Saya kira secara umum umat beragama di Indonesia masih berada di maqam spiritualitas yang rendah. Alih-alih menjadi sumber ketentraman, kedamaian atau pemersatu (sesama ciptaan Tuhan) agama malah dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menindas. Meskipun tak menutup mata bahwa persoalannya tidak melulu agama vis a vis agama dan cenderung memiliki akar konflik lain (ekonomi, politik, sosial, budaya), tetap saja tingkat kefanatikan beragama seseorang telah membuat mereka mudah terprovokasi.
Jika diusut secara saksama, setidaknya ada dua –dari sekian banyak– sumber permasalahan yang menyebabkan hubungan antar umat beragama tak kunjung membaik, atau setidaknya berjalan begitu lambat. Pertama, kegemaran meneruskan konflik masa lalu. Irfan Amalee, pendiri Organisasi Peace Generation yang begitu masif mengampanyekan perdamaian pernah berkata bahwa 90% konflik antar umat beragama disebabkan oleh konflik masa lalu. Perang Salib misalnya, masih sering dijadikan alasan oleh umat Islam-Kristen untuk saling bermusuhan. Satu generasi mentransfer dendam kesumat itu ke generasi penerusnya, begitu seterusnya hingga saat ini. Mereka beserta kelompoknya sama-sama merasa telah menjadi korban oposisi agamanya.
Kedua adalah prasangka, baik itu terambil dari tokoh agamanya, sumber sucinya, maupun berasal dari dalam dirinya sendiri. Umumnya saban umat beragama memiliki sejumlah prasangka buruk terhadap kelompok agama lainnya. Banyak yang berprasangka kalau umat Kristen menyembah tiga Tuhan, hobi mabuk-mabukkan dan memaksa umat agama lain untuk memeluk agamanya. Di sisi lain Islam sering diprasangkakan teroris, suka berperang, menindas/mengurung kaum perempuan, dan lain sebagainya. Sederhananya, masing-masing agama biasanya telah mempunyai cap-cap negatif yang dijustifikasi oleh agama lainnya yang biasanya disebarkan secara serampangan oleh para agamawan (ustadz, pastur, pendeta, biksu, dsb). Dengan mengandalkan sepotong-potong fakta maupun kutipan kitab suci dan dibarengi kultur doktriner , mereka menyampaikan hal tersebut kepada jamaahnya yang mayoritas adalah kaum awam sehingga mau tak mau akan diterimanya secara taken for granted.
Wahyu Ilahi pun terkadang menjadi penyebab munculnya prasangka buruk. Maksudnya, kitab suci yang sifatnya multi tafsir jika tidak dipahami secara menyeluruh dan kontekstual bisa menyebabkan pembacanya berkonfrontatif –secara membabi buta– dengan lawannya. Surat semacam At-Taubah [09]: 30 yang secara harfiah mengungkapkan bahwa orang-orang Yahudi meyakini Uzair sebagai putera Allah telah banyak membuat umat Muslim berprasangka demikian adanya, padahal tidak. Umat Yahudi mungkin akan “tertawa” jika disodorkan ayat semacam ini untuk pertanda perserikatan Allah dengan makhluk-Nya (Uzair) sebagaimana Mun’im Sirry mengutip pernyataan J.Walker, “Kesulitan yang tampak jelas adalah adanya kenyataan bahwa tidak ada catatan sejarah yang bisa disodorkan untuk membuktikan adanya sekte Yahudi, yang heterodoks sekalipun, yang menganut ajaran ini.” (Sirry, 2013: 38).
Pengalaman buruk berinteraksi dengan pemeluk agama lain pun tak kalah penting menjadi pembentuk prasangka. Celaan, penindasan, dan penistaan yang di arahkan kepadanya dari satu atau sekelompok orang yang berbeda agama dengannya biasanya akan membentuk penggeneralisiran yang picik. Menjadi korban kristenisasi paksa membuat si A menyimpulkan bahwa seluruh orang Kristen adalah buruk atau menjadi korban pembunuhan oleh teroris yang kebetulan beragama Islam telah membuat si B berkonklusi bahwa seluruh umat Muslim adalah para teroris.
Tak pelak dua permasalahan di atas senantiasa bergema di saentero bumi ini yang jika didiamkan niscaya keruhlah masa depan dunia, anak-anak beserta keturunannya. Lantas apa yang harus kita lakukan karena berdiam diri merupakan sebuah tindakan yang dzalim, sedangkan reaktif pun tak bijaksana adanya.
Saya menyarankan dua refleksi aktif yang dapat diaplikasikan oleh siapapun, asal memiliki niat. Pertama, daripada menonjolkan sense of religion identity lebih baik sibuk meningkatkan kesadaran spiritual yang memang sifatnya begitu personal (antara Tuhan dan manusia). Misalnya sudah seberapa dekat/intim hubungan kita dengan Tuhan; sudah seberapa jauh kita mengenali diri sendiri –dan alam? Secara pribadi saya pun lebih cenderung memahami Islam sebagai sebuah kata sifat (penyerahan diri secara total kepada Allah Swt.) daripada sebagai sebuah nama agama yang terinstitusikan. Jika kita meneliti kata s-l-m dalam Alquran, maka terang bahwa penekanannya lebih kepada sebuah kata sifat/keadaan/maqam dibanding sebuah institusi.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! sesungguhnya Allah telah memilih ajaran (agama) ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.” (QS. Al-Baqarah [02]: 132)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam penyerahan diri secara total (kepada Allah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [02]: 208)
Bahkan Quraish Shihab memahami kata s-l-m di atas dengan kedamaian (Shihab, 2011: 543). Oleh karena memahami Islam sebagai sebuah kata sifat, maka terkikislah kebiasaan menjustifikasi ekspresi keberagamaan seseorang sebab kita semua adalah manusia yang senantiasa –sedang– berproses menuju penyerahan diri secara total (Islam) yang mana ini merupakan perjalanan ruhani sepanjang hayat.
Agaknya saya dapat memahami Cak Nun yang konon malu untuk menyebut dirinya telah ber-Islam karena ia memahami Islam sebagai sebuah kata sifat/keadaan/maqam, bukan sebuah nama agama yang terlembagakan. Betapapun, tak dapat dipungkiri pula bila dalam literatur Islam khususnya hadits, secara gamblang mengultimatumkan keberlembagaan Islam sebagai sebuah agama, tetapi di kesempatan ini saya hendak mengajak pembaca untuk lebih mengindahkan kata sifatnya dibandingkan kelembagaannya. Betapa damainya jika Allah As-Salam (Maha Damai) yang telah menganugerahkan kita untuk berislam (berlaku damai –internal dan eksternal) lalu kita teruskan untuk menyebarkannya (kedamaian; penyerahan total kepada Allah; keselamatan; keamanan) ke seluruh penjuru dunia.
Langkah awalnya dengan meminta maaf sembari memaafkan. Kita telah melihat bahwa sudah banyak agamawan yang –semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadanya– berinisiatif menjadi pelopor perdamaian antar umat beragama. Mereka bersedia melepaskan belenggu gengsi guna menyongsong masa depan dunia yang lebih baik. Inilah tanggapan beberapa cendekiawan Kristen Protestan dari Pusat Agama dan Kebudayaan Universitas Yale, USA setelah menerima surat terbuka dari 138 tokoh Islam sedunia dalam rangka merajut perdamaian antara Islam-Kristen:
Kaum Muslim dan Nasrani tidak selalu berjabat tangan dengan bersahabat; hubungan mereka kadang-kadang tegang, bahkan sikap bermusuhan menjadi ciri yang jelas terlihat...kami ingin memulai dengan mengakui bahwa di masa lalu (yaitu dalam perang Salib) dan masa kini (yaitu dalam hal akibat “perang teror”) banyak kaum Nasrani bersalah karena berdosa terhadap sesama kami, kaum Muslim. Sebelum kami “menjabat tangan kamu” sebagai tanggapan atas surat anda, kami meminta pengampunan dari Dia Yang Maha Pengasih dan dari komunitas Muslim di seluruh dunia (HOPE, 2008: 40).
Hal yang sama pun dilakukan oleh agamawan lainnya dalam berbagai forum/kesempatan. Memaafkan masa lalu yang kelam lalu membuka lembaran baru penting sekali sebagai langkah awal terjalinnya hubungan erat antar umat beragama. Dengan begitu, pintu gerbang dialog (solusi kedua) yang lebih sehat akan terbuka lebar dan sudah saatnya ruang-ruang dialog diisi oleh kalangan grassroots, tidak melulu elit agamawan supaya mereka dapat merasakan pengalaman langsung berhadapan dengan yang berbeda keyakinan. Baiknya jika diskusi dibalut dengan humor dalam suasana keakraban, alih-alih offensive. Bisa dengan mencari titik temu yang sering terabaikan karena tertutupi oleh perbedaan dan hawa nafsu. Di sana mereka akan menemukan kekayaan akan keberagaman sehingga tumbuh benih-benih toleransi dan rasa saling menghargai perbedaan.
Prasangka yang selama ini membara dalam otak dapat disampaikan dan diklarifikasi, tentu harus menggunakan adab dan jika prasangkanya itu benar –walaupun kebanyakan salah– para pedialog harus menghargainya tanpa perlu menggadaikan kebenaran yang diyakininya. Selanjutnya, bilamana dialog itu –secara istiqamah– dapat berjalan secara sehat dan dinamis, agaknya tak berlebihan jika kita akan menemukan muara persamaan yang tercantum dalam dasar negara kita, pancasila. Bukakah akan lebih menyenangkan jika kita mengimplementasikan nilai-nilai pancasila secara berjamaah? Bahu membahu meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup dalam tuntunan Tuhan; menuntut keadilan tanpa pandang bulu di seluruh lini; bersatu padu untuk Indonesia yang lebih bermartabat; membiasakan permusyawaratan, mau mendengar pandangan yang beragam dalam pengambilan keputusan agar menelurkan hasil yang maksimal; dan menyerukan keadilan sosial supaya kekayaan dapat dinikmati seluruh kalangan.
Terakhir, sebagai tambahan, dialog dapat dimapankan dengan maju satu langkah, yakni berdialog dalam rangka mencari kebenaran. Tentu akan terjadi perdebatan dan itu wajar, selama dilakukan dalam konteks yang sesuai, ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan. Jika niat kita tulus dalam rangka meraih kebenaran (ridha Ilahi), maka hati dan pikiran harus terbuka menerima kenyataan kebenaran yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan. Sayang, banyak di antara kita yang lebih senang mencari pembenaran bukan kebenaran. []
*pertama kali diposting dalam www.breakpos.com
Referensi
House of Prayer for Everyone (HOPE). (2008). A Common Word. Banjarmasin: Halal Books
Shihab, Q. (2011). Tafsir Al-Misbah Vol.I. Jakarta: Lentera Hati
Sirry, M. (2013). Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama Lain. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Jika diusut secara saksama, setidaknya ada dua –dari sekian banyak– sumber permasalahan yang menyebabkan hubungan antar umat beragama tak kunjung membaik, atau setidaknya berjalan begitu lambat. Pertama, kegemaran meneruskan konflik masa lalu. Irfan Amalee, pendiri Organisasi Peace Generation yang begitu masif mengampanyekan perdamaian pernah berkata bahwa 90% konflik antar umat beragama disebabkan oleh konflik masa lalu. Perang Salib misalnya, masih sering dijadikan alasan oleh umat Islam-Kristen untuk saling bermusuhan. Satu generasi mentransfer dendam kesumat itu ke generasi penerusnya, begitu seterusnya hingga saat ini. Mereka beserta kelompoknya sama-sama merasa telah menjadi korban oposisi agamanya.
Kedua adalah prasangka, baik itu terambil dari tokoh agamanya, sumber sucinya, maupun berasal dari dalam dirinya sendiri. Umumnya saban umat beragama memiliki sejumlah prasangka buruk terhadap kelompok agama lainnya. Banyak yang berprasangka kalau umat Kristen menyembah tiga Tuhan, hobi mabuk-mabukkan dan memaksa umat agama lain untuk memeluk agamanya. Di sisi lain Islam sering diprasangkakan teroris, suka berperang, menindas/mengurung kaum perempuan, dan lain sebagainya. Sederhananya, masing-masing agama biasanya telah mempunyai cap-cap negatif yang dijustifikasi oleh agama lainnya yang biasanya disebarkan secara serampangan oleh para agamawan (ustadz, pastur, pendeta, biksu, dsb). Dengan mengandalkan sepotong-potong fakta maupun kutipan kitab suci dan dibarengi kultur doktriner , mereka menyampaikan hal tersebut kepada jamaahnya yang mayoritas adalah kaum awam sehingga mau tak mau akan diterimanya secara taken for granted.
Wahyu Ilahi pun terkadang menjadi penyebab munculnya prasangka buruk. Maksudnya, kitab suci yang sifatnya multi tafsir jika tidak dipahami secara menyeluruh dan kontekstual bisa menyebabkan pembacanya berkonfrontatif –secara membabi buta– dengan lawannya. Surat semacam At-Taubah [09]: 30 yang secara harfiah mengungkapkan bahwa orang-orang Yahudi meyakini Uzair sebagai putera Allah telah banyak membuat umat Muslim berprasangka demikian adanya, padahal tidak. Umat Yahudi mungkin akan “tertawa” jika disodorkan ayat semacam ini untuk pertanda perserikatan Allah dengan makhluk-Nya (Uzair) sebagaimana Mun’im Sirry mengutip pernyataan J.Walker, “Kesulitan yang tampak jelas adalah adanya kenyataan bahwa tidak ada catatan sejarah yang bisa disodorkan untuk membuktikan adanya sekte Yahudi, yang heterodoks sekalipun, yang menganut ajaran ini.” (Sirry, 2013: 38).
Pengalaman buruk berinteraksi dengan pemeluk agama lain pun tak kalah penting menjadi pembentuk prasangka. Celaan, penindasan, dan penistaan yang di arahkan kepadanya dari satu atau sekelompok orang yang berbeda agama dengannya biasanya akan membentuk penggeneralisiran yang picik. Menjadi korban kristenisasi paksa membuat si A menyimpulkan bahwa seluruh orang Kristen adalah buruk atau menjadi korban pembunuhan oleh teroris yang kebetulan beragama Islam telah membuat si B berkonklusi bahwa seluruh umat Muslim adalah para teroris.
Tak pelak dua permasalahan di atas senantiasa bergema di saentero bumi ini yang jika didiamkan niscaya keruhlah masa depan dunia, anak-anak beserta keturunannya. Lantas apa yang harus kita lakukan karena berdiam diri merupakan sebuah tindakan yang dzalim, sedangkan reaktif pun tak bijaksana adanya.
Saya menyarankan dua refleksi aktif yang dapat diaplikasikan oleh siapapun, asal memiliki niat. Pertama, daripada menonjolkan sense of religion identity lebih baik sibuk meningkatkan kesadaran spiritual yang memang sifatnya begitu personal (antara Tuhan dan manusia). Misalnya sudah seberapa dekat/intim hubungan kita dengan Tuhan; sudah seberapa jauh kita mengenali diri sendiri –dan alam? Secara pribadi saya pun lebih cenderung memahami Islam sebagai sebuah kata sifat (penyerahan diri secara total kepada Allah Swt.) daripada sebagai sebuah nama agama yang terinstitusikan. Jika kita meneliti kata s-l-m dalam Alquran, maka terang bahwa penekanannya lebih kepada sebuah kata sifat/keadaan/maqam dibanding sebuah institusi.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! sesungguhnya Allah telah memilih ajaran (agama) ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.” (QS. Al-Baqarah [02]: 132)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam penyerahan diri secara total (kepada Allah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [02]: 208)
Bahkan Quraish Shihab memahami kata s-l-m di atas dengan kedamaian (Shihab, 2011: 543). Oleh karena memahami Islam sebagai sebuah kata sifat, maka terkikislah kebiasaan menjustifikasi ekspresi keberagamaan seseorang sebab kita semua adalah manusia yang senantiasa –sedang– berproses menuju penyerahan diri secara total (Islam) yang mana ini merupakan perjalanan ruhani sepanjang hayat.
Agaknya saya dapat memahami Cak Nun yang konon malu untuk menyebut dirinya telah ber-Islam karena ia memahami Islam sebagai sebuah kata sifat/keadaan/maqam, bukan sebuah nama agama yang terlembagakan. Betapapun, tak dapat dipungkiri pula bila dalam literatur Islam khususnya hadits, secara gamblang mengultimatumkan keberlembagaan Islam sebagai sebuah agama, tetapi di kesempatan ini saya hendak mengajak pembaca untuk lebih mengindahkan kata sifatnya dibandingkan kelembagaannya. Betapa damainya jika Allah As-Salam (Maha Damai) yang telah menganugerahkan kita untuk berislam (berlaku damai –internal dan eksternal) lalu kita teruskan untuk menyebarkannya (kedamaian; penyerahan total kepada Allah; keselamatan; keamanan) ke seluruh penjuru dunia.
Langkah awalnya dengan meminta maaf sembari memaafkan. Kita telah melihat bahwa sudah banyak agamawan yang –semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadanya– berinisiatif menjadi pelopor perdamaian antar umat beragama. Mereka bersedia melepaskan belenggu gengsi guna menyongsong masa depan dunia yang lebih baik. Inilah tanggapan beberapa cendekiawan Kristen Protestan dari Pusat Agama dan Kebudayaan Universitas Yale, USA setelah menerima surat terbuka dari 138 tokoh Islam sedunia dalam rangka merajut perdamaian antara Islam-Kristen:
Kaum Muslim dan Nasrani tidak selalu berjabat tangan dengan bersahabat; hubungan mereka kadang-kadang tegang, bahkan sikap bermusuhan menjadi ciri yang jelas terlihat...kami ingin memulai dengan mengakui bahwa di masa lalu (yaitu dalam perang Salib) dan masa kini (yaitu dalam hal akibat “perang teror”) banyak kaum Nasrani bersalah karena berdosa terhadap sesama kami, kaum Muslim. Sebelum kami “menjabat tangan kamu” sebagai tanggapan atas surat anda, kami meminta pengampunan dari Dia Yang Maha Pengasih dan dari komunitas Muslim di seluruh dunia (HOPE, 2008: 40).
Hal yang sama pun dilakukan oleh agamawan lainnya dalam berbagai forum/kesempatan. Memaafkan masa lalu yang kelam lalu membuka lembaran baru penting sekali sebagai langkah awal terjalinnya hubungan erat antar umat beragama. Dengan begitu, pintu gerbang dialog (solusi kedua) yang lebih sehat akan terbuka lebar dan sudah saatnya ruang-ruang dialog diisi oleh kalangan grassroots, tidak melulu elit agamawan supaya mereka dapat merasakan pengalaman langsung berhadapan dengan yang berbeda keyakinan. Baiknya jika diskusi dibalut dengan humor dalam suasana keakraban, alih-alih offensive. Bisa dengan mencari titik temu yang sering terabaikan karena tertutupi oleh perbedaan dan hawa nafsu. Di sana mereka akan menemukan kekayaan akan keberagaman sehingga tumbuh benih-benih toleransi dan rasa saling menghargai perbedaan.
Prasangka yang selama ini membara dalam otak dapat disampaikan dan diklarifikasi, tentu harus menggunakan adab dan jika prasangkanya itu benar –walaupun kebanyakan salah– para pedialog harus menghargainya tanpa perlu menggadaikan kebenaran yang diyakininya. Selanjutnya, bilamana dialog itu –secara istiqamah– dapat berjalan secara sehat dan dinamis, agaknya tak berlebihan jika kita akan menemukan muara persamaan yang tercantum dalam dasar negara kita, pancasila. Bukakah akan lebih menyenangkan jika kita mengimplementasikan nilai-nilai pancasila secara berjamaah? Bahu membahu meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup dalam tuntunan Tuhan; menuntut keadilan tanpa pandang bulu di seluruh lini; bersatu padu untuk Indonesia yang lebih bermartabat; membiasakan permusyawaratan, mau mendengar pandangan yang beragam dalam pengambilan keputusan agar menelurkan hasil yang maksimal; dan menyerukan keadilan sosial supaya kekayaan dapat dinikmati seluruh kalangan.
Terakhir, sebagai tambahan, dialog dapat dimapankan dengan maju satu langkah, yakni berdialog dalam rangka mencari kebenaran. Tentu akan terjadi perdebatan dan itu wajar, selama dilakukan dalam konteks yang sesuai, ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan. Jika niat kita tulus dalam rangka meraih kebenaran (ridha Ilahi), maka hati dan pikiran harus terbuka menerima kenyataan kebenaran yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan. Sayang, banyak di antara kita yang lebih senang mencari pembenaran bukan kebenaran. []
*pertama kali diposting dalam www.breakpos.com
Referensi
House of Prayer for Everyone (HOPE). (2008). A Common Word. Banjarmasin: Halal Books
Shihab, Q. (2011). Tafsir Al-Misbah Vol.I. Jakarta: Lentera Hati
Sirry, M. (2013). Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama Lain. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Komentar
Posting Komentar