Ini adalah chapter ketiga dari cerpen kisah percintaan di
Kampung Inggris. Yang belum membaca dari awal, bisa membaca chapter pertamanya
di http://jivaagung.blogspot.co.id/2017/01/pesona-di-ielts-camp-elfast.html dan ini yang kedua di http://diniriyani.blogspot.co.id/2017/01/cinta-dan-benci.html
Menjadi Joker, Bisakah?
Cukup lama masa pemulihan diriku,
bahkan saat itu aku sampai terbawa suasana dan akhirnya gagal masuk kelas IELTS
di Test English Course. Menyedihkan. Setelah kejadian itu pula aku lebih senang
merenung di kamar berjam-jam. Keluar cuma untuk membeli makan dan mandi.
Shalat? aku kerjakan dua shalat sekaligus dalam satu waktu. Bodoh amat. Lagian
Imam Ja’far As-Shadiq (pelopor Mazhab Syiah Isna Asy’ariah) mengamalkan hukum
tersebut. Tidak hanya di kalangan Syiah, tapi hadits-hadits Sunni dari Ibnu
Abbas juga meriwayatkan yang demikan. Boleh menggabungkan dua shalat tanpa
harus ada alasan tertentu. Tidak usah geram padaku, kalian juga shalat cuma
formalitas doang kan?
Sambil berbaring di atas ranjang, aku
merenungi banyak hal. Awal-awal memang tentang Ara dan kisah cintaku yang
bertepuk sebelah tangan, tapi lambat laun perenunganku meningkat, menuju
sesuatu yang lebih abstrak, mendalam, dan transendental. Pertama, mengapa seolah
cinta dan benci itu menyatu bagaikan dua buah gambar di uang logam. Mengapa
kebaikan dan keburukan itu seperti anjing dan kucing. Jika hadir akan berantem
tetapi jika salah satu tak ada, maka yang satu merasa kesepian. Lalu yang kedua,
apa tujuan sebenarnya penciptaan manusia? katanya untuk mengabdi kepada Tuhan.
Ok aku setuju, meski belum paham seutuhnya hakikat mengabdi itu seperti apa,
dan pegabdian yang seperti apa yang Tuhan inginkan dari makhluk-Nya sedangkan
Dia sudah segalanya, tak butuh penyembahan.
sumber gambar: http://sutrislavitz9.blogspot.co.id/
Renunganku kembali menapaki bumi.
Yang kulihat tidak sesuai dengan permintaan-Nya, manusia malah menyembah apa
yang diprasangkainya saja. Ada yang menyembah materi, sesuatu yang sifatnya
fisik dan fana. Mereka menghabiskan hidupnya untuk mendapatkan itu semua,
mati-matian. Sama saja yang kaya maupun yang miskin, karena indikatornya bukan
dari sedikit banyaknya harta, melainkan kondisi mental. Bukankah banyak orang
kaya yang masih melakukan korupsi? membeli properti (mobil, rumah, handphone)
mewah atau berusaha untuk menguasai ladang sumber daya alam yang ada. Begitu
pun dengan yang miskin. Berpagi-pagi pergi bekerja dengan khayalan bahwa mereka
akan memperoleh kebahagiaan jika memperoleh kekayaan. Mereka membawa
angan-angan mobil mewah, makanan lezat, rumah besar yang tidak akan pernah
dicapai hingga matinya.
Penyembah materi tidak memandang
jenis kelamin. Mereka berlomba-lomba memperindah tubuh. Ada yang merias
wajahnya, diotak-atik sampai tidak kelihatan sosok aslinya, tertutupi make
up. Mereka merasa memakai topeng adalah lebih baik dibanding menampilkan
wajah naturalnya. Kukira operasi plastik menandakan ketidakbanggaan seseorang
terhadap dirinya sendiri. Begitu pun para lelaki yang mati-matian memperbesar
otot-ototnya, lalu mempertontonkannya pada khalayak dengan hanya menutupi alat
vitalnya. Terlihat keren dan gagah. Yang seperti ini sejatinya bertuhankan
manusia karena berharap penilaian darinya.
Ada yang menuhankan agama. Alih-alih
Tuhan yang menjadi puncak penyembahan, agama baginya adalah segalanya. Pemikirannya
yang serba hitam-putih, memandang segala sesuatu yang berbeda dengannya
hanyalah makhluk sesat yang penuh busa dosa. Justifikasi dan pengafiran
sudah menjadi makanan sehari-harinya. Mereka tidak paham bahwa sejatinya
manusia adalah makhluk yang berproses, jadi tidak ada yang mutlak memegang
kunci kebenaran.
Ada juga yang menuhankan ilmu
pengetahuan. Mereka terseok-seok dalam keterpanaan yang juga fana, bukan sampai
pada tahap siapa yang menciptakan pengetahuan itu. Lihat bagaimana kondisi yang
terjadi di Barat. Mereka pincang tapi orang-orang Indonesia selalu tersanjung
padanya. Memang kunci ilmu pengetahuan ada padanya –saat ini- tapi tidak dengan
yang lainnya, karena orientasi mereka hanya dunia, hanya materi fisik. Minus
moralitas dan banyak konsep atau filosofi hidup yang aneh. Orang-orang
terdahulu sebagaimana diberitakan Alquran, dimusnahkan bukan karena kurang
berpengetahuan, melainkan karena kebobrokan moralnya.
Sedangkan orang-orang di Pare ini
sepertinya sibuk sekali. Hilir mudik sepeda dari pagi hingga malam untuk belajar
bahasa Inggris. Apa sebenarnya yang mereka cari? menguasai bahasa Inggris
supaya memperoleh pekerjaan yang baik dan bergaji besar? atau supaya bisa
melanjutkan kuliah ke luar negari supaya dipandang keren oleh teman-temannya?
atau supaya orang tuanya bisa berbangga-bangga ketika sedang berkumpul dengan
tetangganya. “Hei, jeng, anakku dong sekarang lagi kuliah di Universitas
Humboldt Berlin .” lalu ditimpali “Ah, itu belum seberapa, anakku yang
tertua baru saja selesai kuliah di Harvard University dan sekarang ditawari
menjadi dosen di sana.” Lalu harus sampai berbohong di tahap seleksi LPDP
kalau dirinya adalah pemimpin masa depan, orang yang bisa merevolusi
masyarakat, berkhidmat pada bangsa, padahal memahami dirinya sendiri saja belum
mampu.
Bagaimana dengan diriku sendiri?
kenapa aku harus bersusah-payah seperti ini. Apakah jika aku kuliah di SOAS,
semua akan menjadi lebih baik? sebenarnya apa yang aku inginkan? jangan-jangan
aku sama saja seperti mereka. Bukan menuhankan-Mu melainkan menuhankan yang
lain. Seoga tidak. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih, yang hakikat, bukan
kulit melainkan dagingnya, bukan bungkus melainkan isinya. Aku ingin mendekati-Nya,
memahami-Nya, Si Sumber Kebenaran itu.
Kebetulan di kosanku ada wifi, jadi aku
bisa menjelajahi segala hal yang aku butuhkan. Setengah jam browsing,
pandanganku berhenti pada akun facebook Afi Nihaya Faradisa, gadis SMA yang
memiliki pandangan melintasi umurnya. Inilah dia sosok yang kucari-cari. Inilah
calon joker. Bahkan kalau boleh dikata, pemikiran, keluasan ilmu, dan
kebijaksanaannya mengalahkan sebagian orang-orang yang bergelar profesor
doktor. Satu postingannya bisa mencapai tiga ribuan dengan jumlah komentar yang
tak kalah banyak. Lalu kuputuskan untuk menchat via message dan ia segera membalas, “saya membaca
buku-buku tentang self-awareness, personal-epowerment, psikologi modern, fisika
quantum, dan vibrasi. Selain itu aku juga suka menyarankanmu untuk mengikuti
akun Gobind Vashdev. Kuliah online beliau sedikit banyak mempengaruhi cara
berpikir saya.”
Senang
bukan main, serasa mendapat pencerahan, aku membaca gambaran besar mengenai
ilmu-ilmu itu, sampai ketemulah sesuatu yang bernama Astral Projection (rogo
sukmo), yakni sebuah posisi di mana ruh bisa berpisah dengan jasad lalu ruh
tersebut pindah ke sebuah alam tanpa dimensi ruang dan waktu. Dengan melakukan
Astral Projection manusia bisa mendapat pengetahuan hakikat yang tidak
diketahui manusia pada umumnya, semacam indra keenam. Aku baru sadar kalau film
Insidious tengah memperkenalkan ilmu ini, dan selain itu aku menjadi follower
channel youtube Aaron Doughty karena ia bisa menjelaskan ilmu-ilmu semacam ini
dengan gaya yang mudah dipahami.
Entah mengapa kisah mengenai Isra Mi’raj, perjalanan
ruhani para sufi, dan Astral Projection seakan memiliki hubungan yang erat.
Dari dulu dan puncaknya saat masih kuliah, aku memiliki keyakinan kalau Nabi
Muhammad melakukan Is’ra Mi’raj beserta fisiknya karena kukira itu lebih
spektakuler dibanding hanya ruh, tapi setelah sedikit memahami konsep Astral
Projection dan spiritualitas, pandanganku berubah dan menurutku melakukan
perjalanan ruhani via ruh tanpa jasad adalah jauh lebih mulia dan terpuji,
menandakan tingkatan seorang manusia yang tinggi dihadapan-Nya. Jika argumen
ini diterima, maka akan mudah memahami cerita-cerita para sufi, seperti kisah Syaikh
Nazim Al-Haqqani, tokoh besar Tarekat Naqsabandiyah asal Cyprus yang pernah
berkunjung ke Indonesia dalam beberapa kesempatan. Ia bercerita,
“Pagi-pagi sekali beliau [Syaikh Abdullah
Al-Daghestani-guru Syaikh Nazim] membangunkanku untuk melakukan shalat. Tidak
pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku
merasa sedang berada di hadapan Ilahi dan hatiku semakin tertarik akan beliau.
Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki
tangga dari tempat kami shalat menuju Baitul Makmur, Ka’bah surgawi,
setingkat-demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang
diberika syiakh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima pengetahuan di dalam
hatiku yang sebelumnya tidak pernah aku dengar ataupun aku pelajari. Kata-kata,
frase, kalimat diletakkan sekaligus dalam cara yang indah, dialirkan menuju ke
dalam hatiku, dari maqam ke maqam sampai terangkat menuju Baitul Makmur. Di
sana aku melihat ada 124.000 Nabi berbaris melakukan shalat dan Nabi Muhammad
sebagai imamnya. Aku melihat 124.000 sahabat nabi yang berbaris dibelakang
beliau. Aku melihat 7007 awliya Tarekat Naqsabandiyah berdiri dibelakang
mereka sedang shalat. Aku juga melihat 124.000 awliya tarekat lain berbaris
melaksanakan shalat. Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat
disebelah Abu Bakar as-Siddiq. Grandsyaikh mengajakku menuju tempat itu dan
kami pun melaksanakan shalat subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat
indah. Ketika Nabi memimpin shalat itu, bacaan yang dikumandangkan beliau
sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu,
sesuatu yang Ilahiah. Begitu shalat selesai, penglihatan itupun berakhir, tepat
ketika syaikh menyuruhku untuk mengumandangkan adzan subuh.”
**
“Dila?”
Ia menengok. Matanya yang sayu
membuatku tak tahan menahan tawa. Untung tangan kananku secepat kilat
menutupinya.
“Zaki?” ucapanya setengah kaget
“sedang apa di sini, jarang-jarang kamu tertarik sama buku? kok bisa
berbarengan gini.” ia meledekku “ Oh iya, kita sudah dua kali loh ketemu tanpa
direncanakan. Jangan-jangan kita....” dia berusaha membuat joke.
“Apa?” aku berusaha mengikuti alurnya
“jodoh, maksudmu?”
Dia tidak menjawab, tapi aku melihat
wajahnya memerah, seperti jambu air.
“Sedang nyari buku IELTS juga?” aku
melihat tangan kanan Dila sedang memegang buku IELTS.
“Bukan. Aku sedang mencari buku-buku
tentang Astral Projection tapi sepertinya tidak ada di sini.” seorang bapak
setengah baya yang ada di sebelahku sedikit mendengarkan pembicaraan kami. Saat
mendengar kata Astral Projection, ia menoleh padaku. Matanya membelalak.
Sepersekian detik ia menatap tajam wajahku, lalu pergi menjauh.
“Aku pernah dengar tentang itu, tapi aku
tidak terlalu paham.” Dila mengerutkan dahinya. Aku yakin dia bingung kenapa
aku bisa malah tertarik dengan hal selain bahasa Inggris.
“Jadi begini Dil. Semenjak kejadian itu” Dila
mengangguk, paham maksud dari kata kejadian itu. Sebuah kejadian yang
memalukan “aku banyak merenung. Lalu aku menemukan bahwa diriku merindukan
sesuatu yang kekal, bukan yang fana. Aku ingin mengenal-Nya, ciptaan-Nya dan
hakikat tujuan penciptaannya.”
“Aduh...aduh...kamu ngomong apa yah.”
aku lihat Dila semakin kebingungan, betapapun tetap saja lidahku tak bisa
berhenti untuk meneruskannya.
“Dil, kartu remi itu bagaikan
miniatur dunia manusia.” aku lihat ia berusaha untuk memahami
kata-kataku.Terima kasih Dila “ada masyarakat sipil hingga raja tetapi mereka
semua hanyalah orang-orang biasa yang melakukan pengulangan aktivitas secara
terus-menerus dalam hidupnya, tanpa banyak berpikir mengapa sesuatu itu begini
mengapa sesuatu itu begitu. Mereka melakukannya seperti tanpa kesadaran dan aku
tidak ingin menjadi seperti mereka. Aku ingin menjadi joker yang berpikir keras
memahami rahasia-rahasia atau hakikat kehidupan dan aku kira ini tidaklah
mustahil, karena sepanjang perjalanan sejarah, joker-joker ini selalu ada meski
sangat sedikit, bahkan ada yang tersembunyi. Dahulu ada Ibrahim, Socrates,
Sidharta Gautama, Isa, Muhammad. Belakangan muncul nama-nama seperti Abdul
Qadir Al-Jailani, Muttahari, Mahatma Gandhi, Bunda Teressa, Abah Anom, dan
lainnya.” aku berhenti sejenak, mengatur nafas lalu kembali bertutur “aku ingin
menjadi joker!”
Mulutnya menganga sampai gigi
gerahamnya kelihatan olehku. Dan beberapa detik kemudian ia menyadari kalau aku
membutuhkan responnya, kemudian ia berkata, “aku tidak terlalu paham apa yang
kamu ucapkan barusan. Terlalu berat, tapi aku siap kok menemani kamu untuk
menjadi seorang joker.” Wajahnya memerah melebihi sebelumya, dan ia tersenyum
padaku, sebuah senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya dari sosok Dila.
Benar low of attraction yang pernah kupelajari sebelumnya. Meski tidak
kupercaya seutuhnya, secara spontan aku membalas senyumannya. Anggun dan tulus.
[]
Komentar
Posting Komentar