Serba-Serbi Kampung Inggris Pare:
Orang-orang dan Kulturnya
Sebenarnya
sudah lama Saya ingin menulis pengalaman berada di Kampung Inggris, setidaknya
pernah terbenak sejak hari-hari awal berada di sini, tapi entah karena
bisikan-bisikan ar-rajim yang selalu
mengelus-elus kemalasan saya atau mungkin saja karena kodrat yang condong mengarahkan
Saya menjadi seorang yang pemalas. Untung ada Kang Gelar, senior Saya saat
ngampus di UPI yang memosting tulisannya di facebook
tentang kehidupannya di Birmingham, membuat tangan ini gatel untuk
mengikutinya.
Kenapa
Saya harus pergi ke Kampung Inggris? Alasannya cukup pragmatis, karena Saya
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di kampus impian
(Insyaallah Birmingham University, jurusan Islam-Christian Relation). Mungkin
kalian bertanya, “kalau hanya itu alasannya, kan bisa kamu kursus di tempat yang lebih dekat dengan tempat
tinggal, tanpa harus jauh-jauh pergi ke Jawa Timur.” Hey dude, Saya sudah mencobanya berkali-kali, dan masih belum
membuahkan hasil yang diharapkan. Setelah belajar dari masa lalu, Saya
menyadari bahwa lingkungan adalah hal yang terpenting dalam belajar bahasa. So, I have to reach it. Sekolah dari SD
(kelas 6) sampai SMA di Bekasi selalu ada mata pelajara Bahasa Sunda, tapi
tetap saja Saya tidak pernah bisa memahaminya, apalagi mempraktikkannya. Eh,
pas kuliah di Bandung, hanya butuh beberapa waktu saja untuk bisa
mempraktikkannya. Begitulah kurang lebih.
Saya
tiba di Pare kira-kira jam sebelas pagi, setelah mencarter angkot dari Stasiun
Kediri. Untungnya ketemu dengan sopir angkot yang baik hati, karena beliau
mengantarkan Saya sampai di depan pintu gerbang Elfast. Saya mengambil paket
satu bulan di lembaga ini. Setelah melakukan registrasi ulang, mencari tempat
kos adalah tujuan Saya selanjutnya. Dua ratus lima puluh ribu untuk satu bulan,
adalah harga yang Saya sepakati dengan penjaga kos. Adakah tempat kos semurah
ini di Bandung? Mungkin ada, tapi pasti kalian sudah dapat membayangkan seperti
apa bentuk fisiknya. Terhitung mulai senin besok, kami seluruh anak di tempat
kos ini harus berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris secara
keseluruhan. Saya pribadi tidak berkeberatan, alih-alih merasa tertantang.
Teman
sekamar Saya adalah seorang pemuda lulusan SMA di Lampung. Sebenarnya Saya
ingin sekali menceritakan kisah “konyol”nya dengan begitu detail di sini, yang
usut punya usut kedatangannya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Inggris-keinggrisan.
Ini murni soal asmara yang irasional. Benar, cinta memang sering terperangkap ke
dalam ketidakrasionalan. Dia hanya bertahan beberapa hari setelah realitas memutuskan
bahwa cintanya kandas di Pare. Belakangan dia mengabarkan kalau dirinya hampir
saja tertipu seorang perempuan Solo yang menawarinya pekerjaan tetapi harus
membayar uang muka sebesar 8,5 juta di muka. Pekerjaan macam apa itu?
Masih
soal asmara. Kalau di atas bisa dikatakan sebagai kisah tragis, ini sebaliknya.
Pemilik kos-kosan Saya malah mendapatkan jodoh di sini. Dengan bermodus sebagai
tutor –belakangan banyak pemuda yang melakukan trik ini- bahasa Inggris, dia
berhasil mengait hati seorang wanita lulusan Perpuskaan UPI. Sekarang dia
sedang meluaskan jaringan bisnis kursus bahasa Inggris di beberapa tempat. Di
Pare pernah berjalan, sayangnya tidak lama dan akan aktif lagi, tapi di
Majalengka.
Dari
asmara kita berpindah ke kuliner. Pare bisa dibilang merupakan surganya makanan
murah, meskipun harga minumannya relatif sama dengan yang ada di kota-kota
besar. Warung depan Elfast adalah tempat favorit Saya. Bisa dibayangkan, warung
ini menggratiskan sayur-mayur dengan porsi sepuasnya dengan hanya membayar lima
ribu rupiah saja. Kalau mau pakai telur –baik dadar maupun ceplok- cuma jadi
enam ribu rupiah. Atau ikan lele, cuma jadi delapan ribu. Kalau dihitung secara
matematik, masa harga telur cuma seribu rupiah; ikan lele tiga ribu rupiah?
yang benar saja. Tapi inilah kenyataannya. Tenang, nasinya bukan nasi plastik,
sayurnya pun bukan sayur jadi-jadian. Kalau nasi goreng berapa? Tujuh ribu
doang dengan rasa yang sama seperti nasi goreng sebelas ribu yang ada di
Bandung.
Lalu
soal transportasi. Kampung Inggris yang wilayahnya hanya beberapa blok
–meskipun cukup panjang- saja, menjadikan para pembelajar bahasa Inggris disini
memilih sepeda sebagai trasportasi alternatif mereka. Selain lebih irit, dus
ramah lingkungan. Penyewaan sepeda menjamur di sini, membuat roda perekonomian
berjalan begitu indah. Harganya beragam, mulai dari delapan puluh ribu hingga
seratus ribu. Betapapun, saya sendiri tidak menyewanya. Kenapa? karena saya
hanya perlu terpleset untuk sampai ke Elafast, lalu kenapa harus menyewa sepeda?
Kalau mau keliling-keliling, ya tinggal pinjam sepeda teman saja. Haha.
Ada
satu hal penting yang perlu Saya ceritakan mengenai transportasi di sini. Para
pengendara motor –kebanyakan adalah penduduk asli- begitu kasar, pemarah, dan
tak sabaran. Saya geram dan ingin rasanya memukul wajah para pengendara motor
itu. Hanya saja itu tidak pernah terjadi karena Saya cinta Raline Shah, eh maksudnya cinta damai. Pernah Saya
sedang berjalan di Jalan Brawijaya –jalan utama di Kampung Inggris- untuk sekadar
mengambil uang di ATM. Ada mungkin kurang lebih lima pengendara yang
menglaksonkan kendaraannya ke arah Saya. Satu pengendara motor, sembari
memelankan kendaraannya, mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak terlalu
terdengar jelas di telinga Saya. Padahal Saya sudah berjalan di pinggir
walaupun bukan di trotoar, sebab tempat itu telah beralih fungsi sebagai tempat
parkir atau pajangan etalase-etalase para pedagang.
Dimana
pun Saya berada, pasti Saya akan selalu mendatangi toko bukunya, begitu pun di Pare. Ada kurang
lebih 4 toko buku di sini, dan…semua di luar ekspektasi Saya. Awalnya Saya
berharap akan dengan mudahnya menemukan buku-buku berbahasa Inggris, baik itu
buku-buku politik, ekonomi, agama, sosiologi, maupun yang lainnya, sebagaimana
yang diberitahukan oleh “Bapak” Google. Ternyata
harapan Saya harus pupus karena yang dimaksud bukanlah begitu. Dari empat toko
buku yang Saya jamahi, tidak ada buku politik berbahasa Inggris, buku ekonomi
berbahasa Inggris, ataupun buku agama berbahasa Inggris. Yang ada hanya
buku-buku panduan atau semacam kiat-kiat mahir berbahasa Inggris. Selain itu
menjamur juga kamus-kamus oxford, longman, grammar for speaking, dan yang
sejenisnya. Yang lain? semuanya berbahasa Indonesia. Saya malah menjadi sinis
setelah melihat buku-buku palsu juga terpampang di sini. Novel-novel berkertas
buram berharga miring. Bibir Saya tersenyum nakal saat melihat buku novel Dilan
dijual dengan harga sekitar dua puluh ribu saja. Untung rasa sakit hati Saya
sedikit terobati setelah menemukan kumpulan buku kecil kisah 1001 malam
Nashruddin Hoja versi bahasa Inggris. Uniknya, buku kecil ini diterbitkan oleh
penerbit Kanisius.
Sebelum
ke klimaks cerita, kurang sempurna rasanya kalau Saya tidak menceritakan kisah
pertemanan Saya dengan seorang pemuda asal Pati, Jawa Tengah. Hukmi nama
panggilannya. Saat tahu kalau dia adalah lulusan Filsafat UGM, muncul prasangka
yang paradoks di dalam diri Saya. Satu sisi kagum, dan penuh tanda tanya di
sisi lain. Berlagak sekali dia saat mengatakan bahwa alasannya ke Kampung
Inggris hanya untuk membuang-buang waktu. Belakangan setelah digali lebih dalam
ternyata bukan itu alasannya, melainkan sama dengan Saya, yaitu supaya dapat melanjutkan kuliah S2 di luar negeri.
Belakangan,
kami menjadi sedikit akrab. Di sela-sela jam istirahat (08.30-10.00) kami
selalu makan bersama yang dilanjutkan dengan berdiskusi ringan. Saya bisa
menebak kalau dia pencinta buku, terlihat dari kecapakannya mengenai
kefilsafatan sangat mendalam kalau enggan berkata lebih cakap dari Kang Dinu
(kakak tingkat saya di UPI yang memiliki concern
terdahap ilmu filsafat). Dari pada dibilang pengikut Muhammad, dia lebih
tepat disebut sebagai pengikut Nietzsche, filsuf kenamaan dari Jerman. Menurut
Nietzsche, menurut Nietzsche, menurut Nietzsche, adalah ucapan yang selalu
keluar dari bibirnya. Saking cintanya dengan Nietzsche, skripsinya pun tentang
pemikirannya. Ada beberapa pemahamannya yang mungkin terinspirasi dari
pemikiran Nietzsche yang dapat memanaskan telinga sebagian dari kita.
Menurutnya sejarah (masa lalu) itu tidak ada karena tidak dapat dikonfirmasi
kebenarannya sebab sifatnya yang begitu subjektif dan reduktif. Juga tentang
moralitas. Katanya, semua konsep moral itu cacat dan lemah. Moral agama
misalnya, disebut sebagai moral budak. Saya lupa apa yang dimaksud dengan moral
budak versinya. Tapi intinya seperti itu.
Tidak
hanya moral agama, konsep moral yang dipahami oleh orang-orang humanis sekuler
juga lemah karena –menurutnya- orang-orang humanis memiliki logika terbalik
mengenai hukum sebab-akibat. Orang-orang humanis melakukan sebuah tindakan
karena mereka merasa perbuatan tersebut adalah baik dan ada manfaatnya. Padahal
perbuatan itu tidak bisa dinilai baik buruknya sebelum dilakukan dan diketahui akibatnya. Tindakan menolong misalnya, selama belum diketahui akibatnya
akan selalu dikategorikan sebagai tindakan netral. Pun Nabi Khidir yang
membunuh orang tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan buruk sebelum diketahui
akibatnya, ucapnya dalam sebuah kesempatan. Begitulah kira-kira. Saya belum
berani menilai apakah dia benar atau salah, baik atau benar tapi yang pasti Saya
bersyukur sekali bisa bertemu dengannya. Entah akan bagaimana jadinya jika saya
tidak punya teman diskusi. Otak dan ilmu akan membeku dimakan rayap-rayap
sejarah.
Terakhir,
Saya ingin menceritakan sebagian kebiasaan sehari-hari di sini yang berkaitan
dengan penggunaan bahasa Inggris. Perlu dipahami bahwa kebiasaan di sini
bersifat heterogen. Jangan dikira semuanya aktif berkomunikasi menggunakan
bahasa Inggris. Tidak semua lembaga kursus di sini strict. Ada juga yang longgar, termasuk di Elfast. Bahkan dalam
beberapa bagian, kelonggaran Elfast merembet di bagian ketidakprofesionalannya
dalam mengatur waktu. Tutor yang mengajar di kelas saya (3 orang) selalu masuk
kelas tidak tepat waktu, tapi anehnya kalau selesai (keluar) hampir selalu
tepat waktu.
Dalam
sehari Saya masuk kelas sebanyak lima kali yang dimulai jam setengah enam pagi
dan baru berakhir jam setengah enam sore. Itu di Elfast. Di lembaga kursus lain
seperti TEST, mereka lebih gokil lagi karena kelas awal dimulai dari jam lima
pagi (subuh di sini sekitar jam empat) dan berakhir sekitar setengah sepuluh malam. Di
sana mereka harus berbicara full english,
kalau melanggar, harus siap menerima punishmentnya.
Pernah Saya terkejut dengan suara yang begitu ramai yang suaranya semakin jelas
terdengar dari kamar kos. Saat dilihat ternyata itu merupakan suara sejumlah
–mungkin mencapai lima puluhan- orang yang sedang menghafal atau mempraktikkan
bahasa Inggrisnya di ruang publik. Saya tidak tahu mereka dari lembaga kursus
apa, tapi yang pasti, mereka semua terlihat sangat bersemangat. Dan itu terjadi
pada jam lima pagi. Bayangkan, jam lima pagi good reader.
Pernah
juga saat Saya sedang berdiskusi dengan Hukmi di ruang depan kosan, tiba-tiba
datanglah dua orang perempuan bersepeda yang mendekati kami. Mereka menyapa
kami dan meminta izin untuk berdiskusi kecil-kecilan dengan kami tentang suatu
tema dengan menggunakan bahasa Inggris. Awalnya kami menolak, karena malas, pun
karena bahasa Inggris kami masih sangat minim. Hanya saja karena muka mereka
memelas, ya apa daya laki-laki yang sudah melihat dua orang perempuan dengan
pandangan mata penuh harapan. Akhirnya Saya mendapat bagian untuk berdiskusi
dengan seorang perempuan muda berjilbab, berbadan langsing dan berkulit sawo
matang.
Itulah
sebagian serba serbi suasana di sini, di Kampung Inggris yang insyaallah dapat Saya cintai layaknya
Kota Bandung. Semoga dapat dijadikan informasi yang bermanfaat bagi kalian
semua wahai good reader. []
Kampung Inggris, Pare 24 September 2016
Komentar
Posting Komentar