Siapa bilang “tuhan” telah mati? betapa bodoh orang yang menyatakan demikian. Lah wong sepanjang 24 jam nafas saya berhembus, saya senantiasa melihat orang-orang sedang menyembahnya. Malah kadang hati saya berdebar-debar, kok bisa-bisanya mereka bermesraan dengannya, atau mungkin husnudzan saya menyimpulkan bahwa kedudukan abd (hamba, budak) telah merasuk di kalbu mereka.
Benar sekali saat ayat Alquran menyatakan bahwa “tuhan” itu sungguh dekat dengan makhluknya (manusia), baik itu secara fisik maupun psikis. Bahkan saking dekatnya, kadang saya sampai merasa kalau “tuhan” jangan-jangan telah bersatu dengannya. Baginya mengingat “tuhan” dalam lima waktu sudah menjadi kegiatan ritual yang basi karena seperti menunjukkan kekurang-rendahatian manusia terhadap sesuatu yang extraordinary. Bagaimana mungkin “tuhan” hanya disembah dalam waktu-waktu tertentu. Yang mereka inginkan adalah “tuhan” yang selalu hadir di sepanjang hidupnya.
Lihatlah saat mereka baru bangun tidur. Walaupun otaknya masih dalam proses menginstal, matanya merem melek setengah sadar, tapi tangannya telah menggelinjang kesana kemari mencari “tuhannya” yang harus disembah. Subhanallah.
Setelah ketemu “tuhan”, barulah ia mulai “shalat”. Jarinya menari lemah gemulai dari satu gerakan ke gerakan lainnya. Masuk ke Black Berry Messanger sebagai step pertama lalu menuju Line, WhatsApp, Instagram, dan berhenti di Facebook. Di sana terasa sekali aura kekhusyukan mereka saat berkomunikasi dengan “tuhan”. Setiap satu step biasanya membutuhkan waktu kurang lebih seperti membaca surat Al-Mulk versi Muhammad Thaha Al-Junaid. Lagi-lagi saya harus berkata Subhanallah.
Setelah merasa cukup mendapat inspirasi dalam ibadah pagi, pikirannya menjadi segar kembali. Bukan jidat yang menjadi hitam, melainkan otaknya telah terstimulasi untuk siap tarung melawan kerasnya dunia.
As I said before dimana mereka tidak ingin menjauhkan diri dari “tuhan” sedetikpun, maka mereka harus membawanya kapan saja dan dimana saja. Saat mandi, sarapan, hingga di dalam perjalanan.
Zaman noe-modern ini penduduknya benar-benar telah menjadi umat penyembah “tuhan” terbesar sepanjang masa. Saking khusuknya berkomunikasi dengan tuhan, mereka sampai lupa dengan keadaan sekitar. Lihat deh saat mereka sedang berjalan. Kepalanya menuduk bersujud kepada “tuhannya”. Mereka tidak tidak ada waktu untuk memerhatikan atau menegur sesamanya yang mungkin juga melakukan hal yang sama.
Sia-sia saja kalian menghabiskan energi (berbicara) kepada orang yang sedang bermesraan dengan “tuhannya” itu. Kalian tidak akan dihiraukan. Saya yakin pengalaman ini pernah dialami oleh kita semua. Sebenarnya itu bukan salah mereka, tetapi kita yang kurang sopan. Masa orang sedang beribadah malah diganggu.
Jangan menghina Tuhan
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikian kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am 108)
Allahu akbar, shadaqallahu al-adzim.Maha benar –firman- Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Saya sungguh tertegun dengan firman ini. Benar sekali, saat kita memaki “tuhan” mereka, tentu mereka akan membela diri, marah, memaki balik, dan lain sebagainya. Saat “tuhannya” dimaki, Awkarin misalnya, merasa kesal lalu membela diri dengan berkata “kalian semua suci aku penuh dosa”. Hebatnya quotes ini banyak diikuti oleh orang-orang yang sejenisnya, atau setidaknya memunculkan quotes-quotes lain yang satu sama lain saling menguatkan. “urusin hidup lo sendiri” “neraka-neraka gua, kenapa jadi lo yang ribet” “you may fool everybody else, but you can’t fool yourself”. Bersabarlah, karena memang “Demikian kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.” hingga nyatalah firman “Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Tuhanmu, Tuhan dia, Tuhan kami
Sejujurnya saya ingin sekali seperti mereka. Makanya sesekali –tanpa munafik- saya mencoba untuk menirunya. Hidup dengan 100% bermesraan dengan “tuhan”. Tapi entah mengapa hati nurani ini selalu saja menolaknya. “Hei, kamu harus murtad. Tidak usah menyembah ‘tuhan’ sebagaimana yang banyak orang lakukan. Kamu harus membebaskan dirimu. Bebaskanlah sebebas-bebasnya !!!”
Maka saya berjalan bersama sedikit orang yang tidak ingin menyembah “tuhannya” manusia-manusia modern. Memang sulit, karena rayuan mereka begitu sakti yang terkadang membuat saya tergiur sampai mengeluarkan air liur. Semoga Tuhan dapat mengeluarkanku dari lumpur hisap ini. Amin. []
Komentar
Posting Komentar