Saya menulis
ini bukan karena merasa sudah benar, tapi hanya ingin mengungkapkan apa yang
ada di benak. Dan tak ada salahnya untuk diutarakan kepada teman-temanku yang
gemar membaca. Sungguh kalian tak mengabaikan firman Allah, “iqra”. Tak
lupa ucapan terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman, —apakah itu akhwat/
ikhwan, atau cewe/cwo, tapi penulis lebih senang menggunakan kata
lelaki/perempuan— yang telah mau meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini.
Jika boleh
saya berpendapat, umat islam ini sedang berada dalam keadaan yang paradoks. Di
satu sisi saya melihat ada beberapa orang yang merasa paling tahu tentang agamanya.
Sudah berani menjustifikasi golongan ini dan itu salah. “Kami yang paling
benar, kami yang paling tahu hukum Tuhan, apakah kalian tidak membaca kitab
bahwa Tuhan berkata ini, berkata itu?” itulah ungkapan-ungkapannya. Padahal
tidak, sesungguhnya mereka hanya mengetahui sedikit saja. Mereka itulah yang
masih berfikiran picik…Hanya karena berbeda pendapat dengan yang lain atau ada
seseorang yang pemikirannya sedikit nyeleneh, mereka telah menyempitkan surga yang sudah diluaskan oleh
Yang Maha Pemurah. Mengklaim sana sini kafir. Aku mohon ampun kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Agung
Tapi disisi
lain aku juga menemukan beberapa orang yang juga sok tahu agama, dan sudah
merasa dirinya yang paling dekat dengan Tuhannya, seakan-akan mereka sudah
bercanda-tawa dengan Sang Tuhan. “buat apa shalat dimasjid? Emangnya Tuhan
Cuma ada di masjid aja. Kenapa percintaan sesama jenis dilarang? Mereka juga
berhak merasakan cinta dong” atau kata-kata lain yang ungkapannya sering
kali membuat geram golongan lain.
Lantas kita
harus memilih yang mana? Apakah mau menjadi golongan yang pertama? Atau yang
kedua? Itu terserah pembaca, karena hidup ini memang sebuah pilihan. (punten,
saya bukan yang beraliran fatalis).
Kalau untuk
penulis sendiri lebih tertarik dengan firman Allah, “demikianlah itu Kami
menjadikan kamu ummatan wasatan agar kamu menjadi saksi atas
(perbutan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu”. Kalau kata Pak Quraish, “sesuatu yang baik berada pada posisi
diantara dua titik ekstrem. Bukankah menghadapi dua pihak yang sedang bersiteru
itu disebut wasit? ” oleh karena itu, kita dituntut untuk menjadi orang yang
wasit/ moderat, yang posisinya ditengah agar dapat dilihat oleh semua pihak.
Beliau
melanjutkan bahwa sikap moderat akan mengundang umat islam untuk saling
berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak, karena mereka tidak
akan menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri.
Bukankah
orang bijak pernah berkata, “pandanglah sesuatu dari tempat ketinggian!”
SUPERR..
BalasHapus