Aku percaya
bahwa akal adalah anugerah-Nya yang menjadikan manusia menjadi makhluk paling
mulia (ahsan taqwim). Maka aku akan melepaskan segenap keyakinan keislamanku
dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku,
termasuk otoritas keulamaan. Toh, otoritas-otoritas keulamaan itu berbeda
pendapat juga. Namun, aku akan menerima tafsir otoritas dari siapa pun, dalam
arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti—bukti yang meyakinkan secara
intelektual dan berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini
kebenarannya.
Aku percaya
bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai makna jika ia dikaitkan dengan
prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan semata-mata dengan sibol-simbol yang
tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan
lahiriah, keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional,
dan sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna
yang sesuai dengan makna asli ajektif yang terlekat pada kata otoritas dalam
ungkapan ini, yakni “yang bersifat ilmiah”. Semua ini aku yakini karena al-Qur’an,
sebagai otoritas tertinggi dalam Islam, mengajarku bahwa agama Islam adalah
untuk orang-orang yang berakal, Nabi-Nya pun dengan tegas menyatakan “tak ada
agama bagi orang yang tak berakal.” Selanjutnya, penolakanku terhadap segala
bentuk otoritas keulamaan qua symbol-simbol
itu tentu saja tak terbatas pada otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah
teruatama berhubungan dengan otoritas keulamaan masa lampau, sampai masa lampau
yang paling jauh dalam sejarah Islam. Karena opini para ulama masa lampau
memiliki peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa kita
sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi.
Tapi, aku sadar
bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki
keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, aku tak pernah merasa kapan
saja dalam hidupku bahwa keyakinanku akan selalu bersifat final. Aku selalu
sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentatif,
selalu siap untuk direvisi dan direisi lagi, sejalan dengan pertambahan wawasan
dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu,
aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko guru keilmiahan.
Aku percaya bahwa akal juga mencakup apa yang –orang-orang seperti Aristoteles,
Rumi, Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal– disebut sebagai intuisi atau –oleh
sebagian pemikir lain– disebut sebagai intelek (Intellect). Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam
sering diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad). Bahkan, aku percaya bahwa
setiap saat intuisiku penarikan pendapat ilmiahku –kumaui atau tidak. Memang,
tidak seperti penalaran rasional, aku tidak bisa mengendalikan operasi
intuisiku (bukankah per definisi intuisi bersifat holistic sintetik, dan
mengontrol?) Tapi, aku percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku
mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga objektivitas dan
keikhlasanku.
Karena adanya
kebutuhan agar aku tetap objektif dan ikhlas seperti itu, maka sepanjang
upayaku mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus pada kebenaran itu
sendiri, bukan pada polularitas, permusuhan pada pendapat yang (sementara ini)
tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisihkan kemungkinan kesombongan dan
kebanggaan dari upaya-upaya itu. Dan, karena aku sadar bahwa dorongan kea rah nafsu-nafsu
seperti itu berpeluang besar untuk mengganggu objektivitasku, maka aku akan
secara sadar dan terus-menerus memperbaiki niatku, menaklukan semangat sekadar
ingin populer dan menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya
untuk memeriksa opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku
sebelum opini-opini yang lain. Aku percaya, jihad
al-nafs (perang melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.
Aku –meskipun amat
kritis– akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai akumulasi
pemikiran manusia sepanjang hayat. Bahwa, seperti kata Issac Newton, kita
berdiri “di atas bahu raksasa” sebelum kita. Bahwa, meski zaman beserta budaya,
psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja yang bersifat perennial
dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.
Bahkan aku
percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal penciptaan
manusia. Bukan hanya hingga Plato –yang, oleh Whitehead, pemikiran manusia
sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya– melainkan hingga
Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam) yang dianggap
Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia.
Meksi kritis,
aku tak akan bersikap nihilistik terhadap pemikiran khazanah pemikiran masa
lampau, karena dengan bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah ilmu
pengetahuan umat manusia, dan khazanah ilmu pengetahuanku. Dengan demikian, aku
tak mau terperangkap ke dalam kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa
lampau karena aku menganggapnya berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku.
Sebaliknya, aku
akan mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah
yang berpotensi untuk memperkaya pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha
untuk tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran pada pemikir
pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan ketat dibandingkan pemikiran
kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa –seperti ditulis, antara lain, oleh
Franz Rosenthal– pada ilmuwan dan ulama muslim masa lampau juga memiliki
persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat. Bahkan, seringkali aku
dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca hasil pemikiran mereka, amat
banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap dalam
perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga oleh para pendahuluku
itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu beberapa generasi,
dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki latar belakang, tak urung
akan membuatku berpikir: “jangan-jangan
apa yang mereka telah pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku
pikirkan sekarang.” Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir
dan merasa cukup dengan hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu
hanya makin mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan
baru di atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang
melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu. Alhasil, sikapku
terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa lampau,
sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsipku dalam
bersilam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralism, dan demokrasi.
Nah, terkait
dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai
atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapapun pendapat itu
segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku.
Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefit of the doubt, sambil berupaya menerapkan kebijakan
bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar, tapi memiliki peluang untuk salah,
dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk
benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan
pendapatnya akan aku junjung tinggi dan aku bela. Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di
mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana
saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu rahmat, yang –jika
kita sikapi dengan benar– akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita
lebih dekat kepada kebenaran. Dengan kata lain, makin melengkapkan
pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu
bersifat parsial. Aku tak akan pernah lupa bahwa kebenaran-kebenaran itu
berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran tak akan bertentangan
dengan kebenaran lainnya. Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan
bersikap seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak
mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita
kritik itu seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam
Ghazali yang berjudul Maqasid
al-Falasifah –yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibnu Sina– sempat
dikelirukan sebagai karya Ibnu Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap
pemikiran filsuf yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu.
Bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita,
selalu ada peluang kebenaran yang bisa kita pungut. Dalam kerangka ini, aku
akan menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita
kritik, apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami
pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural,
menyesatkan dan, dengan demikian, merusak objektivitas kita.
Sebaliknya, aku
akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, dalam menanggapi opini yang tidak
kusetujui itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan saling
memperkaya akan tercipta, meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak
aku setujui bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu
sadar bahwa mereka bukan guruku. Bukankah memang sudah sikapku bahwa kancah
pemikiran harus selalu terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku
mengkritik mereka justru karena sikap tertutup, totalitarian, dan
otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang
bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasive, asalkan kita
telaten dalam mengajukan hujah-hujah kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan
juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar
antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang
produktif dan silahturahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin bahwa
ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lan merupakan produk sikap
sombong, mereka benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru
menjadi musuh keterbukaan, pluralism, dan demokrasi.
Aku akan
berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang profane ke
pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan
masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena
justru akan mempersulit diri dan mendorong menculnya sikap-sikap reaksinoner
dan obskurantif, setidaknya dapat menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya
menyelusup –melainkan “mengangkangi”– ke semua detail aktivitas kita secara
tidak perlu. Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahkan kita dengan
akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya
membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi
ada batas-batasnya. Bahwa, betapapun, agama sebagai agama meniscayakan
penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara
sekularisasi dan sekularisme –yang tidak aku sepakati– tidak selalu jelas.
Setidaknya, kalau pun aku yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan
moral dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek
kehidupan manusia yang mana pun.
Meski aku
percayai dalam banyak hal bersifat kontekstual dan historis, aku juga yakin
bahwa banyak juga teks-teks (nash)
keagamaan yang berbicara mengenai hukum, politik, ekonomi. Sulit bagiku untuk
menutup sama sekali pintu untuknya. Karena boleh jadi ia masih juga bisa
menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber pemikiran
non-keagamaan. Meminjam istilah ushul
al-fiqh, kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyah), nas-nas yang bersifat
kontektual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan
sekunder (tsanawiyyah).
Aku juga aka
memelihara concern bahwa Islam harus
selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman.
Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya yang
progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah selalu menambahkan
ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla
yaumin huwa fi sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka, ijtihad pun menjadi niscaya –Iqbal menyebutnya
sebagai prinsip atau soko guru gerakan dalam Islam– demi menyahuti undangan
Allah untuk menjawab tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku
juga tahu bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita”
dalam kita mencari jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku,
bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya agar
sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a
priori. Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to (tertundukkan pada)
keyakinan-keyakina a priori-ku itu.
Ini menurutku merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku.
Kalau aku percaya pada kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah
menempatkannya sebagai sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang
lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di
antara keduanya, aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan,
meski hanya untuk sementara. Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan
sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih ultimately tak akan bertentangan dengan
teks-teks atau nas-nas yang dipahami sebagai sahih pula.
Pendekatanku
terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan
bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi
terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar belakang sosiologis,
psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subjektivitasku, kemudian
melihat secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqasid)-nya, untuk akhirnya
mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku. Ini sama sekali bukan
suatu pendekatan yang mudah. Tapi meskipun demikian, aku sadar bahwa
hermenetika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam
prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman Yunani,
diakui sama dengan mengenali Tuhan –the ultimate
being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar –lagi-lagi,
jihad melawan hawa nafsu– sajalah yang dapat membantu kita melakukannya.
Kemudian melihat secara historis dan kontekstual, mengharuskanku untuk dapat
memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio-kultural dan
psikologis yang berjalin kelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering
bertentangan. Dan seterusnya aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir
muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis Muktazilah, atau kaum sufi, yang
telah berupaya keras untuk mempraktikkan pendekatan ini lewat apa yang mereka
sebut ta’wil. Yakni, menyelam
dalam-dalam ke lapis-lapis teks-teks suci al-Qur’an dan Sunnah –demi memungut
mutiara-mutiara ilham yang terpendam di bawah permukaan tafsir “biasa”. Suatu
teknik yang bukan saja mengandaikan daya imajinal untuk masuk ke dunia
supra-konkret –dunia yang lebih estetik dan rohani (spiritual)– melainkan juga
dipandu oleh suatu “sistem” gagasan spesifik yang biasa disebut irfan (tasawuf filosofis). Tapi, pada
saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan
pendekatan literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan
membantuku untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak
mencari makna hermeneutika teks-teks tersebut. Bahkan, aku sadar, aku tahu,
pendekatan literal bukan saja tak bertentangan dengan ta’wil, tapi malah merupakan bagian dari prosedurnya.
Ini, pikirku,
barangkali sebab yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibnu Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata
karena bagi orang-orang seperti ini ta’wil
–sebagaimana hermeneutika– bukanlah mencari makna yang bukan orisinal,
melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.
Akhirnya, aku akan
selalu meminta pertolongan dan petunjuk dari Allah Swt. Sang Kebenaran dan Sang
Pemberi Petunjuk, karena aku amat sadar kepada keterbatasanku sebagai manusia
dan bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran. Wa Allah a’lam bi al-shawab.
[Diambil
dari buku Islam Tuhan Islam Manusia karya
Dr. Haidar Bagir yang diterbitkan oleh Mizan]
sumber foto: akun FB GraphicsPedia
Komentar
Posting Komentar