PENGALAMAN
SPIRITUAL DI SINGAPURA
“Kita tidak usah malu meyakini
kebenaran dan mengambilnya dari sumber mana pun ia datang, bahkan walau
seandainya ia dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang asing”
(Al-Kindi)
Entah sejak kapan aku mulai terjun di dunia
agama-agama tapi setidaknya ada dua buah faktor yang membuatku tertarik akan
hal ini. Pertama, aku harus banyak berterima kasih kepada Universitas
Pendidikan Indonesia yang telah menyediakan mata kuliah Studi Masyarakat
Indonesia. Berkatnya, aku diberi pengetahuan yang luas mengenai agama-agama
–termasuk aliran keagamaan- yang ada di Indonesia. Bahkan karena mata kuliah
ini akhirnya aku berkesempatan berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh
Syiah dan Pendeta Kristen HKBP di Bandung. Inilah batu loncatan pertamaku.
Faktor kedua, setelah mendapat stimulus dari mata kuliah tersebut, aku mulai
mencari informasi-informasi mengenai hubungan antar umat beragama. Sedikit
terkejut sekaligus bahagia setelah mengetahui bahwa ternyata komunitas-komunitas
yang bernuansa lintas agama telah banyak diminati oleh kalangan pemuda di dunia
termasuk Indonesia. Mungkin mereka memiliki orientasi yang sama denganku, ingin
menyebarkan perdamaian ke seluruh makhluk Tuhan. Agama sudah seharusnya berdiri
dan berbicara di ruang publik, membela dirinya yang telah disalahpahami oleh
sebagian penganutnya untuk menyatakan bahwa agama bukanlah alasan untuk saling
mencaci, agama bukan alasan untuk saling membenci, melainkan sebagai sumber
nilai kasih.
Singkat cerita -dari informasi yang didapat- aku
menemukan sebuah komunitas lintas iman yang berada di Kota Bandung dimana mereka
akan mengadakan sebuah kegiatan Peace Camp selama tiga hari dua malam.
Dengan senang hati aku mendaftarkan diri. Setelah mengikuti kegiatan
tersebut, fix aku berasrat untuk menjadi salah satu pengurusnya. Beberapa
step telah dilewati hingga akhirnya pada Oktober 2015 lalu aku resmi
menjadi salah satu pengurusnya.
Komunitas ini setiap tahunnya turut menyemarakkan
kegiatan interfaith Internasional yang bernama World Interfaith
Harmony Week (WIHW) dan pada bulan Februari lalu aku bersama keduabelas
pengurus Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI)
meluncur ke Singapura untuk mengikuti kegiatan tersebut. Awalnya aku sedikit ragu,
kenapa harus Singapura yang notabennya merupakan negara sekuler? Tapi setelah
beberapa hari berada disana, keraguanku mulai terhapuskan. Negeri Singa ini
ternyata memiliki jumlah agama yang lebih banyak dibanding Indonesia dimana
mereka dapat hidup secara harmonis dan penuh empati. Tercatat oleh
Inter-Religious Organization Singapore (IRO) bahwa terdapat sepuluh agama yang
berkembang di Singapura diantaranya, Islam, Krsiten (Katolik dan Protestan),
Baha’i, Sikh, Tao, Yahudi, Zoroaster, Jain, Hindu, dan Buddha sebagai agama
mayoritas.
Adanya keterbatasan ruang, disini aku hanya akan
menceritakan pengalaman saat berkunjung ke Baha’i Centre. Mengapa Baha’i?
karena masyarakat kita, khususnya sebagian umat Muslim di Indonesia telah salah
paham mengenai Baha’i. Sempat ramai di berbagai media yang memberitakan bahwa
terdapat sekte sesat Islam yang ingin masuk ke Indonesia yang bernama Baha’i. Padahal
telah nyata bahwa Baha’i merupakan sebuah agama tersendiri yang memang terpisah
dari Islam. Sayang, dewasa ini sebagian masyarakat kita seakan telah menjadi
‘tangan kanan’ Tuhan yang mudah memberi justifikasi kebenaran vis a vis
kebatilan.
3 Februari 2016, setelah sarapan di Hostel
Footprints, Perak Road, aku bersama teman-teman YIPC ditambah tiga orang
peserta asal Indonesia non YIPC, dua orang asal Malaysia, dan disusul oleh satu
orang asal Singapura berkunjung ke Baha’i Centre. Pusat berkumpulnya para
penganut Baha’i di Singapura. Dari luar bangunannya terlihat begitu sederhana layaknya
sebuah ruko kecil, tapi setelah kami diizinkan masuk dan berkeliling ruangan
ternyata bangunan Baha’i Centre ini cukup besar yang memiliki tiga buah lantai.
Ibu Susi, narasumber Baha’i bersikap sangat sopan dan menerima kami dengan
tangan hangat. Ia memberi penjelasan mengenai agama Baha’i dengan singkat
tetapi padat. Ia juga menjelaskan apa saja aktivitas yang mereka lakukan di
Baha’i Centre ini. Menurutnya, Baha’i merupakan sebuah agama yang berasal dari
Iran yang tumbuh pada abad ke-19 yang dibawa oleh Bahaullah. Dalam ajarannya, mereka
mempercayai adanya satu Tuhan (monoteistik) dan hari akhir, anjuran melakukan
perbuatan baik (amal shaleh) dan manusia harus berperan serta untuk menjadikan
bumi yang lebih baik. Yang terakhir ini mungkin hampir sama dengan konsep manusia
sebagai khalifah di dalam Islam. Ajarannya menekankan pada transformasi
aspek rohani manusia berdasarkan prinsip keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan
persatuan umat manusia. Kata Baha’i itu sendiri memiliki arti ‘pengikut
Bahaullah’ yang diyakini sebagai orang suci pembawa pesan Ilahi layaknya Nabi
di dalam Islam.
Mereka memiliki kitab suci yang bernama Kitab
Al-Aqdas meskipun –menurutnya- mereka juga mempelajari kitab-kitab lain
seperti Taurat, Injil, Alquran dan kitab-kitab lainnya sebab para pembawa pesan
Tuhan memiliki kebersambungan pesan Ilahi. Ada hal yang menarik yang aku dapat
dari penjelasan Ibu Susi maupun seorang bule yang aku lupa namanya. Menurut
mereka, kitab Al-Aqdas tidak memerlukan seorang pemimpin/tokoh agama
untuk menjelaskan makna-maknanya sebab dengan terjadinya kepesatan perkembangan
ilmu pengetahuan maka setiap manusia akan dapat memahaminya. Oleh karena itu,
sikap bijak dalam menghormati perbedaan penafsiran begitu ditekankan dalam
agama Baha’i ini. Saat ditanya adakah jenis ritual ibadah yang menggunakan
gerakan-gerakan layaknya shalat, mereka sedikit tersenyum dan menyatakan bahwa
di dalam kepercayaan Baha’i suatu ibadah cukup dengan berdoa. Ibadah ini dapat
dilakukan kapanpun dan dimanapun.
Kami juga diberi makanan berat dengan berbagai macam
menu saat perbincangan mulai agak santai. Sungguh merupakan sebuah jamuan yang
begitu ramah. Menurut penuturan Ibu Susi, di Singapura mereka juga bersahabat
dengan agama-agama lain seperti Islam dan Kristen. Di satu waktu umat Muslim
yang mendatangi mereka, dan di waktu lain mereka yang mengunjungi umat Muslim.
Kadang, mereka juga membuat event-event yang mengundang agama-agama
lain.
Alhasil, banyak pencerahan yang aku dapat saat
memperdalam agama-agama bahkan terjun langsung didalamnya, tapi sayang masih
ada pihak-pihak yang meragukan kemanfaatannya. Bukan hanya itu, mereka (yang
menyangsikan) menganjurkan untuk menghindarinya karena takut malah membawa
mudarat, pengikisan iman. Kalau aku ditanya mengapa cape-cape ingin
mengetahui atau memperdalam agama lain, sepertinya aku cukup memaparkan apa
yang pernah dikatakan oleh seorang mantan Mufti Besar dari Bosnia dan
Herzegovina (the Grand Mufti Emeritusof Bosnia and Herzegovina). Ia berkata,
“More you know
about your own religion, the more tolerant you are to others...once you truly
know the essence of your own religion, it will make you want to know more about
other religious faiths. This spirit must be adopted throughout the world in our
pursuit for peace”
Semakin aku mengetahui agama-agama lain, semakin aku
melihat bahwa agama-agama tersebut tidak melulu berhadap-hadapan dengan agama
yang aku yakini (Islam). Misalnya saja mengenai keyakinan kepada Tuhan Yang
Esa. Hampir semua agama meyakini bahwa Tuhan itu Esa, apapun namanya Dia
tetaplah Dia. Perbedaannya lebih pada pemahaman mengenai konsep keesaannya
tersebut dan bagaimana cara menyembahnya. Berlaku baik kepada semua makhluk
ciptaan Tuhan –tanpa pandang bulu- juga dapat dipastikan merupakan salah satu
ajaran esensi setiap agama yang ada di dunia ini. Bukankah cukup dengan
berdasarkan persamaan kedua hal ini kita dapat hidup damai? Berdamai yang bukan
hanya untuk sekarang melainkan juga masa depan. Kalau bukan kita yang
menyebarkan perdamaian antar agama, siapa lagi?
Semoga Allah senantiasa selalu melindungi kita semua, aamiin
BalasHapusTerus menulis, saya suka!
paket umroh ramadhan
paket umroh akhir ramadhan
paket umroh syawal
paket haji plus
paket umroh oktober