A. Menerapkan dakwah yang moderat
Saat
ini para pemerhati islam sedang harap-harap cemas melihat kondisi islam di
dunia maupun Indonesia. Bagaimana tidak, lihat saja terdapat beberapa golongan
yang seakan-akan berdakwah membela dan mengharumkan islam padahal menghancurkan
islam. Dosen saya pernah berguyon, “mereka
adalah SPI = sok pembela islam”. Itu bagaikan kaki kanan melangkah kedepan
sedangkan kaki kirinya menginjak temannya sendiri. Kita bisa berkaca pada
keadaan di Timur Tengah sampai detik ini. Tak dapat terfikir dalam benak saya,
mungkin Negara Barat akan semakin phobia terhadap islam.
Agaknya
yang demikian pun merasuk ke dalam tubuh bangsa Indonesia yang dahulunya
terkenal ramah tamah. Ini mungkin pengaruh media informasi dan efek globalisasi.
Keadaan
pun diperparah dengan munculnya perlawanan dari golongan yang tidak menyetujui
sikap para “SPI”. Luthfi
Assyaukanie, editor situs islamlib.com, menyatakan bahwa lahirnya JIL (Jaringan
Islam Liberal) sebagai respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan
”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai oleh munculnya kelompok
militan Islam, perusak gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi ”Islam
militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil serangan, yang
menurut hemat saya keduanya –golongan SPI dan anti SPI- sama-sama ekstrem.
Alhamdulillah,
para ulama, pemikir, maupun pemerhati islam sudah mulai menyadarinya. Terlihat
dari beberapa wacana-wacana yang di usulkan –walaupun masih dalam bentuk
tulisan maupun seminar- guna menyelesaikan problematika ini. Dan dimana kah
posisi aktivis dakwah? Saya harap tidak berada di kutub ekstrem SPI maupun
kutub ekstrem anti SPI dan lebih memilih berjalan beriringan dengan para ulama,
pemikir, maupun pemerhati islam yang mempunyai semangat moderat (jalan tengah).
Karena semua tahu kalau islam adalah agama penebar rahmatan lil alamin.
Kata
‘rahmat’ selalu disandingkan dengan artian kasih sayang, dan kelemahlembutan.
Tetapi menurut Harjani Hefni, itu masih parsial (belum lengkap), karena ada
sebagian orang yang tidak setuju jika sebuah tindakan lahir bertentangan dengan
kelembutan dikatakan sebagai rahmat.[1]
Beliau
beranggapan, meskipun sifat ‘rahmat’ dengan tampilan utamanya adalah keakraban,
kelembutan, dan kasih sayang, tetapi sifat-sifat tersebut tidak menghilangkan
keperkasaan, keberanian, dan ketegasan dalam menghadapi kezaliman,
penyimpangan, dan segala bentuk manipulasi.[2]
Lihat saja sikap tegas Rasulullah yang diabadikan dalam Alquran. Allah
berfirman:
Ó£JptC ãAqߧ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& Ïqàf¡9$# 4 y7Ï9ºs öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöqG9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èã tí#§9$# xáÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian
tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya,
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di
antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath [48]: 29)
Hanya
saja ayat di atas atau hadits yang senada seperti, “siapa saja yang melihat kemungkaran, lakukanlah perubahan dengan
tangannya, jika tidak mampu, dengan lidahnya. Jika tidak mampu, dengan hatinya.
Inilah selemah-lemahnya iman” sering di salah artikan oleh segolongan umat
muslim.
Terlebih
ketika situasi sosial kita sedang mengalami kekacauan, norma-norma sosial
terdistorsi, kekerasan merebak, korupsi menyebar, dekadensi moral yang diamini
oleh kekuasaan kekuasaan Negara yang tidak berdaya, supremasi hukum lemah,
presiden tidak bisa mengambil tindakan, pemimpin rakyat mengambil alih peran
Negara, akibatnya segolongan orang merasa mendapat legitimasi untuk dengan
bebas merusak, mengubrak-abrik tempat maksiat, menghakimi sendiri siapa saja
yang dianggap merusak moral. Semua tindakan itu diklaim sebagai kebenaran atas
nama Tuhan atau agama.[3]
Redaksi
‘dengan tangan’ seharusnya ditafsirkan kekuasaan atau kewenangan. Pihak yang
pertama-tama terkena dengan kewajiban ini adalah pemerintah atau penguasa.
Pemerintah sesungguhnya merupakan perwujudan dari harapan-harapan masyarakatnya
yang karenanya memiliki amanah dan kewajiban yang mengikat. [4]
Meski demikan, kekuasaan di sini bukan berarti kekuasaan otoriter, melainkan
kekuasaan konstitusional.
Di
sisi lain, karena ketegasan tidak berbanding lurus dengan penindasan atau
kezaliman sehingga jika dirasa ada orang ataupun segolongan –baik mereka muslim
maupun non muslim- yang tindakannya merugikan islam, maka kita tidak boleh
berlaku anarkis dengan main hakim sendiri, tetapi penyelesaiannya diserahkan
kepada mekanisme yang berlaku, terlebih lagi Indonesia adalah Negara hukum.
Pihak
berikutnya adalah orang tua, para pendidik, dan pemimpin para lembaga,
perusahaan dan kantor-kantor. Mereka ini memiliki wewenang dan tanggung jawab
yang langsung terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. [5]
Orang
tua bertanggung jawab dan memiliki wewenang kepada anaknya yang melakukan
kesalahan, seorang suami kepada istrinya, begitu pun seorang guru harus
bertanggung jawab dan memiliki wewenang kepada muridnya yang melakukan
kesalahan, para aktivis dakwah juga bertanggung jawab dan memiliki wewenang
kepada kader-kadernya.
Selanjutnya,
redaksi “dengan lisan” bisa dimaknai dengan ucapan, nasihat, ceramah,
berdialog, dan tidak boleh dipahami sebagai celotehan, caci maki, serta
kata-kata yang merendahkan martabat manusia. [6]
Redaksi
“dengan hati” bukan berarti hanya diam, memejamkan mata, dan menutup telinga.
Tetapi menurut K.H Husein adalah diam yang aktif, yaitu melakukan sesuatu
dengan tenang dan disiplin, serta kukuh dalam prinsip kebenaran dan keadilan.
Pendek kata, kita tidak boleh membiarkan kerusakan terus berlangsung, apalagi
kemudian tenggelam atau terseret arusnya. [7]
Dakwah Bukan Paksaan
Kita
semua tahu bahwa dakwah merupakan sebuah ajakan, maka disini tidak ada yang
namanya sebuah paksaan. Allah hanya menganjurkan kita untuk berdakwah sesuai
kemampuan (secara terus-menerus) –dengan cara yang baik dan benar- dan mengenai
hasil, itu adalah hak preogatif Allah. Betapa banyak ayat Alquran yang menegur
Nabi Muhammad dikarenakan keinginannya untuk mengislamkan secara kaffah semua orang. Seperti firman
Allah:
“Wahai Rasul (Muhammad) janganlah engkau
disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang
(munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman’ dan juga
orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar berita bohong.. ” ayat ini ditutup dengan kata, “barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk
sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah
(untuk menolongnya)..” (QS.
Al-Maidah [5]: 41)
Dalam
ayat yang lain Allah berfirman, “dan jika
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di bumi seluruhnya.
Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang
yang beriman?” (QS. Yunus [10]: 99)
Perhatikan redaksi dalam surat al-Maidah di
atas, terdapat kata ‘munafik’ yang berarti mereka masih tergolong umat islam.
Itu menandakan dalam tubuh islam saja ada yang munafik yang kata Allah, kita
tidak bisa memaksakan kehendaknya. Hanya saja –sekali lagi- bukan berarti kita
berdiam diri, tetapi mari lah berdakwah dengan tanpa pemaksaan apalagi
kekerasan. Allah telah menuntun kita untuk menyerukan dakwah dengan cara hikmah
(bijaksana) sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
“serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 125)
Karena
dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha untuk mengubah
situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, maka sukses tidaknya suatu
dakwah bukanlah diukur oleh gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya, bukan pula
lewat ratap tangis mereka. Sukses tersebut diukur lewat, antara lain, pada
bekas yang ditinggalkan dalam benak pendengarnya, yang kemudian tercermin dalam
tingkah laku mereka. Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya semua unsur
dakwah harus mendapat dari perhatian para da’i.[8]
Tahapan dalam Berdakwah
Ada
kesalahan pemahaman di antara kita yang menganggap bahwa tugas seorang da’i atau aktivis dakwah sudah selesai
jika sudah menyampaikan materi yang biasa diartikan sebagai ceramah-ceramah
atau mentoring semata. Padahal dalam beberapa ayat Alquran, menurut Harjani
Hefni[9]
dakwah memiliki tiga tahapan, yaitu: tabligh,
takwin, dan tanfidz. Tabligh adalah
tahapan menyampaikan ajaran islam secara umum kepada seluruh manusia. Takwin adalah upaya untuk
menindaklanjuti orang-orang yang tertarik kepada islam melalui pendidikan dan
pengajaran sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah di rumah Al-Arqam bin
Abi Al-Arqam. Dalam tahap ini manusia dibentuk untuk memiliki pribadi yang
mulia. Sedangkan tahap terakhir, tanfidz,
diharapkan manusia khususnya kaum muslim sudah dapat melaksanakan secara
patuh perintah-perintah Allah.
Masih
menurut Harjani, tiga tahapan ini dapat dilihat dari firman Allah:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata” (QS.
Al-Jumu’ah [62]: 2)
Kalimat
yatlūna ‘alaihim āyātihĪ yang terjemahannya “membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka”
mengandung makna al-bayan dan tabligh (penjelasan
dan penyampaian). Kalimat wayuzakkĪhim
yang
terjemahannya “mensucikan mereka”
mengandung makna at-tarbiyah dan ta’lim (pendidikan
dan pengajaran) yang dalam istilah dakwah dikenal dengan istilah takwin. Kalimat wayu’allimuhum al-kitāba wal ḥikmata yang terjemahannya “mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”
mengandung pengertian tathbiq dan tanfidz (penerapan dan pelaksanaan).
Sedangkan kalimat wa in kānū min qoblu
lafĪ ḍolālin mubĪn
menunjuk
kepada tujuan dakwah islamiyyah, yaitu mengeluarkan manusia dari alam kegelapan
dan kesesatan menuju alam yang terang benderang. [10]
Harapan Untuk Para Aktivis Dakwah
Seperti
yang telah saya paparkan di atas, Indonesia saat ini sedang berada di tengah
tarik-menarik antara kubu SPI dan kubu anti SPI, dimana yang satu melahirkan
gerakan bercorak “pemurnian” yang berwajah “Arabisasi” dan fanatik, dan satu
sisi yang lain berwajah “westernisasi” dalam karakter yang sama-sama
fanatiknya.[11]
Dalam
wajah yang lain islam akan terus terombang-ambing antara radikalisme paham
“konservatisme-tradisional” dan “liberal-sekuler” yang saling berbenturan
secara radikal serta memperebutkan hegemoni wacana dan gerakan islam di
Indonesia dengan radikal pula. [12]
Maka kecerdasan mengusung corak dakwah yang lebih moderat, seperti yang di
lakukan ulama-ulama kontemporer –Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Yusuf Qardawi,
Quraish Shihab, Ust. Arifin Ilham, Ust. Yusuf Mansur, dll- dapat ditiru oleh
para aktivis dakwah kampus. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa tawasut (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (proporsional),
dan tidak anti budaya/ tradisi.
Akhir
dari segalanya, saya ingin memaparkan ayat Allah yang sangat menentang sikap
anti moderasi (ekstremisme) dalam bentuk apapun. Sungguh, moderasi dengan
wajahnya yang damai, penebar rahmat –bukan kebencian- amat didambakan oleh
seluruh umat.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
“Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
[1] Ahmad Satori, dkk. (2012). Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil
Alamin. Jakarta: Pustaka Ikadi, hlm. 105
[3] K.H Husein Muhammad. (2013). Menyusuri Jalan Cahaya. Yogyakarta:
Bunyan, hlm. 129
[5] Ibid
[6] Op cit, hlm. 130
[8] Quraish Shihab. (2013). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, hlm.
304
[9] Achmad Satori, dkk. (2012). Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil
Alamin. Jakarta: Pustaka Ikadi, hlm. 117
[10] Ibid, hlm. 118
[11] Lihat Haedar Nashir. (2013). Islam Syariat. Bandung: Mizan, hlm. 603
Komentar
Posting Komentar