Mah, sejujurnya, Jiva harus membela-belakan diri untuk meluangkan
waktu menulis tulisan singkat ini. Ya karena penyakit vertigo ini membuat Jiva
–sedikit banyak- kehilangan keseimbangan. Rasanya bagaikan seseorang yang
sedang berada di laut dengan hanya mengandalkan sebuah sampan kecil. Riak dan
ombak adalah penghalang utama. Kurang lebih seperti itu keadaannya. Tapi tenang
saja, karena semuanya akan baik-baik saja. Tidak usah terlalu dipikirkan.
Jadi begini. Jiva teringat kalau hari ini adalah hari ibu. Entah
kenapa, Jiva ingin memberi sesuatu kepada mamah. Di umur yang ke-22 ini
sejujurnya Jiva merasa belum bisa memberi sesuatu yang berarti kepada keluarga,
terutama mamah, orang nomor satunya Jiva. Mamah tahu sendiri kalau Jiva itu orangnya
cuek, jarang menelpon, memberi/menanyakan kabar, bahkan kalau sedang berada di
rumah pun, Jiva tak banyak membantu. Di suruh mengepel saja, itu sudah agak
berat. Bukan apa-apa, karena, sebagaimana sudah mamah ketahui,
Jiva itu pemalas. Empat tahun kuliah di Bandung, membuat asas
kebermanfaatan melekat di tubuh ini. Jiva akan sangat memperhitungkan dengan
cermat gerak-gerik aktivitas apa saja yang harus dan mana yang tidak harus
dilakukan. Jika tidak memiliki manfaat dan efisiensi yang jelas, pasti akan
langsung Jiva tinggalkan. Selain itu, entah mengapa sampai saat ini Jiva belum
bisa bercerita bebas segala hal tentang Jiva, baik itu mengenai pandangan
hidup, kejadian-kejadian di kampus, teman-teman di kampus, soal percintaan, dan
lainnya. Masih banyak yang Jiva tutup-tutupi, entah karena merasa belum nyaman,
merasa belum yakin rahasianya terjaga, atau hal lainnya.
Kembali ke topik, di hari ibu ini, Jiva ingin sedikit memberikan
gambaran mengenai pribadi mamah yang selama ini Jiva ketahui. Khususnya mengenai
kekurangan dan kelebihannya. Jiva kira ini akan sangat bermanfaat supaya mamah
bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Supaya lebih elegan, memaparkan
kelebihan agaknya lebih baik diutamakan.
Yang Jiva kenal selama ini mamah itu orangnya pekerja keras. Kalau
Jiva amati, pekerjaan harian mamah itu dimulai dari sebelum subuh hingga
kira-kira pukul sepuluh malam baru bisa tidur. Padat sekali. Sebelum subuh
harus membuat sarapan untuk suami, lalu pergi belanja, mengurus keperluan
sekolah Rajif, nyuci baju dan kamar mandi, bersih-bersih rumah, shalat dhuha, masak
untuk makan siang dan malam, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Jiva yang
bangun pagi, lalu baca buku sebentar, kemudian tidur lagi, bangun lagi. Anehnya
mamah enggak terlalu mempermasalahkannya, selama Jiva menyelesaikan satu
tugas wajibnya –mengepel atau menyapu.
Juga, perhatian mamah kepada anak-anaknya bisa dibilang cukup luar
biasa. Jiva, Rajif, dan Dinda pasti, sejak kecil mendapat tuntunan belajar
setiap malam yang kadang membuat kita sendiri merasa kewalahan. Wajar saja,
karena kami anak-anak. Padahal itu sangat besar manfaatnya bagi perkembangan
intelektualitas kami. Setidaknya, berkat didikan mamah, Jiva selalu mendapat
ranking sepuluh besar dari SD hingga SMP. Tidak sampai SMA sih, ya
karena sudah belajar mandiri. Tapi toh gelar sarjana yang Jiva dapat,
sangat sarat akan peran mamah di dalamnya. Begitu pun dengan Dinda dan Rajif.
Terbukti mereka selalu juara kelas.
Satu kelebihan lagi, menurut Jiva, dalam banyak hal mamah memiliki
pemikiran yang lebih terbuka dibanding papah. Meski tidak mendapat banyak ilmu
agama dari mbah, mamah tetap dapat menjadi orang yang toleran terhadap aneka
perbedaan. Tidak meledek orang yang berbeda paham. Qunut silakan, tidak qunut
juga silahkan. Yasinan silakan, tidak yasinan juga silahkan. Jangan tanya
bagaimana kolotnya papah dalam memahami tuntunan agama. Makanya Jiva lebih
senang berbagi ilmu –yang di dapat di kampus- ke mamah, dibading papah, karena
mamah relatif membuka diri untuk mendapat sesuatu pemahaman yang baru dibanding
papah yang hanya berbekal ilmu kolot dari orang tuanya dan ilmu agama yang
didapatnya dari internet. Orang-orang yang tidak bergelut di ilmu keagamaan
memang cenderung kaku dan kolot, tapi tidak dengan mamah. Walaupun satu-dua hal
mamah juga merasa kaget dan heran dengan pendapat-pendapat Jiva yang terbilang
sedikit aneh. Tidak apa-apa. Itu sangat wajar.
Adapun kekurangan mamah seperti, membuat/membeli makanan yang
relatif banyak. Ini sudah Jiva kasih tahu berkali-kali, tapi masih saja
diulang. Orang-orang rumah itu makannya sedikit, jadi pasti sisa, dan
ujung-unjungnya makanan terbuang. Sayang sekali. Cobalah untuk lebih
memperhitungkan kuantitasnya supaya pengeluaran bulanan dapat ditekan. Juga,
mamah sering membeli barang tersier yang padahal tidak terlalu berfungsi
seperti tupperware. Numpuk di lemari itu hanya akan memberatkan
perhitungan amanah yang diberikan Tuhan. Selain itu, saran saja, cobalah untuk
memakai wangi-wangian, meskipun cuma di rumah. Soalnya Jiva merasa kalau bau
mamah sudah mulai seperti baunya mbah.
Terakhir, dan ini yang paling penting, soal spiritualitas. Sebagaimana
yang pernah Jiva katakan, manusia itu adalah makhluk termulia. Kemuliannya itu
karena dia hidup bukan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan fisiknya semata
(menjadi orang kaya, makan-minum terpenuhi), lalu mati tanpa arti. Manusia juga
merupakan makhluk spiritual, dan itu tidak cukup dengan hanya shalat lima
waktu. Apalagi kalau shalatnya cuma sebuah gerakan badan tanpa makna (pemahaman),
esensi, dan hakikat. Setiap manusia, termasuk mamah, harus merenung
sedalam-dalamnya dan sejernih-jernihnya. Coba sebelum tidur jawab renungi
pertanyaan-pertanyaan ini, 1) siapa saya 2) mengapa dan untuk apa saya hidup di
bumi. Dengan mengenal diri, maka manusia akan mengenal tuhannya. Mamah harus
punya semangat untuk mengetahui hal ini. Dan itu, harus mamah alami sendiri.
Setidaknya berproses terus-menerus mencari jawabannya hingga ajal menjemput.
Jika tidak, besar kemungkinan kalau kita telah gagal menjadi manusia seutuhnya.
Jiva mengharap doa selalu darimu supaya bisa menjadi orang yang
benar dan lurus di jalan-Nya. Doaku pun senantiasa menyertaimu. Salam. []
Pare, 22 Desember 2016
Padaha saya blm ngeshare ke medsos manapun.
BalasHapusTp makasih atas komentarnya :)