"Fundamentalis" vis a vis "Liberalis": Dilema Seorang Pemikir Bebas
Padahal
baru dua hari yang lalu Saya menulis tentang Pare Kampung Inggris- dan
orang-orangnya. Di tulisan itu Saya sedikit lupa untuk memberitahukan bahwa
orang-orang yang ada di sini hampir seluruhnya adalah pendatang, sedangkan
warga aslinya bisa dihitung dengan jari. Ada yang datang dari Barat seperti
Padang, Lampung, Bekasi, Bandung, Pelembang, hingga timur nan jauh, Nusa Tenggara Timur dan Makassar. Betapapun,
sejauh ini Saya belum pernah melihat orang Papua berseliweran di "negeri" para
pencari beasiswa ini. Akibatnya, kalau enggan dikata berlebihan, Pare,
khususnya kawasan Kampung Inggris bisa disebut-sebut sebagai miniaturnya
Amerika karena keheterogenannya. Implikasinya, semua hal ada di sini. Yang ndeso ada, yang modern-borjuis pun ada.
Yang soleh banyak, yang "kafir" juga ada. Ada yang diam-diam membaca Al-Qur'an
di sudut masjid tapi ada juga yang melakoni mesum umpet-umpetan. Ada yang
konstruksi pemikirannya "Fundamentalis" tapi juga ada yang "Liberalis". Yang
terakhir Saya sebutkan inilah yang menjadi alasan utama mengapa Saya harus
menulis artikel di malam yang sunyi ini. Sesunyi hatiku hatimu.
Saya
harus ekstra hati-hati dengan dua istilah ini (Fundamentalis dan Liberalis), dimana
keduanya seringkali dihadap-dahapkan secara berlawanan. Sulitnya menyepakati
ontologi dan indikator-indikatornya, membuat Saya memutuskan untuk membubuhinya
dengan tanda petik. Itu artinya dua istilah ini telah diekstraksi menjadi hasil
interpretasi Saya pribadi, meskipun tentu setelah mengalami pergulatan
pemikiran.
Kalau
tulisan kemarin menceritakan tentang seorang teman yang memiliki pemikiran "liberal" (baca tulisan Saya yang berjudul, Serba Serbi Kampung Inggris Pare:
Orang-Orang dan Kulturnya, di jivaagung.blogspot.co.id), kali ini Saya bertemu
dengan sahabat sejatinya, siapa lagi kalau bukan para fundamentalis. Satu
orang terindikasi kuat, sedangkan yang satunya lagi masih fifty-fifty.
Ceritanya
malam itu Saya sedang membaca buku impor Handbook
of Peace and Conflict Studies karya Johan Galtung yang baru dibeli beberapa
hari yang lalu. Tiba-tiba penjaga kosan Saya, Mr. Arif, memanggil Saya untuk
keluar dari kamar agar menuju ruang tengah. Dia lalu memperkenalkan seorang
tamu yang tiada lain merupakan temannya sendiri, kepada Saya. Kami bersalaman
dan memberi senyum sekenanya. "Pizzaro...", katanya. Lalu Mr. Arif mengatakan
kepada Saya kalau Mas Pizzaro ini juga merupakan seorang penulis buku. Mungkin
dia mengatakan kata juga, karena telah mengetahui kalau Saya seorang penulis.
Selain menulis buku, Mas Pizzaro juga menjadi seorang jurnalis di beberapa
media cetak maupun online, seperti Hidayatullah, Voa-Islam, Republika English,
dan Jakarta Post. Di Pare selama kurang lebih sebulan lamanya beliau akan
belajar IELTS di English Studio Couse. Tujuannya untuk melanjutkan studi S2 di
UK (Hubungan Internasional) atau Malaysia (Ilmu Politik).
Jantung
ini hampir mau copot setelah Mr. Arif menyodorkan sebuah buku kepada Saya yang
tiada lain adalah karangan orang yang sedang berada di depan Saya ini. Judulnya "Zionis & Syiah Bersatu Hantam Islam" karangan Muhammad Pizzaro Novelan
Tauhidi. Di bagian bawahnya tercetak logo penerbit Aqwam. "Oou...Its a bad day, dude." gumaman Saya dalam hati. Untungnya Mas
Pizzaro ini belum mengetahui seluk-beluk isi otakku, terutama mengenai
Syi'ah-kesyi'ahan. Untungnya dia belum tahu kalau Saya, bisa dikatakan, adalah
orang yang paling banyak membaca tentang kesyi'ahan baik yang pro maupun yang
kontra- di jurusan IPAI UPI, bahkan mungkin di seluruh saentero kampus UPI. Dan
untungnya dia juga belum tahu kalau Saya pengagum Quraish Shihab yang pro
Syiah. Kalau sampai tahu, mungkin kami tidak akan duduk bersama sejam lamanya.
Saya
melihat-lihat sekilas isinya. Bukan dari depan melainkan langsung ke halaman
paling belakang, untuk melihat daftar pustakanya. Dugaan Saya benar, tidak ada
daftar pustaka di sana, yang ada hanya daftar riwayat penulis. Pemuda yang baru
saja menunaikan ibadah haji ini menjawab bahwa sebenarnya ada banyak sekali
daftar pustakanya. Konon mencapai delapan halaman yang juga merujuk dari
buku-buku orang Syi'ah. Benarkah? Hanya saja -menurutnya- penerbit tidak
mencetaknya. Entah mengapa. Kok bisa? Bukankah daftar pustaka adalah sesuatu
yang sangat penting, baik bagi penerbit, penulis, maupun pembaca. Penerbit yang
menerbitkan buku Saya saja sampai mempertanyakan satu dua paragraf yang tidak
dibubuhkan sumber kutipannya -karena lupa. Tapi, ya sudahlah. Itu bukan masalah
Saya.
Merasa
tidak perlu reaktif, gestur dan bibir Saya terpaksa sedikit berbohong karena
sedang mencoba melawan fitrahnya. "Waw, hebat sekali..." kata-kata itu yang
malah keluar dari mulut ini. Lalu Mas Pizzaro dengan santainya ngebanyol panjang lebar tentang Syi'ah.
Mulai dari soal perkembangannya di dunia termasuk Arab Saudi dan Indonesia,
keekstreman ajaran-ajarannya (mengafikan para sahabat Nabi, nikah mut'ah),
perpecahan di dalam internal madzhabnya sendiri, hingga nama Kang Jalal disebutnya beberapa
kali. Kalau tidak salah dia juga mengatakan kalau teman dari temannya yang
mengikuti pengajian Kang Jalal -selama kurang lebih satu tahun- di Bandung
memutuskan untuk melakukan nikah mutah (nikah kontrak). Tololnya, dari respon-respon
yang Saya berikan seakan-akan Saya menyetujui pandangan-pandangannya itu tapi setelah
dipikir-pikir, mungkin ini yang terbaik. Setidaknya untuk hari itu. Daripada
langsung cas cis cus, suasana jadi tidak kondusif, bukannya mempererat tali
silahturahmi, malah mendapat musuh. Selain tentang Syi’ah, dia juga menyinggung
soal pemikiran-pemikiran liberal yang sedang berkembang di Indonesia, bahkan ia
sampai mengatakan untuk jangan masuk UIN atau IAIN karena di sana sudah
terjangkit virus liberal. Jangan kaget, karena memang seperti itulah kerangka
berpikirnya para "fundamentalis".
Arah
pembicaraan menjadi berubah setelah Mas Yusuf, diajak join kongko oleh Mr. Arif saat dirinya baru saja tiba di kosan. Mas
Yusuf ini adalah mahasiswa lulusan S1 Ushuluddin Universitas Madinah (UM) yang
sedang belajar bahasa Inggris karena dirinya keterima di jurusan Sejarah
Peradaban di international Islamic University Malaya (IIUM) yang
pembelajarannya 100 persen menggunakan bahasa Inggris. Dengan wajah berbinar
dan rasa penasaran yang tinggi, Mas Pizzaro banyak bertanya soal apply ke IIUM kepadanya. Mereka juga berbicara
banyak soal ulama-ulama Saudi dan Timur Tengah yang namanya begitu asing bagi Saya.
Kuat dugaan kalau semuanya itu adalah
para ulama yang seframe dengan mereka. Paling-paling hanya Ustadz Franda
yang namanya pernah terdengar di telinga Saya. Itu pun karena namanya yang
pernah heboh di media sosial. Konon ustadz tersebut baru saja lulus ujian
sidang doktoralnya di UM. Selang beberapa lama kemudian, Mas Pizzaro izin
pamit. Kami semua bersalaman dengannya.
Karena
Saya juga sangat penasaran dengan kehidupan di UM, maka munculah naluri-naluri
kejurnalisan Saya. Pelan tapi pasti, beberapa informasi berhasil Saya dapatkan.
Mas Yusuf mengatakan kalau di sana tidak ada yang namanya skripsi atau hal yang
semacam skripsi, makanya -menurutnya- mudah sekali untuk lulus, berbeda dengan
di Al-Azhar Kairo yang katanya begitu sulit untuk mendapatkan ijazahnya. UM
juga tidak memiliki program pengabdian kepada masyarakat (biasanya disebut KKN)
yang di Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah program wajib, terutama bagi
univeritas-universitas mayor. Dus, mereka juga tidak memiliki program magang
bagi para mahasiswanya. Sampai akhirnya Saya berpikir, apakah lulusan UM hanya
dipersiapkan sebagai seorang teori? Soft
skill sepertinya belum penting bagi mereka.
Kampus
yang disediakan khusus hanya bagi kaum Adam ini ternyata masih erat memegang
tradisi pembelajaran klasik, dimana 90 persen yang menjadi sumber ilmu adalah
dosennya. Mereka ceramah panjang lebar di dalam kelas yang diakhiri dengan
memberikan tugas. Tidak ada diskusi, apalagi perdebatan. Hanya ada sekitar 10
persen saja, dimana metode pembelajarannya memberikan keleluasaan bagi
mahasiswanya untuk berdikusi atau presentasi di dalam kelas. Metode ini sangat
berbanding terbalik dengan apa yang ada di jurusan Saya. Selama kurang lebih
empat tahun lamanya mengenyam bangku perkuliahan, jurusan Saya erat sekali
dengan yang namanya presentasi di depan kelas. Dengan dibuat berkelompok, dosen
menyuruh mahasiswanya untuk mencari tema tertentu (dibuat dalam bentuk makalah
dan power point) yang dikemudian hari
akan dipresentasikan. Mahasiwa/kelompok yang hari itu tidak kebagian
presentasi, diberi kesempatan untuk dapat aktif bertanya, menyanggah, dan atau
memberi jawaban yang berbeda. Di sanalah proses transfer of knowledge dan transfer
of value terjadi. Saya rasa metode ini jauh lebih dinamis dan “kaya”
dibanding teacher center yang hanya
menyandarkan transfer ilmu dari satu sumber, karena setiap pribadi mahasiswa
bisa menjadi sumber ilmu. Otomatis, secara eksplisit mereka dituntut untuk
banyak-banyak membaca supaya dapat berkontribusi saat proses diskusi
berlangsung. Lalu dimana peran dosen? Di jurusan Saya, mereka hanya berperan
sebagai mediator. Kadang memberi gambaran umumnya saja, atau mungkin memberi
alternatif jawaban jika hasil diskusi masih mengambang. Dari sini Saya jadi
merasa kalau metode pembelajaran di jurusan Saya selangkah lebih baik
dibandingkan UM.
Bukan
hanya itu, sepertinya Saya terlalu menghebatkan -sembari minder-
universitas-universitas Islam yang telah tenar di mata dunia, seperti UM ini.
Tapi toh dalam beberapa aspek -yang terlihat- nyatanya tidak seketat yang ada
di jurusan Saya. Di angkatan Saya (2012) saja misalnya, kami tidak akan bisa
melaksanakan sidang skripsi jika belum memperoleh skor 400
untuk TOEFL dan memiliki kartu keterangan sudah hafidz quran 2 juz. Bayangkan ! 2 juz. Awalnya kami merasa
kesulitan, tapi karena peraturannya begitu bulat, mau tak mau harus dipatuhi. Konon
kabarnya setengah mahasiswa di angkatan Saya telat lulus tepat waktu (4 tahun)
hanya karena belum bisa menyetorkan hafalan quran. Itu diangkatan Saya. Gokilnya, setiap tahun angka minimum hafidz qurannya terus ditingkatkan.
Untuk mahasiswa angkatan 2013 harus hafal quran 3 juz, dan 4 juz untuk mahasiswa
angkatan 2014. Saya tidak tahu sampai kapan angka itu terus meningkat. Di UM,
semua itu tidak ada. Memang Mas Yusuf mengatakan kalau di beberapa mata
kuliahnya ada bahan-bahan yang harus di hafal, seperti beberapa ayat Al-Quran
atau hadits. Kalau hanya itu, di jurusan Saya pun ada, seperti menghafal
ayat-ayat jumlahnya cukup banyak- yang berhubungan dengan tema tertentu
(pendidikan, akhlak, akidah, hukum waris, dll) dan hadits arba’in beserta sanad,
matan, dan artinya.
Kemudian
Saya menyinggung soal mazhab, dimana banyak orang yang menyangka kalau
pemerintah Saudi sering memaksakan kehendaknya kepada masyarakat -juga
mahasiswa- untuk ikut menganut mazhab Wahabi. Sepertinya prasangka ini harus
segera dikikis karena tidak terbukti kebenarannya, atau setidaknya kalau pun
ada, tidak bisa digeneralisir. Mas Yusuf mengatakan bahwa penerapan fikih di
Saudi sangat beragam. Orang-orang Indonesia yang tinggal di sana misalnya,
dengan tenang menjalankan fikih Syafii. Begitu pun dengan orang India yang
menganut fikih Hanafi. Sama halnya di dunia kampus. Menurutnya pembahasan fikih
di sana sengaja dipaparkan secara general, dalam artian para dosen biasanya
memaparkan beragam pendapat mazhab fikih. Tidak monolitik. Apalagi memaksakan
kehendak.
Berbeda
halnya jika sudah mengenai akidah. Saudi, baik pemerintah, ulama, maupun dosen
sangat ketat menjaga apa yang diyakininya. Gemar memberantas akidah-akidah yang
menurutnya sesat. Terus Saya bertanya, "Memang
akidah yang seperti apa yang benar? Apakah menurut mazhab akidahnya..."
belum selesai bicara, Mas Yusuf langsung memotong dengan berkata, "Kok akidah ada mazhab. Akidah ya seluruhnya
sama. Tidak boleh berbeda." Dalam hati Saya berkata, "Bukankah dalam perjalanan sejarahnya umat Islam memiliki beragam
pemahaman akidah? Ada Mutazilah, Khawarij, Syiah, Qadariyah, Jabariyah,
Maturidiyah, Asyariah, dan sebagainya." Saya mengira mungkin dia akan
menjawab bahwa akidah yang benar adalah akidahnya orang Wahabi, atau setidaknya
akidah yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, tapi ternyata salah. "Ya yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.”
Jawabnya. Tidak salah, dan memang mutlak benar, hanya saja pertanyaan
selanjutnya akidah yang bagaimana yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah
karena beragam mazhab akidah yang pernah ada -Mutazilah, Khawarij, Syiah,
Qadariyah, Jabariyah, Maturidiyah, Asyariah, dll- pun semuanya mengambil dari
dua sumber sakral itu. Menurut Saya hal ini telah masuk ke ranah penafsiran,
karena ketika Al-Qur'an dan Sunnah dicoba untuk dipahami, maka di sana sudah tidak
bersifat absolut lagi, karena instrumen yang dimiliki manusia terbatas dan
setiap pribadi pun memiliki kadar pemahaman yang berbeda-beda.
What Should I Do?
Entah
mengapa Allah menakdirkan Saya untuk selalu berjumpa dengan orang-orang yang
ekstrem, baik "ektrem" kanan maupun ektrem kiri. Antara enak dan tidak enak
berada di antara keduanya. Ada satu guyonan yang sering Saya ucapkan ke dalam
diri Saya sendiri. Ketika Saya sedang berkumpul dengan "fundamentalis", Saya
merasa menjadi orang yang paling "liberal" di antara mereka. Hanya ada Islam vs
kafir-liberal, kebaikan vs keburukan/kesesatan di kamusnya, dan dua hal yang
bikin Saya risih: merasa Islam/kelompoknya/dirinya selalu terancam/diancam oleh
kaum "kafir", dan apa-apa selalu dikaitkan dengan agama. Makanya diri mereka
-sebenarnya- tidak pernah merasa aman (damai), apalagi dengan yang berbeda
keyakinan. Kolot, picik, dan mudah tersulut isu, alias ultra-reaktif.
Sebaliknya,
ketika Saya sedang berkumpul dengan para "liberalis", Saya merasa seperti
menjadi orang yang paling "soleh" di antara mereka. Umumnya akhlak mereka
kurang baik, kalau enggan berkata buruk, walaupun setiap saat senantiasa
mengumbar kata "kesalehan sosial". Jangan tanya bagaimana girah mereka terhadap
ibadah yang sifatnya ritualistik. Rata-rata dikerjakan dengan "sempoyongan"
bahkan ada yang masih "tambal-sulam". Itu di kalangan menengah ke bawah. Adapun
cendekiawannya, yang sok "liberal" itu, kalau enggan berkata lebih liberal
dibandingkan dengan orang liberal asli (Barat dan Amerika), entah mengapa Saya
merasa kalau mereka itu sangat bersusah payah untuk mengubek-ubek/ mencari-cari
celah keburukan/kelemahan di dalam tubuh Islam itu sendiri, yang mana Islamolog-Orientalis
saja tidak sampai sebegitunya.
Dua
sahabat karib ini seperti sama-sama tidak memiliki identitas diri, makanya
mereka menarik-narik identitas lain untuk disanding-sanding/sama-samakan dengan
Islam. Para "fundamentalis" misalnya, gemar memaksakan Islam ala Timur Tengah yang relatif keras
dan ekslusif. Sedangkan yang "liberalis" gemar sekali, bahkan dalam batas
tertentu terlihat memaksakan, menarik apa-apa yang ada di Barat ke dalam Islam.
Saya agak tergelitik saat mengetahui (dan membaca) ada cendekiawan liberal
yang sepertinya berusaha mati-matian, membuat artikel yang dipoles sampai terlihat
sangat empiris (ilmiah), hanya untuk membuktikan kalau di zaman Islam dahulu
pun homoseksual adalah sesuatu hal yang lazim. Lalu dia menyebutkan nama-nama
ulama tenar markotop, baik dari
kalangan saintis maupun sufistik, yang terindikasi memiliki hasrat seksual
sesama jenis.
Dilema
bukan? Betapapun mereka berdua adalah sahabatku. Hidup ini hanya akan menjadi
hambar jika tidak ada mereka berdua, atau salah satu mendominasi yang lain.
Biarkan mereka terus begini sampai Tuhan yang memutuskan. Dan Saya pun
membiarkan diri ini mengalir apa adanya. Hanya usaha tiada henti dan doa
pertolongan -bimbingan- yang menjadi senjata Saya. Semoga Allah malah tersenyum
pada kami. Yang merindu dan dirindukan-Nya. Amin. []
Pare, 26-27 September 2016
Komentar
Posting Komentar