Mempertanyakan Toleransi
Dekade
belakangan perbincangan mengenai toleransi mencuat dipermukaan. Kemunculannya
yang “kedua” ini diduga kuat karena ada beberapa pihak yang merasa terancam
jika toleransi tidak dijalankan dengan baik. Kasus-kasus “kekerasan” yang
terjadi di beberapa tempat khususnya di Barat, mungkin bisa dijadikan alasan
absolut untuk mengatakan bahwa toleransi telah menjadi kebutuhan primer umat
manusia.
Memang,
pada awalnya soal toleransi hanya menjadi perhatian kaum elit cendekiawan yang
mulai sadar akan keheterogenan manusia modern yang tak bisa dihindari. Akan
tetapi secara sunnahtullah persoalan ini telah menyebar ke berbagai kalangan,
mulai dari birokrat, politisi, agamawan, budayawan, sastrawan, para pelajar,
hingga kaum abangan, seakan-akan toleransi adalah suatu makhluk baru yang mau
tidak mau harus dikonsumsi oleh semua pihak.
Meskipun
pada akhirnya saling sepakat akan pentingnya bersikap toleran, sayangnya sampai
saat ini tidak ada konsensus mengenai hakikat (ontologis) toleransi di antara
mereka, pun indikator-indikator yang menyertainya. Setiap kalangan memiliki
konsep toleransinya masing-masing, pun kalau enggan berkata mungkin beserta
embel-embel yang menyertainya. Toleransi versi budayawan dan politisi misalnya.
Dikarenakan memakai sudut pandang yang berbeda, hasil ekstraksinya pun bisa berbeda.
Itu baru di tingkat wacana atau konsepsi, belum sampai di ranah realitas yang
pastinya lebih kompleks dan ngejelimet.
Pemerintah,
yang diwakili oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dirasa tidak bisa diandalkan oleh banyak pihak karena
penjabarannya yang masih sangat general. Di sana kata toleransi dikatakan
sebagai “batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan.”. Dalam pengertiannya yang lain,
toleransi dikatakan sebagai sebuah sifat atau sikap toleran yang ditandai oleh
beberapa indikator seperti keterbukaan, pemaafan, penerimaan, pengertian,
tenggang rasa, membebaskan, membiarkan, dan mendiamkan. Sampai di sini Saya
ingin bertanya, ukuran yang seperti apa yang masih diperbolehkan? Dan bagian
apa yang dikatakan sudah kelewat batas?
Ada
pula yang ingin berangkat lebih jauh dari konsep toleransi ala pemerintah. Tidak puas dengan indikator-indikator pasif seperti
membiarkan dan atau mendiamkan, mereka menyarankan kalau toleransi harus
memiliki sikap aktif nan dinamis.
Tidak membiarkan melainkan merawat, tidak mendiamkan malah merangkul. Daripada
menyesat-nyesatkan Ahmadiyah, Syi’ah, Lia Eden, dan yang semacamnya, mereka
lebih menganjurkan untuk menoleransinya. Tidak cukup dengan mendiamkan atau
membiarkan, tetapi dirawat dan dijaga eksistensinya. Begitu pun dengan hal
semacam lesbian, gay, heteroseksual, dan yang sejenisnya.
Lalu
bagaimana dengan konsep toleransinya kaum agamawan? Adanya keunikan setiap
(ajaran) agama menyebabkan implikasi yang berbeda pula terhadap para
penganutnya. Ada yang ketat, moderat, hingga yang longgar. Ada yang hanya ketat
di bagian tertentu saja, tetapi ada juga yang longgar sebagian besar, bahkan
seluruhnya. Islam, pada umumnya begitu ketat pada hal-hal yang berbau akidah
atau tauhid. Islam melarang keras menduakan Tuhan, baik dalam penyembahan
maupun pengharapan hidup[1].
Islam melarang pembuatan patung sebagai manifestasi Tuhan, pun melarang
pembuatan patung Nabi Muhammad, karena ditakutkan akan terjadi pengultusan.
Pada umumnya juga melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjatuhkan
diri ke dalam bentuk kesyirikan. Berbeda dengan umat Kristiani yang pada
umumnya lebih longgar. Memanifestasikan Yesus dalam sebuah patung maupun
media-media visual lainnya bukan sebuah persoalan serius, pun pengucapan
syahadat atau melakukan role play praktik
ibadah agama lain, tidak terlalu diperdebatkan dalam agama ini. Pengucapan selamat atas kedatangan hari raya umat agama
lain, sama sekali tidak menjadi persoalan. Beda lagi dengan umat Yahudi. Mereka
sangat strict mengenai persoalan
tanah perjanjian. Tidak bisa menoleransi/menyerahkannya kepada bangsa
Palestina, yang mungkin bagi umat lain sikap seperti ini terlihat begitu
kekanak-kanakkan.
Selanjutnya,
di sini Saya juga ingin menyatakan bahwa betapapun setiap agama memiliki
ajaran-ajaran pokoknya, tetapi selama ajaran itu dikerjakan oleh umat manusia
yang senantiasa berdialektika dengan kondisi realita kehidupan sosialnya –yang
beragam serta selalu berubah, maka manusia, dalam proses penyimpulannya pun
terhiasi oleh dua faktor tersebut, hingga hasilnya tidak selalu monolitik.
Singkat kata, perbedaan mengenai konsep toleransi tidak hanya terjadi antara
umat beragama X vis a vis umat
beragama Z, tetapi juga bisa terjadi di internal agama itu sendiri. Di atas,
Saya sedikit memberi contoh bahwa Islam melarang penganutnya untuk berdoa
melalui perantara, karena Allah sangat menginginkan hambanya untuk berdoa
kepadanya secara langsung. Tetapi toh
nyatanya ada juga yang berdoa melalui perantara “orang shaleh”. Menurut mereka
adalah sebuah keangkuhan jika berdoa langsung ditujukan kepada Allah. Kata
mereka, “Bukankah kita akan lebih mudah
berkesempatan untuk berbicara dengan pejabat jika kita melewati ‘ajudan’ atau
orang yang ‘dikasihinya’ ?”. Contoh lainnya, mengenai sikap Islam terhadap
umat yang berbeda agama. Ada yang begitu ketat seperti menghindari diri –sebisa
mungkin- untuk berkomunikasi dengan yang berbeda agama, tetapi ada juga yang
begitu intim menjalin hubungan. Ada yang sudah merasa menjalankan toleransi
secara maksimal seperti membiarkan orang berbeda agama menjalankan ajaran
agamanya dengan damai, tapi ada juga yang sampai perlu mengutarakan rasa
empatinya dengan mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain.
Lalu
konsep toleransi seperti apa yang terbaik? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
Saya ingin sekali meluruskan pemahaman sebagian orang yang masih berkeyakinan
bahwa semakin longgar seseorang bersikap kepada hal lain, maka semakin
tinggi/baik toleransinya. Pemahaman yang seperti ini tidak sepenuhnya tepat.
Beberapa orang Kristen selalu mempertanyakan mengapa Islam melarang umatnya
yang perempuan untuk menikah dengan yang berbeda agama dengannya; mengapa Islam
melarang visualisasi Tuhan atau tokoh sentralnya; mengapa umat Muslim menyakini
hanya mereka yang dapat masuk surga; mengapa Islam melarang umatnya mengucapkan
selamat natal; mengapa umat Islam tidak boleh memakai pakaian sinterklas; dan
mengapa-mengapa lainnya, yang menurut mereka hal-hal semacam ini seperti tidak
menunjukkan rasa toleransi umat Islam kepada yang berbeda agama. Salah seorang
teman Kristen Saya terheran-heran sembari marah karena merasa aneh dengan orang
Islam yang tidak mengucapkan selamat natal kepadanya. Sebenarnya di sinilah
letak kesalahannya. Ada perasaan untuk menyamakan segala hal yang mereka
yakini. Karena merasa konsep toleransi yang terbaik adalah versi mereka, maka
segala sesuatunya harus dinilai menggunakan alat instrumennya mereka. Pertanyaan
Saya, apakah kelonggaran akan suatu hal, melulu merupakan sebuah sikap yang
bijaksana? Kalau begitu Belanda bisa dikatakan sebagai negara tertoleransi,
karena di sana pemerintahnya melegalkan narkoba (ganja), prostitusi/sex bebas,
pernikahan sejenis, dan bunuh diri/suntik mati (euthanasia). Bukankah
kehati-hatian juga dapat merupakan sesuatu hal yang baik, pun bijaksana?
Di
sini bukan berarti Saya ingin menyalahkan umat Kristen, karena kasusnya bisa
saja terjadi pada siapapun, termasuk umat Muslim, yang merasa bahwa konsep
toleransinya lah yang terbaik sehingga orang lain yang memiliki konsep yang
berbeda harus melalui proses filtrasi konsep toleransi versi mereka. Menerima
orang yang memiliki konsep/pemahaman toleransi yang berbeda dengan kita,
menurut Saya, itu merupakan sebuah sikap toleransi yang baik, walaupun belum
tentu yang terbaik.
Pare, 4 Oktober 2016.
[1]
Nabi Muhammad mengkritik keras ulah kaum Quraisy yang berdoa (meminta sesuatu) kepada Allah melalui
perantara, seperti melalui perantara patung-patung manifestasi manusia
soleh/malaikat/anak Tuhan.
Komentar
Posting Komentar