Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi
(Al-Baqarah: 30). Apakah sebenarnya khalifah itu? Ahli tafsir Indonesia,
Quraish Shihab menyatakan bahwa kata khalifah pada mulanya berarti menggantikan
atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Dapat juga diartikan
sebagai wakil. Maka dari itu sahabat Rasul yang empat –Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali- disebut sebagai khulafau-rasyidin. Yaitu wakil Rasul sepeninggal beliau. Kita
sering dituntut untuk bertawakal, yang berarti berserah diri. Karena
jika manusia telah melakukan usaha dengan semaksimal mungkin, tinggal
menyerahkan/ mewakilkan urusannya kepada Sang Khalik. Sehingga manusia disebut
khalifah, karena merekalah yang akan menjadi wakil Allah untuk melestarikan
bumi ini. Tetapi jangan anda pikir bahwa manusia menjadi berstatus Tuhan yang
melakukan sesuatu sekehendaknya. Tidak. Manusia hanya diberikan mandat berupa
hal-hal yang telah ditentukan oleh-Nya.
Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap
alam. Menurut Shihab kekhalifahan
mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap
makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut
untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua
proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung
jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.[1]
Beliau melanjutkan bahwa semua yang
ada di alam ini, termasuk manusia, binatang, tumbuhan, bahkan benda-benda yang
tak bernyawa sekaligus memiliki ketergantugan terhadap penciptanya. Keyakinan
ini mengantarkan kita untuk menyadari bahwa semua adalah makhluk Allah yang
harus diperlakukan dengan baik dan penuh dengan cinta kasih. Jangan ada rasa
lebih hebat, lebih pantas, lebih kuasa, karena semua makhluk-Nya tidak akan
dapat hidup jika tidak ada keharmonisasian diatara mereka. Manusia tidak akan
dapat hidup tanpa air, untuk hidup manusia butuh makan yang semuanya pasti
berasal dari alam. Begitu pun dengan binatang, mereka membutuhkan
tumbuh-tumbuhan atau hewan lain sebagai kebutuhan makanannya ataupun hanya
sebagai mempererat hubungan antar makhluk. Begitu indahnya Allah menciptakan
alam ini dengan penuh keserasian. Hanya saja, adakah yang hendak mengambil
pelajaran? Tak ada kata yang pantas selain meresapi ayat ini. (Al-Baqarah: 164).
Terhadap binatang misalnya, selain
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup (QS. An-Nahl [16]: 5-8), banyak sekali
pelajaran yang dapat diambil oleh manusia karena memang binatang pun adalah
suatu umat juga, sama dengan manusia. Allah berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (QS. Al-An’am [6]:
38). Disebut demikian, sebab binatang pun sama halnya dengan manusia, mereka
hidup, memiliki naluri atau insting untuk berburu, memiliki bahasa atau pola
komunikasi yang hakikatnya belum diketahui oleh manusia, seperti yang kita
ketahui dalam kisah seekor semut yang berkata kepada kawan-kawannya untuk
berlindung diri dari bala tentara Sulaiman (QS. An-Naml [27]: 18).
Pada akhirnya dapat
disadari bahwa manusia yang diturunkan Allah ke muka bumi ini, memiliki amanat
sebagai khalifatullah. Untuk itu, berakhlak
sesuai tuntunan para Nabi adalah perihal yang amat penting untuk ditiru.
Trihariyani
BalasHapus