“Guru
yang baik itu ibarat lilin yang membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan
muridnya-Mustafa Kemal Ataturk”
Syabrina memberi seikat bunga di peringatan Hari Guru Nasional
Musim kemarau agak sedikit telat untuk berpindah seakan masih ingin lama-lama hinggap di bumi Indonesia. Bukan hanya manusia saja yang mengharap musim kemarau cepat usai, tetapi hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan juga mulai menunjukkan keresahannya. Banyak diantara mereka yang akhirnya tumbang di tengah jalan, tidak kuat akan kerasnya hidup.
Manusia,
sebagai makhluk yang berpikir merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu
supaya kemudaratan dapat segera teratasi. Maka terlihat lah berbagai macam
praktik dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan air hujan. Ada yang rela-rela
menghabiskan uang untuk membuat hujan buatan, ada juga yang melakukan hal yang
sedikit kurang masuk akal.
Mereka
meminta-minta orang pintar (dukun/ ngaku-ngaku ustadz) supaya bisa menurunkan
hujan, tetapi kebanyakan masyarakat Indonesia masih waras, mereka mengetahui
bahwa bumi ini ada pemiliknya yang berkuasa dan mampu melakukan apapun terhadap
ciptaannya, termasuk makluk yang bernama bumi ini.
Mereka
akhirnya berlomba-lomba –di berbagai daerah- untuk melaksanakan sebuah ibadah
ritual -yang diajarkan dalam ajaran Islam- yang dinamakan shalat istisqa’,
shalat untuk memohon –kepada Allah- supaya menurunkan hujan.
Bukan
hanya lingkungan pondok pesantren melainkan lembaga-lembaga, instansi-instansi,
bahkan ada yang hanya atas dasar inisitif kelompok tertentu. Meskipun begitu,
mereka paham bahwa akan lebih baik jika jamaahnya melibatkan banyak orang dan
dikerjakan di tengah lapang sembari menunjukkan rasa rendah diri di hadapan
Sang Pengendali alam. Selurus dengan itu, air hujan mulai turun membasahi
Indonesia.
Warga
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan yang lainnya sujud syukur karena
permohonannya diperkenankan. Petani dan tukang kebun bahagia, anak-anak tidak
mau kalah, mereka mencurahkan kebahagiaan dengan caranya sendiri yaitu dengan
mandi hujan-hujanan. Pak Ono bisa melihat keriangan anak-anak itu dari balik
jendela rumahnya.
Sayang,
kegembiraan mereka tidak lama, sebab turunnya hujan malah menimbulkan masalah
baru. Apalagi kalau bukan banjir. Ya, manusia memang adalah makhluk yang bodoh
lagi perusak. Mereka sudah paham kalau banjir adalah karena hasil akumulatif
perbuatan tak bertanggung jawab mereka, tapi tetap saja, kebodohan itu tetap
dilakukan.
Pak
Ono hanya bisa meratapi, tidak bisa banyak bertindak sebab kebodohan ini sudah
semacam tindakan yang lumrah di kalangan mereka. Sampah di tumpuk ditepi kali
sampai membentuk gunung, pengendara membuang sampah –dari dalam kendarannya- ke
luar tanpa rasa bersalah. Anak sekolahan makan sambil berjalan dan dengan
seenaknya membuang sampah makanan di jalan, penebangan dan pembakaran hutan
seakan sudah menjadi sebuah kewajiban yang tak terelakkan, pemerintah hanya
bisa cuek bebek, daerah-daerah resapan malah dijadikan ruko dan mall-mall
mewah. Kebanjiran itu lah yang menyebabkan Pak Ono tidak bisa hadir dalam
upacara peringatan hari guru. Padahal sebagai seorang guru, ia sangat ingin
mengikutinya. Ia hanya bisa mengurung diri di rumah, skak mat.
Syukur,
lambat laun air mulai menyusut. Pak Ono bersama segenap warga –atas inisiatif
Pak RT- bergotong-royong untuk membersihkan jalan di sekitar perumahan mereka
dari bekas kotoran-kotoran banjir. Beruntung, kebetulan hari itu Pak Ono tidak
ada jam mengajar di pagi hari, hanya ada satu kelas di jam terakhir.
Sebelum
waktu dzuhur tiba, Pak Ono sudah berada di sekolah. Hari ini ia melihat hal
yang sangat berbeda, tidak seperti biasa. Atmosfer sekolah telah berubah 180
derajat. Sepanjang lingkungan sekolah telah berhiaskan atribut-atribut yang
bernafaskan peringatan hari guru.
Di
depan pintu ruang guru, tertuliskan ‘Happy teachers day’ yang dilukis dari kain
kanvas berukuran sedang. Barang sejenak Pak Ono terenyuh. Belum genap menatapi
hiasan-hiasan yang terpampang, Pak Ono kembali dikejutkan dengan suasana di
ruang guru yang tidak kalah indahnya. Tulisan ‘happy teachers day’ tergantung
di setiap sudut dan yang paling membuat Pak Ono tertegun, hampir-hampir
meneteskan air mata ialah adanya gambar-gambar karikatur para guru yang
berukuran besar.
Ia
menghampirinya supaya dapat dilihat lebih dekat sekaligus bertanya-tanya apakah
dirinya juga digambar. Dilihatnya satu per satu. Di posisi paling atas ada
gambar Bapak Juki selaku kepala sekolah, dibawahnya berjajar rapih gambar Bapak
Iben, Bapak Fatur, Ibu Rahma, dan Bapak Reza selaku para wakil dari Bapak Juki.
Di bawah mereka terdapat gambar guru-guru. Satu per satu Pak Ono memperhatikan
gambarnya. Sesekali dia tertawa, melihat ada gambar guru yang terlihat sama
sekali tidak mirip dengan wajah aslinya.
Ada
juga gambar Ibu Senna –guru bahasa perancis- yang terlihat begitu gemuk, Bapak
Gopal –guru geografi- yang terlihat enggak banget, karena terlihat lebih
keren di gambar daripada wajah aslinya.
Sedetik
kemudian, hatinya sedikit gundah. Ia tidak melihat gambar karikaturnya. Ia
berpikir jangan-jangan memang tidak ada yang menggambar karikatur
wajahnya. Dilihatnya gambar-gambar tersebut sekali, dua kali, tiga kali, tetap
tidak ada gambar dirinya. Badannya langsung lesu. “Ya mungkin saya bukan
guru yang terkenal di kalangan murid-murid, da saya oge masih guru baru disini.”
ucapnya dalam hati.
“Kok
Pak Ono baru datang? tadi anda tidak terlihat ikut upacara” Salah seorang guru
menegurnya dari belakang.
Sedikit
terkejut Pak Ono menanggapinya, “Eh Pak Rafli. Ia pak, maaf tadi ada satu
urusan.”
“Pak,
anak-anak zaman sekarang pintar-pintar ya, lihat saja, gambar karikatur wajah
diri saya mirip sekali dengan aslinya. Oh iya gambar karikatur Pak Ono mana ya,
kok enggak terlihat ya?” Ujar Pak Rafli sambil menujuk dan membanggakan gambar
karikatur dirinya yang bersebelahan dengan gambar karikatur Ibu Senna.
Tanpa
memandang karikatur Pak Rafli, Pak Ono hanya menjawab sekenanya, “Mungkin saya
tidak setenar Pak Rafli” Pak Ono memberi sedikit senyum lalu kembali ke meja
kerjanya.
Hatinya
sedih. Meski sesungguhnya ia tidak terlalu membutuhkan itu semua. Cukup Tuhan
yang menghiburnya. Tapi Pak Ono tetaplah manusia, ia senang dengan pemberian
penghargaan. Bukan untuk apa-apa, tapi entah kenapa dengan adanya sedikit
penghargaan –dari makluk- setidaknya membuatnya terus semangat menjadi seorang
guru.
Pikiran
negatifnya muncul kembali. “Mungkin gaya mengajarku tidak disenangi
anak-anak, mungkin mereka tidak menyukai saya, makanya mereka tidak membuatkan
karikatur gambar diri saya.” Mungkin, mungkin, dan mungkin. Itulah
ketakutan dan kecemasan-kecemasan yang berasal dari setan. Pak Ono tersentak
sadar kalau dirinya sudah salah. Ia mengharap sesuatu dari makluk yang menurut
Aa Gym itu sudah merupakan suatu bentuk kesyirikan kecil. “Astagrifullahal
azhim” ucap Pak Ono pelan-pelan sambil mengelus-elus dada.
***
“Pak,
kenapa tadi pagi bapak tidak ada. Padahal seru lho. Pada nangis-nangisan…”
tanya Mila, salah seorang muridnya di sela-sela jam pelajaran.
“Iya
ih, kenapa bapak tidak ada. Tadi pada nangis semua. Guru-guru dan murid.
Apalagi pas lagu hymne guru diputar. Sekolah mendadak histeris” Safira ikut
nimbrung dalam percakapan.
“Bapak
ada sesuatu yang harus dikerjakan tadi pagi, jadi tidak datang. Kayaknya seru
banget yah. Sayang sekali tidak bisa hadir.”
“kalian
pada baper[1]
deh” Asep tiba-tiba ikut nimbrung.
“Sudah-sudah...
lanjutkan tugas kalian. Ngobrolnya nanti, kalau bel pulang berbunyi” Ucap Pak
Ono sedikit tegas.
Entah
kenapa, perasaan Pak Ono masih belum bisa tenang. Masih kepikiran. Ia sangat
menyesal tidak datang sejak pagi. “Andai saya langsung ke sekolah, andai tidak
banjir, andai…” Ucapnya dalam hati. Kesedihannya menjadi-jadi saat ia melihat
papan blackboard –di pojok kelas- yang sudah dihiasai tulisan happy teachers day plus sebuah gambar
ilustrasi seorang guru perempuan yang sedang memegang bunga. Di sampingnya ada
gambar lilin. Di atas gambar guru tersebut ada quotes yang begitu menggugah
hati Pak Ono, ‘Guru yang baik itu ibarat lilin yang membakar dirinya
sendiri demi menerangi jalan muridnya’.
“Bapak
(sambil mendekatkan wajahnya ke Pak Ono)…Kenapa bapak bengong. Bapak mikirin
apa? pasti bapak nyesel ya tidak datang dari pagi, hehe” tanya Felinda, murid
perempuan berparas cantik itu.
“Ada
apa Lindaaa?”
“Ini
bapak, tugasnya” jawab Linda
“Bapak
beneran lagi mikirin kejadian tadi pagi?”
Belum
sempat Pak Ono merespon, Linda melanjutkan kata-katanya, “Sebenarnya tadi pagi
banyak anak-anak yang mencari bapak. ‘Pak Ono dimana, Pak Ono dimana.’ Bahkan ada
satu anak perempuan, kayaknya itu adik kelas aku. Dengan air mata yang belum
kering, dia mondar-mandir seperti sedang mencari seseorang. Saat posisinya
sangat dekat denganku, aku tanya ke dia, ‘lagi nyari siapa sepertinya kamu
gelisah sekali?’ dia hanya menjawab singkat tapi diulang-ulang ‘aku mencari Pak
Ono. Mencari Pak Ono’. Aku menggeleng-geleng kepala karena memang saat itu aku
tidak melihat bapak. Aku melihat suasana tadi pagi begitu mengharukan. Para
guru setelah melaksanakan upacara mendapat sambutan dari anak-anak dengan
pemberian bunga-bunga mawar. Ada juga yang membacakan puisi, pantun gombalan,
dan lagu, tapi aku melihat anak perempuan itu, karena tidak menemukan bapak,
hanya duduk terdiam di taman. Aku jadi sedikit sedih, tapi mau gimana lagi.”
“Hah…
kamu serius kan? enggak sedang menghibur bapak kan?”
“Swear
pak, masa aku bohong” ucap Linda sambil menempel-nempelkan jari telunjuk ke
telinga kirinya.
“Siapa
yah..bapak jadi sedikit senang hehe, ternyata ada juga yang menunggu-nunggu
bapak.” senyum Pak Ono mengembang.
***
Pak
Ono sedang membereskan barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas ransel
hitamnya. Di pakainya jaket hijau toska polos. Jaket kesayangannya yang sudah
menemani hari-harinya semenjak berada di bangku kuliah. Pak Ono keluar dari ruang guru lalu
melangkahkan kakinya ke tempat parkiran. Waktu sudah menunjukkan jam empat
sore. Suasana di sekolah sudah mulai sepi. Guru-guru lain pun sudah tiada,
hanya menyisakan beberapa pegawai kebersihan sekolah yang harus menyapu dan
mengunci pintu-pintu kelas. Sekali lagi Pak Ono mengamati dekorasi-dekorasi
buatan anak-anaknya. Banyak kata-kata mutiara yang tersebar di sekolah yang
membuat Pak Ono tertegun selain quotes yang tadi dibacanya saat di kelas.
Tinggal
satu dua langkah kakinya sampai di tempat parkiran, Pak Ono mendadak berhenti
setelah mendengar ada suara seseorang yang memanggilnya dari kejauhan. “Pak
Onooooo…. Pak Onooooo”
Ia
membalikkan badan. Sambil membetulkan kembali posisi kacamatanya yang sedikit
menurun. “Syabrina? Itu Syabrina bukan?”
“Assalāmualaikum,
Pak” Sapa Syabrina sedikit menunduk tanpa mencium tangan Pak Ono, tidak seperti
biasanya. Kedua tangannya disimpan dibelakang badan. Ia ditemani oleh teman
sekelasnya, Saka.
“Waalaikum
salam. Ina, kenapa kamu sore-sore begini belum pulang?”
“ii,
aku dari pagi mencari-cari bapak. Bapak kemana sih, baru kelihatan deh. Untung
sekarang ketemu”
“Ia
bapak nyesel banget enggak dateng ke sekolah dari pagi. Katanya acara tadi pagi
begitu mengharukan, banyak murid dan guru yang menangis.”
Dengan
sedikit malu-malu dan memalingkan wajahnya, Ina mengungkapkan, “Iya…aku
menangis karena bapak tidak hadir tadi pagi” Ani berhenti beberapa saat.
Mengatur nafasnya yang mulai tersengal-sengal lalu dia melanjutkan, “Apakah
bapak tahu kalau tadi pagi aku mencari bapak kesana-kemari untuk mengucapkan
selamat hari guru.”
“Oh
jadi perempuan yang tadi diceritakan Linda itu kamu yah, hmm” Pak Ono
tersenyum.
“Linda
itu siapa pak?”
“Oh
tidak. Dia murid bapak. Tadi pagi dia melihat kamu yang sedang mondar-mandir
mencari bapak. Katanya kamu terlihat sangat kecewa saat tidak menemukan bapak.”
“Terlalu
didramatisir itu pak. Ga begitu juga keles[2]”
“Ngomong-ngomong,
apa itu yang ada di tanganmu, dari tadi diumpeti saja.” tanya Pak Ono
penasaran.
Perlahan
tapi pasti, Ina menggerakkan tangan kanannya yang dari tadi disimpan dibelakang
badan. “tadaaaa…… (sambil mengangkat kedua benda tersebut ke atas) SELAMAT HARI
GURU, PAK ONO. Semoga tetap menjadi guru yang hebat” ucap Ina. Senyumnya kali
ini benar-benar dilebarkan.
Pak
Ono sedikit syok. “Karikatur? dan seikat bunga mawar?”
“Betul
sekali Pak, dan ini spesial dari aku untuk bapak. Tapi karena sudah telat, jadi
ge seru lagi. Bapak sih pake segala ga dateng.” ujar Syabrina sembari
memberikan kedua hadiah
“Iya
maaf yah. Kompleks rumah bapak sedang kebanjiran dan Alhamdulillah sudah mulai
menyusut, jadi kami bergotong-royong membersihkan lingkungan sekitar.”
“Ah
tetap engga seru.” jawab Syabrina cemberut.
“TERIMA
KASIH YA SYABRINA.”
Kata-kata
yang baru saja terucap dari bibir Pak Ono menggetarkan hati Syabrina. Suasana
sekejap menjadi hening. Raut mukanya mulai menunjukkan kesedihan tapi dia tidak
sedang bersedih melainkan bahagia. Tak terasa cairan itu menetesi pipinya yang chubby.
Dengan sedikit terbata-bata Syabrina mengeluarkan suara,
“Bapak tidak perlu mengatakan itu. Seharusnya
aku lah yang berterima kasih kepada bapak. Bapak sudah memotivasi aku untuk
bangkit dari keterpurukan, dan masih banyak lagi. Satu lagi, aku pernah memberi
tahu bapak kalau setelah lulus aku mau mengambil jurusan masak-memasak. Aku
ingin membangun restoran sendiri, tapi setelah aku melihat bapak, aku kagum
dengan kepribadian bapak. Jadi deh aku bingung mau jadi koki atau guru”
Pak
Ono menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Tidak. Bapak tidak berbuat
apa-apa. Kalau pun kamu mau berterima kasih, terima kasih lah kepada Allah.” Ia
berhenti beberapa saat lalu menyuruh Syabrina untuk duduk.
Tak
lama kemudian dia melanjutkan, “Kamu itu anak bapak, sudah sewajarnya seorang
bapak melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi maaf kalau sampai saat ini
bapak belum bisa berbuat maksimal dan mengenai cita-cita kamu apakah ingin
menjadi seorang koki atau guru, yang mana pun yang nantinya kamu pilih, bapak
akan tetap mendukungnya. Ganbatte ne[3] !”
Lalu
mereka mengobrol dan tertawa bersama. Pak Ono sangat senang, karena rasa
penyesalannya – tidak hadir di pagi hari- telah terbayarkan dengan kehadiran
salah satu murid kesayangannya, Syabrina.
Setibanya
di rumah, Pak Ono memamerkan gambar karikatur dan seikat bunga itu kepada
ibunya. Mereka tertawa bersama-sama. Pak Ono sangat berbahagia. Untuk mengenang
kebahagiaannya di hari itu, tidak lupa ia menuliskannya di buku diari. Selagi
memegang kembali hadiah dari Syabrina, Pak Ono menemukan sesuatu yang terselip
di bunga tersebut. Di dapatinya secarik kertas berwarna merah mawar. Ia buka
perlahan-lahan kertas itu.
Dear Pak
Ono
Assalamualaikum
wr wb
Pertama-tama
saya panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah swt yang masih memberikan
kita nikmat sehat wal afiat. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
limpah kepada baginda Nabi Muhammad saw berserta keluarga dan para
sahabatnya.
Aduh
Pak, kenapa jadi seperti mau ceramah saja yah... Soalnya aku juga bingung
harus bagaimana menulis bagian awal surat. Nilai bahasa Indonesia aku kan jelek.
Langsung
to do point aja ya Pak. Aku Syabrina, selaku murid bapak ingin mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya karena bapak sudah mendidik dan mengajari
aku. Bapak sudah mengajarkan ilmu-ilmu agama yang sedari awal hanya ku
jalankan tapi tidak ku ketahui maksudnya, oleh bapak jadi tercerahkan. Bapak
juga mengajak aku untuk mengenakan hijab tapi maaf pak sampai saat ini aku
masih belum mengenakannya (da hese pak hehe) dan yang paling penting dari
segalanya adalah jasa bapak yang telah berusaha, tanpa mengenal lelah, untuk
menyelamatkan aku dari keterpurukan, dari rasa minder aku, dari
kelemahan-kelemahan yang aku buat sendiri, dan dari kebodohan yang aku ukir
sendiri.
Meskipun
berulang kali aku sudah menyatakan ‘menyerah’ tapi sepertinya kata tersebut
tidak terdapat dalam kosa kata bapak. Bapak berkali-kali menyemangati aku,
memotivasi aku, hingga akhirnya aku pelan-pelan ingin bangkit kembali. Kata
bapak, aku harus menatap masa depan dan melupakan masa lalu –yang membuat
kita lemah. Bapak juga mengingatkan aku supaya aku harus lebih
mengingat-ingat kembali jasa orang tua dan harapan-harapan mereka.
Ahhh
kenapa jadi curhat. Bae we pak, hahaha. Pokoknya bapak jagoan. Untuk hari ini
aku mengucapkan, SELAMAT HARI GURU buat Pak Ono, guru agama Islam terbaik, eh
tidak, guru terbaik yang pernah aku temui J
Dari
muridmu yang cantik jelita, Syabrina Ratu Amelia
Bandung,
25 November 2015
|
Pak
Ono tak sanggup menahan air matanya meski sudah di tahan sekuat mungkin. Rasa
senang dan sedih bercampur aduk. “Nak, bapak tidak sebaik yang kamu
kira. Tetap berjuang untuk meraih ridha-Nya dengan jalan yang kamu sukai”[]
Note: Kisah ini diambil dari bagian novel Saya yang berjudul
“Pak Ono: Pengalaman Mengajar Seorang Guru Agama” Mau tau siapa itu Pak Ono?
atau siapa itu syabrina yang katanya adalah murid kesayangan Pak Ono? Silakan
beli bukunya :-)
Komentar
Posting Komentar