HARUN NASUTION: BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA
Diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pemikiran Islām Kontemporer yang diampu oleh Dr. Endis
Firdaus, M.Ag dan Cucu Surahman, M.Ag, MA
Oleh
M. Jiva Agung (1202282)
PROGRAM STUDI ILMU
PENDIDIKAN AGAMA ISLĀM
FAKULTAS PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan kepada Allāh karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya saya
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Harun Nasution: Biografi dan Pemikirannya”.
Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Maka dari itu, harapan saya semoga makalah ini dapat membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, tak lupa juga kritik
konstruktif dan saran yang membangun dari anda sangat kami harapkan untuk
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Akhir kata, semoga makalah yang saya buat ini dapat memberikan wawasan dan
pemahaman yang lebih luas kepada kita semua. ĀmĪn.
Bandung, 14 Februari 2015
Penyusun
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah Islām, mulanya berkembang pemikiran rasional tetapi
kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada
zaman klasik Islām. Pemikiran rasional ini dipengarūḥ i oleh persepsi tentang
bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam paparan Alqurān
dan ḥadĪṡ. Sedangkan pemikiran tradisional
berkembang pada zaman pertengahan Islām (1250-1800 M). jadi, hingga abad ke-18
umat Islām berada di abad kejumudan. Baru pada akhir abad 18 atau awal abad 19
munculah tokoh-tokoh pembaharu yang peduli akan Islām saat ini. Munculnya
pembaharu-pembaharu dalam Islām adalah karena adanya ide-ide pembaharuan yang
ingin dimunculkan agar Islām bisa mendapatkan kejayaannya kembali. Maka
muncullah tokoh seperti Jamāl ad-dĪn Al-AfghānĪ, Muḥammad ‘Abduħ, dan sebagainya sebagai motor penggerak pembaharu
Islām. Kedaan seperti ini tertular pula ke lingkungan Indonesia. Muncul
cendikiawan muslim Harun Nasution. Ia adalah sosok ilmuan muslim dan salah
seorang tokoh pembaharu yag sangat terkenal dan cukup disegani oleh kalangan
intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri. Setiap kali orang
mendengar namanya pasti akan terbayang sosok seorang rektor IAIN Jakarta yang
memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional
bahkan liberal. Ia juga hadir karena ingin memunculkan ide-idenya yang
menurutnya selama ini terjadi kesalahpahaman tentang Islām itu sendiri.
Ada beberapa pemikiran Harun Nasution yang akan saya angkat dalam
makalah ini yang kesemuanya tidak jauh dari permasalahan mengenai pembaharuan Islām
di era modern. Dengan mengetahui latar belakang, pemikiran, dan solusi yang ditawarkan
oleh Harun, akan menambah kekayaan keilmuan keIslāmaan yang semoga dapat
dimanfaatkan demi kemajuan perkembangan Islām itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan
makalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Harun Nasution?
2. Bagaimana pemikiran Harun Nasution?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam penulisan makalah adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
biografi Harun Nasution.
2.
Mengetahui
pemikiran Harun Nasution.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di
Pemantang Siantar, Sumatera Utara. Bapaknya adalah seorang kadi (penghulu)
setempat. Menurut penuturannya, sang ayah sering membaca kitab kuning berbahasa
Melayu, suka berkunjung atau berdiskusi
dengan banyak orang yang mengetahui agama. Sang ayah menikah dengan
ibunya yang semarga. Padahal dalam hukum adat itu adalah terlarang. Tetapi
ayahnya melarang adat. Akibatnya ayahnya perlu membayar denda dan akhirnya
pergi ke Pemantangsiantar. Disana lah ia dilahirkan. Ia menjadi anak keempat
dari lima bersaudara(Aqib Suminto, 1989, p. 4) .
Awalnya ia disurūḥ oleh
orang tuanya untuk masuk sekolah Belanda, HIS. Di rumah, ia belajar ngaji dan
menulis bahasa ‘Arab di sekolah (HIS). Meskipun
sekolah umum tapi pelajaran menulis ‘Arab diberikan, karena masyarakat pada masa itu
masih menggunakan tulisan ‘Arab Melayu (Aqib Suminto, 1989, p. 7) .
Harun mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 9) bahwa sejak kecil
beliau sudah sering merepotkan guru-gurunya atau orang tuanya karena selalu
bertanya: mengapa ini begini, mengapa begitu. Seperti waktu itu, ayahnya
walaupun menentang jajahan Belanda, tetap saja memiliki faham fatalis. Ia
berpendapat bahwa datang perginya Belanda terserah Allāh. Karena jika
dikehendaki Allāh, Belanda akan pergi dengan sendirinya. Untuk itu sang ayah
menyarankan kepada anak-anaknya untuk tidak terlalu rebut-ribut menyoalkan
urusan perpolitikan. Beliau tidak bisa menerima begitu saja suatu pendapat
tanpa ada dialog.
Setelah selesai di HIS lalu ia melanjutkan pendidikannya ke Modern
Islāmietische Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukit Tinggi, yakni
sekolah guru menengah pertama swasta modern milik ‘Abd al-Ghaffār Jambek,
putera Syaikh JamĪl Jambek. Disana bernuansa modern. Ia memakai dasi, dan diajarkan
di sekolah bahwa memelihara anjing tidak haram, tidak perlu berwudhu jika ingin
memegang Alqurān, tidak perlu merisaukan pemakaian uṣallĪ, dan sebagainya. Ia merasa sekolah
ini sangat cocok dengan pemikirannya (Aqib Suminto, 1989, p. 7) .
Belum selesai sekolahnya –karena sekolah swasta saat itu masih
miskin- sang Ibu memaksanya untuk berguru ke Mekkaħ. Harun menerimanya walaupun
sebenarnya lebih senang pergi ke Meṣir. Saat tiba di Mekkaħ. Ia merasa kasihan
(baca: malu) kepada keadaan Mekkaħ saat itu layaknya abad pertengahan. Padahal
saat itu sudah abad ke-20. Disana tidak ada mobil, yang ada hanya unta dan
keledai. Jalanan penuh debu, pasir, kotor, penuh lalat. Orang-orangnya pun
masih berpakaian tradisional. Sayangnya, karena kurang fasih berbahasa ‘Arab ,
ia tidak bersekolah dan hanya membaca buku-buku berbahasa Belanda hingga
akhirnya ia memaksa orangtuanya untuk bisa pergi ke Meṣir. (Aqib Suminto, 1989, pp. 9-11)
Setelah belajar beberapa bulan guna mempersiapkan diri untuk
sekolah di Al-Azhar, akhirnya ia diterima sebagai mahasiswa Fakultas Uṣul ad-dĪn. Disana beliau lebih unggul
dibandingkan teman-temannya dalam bidang bahasa seperti Inggris, dan Perancis.
Sembari kuliah di Al-Azhar, ia juga kuliah di Universitas Amerika, Kairo.
Disana ia mengambil Fakultas Pendidikan, tetapi karena keadaan di Indonesia
sedang semerawut, kuliahnya pun terbengkalai disebabkan tidak adanya kiriman
uang. Untungnya ia sempat mendapat gelar BA dalam Studi Sosial di Universitas
Amerika pada tahun 1952(Aqib Suminto, 1989, p. 14) .
Saat di Meṣir ia mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 16) juga aktif dalam
masalah perpolitikan di Perpindom yang terkadang membicakan soal perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Diantara usahanya adalah memperkenalkan Indonesia kepada
rakyat Meṣir, terutama pemimpinnya. Sementara untuk Indonesia ia beserta
rekannya membuat karangan tentang perkembangan politik dan pendidikan di Meṣir.
Semangat terjunnya ke dunia politik diakuinya dikarenakan sedang bergemanya
nasionalisme di Meṣir.
Setelah memperoleh informasi bahwa Indonesia sudah merdeka. Harun
dan kawan-kawan langsung menerjemahkan informasi kemerdekaan Indonesia ke dalam
bahasa ‘Arab dan Inggris. Lalu diberikan
ke ‘Azzām. Juga mengirim ke surat-surat kabar seperti Jam’iyyaħ Al-ikhwān al-muslimĪn. Berbagai cara dilakukan seperti
nama Presiden Soekarno ditambah dengan Ahmad di depannya. Kemudian M. Hatta
dipenuhkankan menjadi Muḥammad Hatta. Dari sinilah dunia ‘Arab mengenai Indonesia telah merdeka dan banyak
dari mereka yang langsung menyokong kemerdekaan Indonesia (Aqib Suminto, 1989, p. 23) .
Selanjutnya ia bekerja di kantor Perwakilan RI, Kairo. Duduk di
bagian Inggris. Lalu disurūḥ pulang pada tahun 1953 untuk mengenal keadaan
di Indonesia. Setiap hari ia masuk kantor di Departemen Luar Negeri di bagian
Timur Tengah. Setahun kemudian ia ditugaskan sementara ke ‘Arab Saudi untuk membantu persoalan haji (Aqib
Suminto, 1989, pp. 25-26) .
Pada akhir Desember 1955 ia (Aqib Suminto, 1989, pp. 27-36) dipindah kerja ke
Belgia, tepatnya bekerja di Kedutaan RI di Brussels. Beberapa tahun kemudian,
ia pindah ke Meṣir dan kembali sekolah di Al-dirāsaħ Al-Islāmiyyaħ. Ia
senang karena disini tidak menggunakan cara lama seperti menghafal seperti si
Al-Azhar. Disana –menurutnya- sudah rasional. Salah satu dosennya ialah AbĪ Zahraħ. Tetapi karena tidak puas,
beliau keluar dan pindah ke McGill University atas permintaan H.M Rasyidi. Di
sinilah ia benar-benar mengenal Islāmyang menurutnya sangat rasional.
Sebab utama kekurangsenangannya terhadap semua lembaga pendidikan
yang pernah ia duduki ialah karena sifat penekanan kepada hafalan. Berbeda
ketika ia kuliah di Kanada yang metodenya lebih dengan berdiskusi. Untuk itu
proses memahami, menelaah, membandingkan, menganalisa, sudah biasa dilakukan
disana bahkan diperbolehkan untuk berbeda pendapat dengan dosen. (Aqib Suminto, 1989, p. 90) . Setelah kuliah
selama dua tahun setengah ia mendapat gelar MA dengan tesis mengenai Negara Islām
di Indonesia, dilanjutkan dengan kuliah doktornya di tempat yang sama. Disana
ia memiliki nilai yang baik, dengan perolehan rata-rata B+ atau A. Setelah
mendapat gelar doctor, ia ditawari berkerja di IAIN dan UI, tetapi jodohnya
ternyata di IAIN hingga akhirnya pada tahun 1973 diangkat sebagai rektor(Aqib
Suminto, 1989, pp. 39-41) . Hingga meninggal di Jakarta tanggal 18
September 1998 (Wikipedia.org).
B.
Pemikirannya
Harun Nasution dikenal umum sebagai seorang cendikiawan muslim yang
sangat rasional dan liberal. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar
kaum muslim Indonesia berfikir secara rasional (Wikipedia.org). Ia juga
mengajurkan sepatutnya kita dapat meniru SyĪ’aħ yang sudah berfikir rasional (Aqib Suminto, 1989, p. 59) . Karena pemikirannya
ini banyak kalangan yang menolak, tetapi ada juga yang memberi apresiasi. Ia
merasa heran mengapa umat Islām harus saklekpadahal ajaran Islām
memberikan ruang yang begitu luas kepada umat muslim untuk bisa berinovasi. Menurutnya
ajaran Islām yang qaṭ’iyyaħ cuma sedikit, seperti Tuhan itu ada dan Esa,
keharaman riba dan memakan daging babi serta khamr. Sedangkan sisanya adalah
ayat-ayat yang masih bersifat dzann’iy dilalah
bahkan kalau ḥadĪṡ masih ada yang bersifat dzann’iy
al-wurud. Untuk itu, menurutnya semua aspek –bukan hanya aspek fikiħ-
dalam Islām masih banyak yang bisa kita inovasi tanpa merubah esensi ajarannya.
Ia memberi contoh, dalam bidang akidah pun ada yang bersifat dzann’iy dilalah dan dzann’iyal-wurud
seperti perihal rukun iman keenam. Karena menurutnya Alqurān tidak menyebutkan kada
dan kadar. Beliau juga setuju dengan sistem penyatuan kelas antara laki-laki
dan perempuan. Karena menurutnya tidak ada dalil yang secara terang-terangan
melarang itu. Bahkan mengenai hukum waris ia setuju dengan pendapat Munawir
Syadzali (Aqib Suminto, 1989, pp. 54-57) .
Harun menyatakan bahwa keadaan statis yang melanda di tubuh umat
muslim saat ini ialah karena merasa terikat pada ajaran-ajaran bukan dasar yang
dihasilkan oleh zaman silam (ijtihād). Sebagai gantinya diperlukan ajaran bukan
dasar (ijtihād) baru dengan menimbulkan penafsiran baru dari ajaran dasar yang
terdapat dalam Alqurān dan hadits yang disesuaikan dengan tuntutan zaman
(Nasution, 2009: 114).
Karena begitu rasionalnya, tidak banyak dari kalangan awam yang
mengenalnya sebagai seorang ustadz. Untuk itu
Azyumadri Azra (Abaza, 1999, p. xxi) menyatakan bahwa
walaupun Harun sangat pantas disebut sebagai ulama (baca: ustadz), namun
realitas sosiologis di kalangan umat Islām menyatakan lain. Ia lebih dikenal
orang sebagai tokoh intelektual. Harun sendiri mengakuinya dengan berkata:
“Aku sendiri memang kurang bisa berbicara dengan kebanyakan orang.
Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk
berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng
kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk akal bagiku. Aku pun dipaksa, aku
memang datang juga membicarakan apa yang kumiliki. Tapi mereka mengantuk, atau
jika dipaksa terus, akhirnya kubilang tidak sanggup karena alasan sudah tua.
Namun kalau diajak diskusi aku selalu datang. Karena kebanyakan dari mereka
adalah dari kalangan intelektual yang mau berfikir rasional. Begitu pula kalau
aku mengarang. Karanganku diperuntukkan orang atas, bukan orang awam”(Aqib
Suminto, 1989, p. 60)
Ia melanjutkan:
“Harapanku memang Cuma satu, pemikiran Asy’ariyah
mesti diganti oleh pemikiran rasional mu'tazilaħ, pemikiran para filosof atau
pemikiran rasional. Caranya cuma bisa dengan memegang para penguasanya saja.
Sayangnya selama ini yang berdakwah banyak dari golongan awam. Golongan
intelektual di Indonesia ini tidak kelihatan yang jadi juru dakwah.”(Aqib
Suminto, 1989, p. 61)
Berbeda dengan kaum abangan atau ulama yang bercorak fundamentalis,
kaum cendekiawan terlebih yang sepemikiran dengannya, agaknya banyak memberikan
pujian atau apresiasi terhadap hal-hal yang telah ditorehkan oleh Harun.
Misalnya saja Zuly Qodir yang menyatakan bahwa peran Harun Nasution demikian
besar dalam pengembangan citra IAIN Jakarta menjadi sebuah mazhab tersendiri
dalam peta pemikiran Islām Indonesia, menggeser posisi ITB, UNPAD, UGM, Unbraw.
(Qodir, p. 15) Juga ada mantan Menteri Agama Munawir
Syadzali yang pernah mengatakan:
“Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau
di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan
menggalakkan keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar”(Aqib
Suminto, 1989, p. viii) .
Nurcholis Madjid seorang cendekiawan muslim terkemuka bahkan di
kalangan orientalis mengatakan:
“Orang semacam Harun telah memberikan ‘bekas’ terhadap perkembangan
keIslāman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum dimana orang berani
berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang
sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia
mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu
dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara
teknis disebut learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar.”(Aqib Suminto, 1989, pp. 102-103)
Madjid melanjutkan:
“Yang secara substansi bisa
kita teruskan dan kita kembangkan dari Pak Harun ialah studi atau kajian
mengenai kalam (teologi) dan filsafat. Kalam oleh para ahli Barat disebut
teologi rasional, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Kalam itu sangat
dialektis dan logis.”(Aqib
Suminto, 1989, p. 104)
Menurut Madjid (Aqib Suminto, 1989, p. 109) salah satu efek dari
Harunisme adalah membuat agama menjadi lebih fungsional, tidak hanya simbol-simbol
yang sentimental dan penuh perasaan. Harun Nasution –menurut Madjid- tidak suka
pada dzauqqiyat tapi aqliyyaħ.
Kalau dzauq saja, para pengikut kultus jauh lebih mantap, lebih puas
daripada orang yang beragama. Karena apa? Karena guru-guru kultus selalu
mengatakan: “ikut saya, pasti masuk surga.” Madjid juga menyangsikan sikap
beberapa sarjana yang menyatakan bahwa pembaharuan teologis tidak akan
berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi masyarakat. Padahal menurutnya salah.
1.
Perubah Mind-Set IAIN
IAIN sebagai
lembaga tinggi Islām sudah pasti diharapkan oleh kalangan muslim di Indonesia
sebagai lembaga yang dapat memberikan solusi terhadap segala permasalahan
agama. Untuk itu disana para mahasiswa dikader untuk bisa menjadi ulama yang
menyebarkan Islām ke selurūḥ wilayah
Indonesia. Sayangnya, pada mulanya perkuliahan di IAIN mengacu kepada metode
Al-Azhar di Meṣir, dengan titik berat tekanan kepada mazhab
Syāfi’i. Pada masa itu mata kuliah perbandingan mazhab saja masih dirasakan
asing bagi sementara mahasiswa. Setelah perkuliahan semacam ini berjalan
belasan tahun, kemudian dipertanyakan mengapa lulusan IAIN berwawasan sempit,
tidak berfikiran rasional dan pada umumnya hanya “berorientasi akhirat” semata.
Hal ini dikemukakan oleh Menteri Agama Mukti Ali dalam musyawarah Rektor IAIN
di Ciumbuleuit tahun 1973. Untuk itu perlu –menurutnya- perlu dibentuk
kemampuan berfikir rasional. Mahasiswa perlu dikenalkan dengan aspek ilmu
kalam, taṣawuf, filsafat Islām, bahkan filsafat barat. Hasil dari musyawarah tersebut
akhirnya merestui adanya mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama” yang harus berikan
kepada selurūḥ mahasiswa IAIN di
Indonesia yang mempelajari Islām dari segala aspeknya (Aqib Suminto, 1989, pp. x-xi) . Buku Harun Nasution
yang berjudul Islām ditinjau dari berbagai aspeknya dipilih menjadi buku
wajib pada mata kuliah Pengantar Ilmu Agama. Dari sanalah akhirnya pemikiran
IAIN sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih terbuka dan rasional.
Menurut
Nasution (2013: 28) untuk menghilangkan kesalahpahaman, perlu mengetahui Islām
dari segala aspeknya. Memang tidak mudah, tetapi yang dimaksudkan disini ialah
hanya mengetahui secara garis-garis besarnya saja. Sebagai dasar, pengetahuan
yang demikian sudah cukup. Kemudian barulah setiap orang boleh mengambil
spesialisasi sesuai kesenangan atau bakatnya.
Di dalam
bukunya ia menjabarkan apa dan bagaimana agama itu, apa definisi Islām dalam
pengertian yang sebenarnya. Lalu mengklasifikasikan ajaran-ajaran Islām ke
dalam beberapa aspek seperti aspek 'ibādaħ, latihan spiritual, moral, aspek
sejarah dan kebudayaan, aspek politik, aspek perkembangan lembaga-lembaga
kemasyarakatan, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme, dan
aspek pembaharuan dalam Islām. Semua dijelaskan melalui pendekatan sejarah
sejak awal tumbuhnya Islām hingga zaman modern.
Tetapi tidak
semua menerima secara hangat buku karangan Harun. Seperti H.M Rasyidi dalam
bukunya yang mengkritik buku Islām ditinjau dari berbagai aspeknya
memandang Harun Nasution sebagai seseorang yang telah dipengarūḥ i oleh jalan
pikiran dan pendekatan orientalis yang tidak selamanya simpatik pada Islām,
bahkan merugikan (Aqib Suminto, 1989, p. 94) . Salah satunya ialah
mempersamakan ilmu kalam dengan ilmu teologi. Juga dalam aspek filsafat ia
–lanjut Rasyidi- terpengarūḥ dengan
konsep neo platonisme yang menganggap bahwa rūḥ dan daging manusia adalah
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (bersatu dengan Tuhan).
Padahal dalam Islām bukanlah begitu, melainkan kembali ke hadirat Tuhan (surga
atau neraka), bukan ke sisi Tuhan seperti bersatu dengan-Nya (Rasyidi, 1973, pp. 34-35) . Harun juga
melakukan kesalahan terbesar ketika menjelaskan politik dalam Islām, karena
yang dijelaskan bukanlah prinsip-prisip politik atau hal-hal yang berkaitan
dengan itu melainkan malah memaparkan sejarah kelam perebutan politik di
kalangan umat Islām(Rasyidi, 1973, pp. 56-71) .
Rasyidi juga
mengkritik Harun dengan menyatakan bahwa akal memang tidak bisa mengetahui
kebenaran. Untuk memperkuat argumennya ia mencantumkan ayat Dan Allāh Yang
Maha Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqaraħ [2]: 232) serta fakta yang terjadi di Barat mengenai
kegagalannya mendapatkan kebenaran(Rasyidi, 1973, p. 52) .
2.
Pembaharuan Islām: Sebuah
RasionalisasiAgama
Harun Nasution
disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pembaru Islām di Indonesia yang begitu
giat memperkenalkan kembali pemikiran rasional mu'tazilaħ.Maka wajar jika
Rasyidi mengatakan bahwa istilah Neo-Mu'tazilaħ akan langsung dialamatkan
kepada Harun Nasution karena ide dan gagasannya dalam mendobrak paham fatalisme
dan taklid buta yang dianut mayoritas muslim Indonesia serta berupaya
menghidupkan kembali teologi mu'tazilaħ yang serba rasional(Nurhadi R. , p. 4)
Tiada lain yang
menjadi latar belakang pembaharuan yang dilakukan oleh Harun Nasution
dikarenakan keprihatinannya kepada umat Islām yang secara kuantitatif bersifat
mayoritas, tetapi dari segi kualitatif yang diindikasikan dengan kontribusi
dalam pembangunan bersifat minoritas. Realitas ini yang mendorongnya untuk
mencari akar penyebabnya secara mendasar dan kemudian menawarkan solusinya(Nurhadi,
2013, p. 45)
Menurut Harun
(2013: 39) pemikiran rasional mu'tazilaħ ini pun sudah mulai timbul kembali
oleh pemuka-pemuka pembaharu Islām seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan sebagainya dan pada akhirnya pandangan-pandangan negatif terhadap mu'tazilaħ
pun mulai berubah. Seperti mengenai paham fatalisme yang telah membuat umat Islām
mundur. Di dalam Al-'urwaħ al-Wusqa 'Abduh
dan Al-Afghni menjelaskan bahwa paham kada dan kadar telah diselewengkan
menjadi fatalisme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung unsur dinamis yang
membuat umat Islām maju. Untuk itu, paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islām saat ini
perlu diubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
layaknya paham mu'tazilaħ. Menurut Harun, inilah yang akan menimbulkan
kedinamisan kembali umat Islām kembali (Nasution, 2011: 57).
Masih
menurutnya (Supriadi, 2009, p. 42) bahwa yang
dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islām seperti golongan mu'tazilaħ,
asy’ari, māturĪdiyaħ
dan sebagainya sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu, melainkan penafsiran
tertentu dari teks wahyu dengan teks wahyu yang lain. Dengan kata lain, ijtihād
ulama yang satu dengan ijtihād ulama yang lain mengenai penafsiran wahyu. Islām
memandang akal tidak lebih tinggi dari wahyu. Hanya disayangkan, di kalangan
umat Islām khususnya masih merasa curiga dan takut terhadap pendapat-pendapat mu'tazilaħ
dan para filosof muslim, karena mereka dianggap tidak mengindahkan wahyu.
Padahal mereka juga meyakini wahyu, mereka pun meyakini teks ajaran Islām yang qath’iy
al-wurud dan qath’iy al-dilalah yang absolut dan benar datangnya
dari Allāh. Tetapi teks demikian sangat sedikit jumlahnya, sehingga adalah
sebuah keniscayaan jika pemikiran Islām dapat berkembang.
Selain pembela
pemikiran rasional mu'tazilaħ, Harun juga menyingkap pemikiran Muhammad Abduh
yang menurutnya adalah tokoh rasionalis muslim sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas. Pemikiran Muhammad Abduh –menurutnya- tak jauh berbeda
dengan mu'tazilaħ. Dalam penelitiannya yang akhirnya menjadi disertasi dan
dibukukan dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Mu'tazilaħ, Harun
(1987: 92) menemukan bahwa pemikiran teologi yang dianut oleh Muhammad Abduh
banyak memiliki kesamaan dengan teologi mu'tazilaħ, bahkan ia mengatakan bahwa
Abduh menggunakan kadar akal yang lebih banyak/tinggi dibanding mu'tazilaħ.
Akal, menurut Abduh bukan hanya dapat mengetahui empat hal pokok (mengetahui
Tuhan, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebajikan dan kejahatan,
mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat)
seperti yang disebut kau mu'tazilaħ, tetapi di atas itu mempunyai dua kemampuan
lain yakni, dapat mengetahui adanya kehidupan akhirat dan mengadakan
hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui oleh akal itu dan mengajak manusia
untuk tunduk kepada hukum itu. Abduh (Shihab, 2006, p. 16) sepertinya ingin membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlĪd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya
ulama terdahulu sebelum timbulnya perpecahan, yakni dengan memahami langsung
dari sumber pokoknya Alqurān. Menurutnya pula (2006: 22) Alqurān tidak
menggunakan metode seperti yang digunakan oleh ajaran-ajaran agama lain, karena
Alqurān tidak menuntut begitu saja apa yang telah disampaikan, tetapi
memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan
menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan
mereka.Muhammad Abduh –menurut Harun- terlihat lebih meletakkan kadar keadilan
Tuhan lebih besar dibanding kuasa Tuhan, menganggap Alqurān tidak qadĪm melainkan diciptakan, mengenai
manusia yang tidak bisa melihat Tuhan di akhirat, semua pendapat itu sama
halnya konsep kaum mu'tazilaħ (Nasution, 1987: 94). Betapa pun, Abduh mengakui
bahwa ada masalah keagamaan yang sukar dipahami dengan akal namun tidak
bertentangan dengan akal. Ia tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan
manusia akan bimbingan Rasūl (wahyu), khususnya
dalam banyak persoalan metafisika atau permasalahan 'ibādaħ (Shihab, 2006, pp. 22-23) .
Shihab (Shihab,
2006, p. 51) mengatakan
bahwa motivasi dari tindakan yang dilakukan oleh Abduh adalah merasionalkan
ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah gaib yang kesemuanya merupakan
penyebab tumbuh suburnya israiliyyat. Shihab melanjutkan bahwa usaha lainnya ialah untuk
mengantarkan masyarakat mengetahui sunnaħ Allāh (hukum alam dan masyarakat)
yang merupakan salah satu aspek tujuan turunnya Alqurān. Namun menghadapi
tekanan khurāfaħ di satu segi dan kekaguman kepada kemajuan ilmu
pengetahuan di segi lain, telah menimbulkan pengarūḥ -pengarūḥ tertentu dalam pikiran aliran ini, yaitu
kehati-hatian yang mendalam menyangkut hal-hal yang bersifat suprarasional
serta kecenderungan untuk menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hukum-hukum
alam yang tidak diketahui oleh manusia, atau dengan kata lain “menakwilkannya
sehingga sejalan dengan apa yang mereka namakan logis”. Abduh lupa bahwa
hukum-hukum alam tiada lain hanyalah “ikhtisar pukul rata statistik”, dan apa
yang diketahui darinya barulah sebagian dari keselurūḥ an.
Untuk
memperkuat dugaannya, Harun mengutip pendapat Syaikh Al-Azhar, Sulaimān
ad-dunyā yang dalam bukunya menyatakan pula
bahwa 'Abduh memiliki konsep teologi di atas posisi mu'tazilaħ. Syaikh 'Abd al-HalĪm Maḥmūd –mantan rektor Al-azhar-
mengatakan, “Apa yang ditempuh oleh Abduh adalah sejalan dengan aliran Mu'tazilaħ,
baik dalam prinsip-prinsip yang dianutnya maupun dalam tujuan-tujuan yang ingin
dicapainya” (Shihab, 2006, p. 36) .
Memang,
pemikiran Abduh terkenal akan rasionalitasnya, tetapi hampir semua menolak
berkata kalau ia penganut mu'tazilaħ, karena memang merasa bahwa Abduh adalah ahl
as-sunnaħ. Hal ini sebagaimana yang Harun ceritakan sendiri ketika mendapat
undangan dari Kedutaan sebuah negara. Ia berkata: “Saat itu kulihat ada Bung
Hatta, M.Natsir, dan beberapa ulama duduk bersama sambil makan. Kami memang
sudah saling berkenalan. Lalu Hatta berkata, ‘Aku dengar anda sudah selesai
doktornya?’ ” “Sudah bung” jawab Harun. “Mengapa tidak dipublisir untuk kita
dengar pendapat anda?”. Lalu Harun menjawab, “Muhammad Abduh ternyata mempunyai
pendapat-pendapat mu'tazilaħ” langsung saja salah seorang dari mereka menanggapi,
“naudzubi allāh”
lalu Harun berkata, “Pak Hatta! Bagaimana jadinya kalau hal itu saya katakan
kepada orang lain. Jagoannya saja mengatakan begitu.” (Aqib Suminto, 1989, p. 38) .
Selanjutnya
Harun juga menulis buku Falsafat Islām. Buku ini berisi mengenai cara berfikir
tentang dasar-dasar agama, mencoba memahami dasar-dasar itu menurut logika dan
dengan demikian dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima akal kepada
orang yang tidak percaya pada wahyu dan hanya berpegang pada pendapat akal.
Misalnya saja mengenai keberadaan Tuhan. Dalam setiap babnya Harun memberikan
argumen-argumen rasional yang dapat diterima oleh semua kalangan, bahkan ateis.
Menurutnya, pengetahuan agama tidak selalu menggunakan wahyu, melainkan juga
dengan penggunaan bukti-bukti historis, argumen-argumen rasional, dan
pengalaman pribadi. Ia menyatakan bahwa ‘pendekatan rasional’ tentang agama
dapat mempertebal keimanan seseorang (Nasution, 1973: 5-11). Dalam buku ini
sesungguhnya ia berusaha untuk membuktikan ajaran Islām sangat rasional dan
dapat dibuktikan.
Seperti yang
telah dipaparkan di atas, latar belakang Harun melakukan rasionalisasi dalam Islām
dikarenakan minimnya produktivitas umat muslim. Untuk itu, ada beberapa saran
yang dianjurkan olehnya (Nasution, 1973: 201) untuk membawa umat muslim kembali
jaya, diantaranya (a) umat Islām harus kembali ke ajaran yang sebenarnya, (b)
siap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan dan
pintu ijtihād dibuka. Ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Alqurān ḥadĪṡ sebagai patokan terhadap
perincian-perinciannya yang cara pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman, (c) dinamika umat Islām harus dibangkitkan lagi dengan
menyuburkan pemikiran rasional mu'tazilaħ dan menjauhkan paham jabariyah. Umat muslim harus dirangsang untuk berfikir
dan banyak berusaha lebih maksimal, (d) pendidikan tradisional harus diubah
dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam
kurikulum madrasah, (d) dalam bidang politik, pemerintahan absolut harus diubah
menjadi pemerintahan demokratis. Kedalam dunia Islām harus dimasukkan sistem
pemerintahan konstitusional.
3.
Bidang Politik (Negara)
Jarang yang
mengetahui bahwa Harun Nasution juga memiliki ketertarikan dengan masalah
perpolitikan karena memang hampir semua karyanya lebih concern terhadap
aspek teologi. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, ternyata thesis yang
dikerjakannya mengenai politik Islām di Indonesia terutama mengenai konsep
politik Islām menurut Masyumi. Dalam thesis itu ia berkesimpulan bahwa
terjadi persinggungan antara golongan sekuler dengan golongan Islāmis dalam
permasalahan penegakkan Negara Islām di Indonesia tidaklah dimenangkan oleh
salah satu pihak, karena ternyata akhirnya yang menang adalah konsep Pancasila.
Dengan pancasila itu Indonesia tidak menjadi Negara agama tertentu dan juga
bukan Negara sekuler tetapi menjadi Negara bertuhan dan Harun menyatakan bahwa
pancasila dan UUD 1945 adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islām.
Menurut
analisisnya(Aqib Suminto, 1989, pp. 220-221) bukan hanya seputar
Negara Islām, bahkan soal Negara saja tidak ada ayat atau hadits yang dengan
secara tegas menyebutkan pembentukkan pemerintahan atau Negara di dalam Islām.
Kalaupun ada, itu hanya berdasarkan ijtihād dari surat
An-Nisa ayat 59. Tetapi ia mengatakan bahwa kepentingan Negara sejalan
dengan kepentingan agama, karena itu mengadakan Negara atau pemerintahan dalam Islām
adalah fardu kifāyaħ.Untuk
itu, menurutnya ajaran-ajaran Islām yang original dalam lapangan
kenegaraan hanyalah dalam prinsip-prinsipnya saja dan prinsip-prinsip tersebut
tidak menunjuk secara spesifik kepada sebuah model tertentu tentang bentuk
Negara dan susunannya. Dalam sejarah –masih menurutnya- telah terjadi berbagai
macam perubahan dalam masalah kenegaraan. Di masa Nabi
prinsip-prinsip itu dijelmakan ke dalam bentuk Negara teokratis dan berubah
menjadi sebuah Negara republik demokratis di zaman Khulafā al-rasyiidaħ. Selanjutnya berubah lagi menjadi monarki
absolut di zaman dinasti-dinasti, berubah lagi menjadi monarki konstitusional
(kekuasaan raja yang absolut mulai dibatasi oleh konstitusi) dan pada era
modern kontemporer ini kembali mengambil bentuk republik demokratis. Agaknya
model itulah –menurutnya- yang lebih sejalan dengan Alqurān dan sunnaħ (Aqib
Suminto, 1989, pp. 223-228) .
Adapun
prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah negara menurut Harun Nasution (Aqib
Suminto, 1989, pp. 228-229) pertama-tama adalah
tujuan yang hendak dicapai oleh Negara itu, yakni untuk mewujudkan masyarakat
beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa yang didalamnya terdapat persatuan,
persaudaraan, persamaan, musyawarah, dam keadilan. Sedangkan prinsip-prinsip
yang harus dijelmakan pada penyelenggaraan Negara adalah pemerintah haruslah
bersifat adil dan demokratis. Organisasi pemerintahan bersifat dinamis,
maksudnya apakah susunan pemerintah itu presidensial atau parlementer bukanlah
suatu masalah. Sedangkan kedaulatan adalah ditangan rakyat di bawah bimbingan
prinsip-prinsip Alqurān dan ḥadĪṡ. Sumber hukum tertinggi dalam Negara adalah Alqurān dan sunnah
yang penerapannya memerlukan ijtihād. Negara mempunyai hak dan kekuasaan untuk
membentuk undang-undang yang dalam terminologiIslām klasik disebut Qānūn untuk
membedakannya dengan fikiħ yang dibentuk oleh para ulama.
Ketertarikannya
kepada permasalahan negara itulah yang membuat ia meminta Munawir Syadzali
untuk mengajar fikiħ as-siyāsii kepada mahasiswa S3 IAIN supaya mahasiswa Islām
Indonesia paham mengenai permasalahan ketatanegaraan(Syadzali, 2003, p. ix) .
4.
Hak Asasi Manusia
Selain perihal
teologi, filsafat, dan tata Negara, Harun juga memiliki perhatian terhadap
isu-isu internasional seperti hak asasi manusia. Maka dari itu ia pernah
memberikan kata pengantar dalam sebuah buku yang membahas mengenai hak asasi
manusia dalam Islām. Menurutnya HAM memang diajarkan oleh Islām dalam konsep tauḥidnya.
Karena semua manusia hanyalah makhluk maka dari itu semua manusia adalah sama,
bersaudara, dan bebas sehingga tidak boleh ada perbudakan di kalangan manusia.
Ia mengutip ayat-ayat Alqurān seperti surat Al-A’raf
ayat 189, An-Nisa ayat 4, Al-Hujarat ayat 13 dan ḥadĪṡ untuk memperkuat alasannya itu.
Tetapi –menurutnya- kebebasan dalam Islām ada batasnya dan memiliki
kewajiban-kewajiban disamping memiliki hak. Kebebasan mengeluarkan pendapat
tidak boleh melanggar kepentingan umum. Kebebasan mengumpulkan harta juga tidak
boleh merugikan masyarakat. Kebebasan mengelola alam juga tidak boleh sampai
merusak alam. (Harun Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, pp. vi-xii)
Ia juga
berpedapat bahwa terdapat perbedaan besar antara kebebasan dan hak asasi yang
dikembangkan di luar agama dengan ide kebebasan hak-hak asasi dalam Islām
karena paham hak asasi dan kebebasan yang dibawa pemikir sekuler ke Indonesia
mengutamakan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum(Harun
Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, p. xii) .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di
Pemantang Siantar, Sumatera Utara. Awalnya ia disurūḥ oleh orang tuanya untuk masuk sekolah Belanda,
HIS. Setelah selesai di HIS lalu ia melanjutkan pendidikannya ke Modern Islāmietische
Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukit Tinggi, yakni sekolah guru
menengah pertama swasta modern milik Abdul Ghaffar Jambek. Karena sekolah
swasta saat itu masih miskin, akhirnya tidak tidak dilanjutkan. Lalu Harun
diperintahkan orang tuanya untuk belajar di ‘Arab Saudi. Tidak lama dari ‘Arab , ia pergi ke Meṣir
hingga akhirnya diterima sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Universitas
Amerika. Setelah mendapat gelar BA di Universitas Amerika, ia mendapat tawaran
kuliah di Universitas McGill dan akhirnya mendapat gelar MA hingga doctor.
Setelah itu ia bekerja di beberapa tempat hingga akhirnya pulang ke Indonesia
dan menjadi dosen di IAIN. Selang beberapa waktu ia diangkat menjadi rector.
Harun meninggal pada 18 September 1998 di Jakarta.
Harun memfokuskan dirinya pada aspek filsafat dan teologi walaupun
aspek-aspek lain juga tidak dilupakan seperti mengenai politik, dan isu-isu
internasional. Menurutnya umat Islām di Indonesia perlu meningkatkan
kualitasnya dengan cara berfikir rasional. Ia menyatakan bahwa paham jabariyah
–yang telah subur di Indonesia- menjadi salah satu penyebab stagnansi
dinamika pemikiran umat Islām. Untuk itu Harun memberi solusi berupa membangun
kembali pemikiran rasional mu'tazilaħ supaya umat muslim di Indonesia dapat
maju di era modern ini.
B. Saran
Daftar
Pustaka
Abaza, M. (1999). Pendidikan Islām
dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Biografi Harun Nasution. (n.d.). Retrieved Febuari Rabu, 2015, from
Wikipedia.org.
Harun Nasution & Bahtiar Effendy. (1987). Hak
Asasi Manusia dalam Islām. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nasution, H. (1973). Falsafat Agama.
Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (1987). Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu'tazilah. Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2009). Islām Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Vol. 2). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2011). Pembaharuan dalam Islām:
Sejarah Pemikiran dan Pergerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (2013). Islām Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Vol. 1). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (2013). Teologi Islām:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Nurhadi. (2013). Harun Nasution: Islām
Rasional dalam Gagasan dan Pemikiran. Jurnal Edukasi Vol.I No.I.
Nurhadi, R. (n.d.). Neo-Mu'tazilisme Harun
Nasution dan Kebangkitan Islām Indonesia. Jurnal.
Qodir, Z. (n.d.). Wajah Islām Liberal di
Indonesia: Sebuah Penjajagan Awal. Jurnal
Rasyidi, H. (1973). Koreksi Terhadap Harun Nasution
Tentang "Islām Ditinjau dari Berbagai Aspeknya". Jakarta: Bulan
Bintang.
Suminto, A. (1989). Refleksi Pembaharuan
Pemikiran Islām: 70tahun Harun Nasution. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat.
Shihab, Q. (2006). Rasionalitas Alqurān:
Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar. Jakarta: Lentera Hati.
Supriadi, D. (2009). Pengantar Filsafat Islām:
Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia.
Syadzali, M. (2003). Islām dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.
apa yang anda pikirkan setelah membaca profil harun nasution? bagaimana pendapat anda mengenai pemikirannya?
BalasHapussebelum saya menjawab. bagaimana menurut anda sendiri?
BalasHapusSaya tuh Tanya mas, malah balik Tanya gimana sih
BalasHapusmenurut pandangan pribadi saya mengenai sosok Alm.Harun Nasution, beliau telah sangat berjasa bagi perkembangan kamajuan (modern) keislaman di Indonesia. Beliau telah berusaha untuk membuka pintu bagi sarjana Indonesia untuk menimba ilmu di dunia Barat. Tetapi tentu ada plus minus.
BalasHapusMinusnya apa mas?
BalasHapus1. terlalu menegatifkan kaum sufi/tarekat
BalasHapus2. dari beberapa buku yang saya baca (pandangan subjektif saya) pak Harun agak sombong dan menjelekkan pandangan ulama klasik
3. pendidikan yang diinginkan oleh pak Harun sepertinya adalah sesuatu hal yang serba rasional, seakan (dalam tulisannya) tidak terlalu mementingkan (menomorduakan) masalah spiritual
jika mas mahasiswa gau lau lebih dalam, pak harun menghargai sufi, di usianya yang mulai beranjak senja ia berguru dan belajar tasyawuf ke pondok pesantren suryalaya (abah anom).. halayak guru2 filsafat saat ini di uin jakarta, beranjak mereka mempelajari tasyawuf lebih dalam. bukan hanya belajar, akan tetapi penerapan dalam kehidupanya pula.
Hapus@mazied >> betul sekali mas mazied. Tp sepertinya beliau memang tdk menyamarakan tasawuf. Makanya ada yg ia "ejek" ada pula yg ia hargai. Ya seperti tarekat TQN-nya abah anom.
HapusBetul juga kata mas mazied, saya pun mengamati fenomena ini di mana pecinta filsafat akan diiringi dengan kecintaan pada tasawuf. Tak terkecuali saya pribadi :)