untuk mengenal keadaan di Indonesia. Setiap hari ia masuk kantor di Departemen Luar Negeri di bagian Timur Tengah. Setahun kemudian ia ditugaskan sementara ke ‘Arab  Saudi untuk membantu persoalan haji (Aqib Suminto, 1989, pp. 25-26).
Pada akhir Desember 1955 ia (Aqib Suminto, 1989, pp. 27-36) dipindah kerja ke Belgia, tepatnya bekerja di Kedutaan RI di Brussels. Beberapa tahun kemudian, ia pindah ke Meṣir dan kembali sekolah di Al-dirāsaħ Al-Islāmiyyaħ. Ia senang karena disini tidak menggunakan cara lama seperti menghafal seperti si Al-Azhar. Disana –menurutnya- sudah rasional. Salah satu dosennya ialah AbĪ Zahraħ. Tetapi karena tidak puas, beliau keluar dan pindah ke McGill University atas permintaan H.M Rasyidi. Di sinilah ia benar-benar mengenal Islāmyang menurutnya sangat rasional.
Sebab utama kekurangsenangannya terhadap semua lembaga pendidikan yang pernah ia duduki ialah karena sifat penekanan kepada hafalan. Berbeda ketika ia kuliah di Kanada yang metodenya lebih dengan berdiskusi. Untuk itu proses memahami, menelaah, membandingkan, menganalisa, sudah biasa dilakukan disana bahkan diperbolehkan untuk berbeda pendapat dengan dosen.  (Aqib Suminto, 1989, p. 90). Setelah kuliah selama dua tahun setengah ia mendapat gelar MA dengan tesis mengenai Negara Islām di Indonesia, dilanjutkan dengan kuliah doktornya di tempat yang sama. Disana ia memiliki nilai yang baik, dengan perolehan rata-rata B+ atau A. Setelah mendapat gelar doctor, ia ditawari berkerja di IAIN dan UI, tetapi jodohnya ternyata di IAIN hingga akhirnya pada tahun 1973 diangkat sebagai rektor(Aqib Suminto, 1989, pp. 39-41). Hingga meninggal di Jakarta tanggal 18 September 1998 (Wikipedia.org).

B.   Pemikirannya

Harun Nasution dikenal umum sebagai seorang cendikiawan muslim yang sangat rasional dan liberal. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum muslim Indonesia berfikir secara rasional (Wikipedia.org). Ia juga mengajurkan sepatutnya kita dapat meniru SyĪ’aħ yang sudah berfikir rasional (Aqib Suminto, 1989, p. 59). Karena pemikirannya ini banyak kalangan yang menolak, tetapi ada juga yang memberi apresiasi. Ia merasa heran mengapa umat Islām harus saklekpadahal ajaran Islām memberikan ruang yang begitu luas kepada umat muslim untuk bisa berinovasi. Menurutnya ajaran Islām yang qaṭ’iyyaħ cuma sedikit, seperti Tuhan itu ada dan Esa, keharaman riba dan memakan daging babi serta khamr. Sedangkan sisanya adalah ayat-ayat yang masih bersifat dzann’iy dilalah bahkan kalau ḥadĪṡ masih ada yang bersifat dzann’iy al-wurud. Untuk itu, menurutnya semua aspek –bukan hanya aspek fikiħ- dalam Islām masih banyak yang bisa kita inovasi tanpa merubah esensi ajarannya. Ia memberi contoh, dalam bidang akidah pun ada yang bersifat dzann’iy dilalah dan dzann’iyal-wurud seperti perihal rukun iman keenam. Karena menurutnya Alqurān tidak menyebutkan kada dan kadar. Beliau juga setuju dengan sistem penyatuan kelas antara laki-laki dan perempuan. Karena menurutnya tidak ada dalil yang secara terang-terangan melarang itu. Bahkan mengenai hukum waris ia setuju dengan pendapat Munawir Syadzali (Aqib Suminto, 1989, pp. 54-57).
Harun menyatakan bahwa keadaan statis yang melanda di tubuh umat muslim saat ini ialah karena merasa terikat pada ajaran-ajaran bukan dasar yang dihasilkan oleh zaman silam (ijtihād). Sebagai gantinya diperlukan ajaran bukan dasar (ijtihād) baru dengan menimbulkan penafsiran baru dari ajaran dasar yang terdapat dalam Alqurān dan hadits yang disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 2009: 114).
Karena begitu rasionalnya, tidak banyak dari kalangan awam yang mengenalnya sebagai seorang ustadz. Untuk itu Azyumadri Azra (Abaza, 1999, p. xxi)menyatakan bahwa walaupun Harun sangat pantas disebut sebagai ulama (baca: ustadz), namun realitas sosiologis di kalangan umat Islām menyatakan lain. Ia lebih dikenal orang sebagai tokoh intelektual. Harun sendiri mengakuinya dengan berkata:
“Aku sendiri memang kurang bisa berbicara dengan kebanyakan orang. Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk akal bagiku. Aku pun dipaksa, aku memang datang juga membicarakan apa yang kumiliki. Tapi mereka mengantuk, atau jika dipaksa terus, akhirnya kubilang tidak sanggup karena alasan sudah tua. Namun kalau diajak diskusi aku selalu datang. Karena kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan intelektual yang mau berfikir rasional. Begitu pula kalau aku mengarang. Karanganku diperuntukkan orang atas, bukan orang awam”(Aqib Suminto, 1989, p. 60)
Ia melanjutkan:
“Harapanku memang Cuma satu, pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu'tazilaħ, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Caranya cuma bisa dengan memegang para penguasanya saja. Sayangnya selama ini yang berdakwah banyak dari golongan awam. Golongan intelektual di Indonesia ini tidak kelihatan yang jadi juru dakwah.”(Aqib Suminto, 1989, p. 61)
Berbeda dengan kaum abangan atau ulama yang bercorak fundamentalis, kaum cendekiawan terlebih yang sepemikiran dengannya, agaknya banyak memberikan pujian atau apresiasi terhadap hal-hal yang telah ditorehkan oleh Harun. Misalnya saja Zuly Qodir yang menyatakan bahwa peran Harun Nasution demikian besar dalam pengembangan citra IAIN Jakarta menjadi sebuah mazhab tersendiri dalam peta pemikiran Islām Indonesia, menggeser posisi ITB, UNPAD, UGM, Unbraw. (Qodir, p. 15)Juga ada mantan Menteri Agama Munawir Syadzali yang pernah mengatakan:
“Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar”(Aqib Suminto, 1989, p. viii).
Nurcholis Madjid seorang cendekiawan muslim terkemuka bahkan di kalangan orientalis mengatakan:
“Orang semacam Harun telah memberikan ‘bekas’ terhadap perkembangan keIslāman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum dimana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar.”(Aqib Suminto, 1989, pp. 102-103)
Madjid melanjutkan:
 “Yang secara substansi bisa kita teruskan dan kita kembangkan dari Pak Harun ialah studi atau kajian mengenai kalam (teologi) dan filsafat. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Kalam itu sangat dialektis dan logis.”(Aqib Suminto, 1989, p. 104)
Menurut Madjid (Aqib Suminto, 1989, p. 109)salah satu efek dari Harunisme adalah membuat agama menjadi lebih fungsional, tidak hanya simbol-simbol yang sentimental dan penuh perasaan. Harun Nasution –menurut Madjid- tidak suka pada dzauqqiyat tapi aqliyyaħ. Kalau dzauq saja, para pengikut kultus jauh lebih mantap, lebih puas daripada orang yang beragama. Karena apa? Karena guru-guru kultus selalu mengatakan: “ikut saya, pasti masuk surga.” Madjid juga menyangsikan sikap beberapa sarjana yang menyatakan bahwa pembaharuan teologis tidak akan berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi masyarakat. Padahal menurutnya salah.

1.     Perubah Mind-Set IAIN

IAIN sebagai lembaga tinggi Islām sudah pasti diharapkan oleh kalangan muslim di Indonesia sebagai lembaga yang dapat memberikan solusi terhadap segala permasalahan agama. Untuk itu disana para mahasiswa dikader untuk bisa menjadi ulama yang menyebarkan Islām ke selurūḥ  wilayah Indonesia. Sayangnya, pada mulanya perkuliahan di IAIN mengacu kepada metode Al-Azhar di Meṣir, dengan titik berat tekanan kepada mazhab Syāfi’i. Pada masa itu mata kuliah perbandingan mazhab saja masih dirasakan asing bagi sementara mahasiswa. Setelah perkuliahan semacam ini berjalan belasan tahun, kemudian dipertanyakan mengapa lulusan IAIN berwawasan sempit, tidak berfikiran rasional dan pada umumnya hanya “berorientasi akhirat” semata. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Agama Mukti Ali dalam musyawarah Rektor IAIN di Ciumbuleuit tahun 1973. Untuk itu perlu –menurutnya- perlu dibentuk kemampuan berfikir rasional. Mahasiswa perlu dikenalkan dengan aspek ilmu kalam, taṣawuf, filsafat Islām, bahkan filsafat barat. Hasil dari musyawarah tersebut akhirnya merestui adanya mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama” yang harus berikan kepada selurūḥ  mahasiswa IAIN di Indonesia yang mempelajari Islām dari segala aspeknya (Aqib Suminto, 1989, pp. x-xi). Buku Harun Nasution yang berjudul Islām ditinjau dari berbagai aspeknya dipilih menjadi buku wajib pada mata kuliah Pengantar Ilmu Agama. Dari sanalah akhirnya pemikiran IAIN sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih terbuka dan rasional.
Menurut Nasution (2013: 28) untuk menghilangkan kesalahpahaman, perlu mengetahui Islām dari segala aspeknya. Memang tidak mudah, tetapi yang dimaksudkan disini ialah hanya mengetahui secara garis-garis besarnya saja. Sebagai dasar, pengetahuan yang demikian sudah cukup. Kemudian barulah setiap orang boleh mengambil spesialisasi sesuai kesenangan atau bakatnya.
Di dalam bukunya ia menjabarkan apa dan bagaimana agama itu, apa definisi Islām dalam pengertian yang sebenarnya. Lalu mengklasifikasikan ajaran-ajaran Islām ke dalam beberapa aspek seperti aspek 'ibādaħ, latihan spiritual, moral, aspek sejarah dan kebudayaan, aspek politik, aspek perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme, dan aspek pembaharuan dalam Islām. Semua dijelaskan melalui pendekatan sejarah sejak awal tumbuhnya Islām hingga zaman modern.
Tetapi tidak semua menerima secara hangat buku karangan Harun. Seperti H.M Rasyidi dalam bukunya yang mengkritik buku Islām ditinjau dari berbagai aspeknya memandang Harun Nasution sebagai seseorang yang telah dipengarūḥ i oleh jalan pikiran dan pendekatan orientalis yang tidak selamanya simpatik pada Islām, bahkan merugikan (Aqib Suminto, 1989, p. 94). Salah satunya ialah mempersamakan ilmu kalam dengan ilmu teologi. Juga dalam aspek filsafat ia –lanjut Rasyidi- terpengarūḥ  dengan konsep neo platonisme yang menganggap bahwa rūḥ dan daging manusia adalah berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (bersatu dengan Tuhan). Padahal dalam Islām bukanlah begitu, melainkan kembali ke hadirat Tuhan (surga atau neraka), bukan ke sisi Tuhan seperti bersatu dengan-Nya (Rasyidi, 1973, pp. 34-35). Harun juga melakukan kesalahan terbesar ketika menjelaskan politik dalam Islām, karena yang dijelaskan bukanlah prinsip-prisip politik atau hal-hal yang berkaitan dengan itu melainkan malah memaparkan sejarah kelam perebutan politik di kalangan umat Islām(Rasyidi, 1973, pp. 56-71).
Rasyidi juga mengkritik Harun dengan menyatakan bahwa akal memang tidak bisa mengetahui kebenaran. Untuk memperkuat argumennya ia mencantumkan ayat Dan Allāh Yang Maha Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqaraħ [2]: 232) serta fakta yang terjadi di Barat mengenai kegagalannya mendapatkan kebenaran(Rasyidi, 1973, p. 52).

2.     Pembaharuan Islām: Sebuah RasionalisasiAgama

Harun Nasution disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pembaru Islām di Indonesia yang begitu giat memperkenalkan kembali pemikiran rasional mu'tazilaħ.Maka wajar jika Rasyidi mengatakan bahwa istilah Neo-Mu'tazilaħ akan langsung dialamatkan kepada Harun Nasution karena ide dan gagasannya dalam mendobrak paham fatalisme dan taklid buta yang dianut mayoritas muslim Indonesia serta berupaya menghidupkan kembali teologi mu'tazilaħ yang serba rasional(Nurhadi R. , p. 4)
Tiada lain yang menjadi latar belakang pembaharuan yang dilakukan oleh Harun Nasution dikarenakan keprihatinannya kepada umat Islām yang secara kuantitatif bersifat mayoritas, tetapi dari segi kualitatif yang diindikasikan dengan kontribusi dalam pembangunan bersifat minoritas. Realitas ini yang mendorongnya untuk mencari akar penyebabnya secara mendasar dan kemudian menawarkan solusinya(Nurhadi, 2013, p. 45)
Menurut Harun (2013: 39) pemikiran rasional mu'tazilaħ ini pun sudah mulai timbul kembali oleh pemuka-pemuka pembaharu Islām seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan sebagainya dan pada akhirnya pandangan-pandangan negatif terhadap mu'tazilaħ pun mulai berubah. Seperti mengenai paham fatalisme yang telah membuat umat Islām mundur. Di dalam Al-'urwaħ al-Wusqa 'Abduh dan Al-Afghni menjelaskan bahwa paham kada dan kadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islām maju. Untuk itu, paham fatalisme yang  terdapat di kalangan umat Islām saat ini perlu diubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan layaknya paham mu'tazilaħ. Menurut Harun, inilah yang akan menimbulkan kedinamisan kembali umat Islām kembali (Nasution, 2011: 57).
Masih menurutnya (Supriadi, 2009, p. 42)bahwa yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islām seperti golongan mu'tazilaħ, asy’ari, māturĪdiyaħ dan sebagainya sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan teks wahyu yang lain. Dengan kata lain, ijtihād ulama yang satu dengan ijtihād ulama yang lain mengenai penafsiran wahyu. Islām memandang akal tidak lebih tinggi dari wahyu. Hanya disayangkan, di kalangan umat Islām khususnya masih merasa curiga dan takut terhadap pendapat-pendapat mu'tazilaħ dan para filosof muslim, karena mereka dianggap tidak mengindahkan wahyu. Padahal mereka juga meyakini wahyu, mereka pun meyakini teks ajaran Islām yang qath’iy al-wurud dan qath’iy al-dilalah yang absolut dan benar datangnya dari Allāh. Tetapi teks demikian sangat sedikit jumlahnya, sehingga adalah sebuah keniscayaan jika pemikiran Islām dapat berkembang.
Selain pembela pemikiran rasional mu'tazilaħ, Harun juga menyingkap pemikiran Muhammad Abduh yang menurutnya adalah tokoh rasionalis muslim sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Pemikiran Muhammad Abduh –menurutnya- tak jauh berbeda dengan mu'tazilaħ. Dalam penelitiannya yang akhirnya menjadi disertasi dan dibukukan dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Mu'tazilaħ, Harun (1987: 92) menemukan bahwa pemikiran teologi yang dianut oleh Muhammad Abduh banyak memiliki kesamaan dengan teologi mu'tazilaħ, bahkan ia mengatakan bahwa Abduh menggunakan kadar akal yang lebih banyak/tinggi dibanding mu'tazilaħ. Akal, menurut Abduh bukan hanya dapat mengetahui empat hal pokok (mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebajikan dan kejahatan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat) seperti yang disebut kau mu'tazilaħ, tetapi di atas itu mempunyai dua kemampuan lain yakni, dapat mengetahui adanya kehidupan akhirat dan mengadakan hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui oleh akal itu dan mengajak manusia untuk tunduk kepada hukum itu. Abduh (Shihab, 2006, p. 16)sepertinya ingin membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlĪd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya ulama terdahulu sebelum timbulnya perpecahan, yakni dengan memahami langsung dari sumber pokoknya Alqurān. Menurutnya pula (2006: 22) Alqurān tidak menggunakan metode seperti yang digunakan oleh ajaran-ajaran agama lain, karena Alqurān tidak menuntut begitu saja apa yang telah disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka.Muhammad Abduh –menurut Harun- terlihat lebih meletakkan kadar keadilan Tuhan lebih besar dibanding kuasa Tuhan, menganggap Alqurān tidak qadĪm melainkan diciptakan, mengenai manusia yang tidak bisa melihat Tuhan di akhirat, semua pendapat itu sama halnya konsep kaum mu'tazilaħ (Nasution, 1987: 94). Betapa pun, Abduh mengakui bahwa ada masalah keagamaan yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Ia tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Rasūl (wahyu), khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau permasalahan 'ibādaħ (Shihab, 2006, pp. 22-23).
Shihab (Shihab, 2006, p. 51)mengatakan bahwa motivasi dari tindakan yang dilakukan oleh Abduh adalah merasionalkan ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah gaib yang kesemuanya merupakan penyebab tumbuh suburnya israiliyyat. Shihab melanjutkan bahwa usaha lainnya ialah untuk mengantarkan masyarakat mengetahui sunnaħ Allāh (hukum alam dan masyarakat) yang merupakan salah satu aspek tujuan turunnya Alqurān. Namun menghadapi tekanan khurāfaħ di satu segi dan kekaguman kepada kemajuan ilmu pengetahuan di segi lain, telah menimbulkan pengarūḥ -pengarūḥ  tertentu dalam pikiran aliran ini, yaitu kehati-hatian yang mendalam menyangkut hal-hal yang bersifat suprarasional serta kecenderungan untuk menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hukum-hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia, atau dengan kata lain “menakwilkannya sehingga sejalan dengan apa yang mereka namakan logis”. Abduh lupa bahwa hukum-hukum alam tiada lain hanyalah “ikhtisar pukul rata statistik”, dan apa yang diketahui darinya barulah sebagian dari keselurūḥ an.
Untuk memperkuat dugaannya, Harun mengutip pendapat Syaikh Al-Azhar, Sulaimān ad-dunyā yang dalam bukunya menyatakan pula bahwa 'Abduh memiliki konsep teologi di atas posisi mu'tazilaħ. Syaikh 'Abd al-HalĪm Maḥmūd –mantan rektor Al-azhar- mengatakan, “Apa yang ditempuh oleh Abduh adalah sejalan dengan aliran Mu'tazilaħ, baik dalam prinsip-prinsip yang dianutnya maupun dalam tujuan-tujuan yang ingin dicapainya” (Shihab, 2006, p. 36).
Memang, pemikiran Abduh terkenal akan rasionalitasnya, tetapi hampir semua menolak berkata kalau ia penganut mu'tazilaħ, karena memang merasa bahwa Abduh adalah ahl as-sunnaħ. Hal ini sebagaimana yang Harun ceritakan sendiri ketika mendapat undangan dari Kedutaan sebuah negara. Ia berkata: “Saat itu kulihat ada Bung Hatta, M.Natsir, dan beberapa ulama duduk bersama sambil makan. Kami memang sudah saling berkenalan. Lalu Hatta berkata, ‘Aku dengar anda sudah selesai doktornya?’ ” “Sudah bung” jawab Harun. “Mengapa tidak dipublisir untuk kita dengar pendapat anda?”. Lalu Harun menjawab, “Muhammad Abduh ternyata mempunyai pendapat-pendapat mu'tazilaħ” langsung saja salah seorang dari mereka menanggapi, “naudzubi allāh” lalu Harun berkata, “Pak Hatta! Bagaimana jadinya kalau hal itu saya katakan kepada orang lain. Jagoannya saja mengatakan begitu.” (Aqib Suminto, 1989, p. 38).
Selanjutnya Harun juga menulis buku Falsafat Islām. Buku ini berisi mengenai cara berfikir tentang dasar-dasar agama, mencoba memahami dasar-dasar itu menurut logika dan dengan demikian dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima akal kepada orang yang tidak percaya pada wahyu dan hanya berpegang pada pendapat akal. Misalnya saja mengenai keberadaan Tuhan. Dalam setiap babnya Harun memberikan argumen-argumen rasional yang dapat diterima oleh semua kalangan, bahkan ateis. Menurutnya, pengetahuan agama tidak selalu menggunakan wahyu, melainkan juga dengan penggunaan bukti-bukti historis, argumen-argumen rasional, dan pengalaman pribadi. Ia menyatakan bahwa ‘pendekatan rasional’ tentang agama dapat mempertebal keimanan seseorang (Nasution, 1973: 5-11). Dalam buku ini sesungguhnya ia berusaha untuk membuktikan ajaran Islām sangat rasional dan dapat dibuktikan. 
Seperti yang telah dipaparkan di atas, latar belakang Harun melakukan rasionalisasi dalam Islām dikarenakan minimnya produktivitas umat muslim. Untuk itu, ada beberapa saran yang dianjurkan olehnya (Nasution, 1973: 201) untuk membawa umat muslim kembali jaya, diantaranya (a) umat Islām harus kembali ke ajaran yang sebenarnya, (b) siap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan dan pintu ijtihād dibuka. Ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Alqurān ḥadĪṡ sebagai patokan terhadap perincian-perinciannya yang cara pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, (c) dinamika umat Islām harus dibangkitkan lagi dengan menyuburkan pemikiran rasional mu'tazilaħ dan menjauhkan paham jabariyah. Umat muslim harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha lebih maksimal, (d) pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, (d) dalam bidang politik, pemerintahan absolut harus diubah menjadi pemerintahan demokratis. Kedalam dunia Islām harus dimasukkan sistem pemerintahan konstitusional.

3.     Bidang Politik (Negara)

Jarang yang mengetahui bahwa Harun Nasution juga memiliki ketertarikan dengan masalah perpolitikan karena memang hampir semua karyanya lebih concern terhadap aspek teologi. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, ternyata thesis yang dikerjakannya mengenai politik Islām di Indonesia terutama mengenai konsep politik Islām menurut Masyumi. Dalam thesis itu ia berkesimpulan bahwa terjadi persinggungan antara golongan sekuler dengan golongan Islāmis dalam permasalahan penegakkan Negara Islām di Indonesia tidaklah dimenangkan oleh salah satu pihak, karena ternyata akhirnya yang menang adalah konsep Pancasila. Dengan pancasila itu Indonesia tidak menjadi Negara agama tertentu dan juga bukan Negara sekuler tetapi menjadi Negara bertuhan dan Harun menyatakan bahwa pancasila dan UUD 1945 adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islām.
Menurut analisisnya(Aqib Suminto, 1989, pp. 220-221)bukan hanya seputar Negara Islām, bahkan soal Negara saja tidak ada ayat atau hadits yang dengan secara tegas menyebutkan pembentukkan pemerintahan atau Negara di dalam Islām. Kalaupun ada, itu hanya berdasarkan ijtihād dari surat An-Nisa ayat 59. Tetapi ia mengatakan bahwa kepentingan Negara sejalan dengan kepentingan agama, karena itu mengadakan Negara atau pemerintahan dalam Islām adalah fardu kifāyaħ.Untuk itu, menurutnya ajaran-ajaran Islām yang original dalam lapangan kenegaraan hanyalah dalam prinsip-prinsipnya saja dan prinsip-prinsip tersebut tidak menunjuk secara spesifik kepada sebuah model tertentu tentang bentuk Negara dan susunannya. Dalam sejarah –masih menurutnya- telah terjadi berbagai macam perubahan dalam masalah kenegaraan. Di masa Nabi prinsip-prinsip itu dijelmakan ke dalam bentuk Negara teokratis dan berubah menjadi sebuah Negara republik demokratis di zaman Khulafā al-rasyiidaħ. Selanjutnya berubah lagi menjadi monarki absolut di zaman dinasti-dinasti, berubah lagi menjadi monarki konstitusional (kekuasaan raja yang absolut mulai dibatasi oleh konstitusi) dan pada era modern kontemporer ini kembali mengambil bentuk republik demokratis. Agaknya model itulah –menurutnya- yang lebih sejalan dengan Alqurān dan sunnaħ (Aqib Suminto, 1989, pp. 223-228).
Adapun prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah negara menurut Harun Nasution (Aqib Suminto, 1989, pp. 228-229)pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh Negara itu, yakni untuk mewujudkan masyarakat beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa yang didalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dam keadilan. Sedangkan prinsip-prinsip yang harus dijelmakan pada penyelenggaraan Negara adalah pemerintah haruslah bersifat adil dan demokratis. Organisasi pemerintahan bersifat dinamis, maksudnya apakah susunan pemerintah itu presidensial atau parlementer bukanlah suatu masalah. Sedangkan kedaulatan adalah ditangan rakyat di bawah bimbingan prinsip-prinsip Alqurān dan ḥadĪṡ. Sumber hukum tertinggi dalam Negara adalah Alqurān dan sunnah yang penerapannya memerlukan ijtihād. Negara mempunyai hak dan kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang dalam terminologiIslām klasik disebut Qānūn untuk membedakannya dengan fikiħ yang dibentuk oleh para ulama.
Ketertarikannya kepada permasalahan negara itulah yang membuat ia meminta Munawir Syadzali untuk mengajar fikiħ as-siyāsii kepada mahasiswa S3 IAIN supaya mahasiswa Islām Indonesia paham mengenai permasalahan ketatanegaraan(Syadzali, 2003, p. ix).

4.     Hak Asasi Manusia

Selain perihal teologi, filsafat, dan tata Negara, Harun juga memiliki perhatian terhadap isu-isu internasional seperti hak asasi manusia. Maka dari itu ia pernah memberikan kata pengantar dalam sebuah buku yang membahas mengenai hak asasi manusia dalam Islām. Menurutnya HAM memang diajarkan oleh Islām dalam konsep tauḥidnya. Karena semua manusia hanyalah makhluk maka dari itu semua manusia adalah sama, bersaudara, dan bebas sehingga tidak boleh ada perbudakan di kalangan manusia. Ia mengutip ayat-ayat Alqurān seperti surat Al-A’raf ayat 189, An-Nisa ayat 4, Al-Hujarat ayat 13 dan ḥadĪṡ untuk memperkuat alasannya itu. Tetapi –menurutnya- kebebasan dalam Islām ada batasnya dan memiliki kewajiban-kewajiban disamping memiliki hak. Kebebasan mengeluarkan pendapat tidak boleh melanggar kepentingan umum. Kebebasan mengumpulkan harta juga tidak boleh merugikan masyarakat. Kebebasan mengelola alam juga tidak boleh sampai merusak alam. (Harun Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, pp. vi-xii)
Ia juga berpedapat bahwa terdapat perbedaan besar antara kebebasan dan hak asasi yang dikembangkan di luar agama dengan ide kebebasan hak-hak asasi dalam Islām karena paham hak asasi dan kebebasan yang dibawa pemikir sekuler ke Indonesia mengutamakan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum(Harun Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, p. xii).

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Pemantang Siantar, Sumatera Utara. Awalnya ia disurūḥ  oleh orang tuanya untuk masuk sekolah Belanda, HIS. Setelah selesai di HIS lalu ia melanjutkan pendidikannya ke Modern Islāmietische Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukit Tinggi, yakni sekolah guru menengah pertama swasta modern milik Abdul Ghaffar Jambek. Karena sekolah swasta saat itu masih miskin, akhirnya tidak tidak dilanjutkan. Lalu Harun diperintahkan orang tuanya untuk belajar di ‘Arab  Saudi. Tidak lama dari ‘Arab , ia pergi ke Meṣir hingga akhirnya diterima sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Universitas Amerika. Setelah mendapat gelar BA di Universitas Amerika, ia mendapat tawaran kuliah di Universitas McGill dan akhirnya mendapat gelar MA hingga doctor. Setelah itu ia bekerja di beberapa tempat hingga akhirnya pulang ke Indonesia dan menjadi dosen di IAIN. Selang beberapa waktu ia diangkat menjadi rector. Harun meninggal pada 18 September 1998 di Jakarta.
Harun memfokuskan dirinya pada aspek filsafat dan teologi walaupun aspek-aspek lain juga tidak dilupakan seperti mengenai politik, dan isu-isu internasional. Menurutnya umat Islām di Indonesia perlu meningkatkan kualitasnya dengan cara berfikir rasional. Ia menyatakan bahwa paham jabariyah –yang telah subur di Indonesia- menjadi salah satu penyebab stagnansi dinamika pemikiran umat Islām. Untuk itu Harun memberi solusi berupa membangun kembali pemikiran rasional mu'tazilaħ supaya umat muslim di Indonesia dapat maju di era modern ini.

B.   Saran
















Daftar Pustaka


Abaza, M. (1999). Pendidikan Islām dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Biografi Harun Nasution. (n.d.). Retrieved Febuari Rabu, 2015, from Wikipedia.org.
Harun Nasution & Bahtiar Effendy. (1987). Hak Asasi Manusia dalam Islām. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nasution, H. (1973). Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2009). Islām Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Vol. 2). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2011). Pembaharuan dalam Islām: Sejarah Pemikiran dan Pergerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (2013). Islām Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Vol. 1). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2013). Teologi Islām: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Nurhadi. (2013). Harun Nasution: Islām Rasional dalam Gagasan dan Pemikiran. Jurnal Edukasi Vol.I No.I.
Nurhadi, R. (n.d.). Neo-Mu'tazilisme Harun Nasution dan Kebangkitan Islām Indonesia. Jurnal.
Qodir, Z. (n.d.). Wajah Islām Liberal di Indonesia: Sebuah Penjajagan Awal. Jurnal
Rasyidi, H. (1973). Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang "Islām Ditinjau dari Berbagai Aspeknya". Jakarta: Bulan Bintang.
Suminto, A. (1989). Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islām: 70tahun Harun Nasution. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Shihab, Q. (2006). Rasionalitas Alqurān: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar. Jakarta: Lentera Hati.
Supriadi, D. (2009). Pengantar Filsafat Islām: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia.
Syadzali, M. (2003). Islām dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.


Komentar

  1. apa yang anda pikirkan setelah membaca profil harun nasution? bagaimana pendapat anda mengenai pemikirannya?

    BalasHapus
  2. sebelum saya menjawab. bagaimana menurut anda sendiri?

    BalasHapus
  3. Saya tuh Tanya mas, malah balik Tanya gimana sih

    BalasHapus
  4. menurut pandangan pribadi saya mengenai sosok Alm.Harun Nasution, beliau telah sangat berjasa bagi perkembangan kamajuan (modern) keislaman di Indonesia. Beliau telah berusaha untuk membuka pintu bagi sarjana Indonesia untuk menimba ilmu di dunia Barat. Tetapi tentu ada plus minus.

    BalasHapus
  5. 1. terlalu menegatifkan kaum sufi/tarekat
    2. dari beberapa buku yang saya baca (pandangan subjektif saya) pak Harun agak sombong dan menjelekkan pandangan ulama klasik
    3. pendidikan yang diinginkan oleh pak Harun sepertinya adalah sesuatu hal yang serba rasional, seakan (dalam tulisannya) tidak terlalu mementingkan (menomorduakan) masalah spiritual

    BalasHapus
    Balasan
    1. jika mas mahasiswa gau lau lebih dalam, pak harun menghargai sufi, di usianya yang mulai beranjak senja ia berguru dan belajar tasyawuf ke pondok pesantren suryalaya (abah anom).. halayak guru2 filsafat saat ini di uin jakarta, beranjak mereka mempelajari tasyawuf lebih dalam. bukan hanya belajar, akan tetapi penerapan dalam kehidupanya pula.

      Hapus
    2. @mazied >> betul sekali mas mazied. Tp sepertinya beliau memang tdk menyamarakan tasawuf. Makanya ada yg ia "ejek" ada pula yg ia hargai. Ya seperti tarekat TQN-nya abah anom.

      Betul juga kata mas mazied, saya pun mengamati fenomena ini di mana pecinta filsafat akan diiringi dengan kecintaan pada tasawuf. Tak terkecuali saya pribadi :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m