Kegiatan
hisap-menghisap rokok yang setiap hari kita temui dimanapun, tergolong diantara
banyak hal di negeri ini yang bagi saya bukan sekadar untuk meningkatkan rasa
gagah dan percaya diri, melainkan juga amat menumbuhkan rasa bangga sebagai
bangsa Indonesia.
Tapi sayangnya saya
kurang beruntung belum dapat menikmatinya secara maksmimal karena selama empat
tahun saya tinggal di dekat Lembang (Bandung) yang udaranya masih minim kandungan
asap-asap rokok. Hal ini diperparah dengan aktivitas saya yang bergabung dengan
komunitas perdamaian –di Bandung- yang pusatnya berada di Jogja, disana pun saya
belum pernah melihat ada di antara mereka yang merokok. Untuk itu saya sering
mencuri-curi waktu ke Bandung kota atau ke kota kelahiran saya, Bekasi, hanya
untuk menghisap gumpalan asap rokok. Saya menari-nari riang gembira melihat
banyak sekali orang yang merokok disana. Saya merasa beruntung sekali –di dalam
hidup ini- masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dapat menikmati pemandangan
orang-orang yang sedang merokok. Dengan kecepatan secepat kilat saya hampiri
mereka-mereka yang sedang mengonsumsi sebuah batang yang panjangnya tak lebih
dari 12 cm itu. Saya menunggu saat-saat mereka menghembuskan asapnya. Wuussh.
Asap itu berhembus keluar dari mulut, hidung, bahkan telinga mereka. Seketika,
hidung saya mengisapnya cepat-cepat. Saya scpeecless. Benar-benar tak
dapat diungkapkan oleh kata-kata. Rasa dan harumnya itu loh. Kalau saya punya
uang –sayangnya tidak- berwarna merah bergambar Pak Karno, pasti sudah saya
kasih kepada mereka sebagai rasa terima kasih. Meskipun itu tetap tidak sepadan
dengan apa yang telah mereka perbuat kepada saya.
Bullshit orang-orang yang keluar rumah dengan menggunakan masker guna
melindungi dirinya dari asap tersebut. Mereka sepertinya harus diajari betapa
nikmatnya menghirup asap rokok itu. Saya mau kok menjadi pembimbing
mereka, asal mereka adalah cewek, karena merekalah yang masih malu-malu untuk
mengisapnya. Sedangkan cowok-cowok, secara umum saya melihat kalau mereka ini
sudah kebal –atau mungkin kesenangan. Mau bukti? coba cek saja paru-paru
mereka. Bersih dan sehat.
Tak sia-sia
usaha para pengusaha rokok. Tak sia-sia Si “Talk Less Do More”, Si “Taste The
Power”, Si “Pria Punya Selera”, Si “Ga Ada Loe Ga Rame” bersama reng-rengan-nya
untuk memberi iklan-iklan keteladanan, baik lewat televisi, radio, koran,
majalah, maupun online. Dulu Prof. Harun
Nasution cemas kalau-kalau bangsa Indonesia ini akan selalu memiliki pemikiran
dan gaya hidup yang kolot. Sekarang terbukti, kesanggupan besar bangsa kita
untuk tidak menyia-nyiakan harapan atau permintaan cendekiawan besar itu.
Terutama cowok-cowok, dari kalangan pelajar berbagai jejang (TK, SD, SMP, SMA,
Kuliah), hingga para pekerja: telah bukan saja merobek pemikiran dan gaya hidup
yang kolot. Lebih dari itu, mereka telah menjadi seorang laki-laki yang
sesungguhnya. Yang jantan, macho, progressif, dan inovatif.
Saya sendiri
paling bangga saat melihat mereka merokok di tempat-tempat umum. Di angkot atau
bus misalnya, walaupun ada orang yang menutupkan tangannya ke hidung –sebagai
bahasa isyarat- dan juga seorang ibu yang menggendong bayinya, perokok tersebut
malah semakin semangat untuk merokok. Soalnya mereka memahami betul
isyarat-isyarat tersebut, yang menandakan bahwa mereka harus lebih mengumbar
asapnya supaya dapat dirasakan oleh semua penumpang. Meskipun ada beberapa
orang yang sok idealis ( sebagian dokter, aktivis kesehatan, aktivis anti
rokok, dll) yang mengecam perbuatan tersebut, mereka tetap kekeuh pantang
mundur. Maju tak gentar. Seperti Khalid bin Walid yang tak pernah mundur dalam
peperangan.
Para pejuang
bangsa ini pantang mundur. Mereka berjuang dengan penuh semangat jihad fi
sabilillah. Yang memiliki cukup uang, mereka bisa menghisap 10-20 batang
dalam sehari. Bahkan yang maniak bisa sampai 40 batang. Betapa hebatnya mereka.
Adapun yang kurang beruntung, karena tidak memiliki banyak uang misalnya, tetap
qanaah walaupun hanya menghisap 4-5 batang sehari. Yang terakhir saya
sebut, mereka –dan keluarganya- rela hanya makan nasi dan garam, yang penting
rokok harus ada. Jika dulu nasi dijadikan sebagai menu pokok di dalam 4 sehat 5
sempurna, sekarang posisinya telah tergantikan oleh batang-batang penyuplai
terbesar inspirasi di negeri ini. Mereka menyadari, kalau merokok sesekali dapat
mengganggu kesehatan pernafasan mereka, tetapi –kata mereka- itu semua hanyalah
riak-riak garam kehidupan. Bukan penghambat, malah sebagai motivasi supaya
lebih giat merokok. Ini seperti pertengkaran suami-istri. Dan tak lupa, saya
harus banyak-banyak terima kasih kepada NU yang telah memberi fatwa makruh, sehingga
umat muslim di negeri ini tak perlu malu untuk mengonsumsinya. Amazing,
sepertinya diri mereka ini benar-benar sudah manunggaling kawula rokok.
Bagaimana saya
tidak bangga? coba anda perhatikan bagaimana glakat-glagat mereka saat sedang
mengisapnya. Matanya merem-melek merem-melek. Katanya, saat itu kenikmatannya
melebihi kenikmatan malam pertama para pengantin muda. Amatilah juga
jenis-jenis kreativitasnya. Asapnya bisa dijadikan ajang kekerenan mereka. Ada
yang dapat membentuk lingkaran-lingkaran kecil, dan ada juga yang dapat
membentuk love. Mungkin jika bentuk love ini di jadikan media
untuk menembak cewek, 100% mereka akan diterima. Aduhai! Sayangnya, saya hanya
orang bodoh yang –memang- sudah beberapa kali mencobanya tetapi tidak pernah
merasakan kenikmatan-kenikmatan itu. Saya tolol dan kolot, malah
terbatuk-batuk. Seluruh bibir dan mulut saya menjadi pahit dan kering.
Sampai suatu
hari saat saya sedang duduk-duduk manis di Taman Jomblo Bandung sambil mengisap
aroma asap rokok dari seorang anak muda yang sedang duduk –tepat- di sebelah saya,
datanglah seorang perempuan setengah baya yang kurang ajar. Merebut rokok dari
bibir pemuda tersebut, menginjaknya, lalu memaki-maki.
“Apa-apaan
kamu? melakukan such a stupid thing. Manusia itu diberi akal sehat dan
nurani supaya mereka dapat menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Dengan kedua
instrumen tersebut, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, dapat menimbang mana yang mengandung banyak manfaatnya dan mana yang
banyak mudaratnya. Cobalah kamu berpikir apakah dengan merokok dapat melindungi
agama, akal, keturunan, jiwa, harta, dan lingkungan, tidak? atau hanya
merugikannya. Malu-maluin saja keegosianmu itu...!”
Saya terkejut, sedangkan anak muda tersebut langsung naik pitam. “Goblok benar ibu ini.
Orang-orang pada mau meninggalkan kekolotan, anda malah memeliharanya. Sok ngajarin
harus menggunakan akal dan hati segala. Ibu ini sepertinya harus banyak belajar
lagi soal maqasid syariah. Argumentasi anda masih sangat mentah dan sudah
ketinggalan zaman. Modern dong! kontekstual dong! sesuaikan maqasid syariah itu
dengan keinginan masyarakat global.” ucapnya berlagak intelek.
"Weleh-weleh, anak zaman sekarang ..." gumam saya dalam hati. []
"Weleh-weleh, anak zaman sekarang ..." gumam saya dalam hati. []
Bekasi, 9
September 2016
Komentar
Posting Komentar