Sindiran-sindiran meme yang waktu itu sempat booming membuli
Bekasi sepertinya tidak terlalu memengaruhi masyarakatnya. Terlihat tidak ada
usaha untuk merekonstruksi pola pikir mereka yang mungkin selama ini dinilai
salah oleh sebagian orang. Mulai dari infrastruktur yang amburadul, kemacetan
yang terjadi dimana-mana, bencana banjir yang terus berlangsung, hingga cuaca
panas yang begitu menyengat, meskipun sebenarnya masalah yang sedang melanda
kota patriot ini lebih kompleks daripada sekadar yang tampak oleh indra. Pada
kesempatan ini akan Saya sebutkan sebagiannya saja.
Walaupun bisa saja masyarakat Bekasi menyalahkan pemerintahnya yang
gagal mengatasi banjir, mungkin karena tata letak kota yang amburadul atau
karena kebijakan-kebijakan yang kurang jelas dan tegas, atau bahkan mungkin
karena terlalu menganak-emaskan para investor “rakus” -yang membuat Bekasi
tidak lagi memiliki daerah resapan, tapi toh nyatanya masyarakatnya
sendiri masih memiliki kesadaran yang rendah akan pentingnya merawat
lingkungan. Kalau kalian melihat manusia Bekasi yang membuang sampah di tempat
sampah, itu adalah pengecualian saja. Umumnya mereka dengan tanpa rasa bersalah
membuang sampah di jalanan, baik itu dari kalangan ibu rumah tangga -dengan
sampah hariannya; pelajar -dengan jajanannya; atau orang dewasa -dengan makanan
atau rokoknya. Semua berjalan begitu alami dan seperti tidak ada pihak yang
risih akan hal tersebut. Tidak percaya? silakan amati sendiri.
Sekilas masyarakat Bekasi memang terlihat semakin “sejahtera”.
Terbukti dari semakin tak asing pemandangan para pelajar -sekolah dasar hingga
menengah- yang sepanjang hari sibuk dengan gadgetnya, apalagi tidak
sedikit yang bermerek Apple. “Kesejahteraan” itu semakin terlihat dari
harta benda yang mereka miliki, kendaraan misalnya. Di gang rumah Saya semua
rumah minimal punya satu buah motor. Ada yang punya dua, bahkan tiga –ironinya
ada tiga motor di rumah Saya sendiri. Mungkin kalian akan memaklumi karena
motor sudah seperti menjadi kebutuhan primer di Bekasi, tapi konyolnya di gang
rumah Saya ini juga hampir seluruh keluarga memiliki mobil tapi tidak semua
memiliki teras/halaman rumah yang membuat mereka selalu memarkirkan mobilnya di
jalan. Jadilah sering menyebabkan konflik antar-tetangga. Saya pribadi tidak
bisa membayangkan bagaimana nasib Bekasi lima-sepuluh tahun kemudian? bukan
hanya macet, tapi mungkin saat kalian melongok ke luar rumah, jalanan sudah
benar-benar dipadati oleh kendaraan yang tidak bisa bergerak.
Patut diakui bahwa gaya yang serba materialis-hedonis ini telah
menghujam hati masyarakat Bekasi. Mereka berbangga-bangga dengan hal-hal yang
berbau duniawi. Bukan hanya berbangga, mereka juga sangat menyayanginya, bahkan
dalam beberapa tingkatan sudah dalam tahap “penyembahan”. Tetangga Saya, saat
mobilnya menabrak pagar rumah Saya, bukannya meminta maaf dan mengecek keadaan
pagar Saya, dia malah cuek-bebek dan malah sibuk mengecek keadaan mobilnya.
Tidak ada rasa bersalah sedikitpun. Apa itu enggak gokil?
Dunia persekolahan juga sama. Mereka saling membanggakan hal-hal
yang berbau materialistik dan mengabaikan esensi. Memang piala dan medali semakin
banyak tapi moral pelajar semakin menurun. Persaingan ketat antar-pelajar yang
telah dibudayakan di dalam lingkungan sekolah telah menciptakan sifat
individualistik, bagaikan hukum rimba –siapa kuat, dia yang menang.
Pelajar-pelajar di Bekasi, sama dengan pelajar di tempat-tempat
lainnya, pun belum dapat memfilter budaya-budaya Barat. Malah terlihat seperti terbalik
dalam menggunakannya karena mereka lebih mahir mengambil yang buruk dan
membuang yang baik. Lihat saja gaya pacarannya yang ultraliberal. Untuk ciuman
dan pelukan misalnya, dua hal yang sudah menjadi tindakan lumrah dalam sebuah
hubungan berpacaran. Jika dulu seseorang harus bersusah payah mengeluarkan
kocek untuk memuaskan nafsu syahwatnya dengan mengunjungi tempat-tempat
maksiat, sekarang sudah bukan zamannya karena mereka dapat menikmatinya dengan
gratis tis..tis bersama pasangannya masing-masing. Naudzubillah.
Karena sudah cinta dunia (materialis) maka masyarakat Bekasi
mati-matian untuk mendapatkannya. Terlihat dari tindakannya yang selalu
bernuansa pragmatis-kekinian-kedisinian. Bagi masyarakat menengah kebawah
misalnya, menjadi buruh pabrik (perbudakan modern) atau pegawai kantoran
agaknya merupakan posisi yang aman untuk meraih benda-benda duniawi, atau
sesekali pergi wisata untuk memuaskan kebahagiaan palsunya. Mereka tidak peduli
dengan neo-feodalisme yang sedang dialaminya, bagaikan seseorang yang menikmati
pemerkosaan.
Implikasinya, derajat sosial seseorang akhirnya dilihat dari
hal-hal yang berbau materi, seperti bagus-indanya pakaian yang dikenakan,
kekayaan, ketenaran, dan pangkat, bukan ilmu ataupun akhlak. Kalau dia hanya
berekonomi pas-pasan –meskipun shaleh- jangan harap mendapat perlakuan/penghormatan
yang sama dengan si kaya.
Jika diamati secara radikal, semua itu bermuara pada rendahnya
kesadaran mereka mengenai ketuhanan-kealaman-kemanusiaan. Mereka maju, tapi
sebenarnya mundur. Untuk itu mereka harus sadar bahwa mereka bukanlah binatang
yang hidup hanya untuk makan dan minum, dan hubungan badan. Mereka juga bukan
setan, yang mengedepankan ego-nafsu (materialis-hedonis) tapi mereka adalah
manusia, yang katanya merupakan makhluk termulia. Oleh karena itu mereka harus menyadari
masalah yang sedang menimpanya dan berusaha untuk menyelesaikannya.
Tidak perlu menunggu Raline Shah menjadi duta Kota Bekasi supaya kalian
bergerak, tapi mulailah dari apa yang bisa kalian lakukan, dengan ikhlas dan
tanpa pamrih. Ada banyak cara, dan Saya yakin kalian adalah orang-orang yang
kreatif dus inovatif, tapi setidaknya Saya pribadi memiliki beberapa saran yang
mungkin dapat dipertimbangkan. Pertama, baiknya pemerintah dapat
membanguan universitas berstatus negeri karena, walaupun tidak mutlak, kampus
negeri memiliki sumber daya manusia yang lebih bebas dan memiliki kepekaan
sosial yang lebih tinggi daripada kampus swasta yang biasanya lebih
berorientasi pada lapangan pekerjaan. Dengan adanya kampus negeri, selain dapat
meningkatkan derajat masyarakat Bekasi, juga dari sanalah akan muncul
komunitas-komunitas kecil yang siap terjun ke masyarakat untuk melakukan upaya
pencerdasan.
Kedua, memang
langkah pertama di atas tidak harus ditunggu untuk kalian mulai bergerak memajukan
Bekasi, karena sudah kita tahu sejarahnya, jangan terlalu berharap banyak
kepada pemerintah. Lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Jadi, untuk kalian
masyarakat Bekasi, bisa memulai dengan melakukan upaya-upaya pencerdasan,
melalui pendidikan non/informal.
Ketiga, dan ini yang
sangat Saya harapkan. Sebenarnya banyak sekali orang pintar di Bekasi, terutama
yang kuliah di UI, ITB, UGM, dan kampus-kampus negeri lainnya. Maka, kalau
kalian benar-benar cinta Bekasi, maka pulanglah, bangunlah kotamu ini! Jangan
menunggu iming-iming baru bergerak, cukuplah ridha Allah. Buatlah komunitas, lembaga
sosial atau yang semacamnya. Mungkin akan sangat indah sekali pemadangannya
jika, misalnya, lulusan teknik lingkungan –sebagai leadernya- bekerjasama
dengan masyarakat setempat, membuat usaha penyadaran mengenai pentingnya
memelihara lingkungan. Lulusan fakultas kesehatan (dokter, kesehatan
masyarakat, keperawatan) mengajarkan masyarakat gaya hidup yang sehat. Lulusan
ekonomi membangun perekonomian berbasis masyarakat menengah atas, seperti
koperasi, atau membangun girah untuk menjadi wirasusahawan dibanding menjadi
pegawai. Lulusan olahraga melatih dan mendidik masyarakat Bekasi supaya dapat
menjadi atlet. Lulusan seni bisa mengajarkan soal kesenian yang berbasis budaya
dengan tetap mengindahkan nilai-nilai agama. Lulusan agama bisa mengajarkan
soal kehidupan yang tidak melulu menuhankan materi, ataupun mendewakan
spiritualitas, melainkan pertengahan di antara keduanya. Begitu pun seterusnya.
Dari sini semua komponen bergerak sinergis yang akhirnya bisa mengubah Bekasi dari
“maju tapi mundur” ke “mundur tapi maju”. Semoga. []
Bekasi, 16 November 2016
Komentar
Posting Komentar