Pesona di IELTS Camp Elfast
Oleh: Jiva & Ara
“Dan..” begitulah ia menyapaku “kamu memangnya mau lanjut kuliah di mana?”
“Rencananya ingin di Aalto University.”
“Mau ke Finlandia?” mimik wajahnya masih saja begitu. Polos dan berpembawaan tenang.
“Iya, git. Jurusan Visual Culture. Kalau kamu?” sekarang giliranku untuk mengorek rencana hidupnya. Barangkali aku bisa membantu mewujudkannya.
“Aku ke Jerman, Groningen Univesity. Jurusan Kehutanan di sana katanya terbaik di dunia.”
“Oh Jerman ya.. Let see..” aku diam sejenak. Berpikir “bukannya bagusan di Finlandia yah?” aku mencoba mempengaruhinya. Bisa jadi ia akan mengubah rencananya. Jadi kan, kita bisa kuliah sama-sama di Finlandia, sebuah negara tanpa matahari.
Sudah seminggu aku mengambil progam IELTS Camp di Elfast English Course, Kampung Inggris, dan sudah seminggu pula aku mengagumi salah seorang gadis di sana. Sejujurnya, aku bukanlah seorang lelaki yang mudah jatuh cinta. Pelangiku sudah menghitam beberapa tahun yang lalu, gara-gara perempuan kampret itu. Tapi entah mengapa setelah melihatnya; senyumnya, cara bicaranya, gaya berjalannya, membuat burung-burung dalam jantungku berterbangan.
Oh, Gita! kamu harus bertanggung jawab karena kau telah menerangi gelap malamku dengan kilauan bola matamu. Bayangkan saja, seribu bayangan dirimu terus melayang, mengisi seluruh khayalku. Kamu lucu, manis, dan menggugah selera cintaku. Ah, kamuku.
Tapi kamu terlalu jauh, semakin kudekati, semakin terasa jauh saja. Tahukah kamu? aku menstalking seluruh media sosialmu; facebookmu, yang ternyata tidak aktif, twittermu yang juga begitu, dan instagrammu.
DEG. Aku terkejut, kamu memfollow Najib. Sial kataku. Tidak di kelas, tidak di Line, tidak juga di instagram, lelaki ini selalu saja membuatku geram. Wajahnya memang sedikit cool sih, tapi aku yakin, dia adalah buaya. Bodoh sekali jika ada perempuan yang sampai jatuh hati padanya. Aku lihat Gita bukanlah perempuan bodoh. Aku yakin.
**
“Bam.” Jiva sedang mengobrol dengan Babam, teman sekamarku “Tasik itu di mana sih?”
Babam mengacuhkannya. Ia terus saja menonton video Korea semi-erotis di laptopnya yang tersambung langsung dengan wifi id.
“Hehe, bercanda, Bam.” kemudian Jiva mencari-cari topik yang bisa dibicarakan “Bam...”
“Apa?”
“Ada perempuan yang menarik perhatian kamu enggak di IELTS Camp?”
“Gita. Lucu, manis lagi.”
Aku terkejut. Sungguh terkejut mendengar kata-katanya lancangnya. Kalau saja ada pisau, sudahku potong itu lidahnya. Memang benar Gita itu lucu dan manis, tapi kata-katanya itu tidak cocok keluar dari mulutnya yang penuh busa. Sainganku ini harus segera disingkirkan sebelum semakin melunjak.
Aku tidak boleh diam. Dia harus mendapat ganjaran yang setimpal. Mungkin aku bisa membulinya, lalu menyebar ke seantero warga IELTS Camp ELfast. Dia gendut, bau, kecewek-cewekan, dan tengil. Sepertinya satu kata yang pantas untuknya adalah: BANCI. Ya, betul BANCI.
**
“EH BANCI..” kataku di sela-sela kelas Mr.Fuddin, pengajar Reading IELTS.
Aku tak menyangka semuanya pada ketawa dengan ledekanku. Dan sejak hari itu, kata-kata EH BANCI menjadi tranding topik. Terima kasih Mas Irfan, Oddie, dan teman-teman yang lain yang telah membantuku untuk membumi-hanguskan bocah ingusan itu. Aku menang, Bam.
Dan tinggal Najib seorang sainganku. Ia agak sulit untuk dilawan, selain tidak banyak tingkah, ia pun segera menghilang setelah pembelajaran berakhir.
**
Aku semangin nyaman dengannya, terutama di dua minggu terakhir karena dalam beberapa hari ini kami terbiasa menghabiskan waktu malam dengan bermain UNO dan Werewolf di rooftop Elfast. Terima kasih Eki yang telah menjadikan kelas sedikit lebih bersahabat. Hatiku pun ikut mendekat kepadanya, Gita, matahariku.
Babam hanya mengetahui kalau aku sering bangun tengah malam, tapi sejatinya dia tidak mengetahui apa yang aku lakukan. Di waktu bulan tersenyum itulah, puluhan puisi cinta tercipta. Hatiku terus bergejolak. Cintaku semakin meluap-luap. Ah, inikah yang namanya cinta.
Besok program IELTS Camp berakhir. Aku tidak mau menyesal. Aku harus, harus menyatakan perasaan ini kepadanya. Kukumpulkan puisi-puisi itu dalam satu bundel. Kuhiasi dengan indah di sudut-sudutnya. Aku gambari kucing, karena aku tahu Gita menyukainya.
Malam itu juga, setelah makan malam, aku menelusuri Kampung Inggris dan kudapati toko penjual bunga. Kubeli satu tangkai mawar merah berukuran sedang lalu kubawa pulang. Kusimpan jangan sampai ketahuan Babam.
The last but not least, aku chat Gita, aku katakan kepadanya kalau besok malam anak-anak IELTS Camp akan mengadakan farewell di rooftop, dan aku bujuk dia supaya datang. Ia membalas dengan cepat. Iya, katanya. Maaf Gita, aku harus membohongimu.
**
Gadis mungil berkerudung merah itu menyusuri tangga. Ah, mengapa kamu bisa setenang itu sih. Tidak tahukah kalau di sini, dihatiku sedang berdegup kencang hingga mau meledak.
Satu persatu anak tangga dilangkahinya. Terlihat agak kelelahan, wajar karena dia harus menaiki empat lantai. Ia berjalan berpogoh-pogoh, linglung, mengapa malam itu begitu sepi. Pasti ia sempat berpikir kalau ia datang kepagian. Tidak Git, sudah ada aku, yang mengumpat di sudut rooftop.
Kamu melihat sekeliling, memastikan memang tidak ada seorang pun di sana. Kamu membalikkan badan, memunggungiku.
“Gita..” panggilku.
Seluruh badannya menoleh, lambat. Tatapannya yang polos dan pembawaannya yang tenang, sedikit mengurangi rasa gugupku.
“Ardan?” panggilnya “Kok cuma kamu. Yang lain mana?”
“Maaf. Aku berbohong.”
“Maksudmu?”
“Tidak ada farewell. Di sini aku ingin menyatakan perasaanku kepadamu.”
Suasana menjadi hening, awan malam pun seakan berhenti bergerak.
“Aku suka sama kamu.” kuucapkan kata sakral itu sambil menyodorkan seikat mawar merah ke hadapannya. Sudah aku selipkan puisi-puisi cintaku di sana.
Gita masih saja tidak memberi respon, mematung.
“Aku akan menghitung sampai lima detik. Kalau kamu menerima cintaku, ambillah bunga ini dan simpan. Tapi jika kamu menolak, kamu boleh mengabaikan aku, pergi.”
Nafasnya terasa olehku. Terengah-engah. Mungkin dia masih syok, tidak menyangka dengan aksi gila yang sedang kulakukan ini.
“tiga...dua...sa.......” tanganku begetar terus-menerus, tidak mau diam. Aku harus berani menerima apapun jawabannyam, dan...... “tu.”
Gita menunduk.
Aku tersenyum “Mengapa?”
“Maaf, Ardan.” ia masih menunduk.
“Tapi kenapa? karena sudah ada orang yang kamu cintai?”
Perlahan kepalanya terangkat.
“Najib?”
Lama ia tidak memjawab. Bibirnya kelu, sampai akhirnya aku menyadari isyaratnya. Dia mengangguk. Lalu mengucapkan kata maaf berkali-kali. Aku tersenyum lemah, Gita malah menangis.
**
Enam bulan sudah semenjak Gita menolak cintaku. Enam bulan tekelam yang pernah kualami sepanjang hayat. Aku tak bisa mengontrol diri. Aku kosong. Malamku kembali gelap, lebih gelap malah dari sebelumnya. Mimpi buruk selalu menghantuiku. Kata-kata “maaf” yang diucapkannya berkali-kali membuatku muak, seakan aku adalah lelaki hina yang patut dikasihani. Bahkan skor real-test IELTS-ku drop, di bawah 5. Uang lenyap, hati pun rusak. Lengkap sudah.
Tapi lama-lama aku bisa menyadari realitas. Aku bangkit, sendirian. Sakit, tapi kulawan. Aku mulai melupakannya dan kembali fokus pada tujuan awal. Aku belajar IELTS siang-malam, bahkan sampai lupa makan. Sampai akhirnya aku mengikuti real-test lagi, dan aku bersyukur, skor 6.5 kuraih. Aku pun lolos seleksi LPDP, dan beberapa hari lagi aku akan segera terbang ke Finlandia. Dan tiba-tiba saja, smartphone-ku bergetar, new chat on Line. Kulihat, pesan baru dari Gita. Begini isinya:
Sehari setelah kejadian itu, aku hendak pulang kampung, ke Bandung. Angkot carteranku berhenti tepat di stasiun Kediri. Lamat-lamat mobil itu menghilang, dan aku sendirian di tengah keramaian.
Aku bersama koperku berjalan menuju gerbong delapan, sesuai yang terbubuh dalam tiket. Dari kejauhan aku melihat gadis yang sepertinya kukenal akrab. Dia Ara, kataku. Teman satu program IELTS Camp di ELfast. Aku ingin mendekatinya, tapi sedetik sebelum kulangkahkan kaki, seorang lelaki muncul dari salah satu sudut stasiun. Mereka terlihat akrab, akrab banget malah.
Kudekati mereka berdua diam-diam layaknya Sherlock Holmes yang sedang mengintai seorang pelaku. Dan, Ardan...Tahukah kamu, siapa dia? Seseorang yang tak pernah kusangka-sanga, tak pernah kuharap-harap, bahkan dalam khayalan sekalipun. Dia Najib, Dan. Najib.
Lalu kulihat mereka berdua menaiki gerbong yang sama denganku. Tangan halus Najib terbuka -membantu Ara menaiki gerbong yang cukup tinggi- di mana aku sendiri pun belum pernah menyentuhnya. Mereka duduk berhadapan sambil bercengkrama. Terlihat jelas dimataku, wajah Ara berseri-seri. Tak kusadari air mataku telah tumpah, membasahi sahabat setiaku, koper.
Aku berusaha menenangkan diri, duduk di kursi panjang, masih tidak percaya dengan hal yang kulihat. Beberapa kali kutampar pipiku berharap mungkin ini hanya mimpi. Tapi ternyata tidak, ini kenyataan. Kereta itu berjalan. Perlahan-lahan meninggalkanku dan cintaku.
Ardan, maafkan aku. Apakah kamu masih single?
tamat
Komentar
Posting Komentar