Book
Report
Dialog Sunnah-Syiah
Oleh:
Syaikh A.Syarafudin Al-Musawi
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Mata Kuliah Basic Life Skills 1 (BLS)
Disususn
Oleh :
M. Jiva Agung (1202282)
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan Book Report ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam
semoga tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat, dan seluruh
umatnya sampai akhir zaman yang patuh dan taat kepada ajarannya. Amin.
Book
Report ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Basic Life
Skill 1, yaitu membahas tentang “Dialog Sunnah-Syiah”.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan Book Report ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang dapat membangun sebagai bahan masukan untuk penulis di
masa yang akan datang. Semoga Book Report ini dapat bermanfaat umumnya bagi
pembaca dan khususnya bagi penulis. Amin
Bandung, November
2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika masih
berada di bangku SMA, saya sudah sering membaca buku-buku keislaman. Terkadang
membaca di toko-toko buku, ataupun di majalah-majalah keislaman. Suatu hari
ketika sedang melihat-lihat buku di sebuah toko, saya menemukan buku yang
berjudul “dialog sunnah-syiah”. Seketika saja saya terkejut, dan merasa
ketakutan. “Pasti ini buku sesat”, ujar saya dalam hati. Karena dari
perkataan-perkataan orang, yang saya tahu bahwa Syiah itu sesat, sehingga kita
harus berhati-hati. Akhirnya saya tak memberanikan diri untuk membacanya, takut
akan terpengaruh kedalam kesesatan.
Singkat
cerita, saya sudah berada di bangku perkuliahan. Dan suatu saat ketika saya
sedang berada di perpustakaan kampus untuk mencari buku-buku referensi, saya
menemukan kembali buku yang dulu pernah ditemui, yaitu buku “dialog
sunnah-syiah” Memang pada awalnya masih ketakutan. Tetapi saya harus memberanikan
diri, karena saat ini saya sudah berada di bangku perkuliahaan, serta mengambil
jurusan keagamaan.
Ketika
membaca isinya, saya seperti menemukan sebuah intan permata didalam laut.
Sangat bagus dan mengungkapkan rahasia yang selama ini tersembunyi. Akhirnya
saya menyimpulkan untuk meneliti mazhab Syiah ini dan kebetulan juga ada tugas
dari mata kuliah BLS untuk membuat laporan buku yang disertai dengan analisis
penulis dengan menambah sumber-sumber referensi, sehingga bisa lebih memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.
B.
Idetitas
Buku
Beliau
adalah Al Imam As-Sayyid Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi. Dilahirkan pada
tahun 1290 H di kota Al Kadzimiyyah, Irak, dari kedua bapak ibunya masih
memiliki garis keturunan bersambung sampai kepada Rasulullah. Ketika mencapai
usia delapan tahun, ia dibawa oleh ayahnya ke kota Amila, sebelah selatan
Libanon, tempat asal keluarga ayahnya. Di sana ia belajar ilmu bahasa Arab,
balaghah, logika, fikih, usul fikih, dan lainnya. Ketika menginjak usia 32
tahun, beliau diamanahi untuk memangku jabatan sebagai seorang mujtahid besar,
dan membina lingkungannya yang baru itu dengan cara hidup yang lebih ketat
dalam urusan agama, lunak dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar, tegas
dalam membela kebenaran, ksaih sayang kepada kaum yang lemah, teguh dalam amr
ma’ruf nahi munkar, bertawadhu di hadapan para ulama.
Pada tahun 1329 beliau memtuskan untuk
pergi ke Mesir dalam suatu urusan wisata ilmiyah, dimana ia disambut oleh para
ulama dengan sambutan yang meriah sekali. Ia juga bertemu dengan rector Al
Azhar pada waktu itu adalah As-Syaikh Salim Al-Bisri Al-Maliki. Dna dalam
beberapa pertemuan yang berlangsung, mereka berbicara tentang perpecahan dan
permusuhan antara kelompok Sunnah dan Syiah, dan bagaimana hal tersebut bisa
teratasi. Sebagai salah satu hasil kunjungannya, adalah berlangsungnya
dialog-dialog antara kedua tokoh besar itu yang membahas bebepa pokok masalah
penting dalam usaha mendekatkan pandangan kedua kelompok tersebut, dan akhirnya
membuahkan buku Al Muraja’at.
C.
Fokus
Buku
Adapun fokus buku yang akan dibahas yaitu:
1. Mengapa kaum Syiah tidak berpegang pada
mazhab-mazhab jumhur (mayoritas) kaum muslimin?
2. Mengapa kaum Syiah berpegang teguh kepada
keimamahan Ali dan keturunannya?
BAB II
Dialog
Sunnah Syiah
Oleh: Syaikh A.Syarafudin Al-Musawi
A.
Dalil
Syariat Mewajibkan Berpegang Kepada Mazhab Ahlul Bait
Dalam
kenyataannya, kaum Syiah tidak berpegang kepada mazhab Asy’ari dalam urusan
ushuluddin, dan mazhab yang empat dalam urusan cabang syariat, maka ini
sekali-kali bukan karena ingin menggolong atau karena fanatisme, dan bukan pula
karena meragukan usaha-usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) para pemuka mazhab
itu. Tetapi sebabnya ialah bahwa dalil-dalil syariat yang telah memaksa kaum
Syiah untuk berpegang hanya kepada mazhab Ahlul Bait. Dan merupakan suatu
kenyataan bahwa orang-orag di tiga abad pertama secara mutlak tidak pernah
berpegang kepada sesuatu dari mazhab-mazhab tersebut. Untuk Al-Asy’ari saja
baru dilahirkan pada tahun 277 H, dan meninggal setelah tahun 330 H. Ibnu
Hanbal lahir tahun 164 H dan meninggal tahun 241 H. Syafi’i lahir tahun 150 H
dan meninggal tahun 204 H. Malik lahir tahun 95 H dan meninggal 179 H. Abu
Hanifah lahir tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. Maka apakah sebenarnya yang
telah menetapkan atas kaum muslimin seluruhnya –setelah tiga abad kemudian-
keharusan mengamalkan ajaran mazhab-mazhab tertentu itu. Oleh karenanya, mereka
–kaum Syiah- mengutakan hujjah-hujjah mengenai otoritas wewenang untuk
mengikuti mazhab Ahlul Bait, diantaranya ialah:
1. Dalil-dalil Alquran dan hadits
Bukankah
mereka itu –Ahlul Bait- yang dimaksudkan dengan ungkapan (tali Allah) atau bablullah
dalam ayat:
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
(QS. Ali Imran [3]: 103)
Telah
diriwayatkan dari Al Imam As-Salabi dalam tafsirnya tetang ayat ini, dengan
sanad kepada Abban bin Taghbin, dari Al Imam Ja’far As-Shadiq, yang berkata:
“kami (ahlul bait) yang dimaksud dengan tali Allah dalam ayat tersebut”.
Ibnu Hajar juga telah menggolongkan ayat tersebut dalam ayat-ayat yang
diturunkan untuk mereka.
Dan bukankah
mereka itu yang dimaksud dengan ash-shadiqin (orang-orang yang tulus
hati) dalam ayat:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar.(QS. At-Taubah [9]: 119 )
Ash-shadiqin
disini ialah: para Rasul dan para Imam dari keluarga suci Rasulullah, sesuai
dengan riwayat-riwayat yang shahih dan mutawatir. Hal ini telah disebutkan oleh
Al Hafidz Abu Nu’aim dan Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq, sebagai penafsiran
yang berasal dari Ali Zainal Abidin
Dan juga ahl
dzikr dalam ayat:
Artinya: Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.(QS. An-Nahl [16]: 43)
As-Salabi
menyebutkan dalam tafsirnya tentang ayat ini, keterangan dari Jabir yang
berkata: ketika turun ayat ini, berkatalah Ali: Kami (yang dimaksud dengan) ahl
dzikr. Dan begitu pula apa yang diriwayatkan dari para Imam-imam lainnya.
Al-Allamah Al-Bahrini menyebutkan lebih dari 20 hadits shahih yang hampir sama
isinya.
Dan al hadi (pemimpin/ penunjuk jalan) dalam
ayat:
Artinya:Orang-orang
yang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu
tanda (kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang
pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.(QS. Ar-Rad [13]: 7)
As-Salabi
dalam menafsirkan ayat ini meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “ketika ayat ini
diturunkan, Rasulullah meletakkan tangannya di atas dadanya, lalu berkata: Aku
adalah Mundzir dan Ali adalah al hadi. Dan dengan engkau –wahai
Ali- orang akan mencapai jalan yang benar.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh
banyak sekalli ahli-ahli tafsir dan hadits dari Ibnu Abbas.
Bukankah
Allah telah menetapkan kepemimpinan umum atau walayah-ammah bagi mereka
–ahlul bait- itu? Bukankah hal itu di khususkan hanya bagi mereka setelah
kepemimpinan Rasul? Karena Allah telah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
Maka Sesungguhnya pengikut (agama) AllahItulah yang pasti menang.(QS. Al-Maidah [5]: 55-56)
Telah
sepakat para ahli tafsir –sebagaimana yang telah diakui oleh Al-Qausyaji,
seorang diantara pengikut mazhab Asy’ari, dalam pembahasan mengenai imamah pada
kitabnya Syarhut Tajrid-, bahwa ayat ini diturunkan khusus untuk
menunjukkan peristiwa yang berkenaan dengan Ali, ketika ia bersedekah sambil ruku’
dalam sholatnya. An-Nasa’i juga juga menyebutkan melalui riwayat dari Abdullah
bin Salam bahwa ayat ini diturunkan pada peristiwa Ali tersebut. Demikian juga
pengarang Al-Jam’u bainash Shahih As-Sittah ketika menafsirkan surat
Al-Maidah ini. Juga As-Tsalabi dalam tafsirnya Al-Kabir menegaskan
turunnya pada peristiwa itu.
Dan bukankah
Allah telah menetapkan magfirah-Nya bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan
beramal shaleh, dengan syarat mereka itu berjalan di jalan yang benar yaitu
menjadikan Ahlul Bait sebagai pemimpinnya? Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
Artinya: Dan
Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal
saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.(QS. Thaha [20]: 82)
Telah
berkata Ibnu Hajar Asqalani dalam As-Sawa’iq –pasal I, Bab 11- bahwa
Tsabit Al-Banani telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kemudian ia
tetap di jalan yang benar” ialah jalan menuju kesetiaan kepada Ahlul Bait.
Makna ayat itu juga diriwayatkan dari Muhammad Baqir. Kemudian Ibnu Hajar juga
meriwayatkan beberapa hadits tentang selamatnya orang-orang yang mendapatkan
dan mengikuti jalan Ahlul Bait. Ia juga mengisyratkan tentang apa yang
diucapkan oleh Al-Imam Al-Baqir pada Al-Harits bin Yahya sebagai berikut: “Hai
Harits, perhatikanlah betapa Allah menetapkan syarat-Nya sehingga siapapun
tidak akan berguna baginya taubatnya, imannya, amal shalehnya, kecuali ia
menyatakan kesetiaan dan dukungannya pada kami (Ahlul Bait).” Kemudian Al-Baqir
meriwayatkan dari sanadnya sampai kepada Ali bin Abi Thalib yang telah berkata:
“demi Allah, sekiranya seseorang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, tapi
ia tidak menyatakan kesetiaan kepada kami dan tidak pula mengakui hak kami
atasnya, maka segalanya itu tidak akan berguna baginya”
Dan juga
telah disebutkan oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dari ‘Aun bin Abi Juhaifah
dari ayahnya yang meriwayatkan dari Ali seperti pernyataan diatas. Seperti itu
pula telah diriwayatkan dari Al-Hakim dari Al-Baqir, Ash-Shadiq, Tsabit Al-Banani,
dan Anas bin Malik.
Bukankah
Rasulullah telah diperitahkan untuk menyampaikan soal (kepemimpinan Ahlul Bait)
ini kepada manusia? Bukankah seakan-akan telah sipersempit baginya dengan
adanya semacam paksaan Allah atas dirinya ketika Ia berfirman:
Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(QS. Al-Maidah [5]: 67)
Diriwayatkan
oleh banyak ahli-ahli hadits seperti Al Imam Al Wahidi ketika menafsirkan surat
Al-Maidah seperti yang tersebut dalam kitabnya Asbabun Nuzul, bahwa Said
Al-Khudri berkata: ayat ini diturunkan pada hari Ghadir Khum berkenaan dengan pidato
Rasulullah tentang Ali bin Abi Thalib. Juga yang telah diriwayatkan oleh
Ats-Tsalabi dalam tafsirnya dengan dua sanad. Dan diriwayatkan dari Al-Hamwani
Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Faraid dengan beberapa sanad dari Abu
Hurairah secara marfu’. Dengan dikutib dari Abu Nu’aim dalam kitabnya Nuzulul
Quran dengan dua sanad, pertama dari Abu Rafi’, dan kedua dari Al-A’Masy
dari ‘Atiyyah secara marfu’. Dalam kitab Ghayatul Maram terdapat
Sembilan hadits yang mengandung arti yang sama yang diriwayatkan melalui sanad
Ahlus Sunnah, dan delapan hadits melalui sanad Syiah.
Dan mereka
itulah orang-orang yang bertasbih seperti yang difirmankan Allah:
Artinya: Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang.(QS. An-Nur [24]: 36-37)
Sesuai
dengan penafsiran dari Mujahid dan Yahya bin Sufyan, dari Ibnu Abbas tentang
firman Allah diatas ialah: bahwasanya Dihyah Al Kalbi pada suatu hari di hari
jumat telah datang dari Syams membawa perdagangan pangan pada saat Nabi sedang
diatas mimbar masjid. Kemudian Dihyah memukul gendering untuk mengumumkan
kedatangannya, dan orang-orang pun keluar dari masjid meninggalkan Rasulullah
yang sedang berkhutbah. Hanya Ali, Hasan, Husein, Fathimah, Salman, Abu Dzar
dan Miqdad yang masih tinggal bersama beliau. Lalu beliau bersabda: “Allah
telah memadang kea rah masjid ini, dan sekiranya bukan karena mereka ini,
niscaya kota Madinah telah habis dimakan api, dan penduduknya dilempari dengan
batu-batu seperti kaumLuth.”
Dan mereka
itulah yang disebut dengan Ahlul Bait dalam firman Allah:
Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab [33]: 33)
Dan mereka
itulah “keluarga Muhammad” yang untuk mereka Allah telah memfardukan bacaan
shalawat dan salam, atas hamba-hamba-Nya semuanya. Ketika dia berfirman:
Artinya: Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.(QS. Al-Ahzab [33]: 56)
Ketika ayat
ini diturunkan, bertanyalah para sahabat kepada Rasul: “Ya Rasulullah, mengenai
ucapan salam yang harus kami tujukan kepada anda, kami telah mengerti. Tapi
bagaimanakah kami mengucapkan shalawat?” Maka Rasul menjawab, “katakanlah:
Allahumma Sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad!”. Demikianlah yang disebut
dalam hadits seperti yang terdapat dalam shahih bukhari dan shahih
muslim.
Hal ini
menunjukkan bahwa membaca shalawat kepada keluarga Nabi adalah bagian dari
shalawat yang diperitahkan Allah. Dan karena itulah para ulama memasukkan ayat
ini dalam kelompok ayat-ayat Alquran yang diturunkan berkaitan dengan Ahlul
Bait, Ibnu Hajar menyebutnya sebagai ayat yang bersangkutan dengan mereka dalam
kitabnya As-sawaiq.
Setelah
menyebutkan begitu banyaknya dalil-dalil mengenai keutamaan mazhab Ahlul Bait,
tapi masih banyak saja orang-orang yang tidak mau menerimanya bahkan menolak
mentah-mentah hanya karena perawi-perawinya dari kalangan orang Syiah. Hal
inilah yang sangat keliru. Padahal dalam sanad-sanad yang diakui oleh
Ahlus-Sunnah, dan juga dalam berbagai saluran yang mempertemukan perawi-perawi
hadits tersebut banyak sekali dijumpai nama-nama yang terkenal dikalangan tokoh-tokoh
Syiah. Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab kumpulan hadits yang disusun oleh
keenam tokoh ahli hadits. Diantara mereka ada yang terdapat dalam kitab shahih
bukhari telah di cap sebagai Rafidhi dan dituduh sebagai pembenci para
sahabat. Meskipun begitu, Bukhari dan lainnya tidak meragukan mengambil
sedikitpun tentang kejujuran mereka, sehingga mengambil riwayat-riwayat orang
itu dengan segala senang hati dan tanpa ragu. Dan apakah setelah itu semua,
orang-orang Ahlus-Sunnah masih tidak mau menjadikan hujjah riwayat hadits
yang berasal dari orang Syiah? Tentunya
tidak
Andaikata
mereka mneyadari bahwa orang-orang Syiah tidak pernah menyimpang dari jejak Al-Itrah
para kerabat suci Nabi. Dan selalu berperilaku seperti perilaku mulia yang
menjadi ciri khas mereka. Tidak mengerjakan sesuatu kecuali dengan mencontoh
tauladan mereka. Dan oleh karenanya tidak ada bandingan bagi mereka dalam hal
kejujuran dan amanat. Tiada saingan bagi mereka dalam sifat wara’. Tiada yang
dapat menyerupai mereka dala sikap zuhud, ibadah dan keluhuran akhlak.
Andaikata tampak hakikat sifat-sifat mereka ini bagi si penyanggah, niscaya ia
bersedia menumpahkan rasa kepercayaannya pada mereka, dan menyerahkan kendali
dirinya dengan bulat-bulat dan sepenuh hati.
Beribu-ribu
karangan mereka yang tersebar luas, mengutuk kaum pembohong, serta dengan tegas
menyatakan bahwa berdusta dalam hal meriwayatkan hadits, adalah dosa besar yang
menjerumuskan ke dalam neraka. Bahkan dalam paham Ahlul Bait, berdusta dengan
sengaja dalam hal hadits adalah termasuk di dalam hal-hal yang membatalkan
puasa seseorang, dan mereka pun mewajibkan qadha dan membayar denda kaffarah atas yang
melakukannya dibulan Ramadhan. Kitab fikih dan hadits mereka membuktikan hal
tersebut.
Dan untuk
pembuktiannya, maka disini akan dipaparkan beberapa perawi hadits yang berasal
dari golongan Syiah yang dimasukkan ke dalam golongan hadits-hadits Ahlus
Sunnah, diantaranya:
1. Abban bin Taghlib bin Rabbah Al-Kufi
Adz-Dzahabi
menyebutkan dalam kitabnya Al-Mizan sebagai berikut: ia adalah seorang
Syiah yang keras pendiriannya, tapi ia juga seorang yang selalu menjaga
kebenaran ucapannya. Oleh karenanya, kita ambil ucapannya yang bisa dipercaya
itu, dan meninggalkan bid’ahnya untuk dirinya sendiri. Kemudian Adz-Dzahabi
berkata lagibahwa Imam Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai dapat dipercaya.
Begitu pula Ibnu Mu’in dan Abu Hatim. Adz-Dzahabi juga menyatakan bahwa Muslim,
Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah termasuk diantara tokoh ahli hadits
yang meriwayatkan melalui Abban.
2. Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i Al-Kufi
Ia tergolong
diantara tokoh islam yang sangat dipercaya. Namanya tersebut diantara mata
rantai sanad-sanad yang shahih dalam kitab-kitab yang enam, meskipun ia
diketahui sebagai seorang Syiah.
Ibnu
Qutaibah dalam kitabnya Al-Ma’arif memasukkannya kedalam tokoh-tokoh Syiah tanpa
ragu. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dijumpai hadits yang diriwayatkan
lewat paman ibunya, yaitu ‘Alqamah bin Qais
3. Ismail bin Abban Al-Azdi Al-Kufi Al-Warraq
Adz-Dzahabi
menyebutkan dalam Al-Mizan bahwa Bukhari dan Turmudzi berpegang pada
riwayat Ismail dalam kedua kitab shahih mereka. Demikian pula Yahya dan Ahmad
mengambil riwayat haditsnya. Al-Bukhari menilainya sebagai seorang yang amat
boleh dipercayai.
4. Jarir bin Abdul Hamid Adh-Dhabi
Ibnu
Qutaibah dalam kitabnya Al-Ma’arif memasukkannya kedalam kelompok tokoh
Syiah. Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan menyatakan bahwa ahli-ahli hadits
seperti Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya memasukkan nama Jarir.
5. Hakam bin Utaibah Al-Kufi
Ibnu
Qutaibah dalam kitabnya, memasukkannya dalam kelompok tokoh yang berfaham
Syiah. Bukhari dan Muslim berpegang pada riwayat haditsnya.
6. Khalid bin Mukhallad Al-Qatwani
Disebutkan
oleh Ibnu Sa’ad dalam juz 6 dari Ath-Thabaqat sebagai seorang yang
beraham Syiah secara ekstrim. Abu Daud menyebutnya sebagai orang yang
terpercaya tetapi ia berpenganut Syiah. Bukhari dan Muslim berpegang kepada
haditsnya.
Inilah
sedikit diantara nama-nama pahlawan Syiah. Mereka adalah hujjah-hujjah
(orang-orang kepercayaan) Ahlus Sunnah. Dan mereka adalah penyimpan dan penjaga
ilmu kaum muslimin. Dengan adanya orang-orang seperti mereka, peninggalan
Rasulullah telah diselamatkan. Dan itulah tumpuan kitab-kitab shahih, sunan,
maupun musnad.
B.
Adanya
Dalil Tentang Imamah / Kepemimpinan Umum Sebagai Pengganti Kepemimpinan
Rasulullah
Setiap orang
yang mengerti tentang riwayat hidup Rasulullah pada saat-saat pertama beliau
membangun dasar-dasar pemerintahan islam, mengatur hukum-hukumnya, membina
asas-asasnya, membuat undang-undangnya, dan mengatur semua persoalan yang
berkaitan dengannya, sebagaimana yang diterima dari Allah, pasti akan menyadari
bahwa Ali adalah wazir (menteri, pembantu utama) Rasulullah dalam menjalankan
tugas beliau, yang selalu membelanya terhadap musuh-musuhnya, dan merupakan
orang kepercayaan beliau, khasanah ilmunya, yang mewarisi pemerintahannya,
putra mahkotanya, dan yang berhak mengganti kedudukan sepeninggalan beliau.
Siapapun
juga yang telah mempelajari dengan seksama ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakannya, dalam kediaman dan perjalannya, pasti akan menjumpai
banyak sekali nash-nash (keterangan-keterangan yang jelas dan tegas) tentang
hal itu, sejak masa permulaan dakwah sampai dengan terakhir hayat beliau.
Untuk itu,
disini akan dipaparkan beberapa nash-nash dari Alquran maupun hadits guna
memperkuat hujjah tentang kepemimpinan Ali sepeninggal Rasulullah melaui jalur
Ahlus Sunnah maupun dari jalur Ahlul Bait, diantaranya:
1. Dakwah Rasul pada kerabatnya di Mekkah
Artinya: Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.(QS. Asy-Syu’ara [26]: 214)
Pada waktu
itu beliau mengumpulkan anggota keluarga yang terdekat, sekitar 40 orang berada
disana, di rumah Abu Thalib. Disana juga dihadari oleh Hamzah, Abbas, dan Abu
Lahab. Hadits mengenai hal ini tergolong kedalam hadits yang shahih, dimana
Rasulullah bersabda pada pertemuan itu: “wahai putera-putera Abdul Muthallib!
Demi Allah, tidak seorang pun pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk
kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama dari yang kubawa untuk
kalian. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah
memerintahkan aku menyeru kepada kalian agar menerimanya. Maka siapakah
diantara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini, dan
sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku yang terdekat. Washi (penerima/pengemban
wasiat)ku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku diantara kalian?”
Semua yang
hadir siam seribu bahasa, kecuali Ali, yang termuda diantara mereka, ia
beridiri dan berkata dengan lantangnya: “Aku -wahai Nabiyullah- yang akan
menjadi pembantumu.” Dan Rasulullah menepuk leher Ali seraya berkata: “inilah
saudaraku,washiku, dan khalifahku diantara kalian. Dengarlah kata-katanya,
taatlah kepadanya!” maka bangkitlah mereka itu sambil tertawa dan berkata pada
Abu Thalib: “lihatlah betapa ia telah memerintahkan anda agar mendengar
kata-kata anakmu dan taat kepadanya”
Banyak
sekali dikalangan penghafal hadits-hadits Rasulullah yang merawikan dengan
susunan seperti itu, diantaranya Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Mardawiah, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi dalam sunan dan Dalail-nya,
Ats-Tsa’labi dan At-Tabari ketika menafsirkan surat Asy-Syu’ara. Begitu pula
Ahmad dalam musnadnya.
2. Keutamaan-keutamaan Ali
Imam Ahmad
dalam musnadnya, Imam Nasa’i dalam kitabnya Khashaisul Alawiyyah, dan
Al-Hakim dari kitabnya Al-Mustadrak, juga Adz-Dzahabi yang mengakui
keshahihannya dalam kitab Al-Talkhis, dari Umar bin Maimun yang berkata:
“suatu hari aku sedang duduk di rumah Ibnu Abbas, ketika datang sekelompok yang
terdiri dari Sembilan orang. Mereka berkata kepada Ibnu Abbas: ‘kami ingin
menanyaka sesuatu. Dapatkah anda pergi bersama kami, atau meminta orang-orang
ini keluar dari tempat ini sehingga kita berbicara tanpa didengar oleh mereka?
’ baiklah aku akan pergi bersama kalian, jawab Ibnu Abbas. Maka keluarlah ia
bersama mereka, dan kami tidak mengetahui apa yang dibicarakan. Sesaat kemudian
Ibnu Abbas kembali ketempat kami sambil mengibaskan bajunya dan bergumam: “sungguh
celaka mereka itu, mempergunjingkan seseorang yang memiliki sepuluh keutamaan
yang tidak dimiliki seseorang selain dia!
a. Seorang yang baginya Rasulullah pernah
bersabda: “aku akan mengutus seseorang yang takkan pernah dihinakan oleh Allah
dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya tentunya banyak diantara
yang hadir sangat mendambakan agar ia ditunjuk oleh beliau. Tapi Rasulullah
bertanya: “dimana Ali?” kemudian Ali yang ketika itu sedang menderita sakit
mata sehingga hampir-hampir tidak dapat melihat datang untuk menghadap. Beliau
menghembuskan nafasnya pada kedua mata Ali (sehingga ia sembuh dari sakitnya
seketika itu juga), kemudian menyerahkan bendera perang setalah menggerakkannya
tiga kali. Segera Ali pergi menunaikan tugasnya, dan kembali dengan kemenangan,
sambil membawa Safiyyah bin Huyay.
b. Ibnu Abbas melanjutkan: “pernah Rasulullah
mengutus fulan (Abu bakar) untuk membacakan surat At-Taubah. Beberapa saat
kemudian beliau mengutus Ali untuk menyusulnya dan mengambilnya kembali, seraya
berkata: Tidak seorang pun akan membawa dan membacanya (atas namaku) kecuali
seorang (keluargaku) yang amat dekat kepadaku, dan diriku pun amat dekat
kepadanya”
c. Rasulullah pernah berkata dihadapan para
kerabatnya (dari pihak ayah beliau): “siapakah diantara kalian yang bersedia
menjadi pendukung dan pembantuku di dunia dan akhirat? Semuanya enggan kecuali
Ali yang berkata: Aku adalah pendukung dan pembantumu di dunia dan akhirat.
Rasulullah kemudian bersabda: engkau adalah waliku”
d. Ibnu Abbas berkata: Ali adalah orang
pertama yang beriman setelah Khadijah
e. Pernah Rasulullah membentangkan bajunya dan
mengkerudungkannya di atas Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein seraya membaca ayat
Alquran: “sesunggunya Allah hanya berkehendak menghilangkan kenistaan dari
kamu –wahai ahlul bait-, dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya”
f. Dalam menjaga keselamatan Rasulullah
(ketika beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah), Ali telah menjual dirinya demi
Allah, dengan mengenakan baju Rasulullah dan tidur di tempat tidur beliau pada
saat kaum musyrikin sedang mengincar untuk membunuhnya.
g. Ketika Rasulullah berisiap-siap untuk pergi
ke peperangan Tabuk bersama tentaranya, Ali bertanya: “aku pergi bersamamu ya
Rasulullah?” “tidak!”, jawab beliau. Ali kemudian menagis karena amat kecewa.
Tapi Rasulullah berkata kepadanya: “apakah engkau tidak merasa puas dengan
kedudukanmu di sisiku yang sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya
saja tidak ada lag Nabi setelah aku? Sungguh tidak sepatutnya aku pergi,
melainkan engkau sebagai kahlifahku.” Hadits ini di kenal dalam di dalam
golongan Syiah dengan sebutan Hadits Manzilah.
Kita tentunya cukup mengerti bahwa yang
paling menonjol dalam kedudukan Harun di sisi Musa ialah jabatannya sebagai wazir
(menteri, pembantu utama), yang memperteguh kekuatannya, menjadi sekutu
dalam urusannya, menggantikan kepemimpinannya pada saat kepergiannya, dan wajib
ditaati oleh umatnya, semua ini berdasarkan pada firman Allah ketika
menceritakan permohonan Musa:
Artinya: Dan
Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,(yaitu) Harun,
saudaraku,teguhkanlah dengan Dia kekuatanku,dan jadikankanlah Dia sekutu dalam
urusanku. (QS. Thaha [20]: 29-32)
Dan firman Allah:
Artinya: Dan
telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga
puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi),
Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan
berkata Musa kepada saudaranya Yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku, dan perbaikilahdan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang membuat kerusakan".(QS. Al-A’Raf [7]: 142)
dan berdasarkan firman diatas, Allah telah
mengabulkan doanya:
Artinya: Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, Hai Musa."(QS. Thaha [20]: 36)
Adapun hadits lain senada
dengan hadits di atas ialah ketika Rasulullah bercakap-cakap dengan Ummu
Sulaim. Beberapa kali Rasulullah mengunjungi rumahnya dan berbicang-bincang
dengannya. Dan pada suatu peristiwa beliau berkata kepadanya: “hai Ummu Sulaim,
sesungguhnya Ali adalah darah dagingku sendiri. Kedudukannya disisi ku seperti
kedudukan Harun di sisi Musa”
Demikian pula hadits yang
berkenaan dengan persoalan puteri Hamzah, ketika tugas memeliharanya
diperebutkan antara Ali, Ja’far dan Zaid. Lalu Rasulullah bersabda: “Hai Ali,
kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.
Maka berdasarkan nash ini,
Ali adalah Khalifah Rasulullah bagi umat beliau, wazirnya diantara keluarganya,
dan sekutunya dalam urusannya (dalam hal khilafah, bukan dalam hal nubuwwah.
h. Ibnu Abbas menambahkan: “Rasulullah pernah
bersabda pada Ali: “engkau adalah wali setiap mukmin dan mukminah setelah aku.”
i.
Rasulullah memerintahkan agar semua pintu rumah-rumah
yang berhubungan langsung dengan masjid beliau ditutup, kecuali pintu rumah
Ali. Oleh karena itu ada kalanya Ali masuk ke dalam masjid dalam keadaan junub
sebab ia tidak memiliki jalan lain kecuali lewat masjid itu.
j.
Rasulullah pernah bersabda: “barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga” (Al-Hakim telah
merawikan hadits ini dan berkata: ini adalah hadits yang shahih sanadnya sesuai
dengan persyaratan Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Adz-Dahabi juga merawikannya dalam Talkhisnya dengan menyatakan bahwa
hadits ini shahih)
3. Berdasarkan hadits-hadits Rasulullah yang
berasal dari Ahlus Sunnah maupun Syiah
a. Ini adalah hadits yang diriwayatkan dari
Abu Daud Ath-Thayalisi pada bab Hal ihwal Ali, dengan sanadnya kepada Ibnu
Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah telah bersabda kepada Ali: “engkau wali
(pemimpin) bagi mukmin sepeninggalanku”
b. Demikian pula ucapan Rasulullah dalam suatu
hadits: “Hai Ali, aku telah memohon dari Allah lima hal yang berkenaan dengan
engkau, maka Dia memperkenankan yang empat dan menolak yang satu” (sampai
akhirnya beliau berkata): “diperkenankannya permintaanku agar engkau menjadi
wali kaum mukmin setelah aku”
c. Ibnu Abi ‘Ashim memberitakan dari Ali
secara marfu’: “bukankah kamu menganggapku lebih utama dari memimpinmu daripada
dirimu sendiri?” mereka berkata: “benar ya Rasulullah” belai menambahkan:
“siapa saja yang menganggap aku sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga”
d. Telah diberitakan oleh At-Thabarani dari
Zaid bin Arqam, katanya: ketika Rasulullah pulang dari haji wada’ dan berhenti
di Ghadir Khum, beliau memerintahkan didirikannya beberapa kemah, dan setelah
itu beliau berkata: “seakan-akan aku dipanggil Allah dan memenuhi (panggilan
itu) dan aku tinggalkan kepada kamu ats-tsaqalain, yang satu lebih besar
dari yang lain: kitab Allah dan Itrahku, ahlul baitku. Perhatikanlah baik-baik
bagaimana kamu memperlakukan keduanya sepeninggalanku nanti. Sebab keduanya
takkan berpisah sampai berjumpa kembali denganku di Al-Haudh. Kemudian beliau
melanjutkan: “sesungguhnya Allah adalah maulaku. Dan aku adalah wali setiap
mukmin” (lalu beliau mengangkat lengan Ali dan berkata): “barangsiapa yang
memperwalikan aku, maka ini adalah walinya juga. Ya Allah, cintailah siapa yang
memperwalikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya”
Dan telah berkata Abu Tufail: “aku pernah
bertanya kepada Zaid bin Arqam”: “anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?”
ia menjawab, “setiap yang berada di kemah-kemah itu melihat dengan kedua
matanya, dan mendengar (pidato itu) dengan kedua telinganya”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam
shahihnya. Tapi ia telah memperingkas dan memotong hadits itu.
4. Adanya ayatAl wilayah
Walaupun
sudah banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan adanya penunjukkan imamah
kepada Imam Ali, tetapi semua itu tidak lengkap jika tidak ada ayat Alquran
yang mengatakannya. Oleh karena itu, disini akan dipaparkan nash-nash Alquran
yang menyatakan tentang keimamahan Imam Ali. Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.(QS. Al-Maidah [5]: 55-56)
Ayat diatas,
sangat tidak diragukan lagi diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang
menyedekahkan cincinnya ketika ia sedang ruku’ dalam shalatnya. Sesungguhnya
banyak hadits-hadits shahih yang mutawatir yang diriwayatkan oleh para Imam
Al-‘Itrah (keluarga suci Nabi) yang menekankan diturunkannya ayat tersebut
berkenaan dengan Imam Ali. Adapun yang diberitakan tentang nash itu lewat
orang-orang selain mereka, antara laindiriwayatkan oleh Ibnu Salam (dalam suatu
hadits mafru’) yang akan ditemui dalam kitab Shahih Nasa’i.dan juga dari Ibnu
Abbas ketika ia menafsirkan ayat ini dalam kitab Asbabun Nuzul susunan
Imam Al-Wahidi. Dan juga disebutkan oleh Al-Khatib dalam Al-Muttafaq.
Ayat
tersebut, seperti yang dapat disaksikan, terpisah dari ayat-ayat sebelumnya
(yang memuat larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali), dan
telah keluar dari rangkaian tersebut dan beralih kepada pujian kepada Imam Ali,
dan selanjutnya mencalonkannya –untuk kepemimpinan dan Imamah- seraya mengancam
orang-orang yang murtad dan manakut-nakuti mereka dengan kekuatan dan
keperkasaannya (dalam membela agama Allah). Hal ini disebabkan ayat yang
sebelumnya ialah:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Maidah [5]: 54)
Dan memang
ayat ini dikhususkan bagai Amirul Mu’minin (Ali), dan mengancam kaum murtad
dengan keperkasaan beliau serta kawan-kawanya. Seperti dalam sebuah hadits,
Rasulullah bersabda: Tidakkah kamu akan berhenti –wahai kaum Quraisy-, sehingga
Allah akan membangkitkan seorang yang Dia telah menguji keimanan hatinya, yang
akan menebas batang lehermu pada saat kamu bagaikan kawanan kambing yang lari
berkejutan? Abu Bakar bertanya: “aku kah dia, ya Rasulullah?” “tidak!”, jawab
beliau. Umar pun bertanya, “aku kah, ya Rasul?” “tidak!” jawab beliau. “tapi
dia yang sedang menjahit sandal” (perawi hadits ini menambahkan): “di tangan
Ali –waktu itu- ada sandal kepunyaan Rasulullah yang sedang dijahitnya”
Maka dengan
demikian, ayat Al Wilayah (QS. Al-Maidah [5]: 55) ini datang setelah
adanya isyarat yang menunjukkan kepemimpinannya serta keharusan imamah beliau
itu.
C.
Kesimpulan
Dalam
kenyataannya, kaum Syiah tidak berpegang kepada mazhab Asy’ari dalam urusan
ushuluddin, dan mazhab yang empat dalam urusan cabang syariat, maka ini
sekali-kali bukan karena ingin menggolong atau karena fanatisme, dan bukan pula
karena meragukan usaha-usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) para pemuka mazhab
itu. Tetapi sebabnya ialah bahwa dalil-dalil syariat yang telah memaksa kaum
Syiah untuk berpegang hanya kepada mazhab Ahlul Bait. Dan merupakan suatu
kenyataan bahwa orang-orag di tiga abad pertama secara mutlak tidak pernah
berpegang kepada sesuatu dari mazhab-mazhab tersebut.
Setiap orang
yang mengerti tentang riwayat hidup Rasulullah pada saat-saat pertama beliau
membangun dasar-dasar pemerintahan islam, mengatur hukum-hukumnya, membina
asas-asasnya, membuat undang-undangnya, dan mengatur semua persoalan yang
berkaitan dengannya, sebagaimana yang diterima dari Allah, pasti akan menyadari
bahwa Ali adalah wazir (menteri, pembantu utama) Rasulullah dalam menjalankan
tugas beliau, yang selalu membelanya terhadap musuh-musuhnya, dan merupakan
orang kepercayaan beliau, khasanah ilmunya, yang mewarisi pemerintahannya,
putra mahkotanya, dan yang berhak mengganti kedudukan sepeninggalan beliau. Dan
untuk memperkuat hujjah-hujjah ini, kaum Syiah memaparkan dalil-dalil dari
Alquran maupun hadits yang bersumber dari penafsiran Ahlul bait maupun dari
kaum Sunnah.
BAB III
Analisis
A.
Mengenai
Hal Untuk Mengikuti Mazhab Ahlul Bait
Sebelum kita beranjak untuk mengetahui
alasan-alasan dari golongan Ahlul bait/ Syiah yang mengikuti gologan jumhur ulama
yang empat, alangkah lebih baiknya disini akan dipaparkan beberapa definisi
mengenai Syiah itu sendiri. Yang pertama adalah dari seorang Syaikh
besar Syiah Imamah, Al Thusi (Murad, 2009: 368) yang mengemukakan bahwa Syiah itu
adalah orang yang meyakini keberadaan Imam Ali sebagai pemimpin kaum muslimin
dengan wasiat dari Rasulullah dan dengan kehendak Allah. Tetapi menurutnya,
pengertian ini telah mengeluarkan dua kelompok Syiah yaitu dari golongan
Sulaimaniyah dan Batariah Zaidiyah yang
keduanya tidak meyakini adanya nash yang mengukuhkan kepemimpinan Ali. Yang kedua
adalah menurut pandangan Syahrastani yang mengemukakan bahwa Syiah adalah
mereka yang mengikuti Ali secara khusus dari sisi kepemimpinan (imamah) maupun
kekhilafahan, yang dikuatkan oleh nash maupun wasiat baik yang disampaikan
secara terang-terangan maupun rahasia.
Sebenarnya, latar belakang mazhab ini berumuara pada masa
permulaan islam, yaitu pada saat turun firmannya Allah surat Al-Bayyinah ayat
7, yang setelah itu Rasulullah meletakkan tangan ke atas pundak Ali, sedangkan
para sahabat hadir dan menyaksikannya, seraya berkata: “Hai Ali, kau dan
para Syiahmu adalah sebaik-baiknya penduduk bumi” dari sini lah kelompok
ini disebut dengan nama Syiah. (Edi, 2011: 172)
Muslim
meriwayatkan dalam shahihnya, dari Jabir bin Samurah yang berkata: “aku
bersama ayahku penah masuk menemui Rasulullah, lalu aku mendengar lalu
bersabda, ‘sesungguhnya urusan agama ini tidak akan punah hingga berlalu dua
belas khilafah’. Kemudian dia bersabda sesuatu yang samar bagiku, maka kau
menanyakan hal itu kepada ayahku. Ayahku berkata bahwa beliau bersabda,
‘semuanya berasal dari Quraisy’” (ABI, 2012: 160)
Juga
dalam shahih Muslim lain yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda, “agama
ini akan tetap tegak berdiri sehingga tiba hari kiamat dan ada pada mereka dua
belas khilafah, semuanya berasal dari Quraisy” (ABI, 2012: 161)
Maka dari itu mereka sepakat (Audah, 2008:
384) bahwa Allah dan Rasulnya telah memilih dua belas imam untuk meneruskan
perjuangan Rasul, diantaranya:
1. Ali bin Abi Thalib
(41 H)
- Al-Hasan (49 H)
- Al-Husein (61 H)
- Ali
Zainal Abidin (94 H)
- Muhammad
Al-Baqir (113 H)
- Ja’far
Shadiq (148 H)
- Musa
Al Kazim (183 H)
- Ali
Ar-Rida (203)
- Muhammad
Al Jawad (221 H)
- Al
Al-Hadi (254 H)
- Al
Hasan Al Askari (261 H)
- Muhammad
Al Mahdi Al Muntazar (265 H). Imam terakhir ini menghilang disebuah gua pada usia lima tahun.
Ia dipercaya masih hidup, dan kaum Syiah amat mengharap kemunculannya
untuk membangun kembali kekhalifahan dan mengembalikan kembali kesucian
umat islam. (Al-Maghluts, 2009: 165)
Mengenai
Syiah imamah ini, mereka juga terbagi lagi mejadi beberapa pecahan-pecahan
diantaranyaAl Ushuliyah, Asy-Syaikhiyah, dan Al-Ikhbariyah. (Al-Maghluts, 2009:
165)
Adapun menurut kepercayaan mereka bahwa Imam Mahdi adalah berasal dari
keturunan Imam Ali. Bahwa ada hadits yang dikemukakan
oleh Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al Baihaqi, bahwa Nabi bersabda:
“Al Mahdi adalah berasal dari keturunanku, yaitu dari anak cucu Fatimah”
(Shabban, 1997: 99)
Walaupun ada kerumitan yang sangat serius pasca imam
ke-11 dan terutama ke-12, kaum Syiah menetapkan Imam Muhammad Mahdi
Al-Muntazhor sebagai imam terakhir. Tidak ada lagi imam pasca imam ke-12 ini.
Imam Mahdi sebagai imam zaman, yang hidupnya abadi hingga kiamat. Tapi menurut Munawar Afandi –wasith ke-48- Imam Mahdi mengalami dua kali gaib: pertama,
gaib kecil, dimana Imam Mahdi hanya bisa dihubungi oleh empat orang
wakilnya; dan kedua, gaib besar, yakni sejak wafatnya wakil imam yang
keempat sampai kiamat. Artinya, kaum Syiah sejak 1200 tahun yang lalu tidak
mempunyai imam yang bisa ditanya dan memberikan jawaban. Kaum Syiah pun
akhirnya seperti dengan mayoritas Suni, tidak bersandar pada Imam, melainkan
bersandar pada hasil ijtihad para ulamanya. (Rahmat, 2010: 353)
Menurut
Bakry (1990: 38) walaupun hadits mengenai imam mahdi ini ada yang bernilai
shahih, tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawatir. Adapun tokoh-tokoh yang
dianggap Imam Mahdi yang semuanya dianggap turunan Quraisy dengan berbagai
dalil, hal itu telah cukup dapat dipercaya. Tetapi menurut Muhammad Rasyid
Ridha hadits itu lemah, bahkan menurut Abdul Karim Amrullah, dan A. Hassan
menyatakan bahwa hadits itu maudhu.
Selanjutnya, menurut mereka, oleh karena adanya nash-nash Alquran maupun hadits
Rasul yang menyatakan kewajiban untuk mengikuti mazhab Ahlul Bait, mereka tidak
memiliki jalan lain kecuali mematuhinya. Lantas mengapa orang-orang Sunni tidak
mau menerima mazhab Syiah hanya karena tidak mengikuti mazhab yang empat.
Padahal Imam Abu Hanifah (Ali, 2008:
398) yang namanya diabadikan pada mazhab pertama, lahir pada tahun 80 H, pada
era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia pernah belajar
hukum mazhab Syiah pada Imam Ja'far As-Shadiq dan mendengar hadits-hadits dari
Abu Abdullah bin Al Mubarak dan Hamid bin Sulaiman. Beliaupun sering mengutip
ucapan Imam Ja'far sebagai sumbernya. Ketika ia kembali ke kota kelahirannya,
Kufah, meski ia tetap sebagai pendukung keluarga Ali yang konsisten dan
bersemangat, ia memisahkan diri dari mazhab hukum Syiah, dan mendirikan sistem
hukum sendiri yang amat berbeda dengan mazhab hukum Syiah pada masalah-masalah
yang penting. Meski demikian banyak terdapat kesamaan antara pandangan hukum
Abu Hanifah dengan hukum Syiah.
Jalaluddin yang memberikan kata pengantar dalam
buku seorang alim bermazhab Syafi’i
juga berkata bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal banyak meriwayatkan hadits dari perawi-perawi mazhab Syiah.
Bahkan salah seorang guru beliau yang benama Abdurrahman bin Shalih adalah
seorang Syiah. (Shabban, 1997: 8)
Selain
itu, tidak pernah ada ucapan dari Imam yang empat untuk menyuruh seluruh umat
muslim mengikuti mazhab mereka, maka bagaimana mungkin dalam keadaan seperti
ini kita dapat menyatakan bahwa mazhab mereka sajalah yang wajib diikuti secara
pasti.
Hasbullah
Bakry, seorang guru besar dari Institut Ilmu Quran (IIQ) yang pernah melakukan
penyelidikan ke Al-Azhar, dan bertemu dengan rektor disana untuk bertanya
mengenai kewajiban mengikuti pendapat mazhab tertentu. Yang akhirnya mereka
mendapat jawaban bahwa setiap muslim dapat memilih mazhab yang dikehendakinya
dengan membenarkan prinsip Attalfiq Fil Mazahib (beoleh memilih
sepotong-potong dari mazhab), kecuali untuk urusan pernikahan dan waris yang
harus sesuai dengan mazhab yang dianut oleh negaranya. (Bakry, 1990: vi)
Untuk
menguatkan pendapat Hasbullah, tidak lupa saya ingin mengutip fatwa Syaikh
Al-Akbar Mahmud Syaltut ketika beliau masih memangku jabatan rektor Al-Azhar
dan disiarkan pada tahun 1959, yang menyatakan bahwa agama islam tidak
mewajibkan suatu mazhab tertentu untuk diikutinya.Dan setiap muslim berhak
memilih suatu mazhab yang manapun setelah sampai kepadanya dengan cara yang
benar dan meyakinkan. Serta boleh berpindah ke mazhab lainnya. Begitu pun
mazhab Ja’fariyyah dengan sebutan mazhab Syiah Itsna Asyariyah adalah setiap
mazhab yang setiap orang boleh beribadah dan berpegang teguh pada
aturan-aturannya. (Al Musawi, 2008: xxxii)
Quraish Shihab
didalam kata pengantar buku mazhab putih Syiah berkata bahwa sejak tahun 1961
di Mesir sudah terbit Mausu’ah Jamal abdul Nashir Al-Faqqiya yang
didalamnya tercakup delapan mazhab yakni; empat mazhab Sunni, lalu Ahmad ibnu
Muhammad, kemudian Syiah Ja’fariyyah,, Al-Ibadiyyah, dan Az-Zahiriyyah. Ada
juga kesepakatan di Turki, Arab Saudi, Qatar. (ABI, 2012: xix)
Walaupun begitu, kaum Syiah tetap menganggap kaum Sunni
sebagai muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang
muslim yang harus dihormati jiwa, raga, harta, dan kehormatanya selama mereka tidak mengibarkan bendera permusuhan (ABI, 2012: 91)
Untuk itu, alangkah
bijaknya jika penulis menyarankan kepada pembaca untuk dapat menoleransi
pendapat Syiah ini, bahkan mungkin menganjurkan untuk melakukan penelitian yang
lebih mendalam dengan hati yang lapang dada tanpa ada unsur kefanatikan mazhab
sehingga nantinya akan menemukan sebuah titik temu diantara kedua belah pihak
–Syiah dan Sunni-.
B.
Mengenai
Keimamahan Imam Ali dan Imam Keturunannya
Memang Syiah
berpendapat bahwa Imam Ali lebih behak atas khilafah sebagai penerus Nabi.
Meski demikian, hal ini tidak menghalangi para pengikut Syiah untuk memberikan
apresiasi terhadap prestasi para khilafah dan memberikan penghormatan yang
layak kepada mereka. (ABI, 2012: 87)
Mengenai kelebih berhakkan Imam Ali atas jabatan khilafah, dapat
dilihat dari beberapa referensi lain yang mendukung, tetapi bukan berarti tidak
ada yang menyanggah mengenai masalah ini. Maka dari itu, disini penulis akan
memaparkan beberapa dalil penguatan ataupun sanggahan perihal keimamahan Imam Ali.
Setelah keterangan Ibnu Abbas yang ada di atas menerangkan tentang
keutamaan Imam Ali dibanding sahabat yang lain perihal mengorbankan dirinya
demi keselamatan Rasulullah. Penulis
akan mengutip hal serupa dari Audah (2008:32) yang menyatakan bahwa Ali bin Abi
Thalib rela mengorbankan dirinya demi Rasulullah ketika memberanikan diri tidur
di rumah Rasul untuk menipu kaum kafir Quraisy yang berniat membunuh
Rasulullah. Dengan
segala keberaniannya beliau merelakan jiwa dan raga. Tidak banyak orang yang berani melakukan hal ini,
kecuali orang yang benar-benar telah merelakan jiwa dan raganya demi sesuatu
yang amat ia cintai. Hal ini mencirikan keistimewaan khusus Imam Ali.
Selain itu, dalam perang
badar dia yang oleh Nabi diserahi tugas membawa bendera. Ketika ditantang
prajurit-prajurit quraisy yang terkenal beringas, Ali menyambut tantangan itu
bersama Hamzah dan Abu Ubaidah. Juga ketika dalam perang Uhud, dan kemudian
dalam perang parit ketika Amr bin Abd Wudd, pahlawan Quraisy yang terkenal pemberani itu
menerjang dan menyerbu
parit dan menantang kaum muslimin. Tak ada orang yang berani menyambut
tantangannya selain Ali. (Audah, 2008:
32)
Kasus
yang kedua, yaitu pada saat kesembilan hijriah, Abu Bakar oleh Nabi diminta
mewakilinya memimpin rombongan haji yang ketika itu terdiri dari 300 orang. Mereka
segera berangkat menuju Mekkah. Tetapi setelah rombongan berangkat, wahyu turun
kepada Nabi dengan ayat-ayat dalam surat At-Taubah yang berisi perintah bahwa
setelah musim haji tahun itu tak boleh ada lagi orang musyrik yang kotor dan
telanjang memasuki Baitullah yang suci. Suatu kesempatan yang baik untuk
menyampaikan ayat-ayat itu kepada semua orang dan golongan. Untuk itu Nabi segera mengutus Ali
agar menyusul Abu Bakar
dan menyampaikan apa yang telah dipesan Nabi.
Lalu Ali membacakannya. (Audah, 2008: 72)
Masih
banyak keutamaan-keutamaan Imam Ali lain yang tak dapat disebutkan semuanya
disini. Bahkan menurut penulis, keutamaan Imam Ali bisa dibilang terbanyak
dibanding keutamaan sahabat-sahabat yang lain, yang terkecuali Abu Bakar dan
Umar.
Persoalan ketiga mengenai hadits Ghadir Khum. Pada keterangan diatas, telah diterangkan
mengenai peristiwa ghadir khum secara panjang dalam hadits At-Thabarani. Dan peristiwa ghadir khum ini diperkuat oleh sejarawan
Sunni, Martin Lings (2011: 523) yang menyatakan bahwa dalam
perjalanan pulang ke Madinah, saat mereka berhenti ke Ghadir Khum, semua orang
dikumpulkan bersama. Beliau lalu memegang tangan Ali, mengulangi kata-kata
tersebut dan berdoa, “ya Allah, jadikanlah sahabat-Mu siapa saja yang
menjadi sahabatnya, dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya”
Mengutip juga hadits ghadir dengan sedikit perbedaan redaksi
walaupun intinya sama didalam disertasi dosen PAI, Munawar Rahmat (2010: 173)
yang berpredikat shahih menurut kriteria Imam Bukhari, juga diriwayatkan
Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi, adalah: “aku adalah kotanya ilmu dan kamu ya
Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat
pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci
kamu, karena kamu adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.
Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku, rahasiamu
adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan
celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan
merugilah orang yang memusuhimu. Sejahterahlah orang yang mencitaimu dan
merugilah orang yang berpaling darimu. Karena kamu dan para imam dari anak
keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh; siapa yang naik atasnya
selamat, dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam. Kamu semua seperti
bintang; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiamat.”
Kalimat kullu ma ghoba najmun thola’a najmunn ila yaumul
qiamah (setiap kali bintang itu tenggelam, maka terbit lagi bintang
hingga sampai kiamat) dalam hadits diatas perlu dicermati secermat-cermatnya.
Kalimat thola’a (terbit) menggunaan fi’il madhi. Maksudnya
antara bintang sebelum dan sesudahnya (antara guru sebelumnya dan guru yang
dikehendaki Ilahi sebagai penerus tugas dan fungsinya) itu tidak hanya kenal,
bukan hanya sebagaimana hubungan guru-murid pada umumnya, akan tetapi atas kehendak
dan izin-Nya dididik dengan cara-cara yang sangat khusus dan sempurna sedemikia
rupa sehingga sekiranya ditinggal mati telah benar-benar siap menerima
pelimpahan. Begitulah
sejak Nabi Muhammad yang mempersiapkan Imam Ali, kemudian melimpahkan wewenang
kepadanya sebagai wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya. Demikian
seterusnya Imam Ali melimpahkan wewenang kepada Imam Hasan, dan seterusnya
hingga sekarang dan sampai kiamat nanti. (Rahmat,
2010: 174-175)
Ketika membahas hadits ini, Munawar afandi –Wasithah ke 48- dengan
banyak mengutip banyak hadits dari jalur Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menyebutkan
bahwa semua kalangan sepakat tentang keimamahan imam Ali dan ahlul baitnya. Tetapi kaum Syiah memperlebar konsep imamah
hingga mencakup bidang politik. Sedangkan untuk Sunni hanya membatasinya dalam
bidang keagamaan. Bahwa dalam beragama, pasca wafatnya Nabi Muhammad harus
berimam kepada Ali bin Abu Thalib. (Rahmat,
2010: 353)
Hadits
ini adalah hadits yang
disampaikan oleh Rasulullah di Ghadir Khum, suatu tempat antara Mekkah dan
Madinah, sesudah haji Wada’.
Hadits ini disampaikan didepan kurang lebih 150.000 sahabat, di bawah terik
matahari yang sangat panas, sambil memegang tangan Imam Ali. Hadits ini adalah
hadits yang paling mutawatir dari semua hadits. (ABI, 2012: 148)
Mengenai hadits ghadir khum ini, (ABI, 2012: 150) terdapat dalam begitu
banyak kitab hadits dengan berbagai macam redaksi, diantaranya:
1.
Shahih Muslim, jilid 4/1873, Dar Fikr, Beirut
2.
Shahih Tirmidzi, jilid 5, halaman 297, hadits ke 3797
3.
Sunan Ibnu Majah, jilid 1, halaman 45, hadits ke 121
4.
Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 501, hadits ke 18838, halaman 498,
no.18815, cetakan Beirut
5.
Musnad Ahmad, jilid 4, halaman 368 dan 372
6.
Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 533, Dar Fikr, Beirut, tahun 1398 H
7.
Khashaish Amirul Mu’minin, oleh
An-Nasai, Syafi’i, halaman 50, 94, 95, cetakan Haidariyah
8.
Usudul Ghabah, oleh Ibnu
Atsir, jilid 5, halaman 369; jilid 3 halaman 274; jilid 5 halaman 208
9.
Ad-Durrul Mantsur, oleh
As-Sayuthi, jilid 5, halaman 112
10. Al-Imamah was Siyasah, oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, halaman 101
Bahkan didalam buku yang berjudul Khutbah Ghadirkhum (2013:
50) telah dipaparkan pula 110 perawi-perawi hadits Ghadir Khum dari kalangan
para sahabat mengenai pelantikan Ali sebagai khalifah secara langsung selepas
Rasulullah, oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah didalam buku-buku mereka. Oleh karena
itu hadits ini sudah mencapai derajat mutawatir. Kemudian diikuti pula oleh 84
perawi-perawi dari golongan tabi’in serta 360 perawi dikalangan para ulama
Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadits tersebut.
Selain
itu kaum Syiah meyakini bahwa surat Al-Maidah ayat 67 turun berkenaan dengan
hadits ghadir khum. Riwayat lain menyatakan bahwa setelah itu Umar bangkit dan
berkata: “selamat hai Putra Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan
pemimpin setiap mukmin dan mukminah” (ABI, 2012: 114)
Tetapi
tidak semua ulama sepakat mengenai hadits ghadir khum ini, salah satunya ialah
Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa kalimat “siapa saja yang aku menjadi
maulanya maka Ali menjadi maula baginya” tidak terdapat dalam kumpulan
hadits-hadits shahih. Para ulama dan ahli hadits berbeda pendapat tentang
keshahihannya. (Murad, 2009: 398)
Para
ahli hadits bersepakat bahwa kalimat, “ya Allah lindungi orang yang
melindunginya dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang
menolongnya dan
hinakanlah orang yang menghinakannya” adalah kalimat dusta yang dibuat-buat.
Kepalsuan hadits ini bisa dilihat dari
matannya yang berkata “ya Allah tolonglah orang yang menolongnya” berbeda
dengan kenyataan sejarah, karena banyak orang yang berperang bersama Ali, tapi
siapakah orang yang ditolong Allah, dan banyak orang yang tidak ikut dalam
pasukan Ali tetapi mereka tidak dihinakan oleh Allah, seperti Sa’ad bin Abi
Waqqas yang menaklukan Irak. Begitu pula para pengikut Muawiyyah, termasuk para
penguasa dari bani Umayyah, ternyata mereka menaklukkan banyak negeri kafir,
dan mereka dimenangkan oleh Allah. Jadi, kalimat “ya Allah lindungilah orang
yang melindunginya…” bertentangan dengan kenyataan sejarah islam. Selain itu
Alquran juga telah menjelaskan bahwa kaum beriman adalah saudara meskipun ada
diantara mereka yang saling bermusuhan. Jadi kesimpulannya hadits ini dianggap
palsu. (Murad, 2009: 398)
Shihab
(2008: 151) ketika menerangkan tafsir surat Al-Maidah, juga memaparkan pendapat
Imam Syiah,Thabathaba’i yang menyatakan bahwa ayat ini diperintahkan mengenai
persoalan kedudukan Ali sebagai wali dan pengganti beliau dalam urusan agama
dan dunia.
Tetapi
beliau menyangsikan pendapat dari Thabathaba’i ini, karena ayat ini tidak ada
hubungan keterkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Sedangkan ayat sebelumnya
sedang membicarakan tentang kecaman Tuhan kepada Ahlul Kitab. Disisi lain,
objek yang diperintahkan untuk disampaikan tidak disebut oleh ayat ini. Mengapa
tidak disebut kalau memang hal itu sedemikian penting. Sehingga Shihab lebih
cenderung mendukung pendapat dari Al Biqa’i
yang juga sejalan dengan pendapat Ar-Razi, Sayyid Qutb, dan bahkan pada
prinsipnya sejalan dengan pendapat Ibnu Asyur yang berpendapat bahwa ayat ini
merupakan janji dari Allah kepada Nabi Muhamad, bahwa beliau akan dipelihara
Allah dari gangguan dan tipu daya Ahli kitab. (Shihab, 2008: 152)
Memang
cukup sulit untuk menolak hadits ini, karena begitu banyak hadits ini yang
diriwayatkan dari jalur Syiah maupun Sunni, bahkan menurut mereka hadits ini
bernilai mutawatir. Tetapi sanggahan mengenai hadits ini yang diutarakan oleh
kebanyakan ulama Sunni juga masuk akal sehingga penulis lebih memilih jalan
tengah antara menolak ataupun menerima hadits ghadir khum ini, yaitu dengan
bersikap lebih toleran terhadap pendapat kedua belah pihak dan disisi lain
melakukan himbauan atau penyeruan kepada para alim ilmu dari berbagai bidang untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keshahihan matan maupun sanad
hadits, disertai makna sesungguhnya yang diinginkan oleh hadits tersebut.
Persoalan keempat juga masih mengenai keimamahan Imam Ali yang menurut
kalangan Syiah telah dipilih langsung oleh Allah, dan sebagai buktinya seperti
yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat 55-56.
Diriwayatkan dari Abu Dzar, berkata: “akau mengerjakan shalat dzuhur
bersama Rasulullah. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak
seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat
kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Ya Allah, saksikanlah bahwa aku
meminta di masjid Rasulullah, tetapi tak ada seorang pun yang memberikan
sesuatu kepadaku’ Pada saat itu Ali sedang mengerjakan rukuk dalam shalatnya.
Kemudian dia memberikan isyarat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang
memakai cincin, pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin
tersebut di hadapan Rasul. Lalu Rasul bersabda: ‘Ya Allah sesungguhnya saudaraku
Musa memohon berdoa kepadamu sembari berkata wahai Tuhanku, lapangkanlah
untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka
dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazirdari
keluargaku; yakni saudaraku Harun. Kukuhkalah aku dengannya dan sertakanlah dia
dalam urusanku’ ” (ABI, 2012: 115)
“ketika itu engkau turunkan ayat: ‘Kami akan
kukuhkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai
pemimpin’ Ya Allah, aku ini Muhammad dan Nabimu. Maka lapangkanlah hatiku,
mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazirdari
keluargaku, yaitu Ali. Dan kukuhkanlah punggungku dengannya ” (ABI, 2012: 116)
Abu Dzar melanjutkan: “demi Allah, jibril turun
kepadanya sebelum sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, ‘Hai
Muhammad,bacalah: sesunggunya walimu adalah Allah, Rasul-Nya, dan…’ ”
(ABI, 2012: 116)
Arti asli dari kata wazir ini adalah kedekatan
dua benda, yang sekakan-akan tidak berjarak sam sekali. Juga dapat bermakna
teman, penolong. Telah jelas arti dekat disini berkonotasi spiritual, bukan
material ayat ini juga menempatkan wilayah “kepemimpinan” universal
hanya untuk Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali. Ayat ini menggunakan bentuk jamak
dalam rangka mengagungkan kemuliaan Imam Ali dan menghormati kedudukannya.
(ABI, 2012: 117)
Mengenai
ayat ini, Shihab (2008: 134) mengutip beberapa pendapat, yang pertama ialah riwayat yang mengatakan bahwa
suatu ketika seorang peminta-minta datang ke masjid Nabi di Madinah, tetapi
tidak ada seorang pun yang memberinya sesuatu. Ketika itu Ali bin Abi Thalib
sedang shalat dan dalam keadaan ruku’, maka dikeluarkannya cincin yang sedang
menghiasi jarinya dan memberinya kepada si peminta-minta tersebut. Tapi ada juga riwayat lain
yang menyebutkan bahwa yang memberinya itu adalah Abu Bakar. Ibnu Katsir juga
mengutip pendapat ini dengan menolaknya karena para perawinya adalah
orang-orang yang lemah. Disisi lain bentuk jamak yang digunakan ayat ini tidak
menyangkut satu orang saja, kendati harus diakui bahwa ada saja kata dalam
bentuk jamak, tetapi yang dimaksud hanyalah satu orang saja. Al Qurthubi juga
tidak menolak pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini turun menyangkut seorang
saja.
Guru Besar Universitas Al-Azhar, Mustafa Murad (2009: 379) pun menolak
pendapat kaum Syiah dengan mengemukakan dalil-dalil, diantaranya:
1. Mereka mengklaim bahwa ayat ini turun
mengenai Ali secara khusus, tetapi ini adalah pendapat yang keliru. Semua ulama
sepakat bahwa ayat ini turun bukan tentang Ali semata dan bahwa Ali tidak
bersedekah dengan cincinnya ketika ia shalat. Mereka juga sepakat bahwa hadits
yang dibawa oleh orang syiah adalah hadits mau’dhu. Klaim mereka mengenai
hadits ini ada didalam kutub al-sittah adalah klaim batil, karena tidak ada satupun
maupun kitab lain yang menyatakan bahwa Ali besedekah ketika sedang shalat.
Juga mengutip pendapat
dari Ibnu Katsir: “riwayat itu sama sekali tidak shahih karena sanadnya lemah
dan perawinya tidak dikenal”
2. Sesungguhnya firman Allah “orang-orang
yang beriman” dalam bentuk jamak tidak khusus berbicara tentang Ali. Dan
kata “dan orag-orang yang memberikan akat sedang mereka dalam keadaan rukuk”
tidak menunjukkan dengan jelas itu adalah Ali. Kalimat itu berbentuk umum
sehingga tidak ada alasan untuk mentakhsisnya
3. Sungguh Allah tidak memuji seorang hamba
kecuali yang memang sesuatu yang memang
pantas dipujikan untuknya. Sedangkan bersedekah ketika shalat menurut para
ulama bukanlah hal yang dianjurkan (sunnah)
4. Juga Ali itu bukan termasuk yang wajib
berzakat bahkan beliau adalah seorang yang seharusnya dizakati
5. Ayat ini juga sedang berbicara tentang
larangan menjadikan orang kafir dijadikan sebagai seorang pemimpin
6. Jika ini benar, pasti imam Ali sudah
pernah berargumen untuk menegaskan kekhalifahannya
Agaknya
pendapat dari Mustafa Murad ini sedikit meragukan, selain menurut Al-Musawi
(2008: 196) yang mengatakan bahwa banyak sekali hadits-hadits yang mendukung
penafsiran ayat tersebut yang diriwayatkan melalui jalur para Imam Al-‘Itrah
(keluarga suci Nabi) hingga mencapai tingkatan mutawatir, banyak juga
hadits-hadits yang mendukung pernyataan ini dengan periwayatan ulama Ahlus
Sunnah seperti dalam kitab Shahih An-Nasa’i, hadits yang diriwayatkan
Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Asbabun Nuzul susunan Imam
Al-Wahidi, Musnad Ibnu Mardawaih dan Musnad Abi Syaikh, Imam Qusyaji yang
mengutip adanya ijma’ mengenai maksud ayat ini, dalam kitab Ghayatul Maram terdapat
24 hadits melalui saluran Ahlus Sunnah, Ats-Tsalabi dalam tafsirannya, Imam
At-Thabrasi dalam Majmul Bayan, bahkan Imam Az-Zamakhsyari dalam kitab
tafsirannya Al-Kasysyaf.
Persoalan kelima ialah mengenai hadits Tsiqalain. Menurut Murad
(2009: 400) peringatan itu mengandung arti bahwa
mereka harus mengikuti wasiat Rasulullah berkenaan dengan ahlul baitnya, yaitu
untuk memberikan hak-hak mereka. Nabi tidak pernah memerintahkan untuk mengikuti
ahlul baitnya dari sisi kepemimpinan. Selain itu hadits ini tidak dikhususka
kepada Ali saja, melainkan juga kepada para istri nabi, dll.
Tetapi agaknya pendapat Murad ini juga lemah, dikarenakan begitu banyak riwayat yang
menyatakan bahwa hadits ini berkenaan dengan wasiat Rasul tentang keimamahan
Imam Ali dan keturunannya.
Lebih dari 20 sahabat yang meriwayatkannya. Pada beberapa peristiwa yang
berlainan, Rasulullah telah menyampaikannya secara terbuka. Sekali di Ghadir
Khum, dan sekali pada hari wukuf di padang Arafah ketika haji Wada’, dan pada
waktu-waktu yang lainnya. Sehingga Ibnu Hajar Asqalani berkata: “ketahuilah
bahwa hadits tentang kewajiban berpegang teguh pada keduanya (Alquran dan Ahlul
Bait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh 20 orang lebih sahabat” (Al-Musawi, 2008: 39)
Doktor dari Universitas Pendidikan Indonesia,
Edi Suresman (2011: 178) pun
mengutip riwayat dari Imam Muslim tentang hadits Tsaqalain yang katanya
bernilai mutawatir, Rasul bersabda:
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan
untuk kalian dua pusaka, kitabullah dan keturunanku Ahlul Bait, selama
berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat”
Hadits ini bisa dilihat dari kitab yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’i dan Turmudzi dari Jabir yang telah dikutip keduanya oleh Al-Muttaqi
Al-Hindi, Imam Ahmad melewati dua sanad yang shahih, Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak.
(Al-Musawi, 2008: 35)
Untuk melemahkan pendapat dari Murad, cukuplah penulis mengutip
perkataan Al-Musawi, beliau mengatakan bahwa tentunya dapat dimengerti dari
ucapan Rasulullah: “kutinggalkan bagimu dua hal yang apabila berpegang teguh
kepadanya, tiada kamu tersesat. Yaitu Kitabullah dan Itrahku” maksudnya ialah
bahwa kesesatan itu akan menimpa orang yang tidak mau berpegang teguh kepada
keduanya. Dan diantara hal-hal yang
mewajibkan seorang muslim berpegang teguh pada tuntunan Ahlul Bait, bahkan
memaksanya untuk kembali dalam urusan agama kepada mereka saja, ialah ucapan
Rasulullah: “sesunggunya (kedudukan) Ahlul Bait diantara kamu ibarat bahtera
Nuh, barangsiapa yang ikut berlayar bersamanya, ia akan selamat. Dan
barangsiapa yang enggan atau terlambat, dia akan tenggelam. Dan perumpamaan
Ahlul Baitku diantara kamu seperti pintu pengampunan bagi bangsa Israel.
Barangsiapa yang memasukinya maka dosa-dosanya akan terampuni”Demikianlah apa
yang dikemukakan tentang kewajiban umat untuk mengikuti Ahlul Bait, dan
mencegah adanya penentangan kepadanya. (Al-Musawi, 2008: 40)
Persoalan keenam ialah berkenaan dengan hadits manzilah. Kisah
itu bermula ketika Rasul berisiap-siap untuk pergi ke peperangan Tabuk bersama
tentaranya, lalu Ali bertanya: “aku pergi bersamamu, Ya Rasul?” “Tidak” jawab
Rasul. Ali menangis karena kecewa. Tetapi Rasul berkata kepadanya: “apakah
engkau tidak merasa puas dengan kedudukanmu disisiku yang sama seperti
kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi lagi setelah aku?
Sungguh tidak sepatutnya aku pergi, melainkan engkau sebagai khalifahku”
(Al-Musawi, 2008: 147)
Menurut Murad (2009: 403) dalam hadits ini Nabi
berkata kepada Ali dan memberikan
kewanangan untuk memimpin Madinah hanya ketika beliau pergi untuk berperang ke
Tabuk. Selain itu Nabi Harun yang diserupakan dengan Ali tidak pernah
menggantikan posisi Musa, bahkan menurut pandangan yang paling popular, ia
wafat 40 tahun sebelum wafatnya Nabi Musa. Nabi Harun menggantikan posisi Nabi
Musa hanya ketika Nabi Musa pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Nabi Harun
juga tidak tidak pernah menggantikan Nabi Musa sebagai pemimpin. Ia memiliki
kelebihan dari sisi kelacaran berbicara dan menyampaikan dakwah dibanding Nabi Musa. Dengan demikian
hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk mengukuhkan padangan Syiah bahwa
Ali adalah orang yang paling berhak atas kekhalifahan setelah Nabi wafat.
Pernyataan Murad ini ternyata pernah dijawab pula oleh Al-Musawi ketika
berdialog dengan Syaikh Salim Bisri. Beliau menjawab bahwa semua ahli bahasa Arab atau
tradisi bangsa Arab pasti akan mengetahui bahwa makna yang terkandung dalam
hadits manzilah ini adalah bersifat umum, bukan khusus. Dan menurutnya,
kalaupun saja maknanya bersifat khusus, maka hal itu tetap tidak akan menghapus
ruang lingkupnya yang umum. Sebab dalam pembahasan mengenai dasar suatu hukum, adanya kejadian tertentu yang
melatarbelakangi ditetapkannya hukum tersebut, sama sekali tidak dengan
sendirinya membatasi masa berlakunya hanya pada kejadian itu saja. (Al-Musawi,
2008: 158)
Selain itu, isi hadits ini tidak hanya sekali saja diucapkan Rasul
ketika bergegas melakukan perang Tabuk. Tetapi banyak juga hadits hingga
bertaraf mutawatir yang diriwayatkan lewat para Imam keluarga suci Nabi yang
sama isinya dengan hadits manzilah, dna diucapkan oleh Rasul dalam beberapa
peristiwa lainnya. Juga dalam kitab-kitab kumpulan Ahlus Sunnah. Sebagaimana
yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Asakir, dll. (Al-Musawi,
2008: 161)
Persoalan ketujuh yaitu tentang permasalahan-permasalahan pokok yang
biasanya disandingkan dengan golongan Syiah.Sjadzali
(1990: 214) didalam bukunya menulis beberapa pokok-pokok dari pendirian Syiah, diantaranya
ialah:
1. Abu Bakar dan Umar merampas kekhilafahan
Imam Ali
2. Imam-Imam Ahlul Bait bepredikat ma’sum
3. Kedudukan Imam Ali lebih tinggi dari
manusia pada umumnya
4. Ijma baru bisa direstui ketika ada
seorang imam
Selain itu, berdasarkan hasil rapat tahun 1984,
MUI menyatakan kewaspadaan kepada kaum Syiah dikarenakan:
1. Menolak hadits yang berasal dari Sunni
2. Menyatakan bahwa Imam-imam Ahlul Bait
itu ma’sum
3. Tidak mengakui ijma jika belum ada imam
4. Bentuk keimamahan telah dipilih oleh
Tuhan, sedangkan kaum Sunni tidak
5. Pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan
Abu Bakar, Umar, dan Utsman
Syiah
Imamiyah meyakini bahwa umat islam hendaknya mendiskusikan dan mempelajari
masalah-masalah seperti ini dengan menjauhkan diri dari mencaci maki, tuduhan
yang tak beralasan, dan melakukan fitnah. Dan hendaknya para ulama dari seluruh
kelompok berkumpul dalam muktamar-muktamar ilmiah, mempelajari dengan berlapang
dada dan ikhlas serta dengan semaagt persaudaraan dan objektifitas tentang
klaim-klaim saudara-saudara mereka. (Edi, 2011: 178)
Menurut pandangan subjektif penulis sendiri, pernyataan-pernyataan yang
tertera diatas terasa sedikit gegabah, karena tidak semua pernyataan itu valid.
Untuk itu penulis akan memaparkan beberapa klarifikasi yang berasal dari
referensi Syiah maupun Sunni.
Mengenai masalah Khalifah Abu Bakar dan Umar. Kaum Syiah
meyakini mereka adalah sahabat-sahabat Rasul yang mulia, mereka pun telah
banyak meraih prestasi. Memang Syiah bependapat bahwa Imam Ali lebih berhak
atas khilafah sebagai penerus Rasul. Meski demikian, hal ini tidak menghalangi
para pengikut Syiah untuk memberikan apresiasi para khalifah ini dan memberikan
penghormatan yang layak kepada mereka. (ABI, 2012: 87)
Tetapi bukan berarti mereka –Abu Bakar dan Umar- tidak memiliki
kesalahan, mereka juga hanya manusia biasa. seperti ketika
empat hari sebelum wafatnya Rasul,
sakit beliau tidak menyusut. Beliau bersabda, “kemarilah kalian” aku akan
menuliskan sebuah tulisan, yang kalian sama sekali tidak akan tersesat
sesudahnya.”Saat itu dirumah ada beberapa orang, diantara mereka ada Umar yang
berkata: “beliau terpengaruh oleh sakitnya. Toh disisi kalian sudah ada
Alquran. Cukuplah bagi kalian ada kitab Allah”Mereka yang ada didalam rumah pun
saling berselisih dan berdebat. Diantara mereka ada yang berkata, “mendekatlah
kalian agar Rasulullah dapat menulis bagi kalian” namun diatara mereka ada yang
setuju dengan perkataan Umar. Karena mereka saling berdebat dan gaduh, maka
Rasul bersabda, “menyingkirlah kalian dari sini!” (Al-Mubarakfy, 2002: 616)
Kaum
Syiah sangat menyayangkan kejadian ini, karena menurutnya, seandainya saja Umar
dan yang sependapat dengannya tidak mengucapkan itu, atau setidaknya mereka
menurut dengan perkataan Rasul, pasti Rasul akan menyampaikan sesuatu hal yang
amat penting itu. Terlebih lagi disaat detik-detik kematiannya. Dan kaum Syiah
sangat menyesali perbuatan Umar dengan berkata, “apakah seakan-akan beliau
tidak pernah mendengar firman Allah, ‘…apa yang diberikan (diperintahkan)
Rasul kepadamu terimalah dia; dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah..’ ”. Atau seakan-akan, ketika Umar berkata: “Rasulullah
mengigau/meracau”, mereka tidak pernah mendengar firman Allah: “dan temanmu
(Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila” (Al-Musawi, 2008: 392)
Ada juga kisah lain ketika ketergesa-gesaan Abu Bakar dan Umar mengenai
pemilihan pengganti Rasulullah. Audah (2008: 84)
menjelaskan didalam bukunya, dikala
para keluarga Rasul sedang mengurus jenazah Rasul, Abu Bakar dan Umar pergi ke
Tsaqifah untuk membicarakan pengganti Rasul. Bahkan didalam suatu riwayat
menyatakan bahwa ketika orang-orang ramai membaiat Abu Bakar sebagai baiatan umum setelah di tsaqifah. Fatimah
menangis tersedu-sedu mendengar hal
itu, padahal jenazah ayahnya, Rasulullah belum
dimakamkan. Ketika kemudian para sahabat, termasuk Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah
datang hendak menyampaikan takziah kepadanya, Fatimah berkata: “kalian
meninggalkan jamaah Rasulullah di tangan kami dan kalian memutuskan persoalan
kita diantara kalian sendiri tanpa menghirukan dan berkonsultasi kepada kami”
Mendengar hal itu, Abu Bakar menangis.
Bahkan
yang pertama memandikan jenazah Rasulullah
adalah Ali, lalu Abbas, serta kedua puteranya Fadl dan Qusam, dan yang menuangkan
air adalah Usamah bin Zaid bersama Syuqran, pembantu Nabi, disamping Aus yang
menopangnya ke dadanya. (Audah, 2008: 88)
Menurut
kaum Syiah, sebenarnya Imam Ali tidak merestui Abu Bakar sebagai pengganti kepemimpinan,
selain karena beliau dan Bani Hasyim tidak menyaksikan bai’at di Tsaqifah, juga
karena sesuai dengan perintah Rasulullah bahwa beliau lah yang sepatutnya
menggantikan kepemimpinan umat.
Juga
Imam Ali tidak melihat sesuatu hasil yang akan dicapai dengan protesnya atas
mereka kecuali akan timbul kekacauan yang berlarut-larut, oleh karena itu,
beliau lebih memilih kehilangan haknya daripada memperoleh dalam keadaan yang
penuh dengan kekacauan. Sesunggunya beliau berada dalam kegalauan yang besar,
diantara satu sisi seharusnya mematuhi nash-nash dan pesan-pesan Nabi yang
berkenaan dengan keimamahannya, dan dilain sisi ia dihadapkan dengan gejala
huru-hara dan kekacauan yang merupakan peringatan akan menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan oleh kaum munafik. (Al-Musawi, 2008: 446)
Dengan
perasaan penuh dengan kegalauan ini, Imam Ali memutuskan untuk hanya tinggal di
rumah tanpa keluar, kecuali saat shalat Jum’at saja sembari mengumpulkan
Alquran.
Hari demi hari terus berjalan, dan akhirnya pada suatu saat
ia didatangi oleh Umar, beliau berkata: “anda ketinggalan dalam
pembaiatan Abu Bakar”.
Ali menjawab: “ketika Rasul
wafat saya sudah bersumpah tidak akan mengenakan jubbah selain untuk shalat
wajib, sebelum selesai saya mengumpulkan Alquran.
Saya khawatir Alquran akan berserakan”
begitu pun Abu sufyan, Abu Ubaidah. Dan
sampai akhirnya yang berkunjung adalah Abu
Bakar, yang akhirnya Ali terbujuk. Dan pada keesokan harinya, Imam Ali membai’at Abu
Bakar. (Audah, 2009: 84)
Adapun sebagai pembuktian bahwa Imam Ali pernah berhujjah mengenai
keimamahannya ialah ketika beliau berpidato disaat Utsman bin Affan akan
dibai’at, beliau berkata,“telah kalian ketahui
bahwa aku adalah yang paling berhak dari siapa saja (untuk memegang jabatan
kekhalifahan). Tetapi –demi Allah- akan kudiamkan itu selama keselamatan kaum
muslim tetap terjamin dan kezaliman hanya menimpa diriku sendiri. Semata-mata
demi mencari pahala-Nya dan keutamaan dari Allah, serta kezuhudan terhadap
kemewahan dan kekayaan yang kalian perebutkan” (Ar-Ridha, 1994: 67)
Tetapi
tak semua berpendapat demikian. Penulis pun menemukan sebuah referensi yang
dilakukan oleh Tim Riset Studi Islam Mesir (2013: 66) yang menyatakan bahwa tidak satu orangpun yang menentang keputusan tersebut –Kekhilafahan
Abu Bakar-, termasuk Ali bin Abi Thalib, yang oleh sebagian orang dinyatakan terlambat
dalam berbai’at kepada Abu Bakar.
Mereka mengutip pendapat Ibnu Katsir yang berkata: “Baiat Ali
terhadap Abu Bakar terjadi pada hari pertama dan hari kedua. Ali tidak pernah berpisah dengan Abu Bakar
dalam waktu apapun. Ia tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah dibelakang
Abu Bakar. Ia keluar bersama Abu Bakar menuju Dzil Qisah sambil menyandang
pedang untuk memerangi orang murtad. (Tim
Riset Studi Islam Mesir, 2013: 66)
Lalu berkenaan dengan kemaksuman para Imam, memang kelompok Syiah
berbeda pendapat, ada golongan yang menganggap para Imam adalah manusia biasa,
tak luput dari dosa, dan mereka pun tak mendewakan para Imam. (As-Syafi, 1991:
204)
Hanya saja untuk kaum Syiah mayoritas yaitu Syiah Imamiyyah menyatakan
bahwa para Imam adalah berpredikat maksum seperti para Nabi. Hal ini disebabkan
adanya kesesuaian dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 124 yang
menyatakan janji untuk kepada Nabi Ibrahim
untuk menjadikan bumi ini dipimpin oleh bukan orang-orang yang dzalim. (Kamali,
2013: 115)
Ada
juga yang menyatakan bahwa kaum Syiah adalah kaum yang menutup diri dan tidak
mau menerima riwayat-riwayat hadits dari Sunni seperti yang dikatakan oleh MUI.
Padahal hal itu tidaklah tepat, karena didalam buku
ini pun, Al-Musawi sangat banyak memberikan hujjah melalui jalur Ahlus Sunnah.
Selain itu, perpustakaan-perpustakaan yang ada
di daerah Qum, Nejf, dan
Teheran, banyak sekali buku-buku yang berasal dari ulama Sunni, seperti Rasyid
Ridha, dan lain-lain. (As-Syafi, 1991: 37)
Adapun mengenai pernyataan MUI bahwa Syiah tidak menerima adanya ijma
memang benar adanya. Karena menurut mereka sudah
cukup dengan perkataan para Imam yang ma’sum. (Kamali, 2013: 118)
Sebagai
penutup dari masalah Syiah Sunni ini, cukuplah dengan pernyataan dari Shihab
(2013: 433) yang menghimbau alangkah baiknya jika kita menjadi ummatan
wasatan, yaitu umat yang moderat, yang posisinya ada ditengah, agar dapat
dilihat oleh semua pihak. Karena kemoderatan mengundang umat islam untuk saling
berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak, karena mereka tidak
akan menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri.
C.
Komentar
Terhadap Buku
Buku ini dibuat dengan metode dialog sehingga memudahkan para pembaca
untuk dapat mengerti permasalahan-permasalahan yang ada. Buku ini dihasilkan
dari dialog antara dua ulama besar yaitu Syarafudin Al-Musawi yang bermazhab
Syiah dan Syaikh Salim Bisri yang bermazhab Sunni, kebetulan beliau sedang
menjabat sebagai rektor di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Mengenai pokok pembahasan
yang ada di dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah dialog mengenai mewajiban mengikuti suatu mazhab. Pada bagian
ini, pihak pertama –Ulama Sunnah- lebih menjadi seorang subjek penanya
sedangkan pihak kedua –Ulama Syiah- sebagai objek. Mereka saling mengutarakan
pendapat-pendapatnya dengan menghindari sikap saling mencela. Tutur bahasa yang
rapih dan lemah lembut, namun hujjah yang mereka utarakan pun demikian kuat.
Walaupun begitu, kami memang tak menyangkal bahwa pihak kedua lebih
menggebu-gebu dalam berargumen sedangkan pihak pertama lebih menjadi seorang
pendengar yang setia.
Untuk bagian yang kedua, dialog berkenaan dengan keimamahan Imam Ali
serta imam-imam keturunannya. Bagian ini yang menjadi pokok permasalahan buku.
Dan dalam bagian inilah terjadi pergumulan yang sangat ketat. Kedua belah pihak
mengutarakan argumen-argumennya. Disatu sisi Sang Syaikh Syiah memiliki argumen
yang kuat mengenai keimamahan Imam Ali, dan disatu sisi pun Syaikh Sunni
menyanggah. Tetapi sekali lagi kami katakan, bahwa mereka saling menjaga sikap
dan nilai-nilai akhlak luhur. Dan pada
sesi akhir dialog, Syaikh Sunni ini mengakui kebenaran dari pihak Syaikh Syiah
serta menyatakan kebenaran jalan lurus yang mereka lalui.
Untuk para peneliti-peneliti berkenaan lintas mazhab, buku ini cukup
baik sebagai referensi tambahan. Dan jika peneliti masih memiliki keraguan
mengenai validitas buku ini, kami pun menyarankan untuk bisa melakukan
penelusuran. Terakhir, kami menghimbau agar para peneliti untuk memiliki jiwa
besar, lapang dada, sikap objektif serta berani menerima kebenaran tanpa
fanatik terhadap golongannya.
DAFTAR PUSTAKA
ABI, T. (2012). Buku
Putih Mazhab Syiah. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia.
Ali, S. A. (2008). The Spirit of Islam. Yogyakarta: Navila.
Al-Maghluts, S. b. (2009). Atlas Agama Islam. Jakarta: Almahira.
Al-Mubarakfury. (2002). Sirah Nabawiyyah. Jakarta: Pustaka Al
Kausar.
Al-Musawi, S. (2008). Dialog Sunnah Syiah. Bandung: Mizan.
Amin, M. (2011). Himpunan Fatwa MUI. Jakarta: Erlangga.
Ar-Radhy,
A. (1994). Mutiara Nahjul Balaghah. Bandung: Mizan
Ash-Syafi, A.-A. (1991). Menghapus jurang Pemisah. Jakarta:
Risalah Masa.
Audah, A. (2008). Ali bin Abi Thalib. Bogor : Litera Pustaka
Antar Nusa.
Bakry, H. (1990). Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI-Press.
Edi, S.
(2011). Dirosah Aqidah Asasiyah Wal Milal. Bandung: Rizqi Press
Kamali, M.
H. (2013). Membumikan Syariah. Bandung: Mizan
Lings, M. (2011). Muhammad . Jakarta: Serambi.
Murad, M. (2009). Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Zaman.
Rahmat, M.
(2010), “Implikasi Insan Kamil dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pondok
Modern Sumber Daya At-Taqwa”, Disertasi pada Program Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Shabban, M. A. (1997). Teladan Suci Keluarga Nabi. Bandung: Al
Bayan.
Shihab, Q.
(2013). Wawasan Alquran. Bandung: Mizan
Shihab, Q. (2008). Tafsir Al Misbah (Vol. 3). Jakarta: Lentera
Hati.
Syadzali, M. (1990). Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press.
TIM RISET
STUDI ISLAM MESIR. (2013). Ensiklopedi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Kausar
____.
(2013). Khutbah Ghadirkhum. Jakarta: Al-mustafa Al-alami Foundation
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Cover Buku
LAMPIRAN 2
Identitas Buku
LAMPIRAN 3
Daftar Isi
Dan Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.(QS. Thaha [20]: 82)
BalasHapusdari ayat diatas mohon dijelaskan ...
Hubungannya dgn makalah saya?
BalasHapus