Beberapa hari belakangan mood saya berantakan, terus-menerus kepikiran oleh satu dari segudang kecacatan sistem pendidikan di Indonesia yakni persoalan seleksi masuk ke Perguruan Tinggi. Pasalnya hampir seluruh kampus yang ada di Indonesia menyaratkan atau mengujikan Tes Potensi Akademik (TPA) bagi para calon mahasiswanya, sebuah tes yang menurut para elit/pakar pendidikan dapat mengukur tingkat keintelektualitasan seseorang. Sayangnya saya sangat meragukan hal tersebut.
Secara umum TPA terbagi menjadi tiga buah tes, yaitu Kemampuan Verbal, Kuantitatif, dan Penalaran. Kemampuan Verbal bisa berupa tes kosakata, sinonim-antonim, analogi, dan pemahaman wacana (teks). Kemampuan Kuantitatif terdiri dari tes aritmatika-aljabar, deret bilangan-huruf, logika angka, angka dalam cerita. Dan Kemampuan Penalaran yang berupa silogisme, analitik (logika dalam cerita), spasial. Puluhan bahkan ratusan calon mahasiswa biasanya harus bertarung (tinggi-tinggian nilai TPA) untuk dapat merebut satu buah bangku saja. Sedangkan untuk calon mahasiswa S2/S3 –oleh sebagian kampus- hanya perlu menyerahkan sertifikat TPA resmi (BAPPENAS). Tapi bukan berarti itu lebih mudah, sebab umumnya mereka meminta skor yang cukup fantastis, 500 bagi S2 dan 550 untuk S3. Pertanyaan besarnya, apakah soal-soal tersebut cocok untuk mengetahui kemampuan dalam bidang studi yang hendak ditempuh (dipelajari/dikaji) oleh si calon mahasiswa? tidak!
Saya beri gambaran. Di tahun ini saya hendak melanjutkan studi (S2) di bidang keislaman, tapi alih-alih diuji soal pemahaman keislaman, saya malah dituntut untuk belajar sesuatu yang nantinya tidak akan saya geluti. Mungkin, sekali lagi mungkin, untuk tes Kemampuan Verbal (dalam TPA) masih dapat ditolerir, karena bisa jadi tes tersebut dapat mengetahui seberapa banyak pengetahuan saya tentang kekayaan kosa kata dan atau memahami teks bacaan. Ini dipandang masih cocok dengan bidang studi saya sebab salah satu sumber utama dari perolehan ilmu-ilmu sosial (Keislaman dikategorikan sebagai ilmu sosial) adalah dengan membaca. Singkatnya, bagi ilmu-ilmu sosial, tes Kemampuan Verbal masih cukup relevan. Tapi bagaimana dengan calon mahasiswa ilmu-ilmu eksak yang dalam proses pembelajarannya memang tidak terlalu membutuhkan itu? ilmu mereka kan lebih bersifat praktik yang biasanya menggunakan metode drilling (latihan/pengulangan).
Selanjutnya bagaimana dengan tes Kemampuan Kuantitatif (aritmatika-aljabar, deret bilangan-huruf, logika angka, angka dalam cerita) yang sifatnya sangat matematis?
Haruskah saya menjawab/mengetahui soal-soal seperti ini?
Jika X= rata-rata dari 5n, 3n, dan Y= rata-rata dari 2n, 6n dan 9, maka?
X=Y c. X ˃ Y
X ˂ Y d. 2x ˂ Y
Pada pesta ulang tahunnya Jessie menyebarkan undangan kepada teman-temannya, yaitu 60 teman laki-laki dan 50 teman perempuan. Pada saat pesta, yang hadir ternyata hanya 65% teman laki-laki dan 86% teman perempuannya. Berapa persen undangan yang menghadiri pesta Jessie?
Atau yang seperti ini?
Jarak rumah Anto dari kantornya kira-kira 1 ⅕ kilometer. Jika Anto rata-rata berjalan 4⅔ kilometer setiap jam, berapa jam yang diperlukan untuk berjalan pulang pergi selama 6 hari?
Buat apa –bagi saya- pertanyaan semacam ini? Masa iya, nanti di salah satu mata kuliah saya (peminatan Tasawuf) bakal ada pertanyaan yang kayak begini? Misalnya, “Diceritakan suatu hari ruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bepergian dari Baghdad ke Arab (Mekkah) yang jaraknya X kilometer. Jika dalam perjalanannya ia mengunjungi makam Uwais Al-Qarni, Imam Ali, dan Husein. Berapa kecepatan rata-rata perjalanan ruhaninya jika diketahui bahwa ia melakukan itu selama semalam suntuk?” KAN TIDAK!
Begitu pun dengan teman-teman saya yang lainnya yang, misalnya, mengambil jurusan Sastra Perancis, Sejarah, Keparawisataan, Tafsir Quran-Hadits, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Tari, dan lain sebagainya yang memang tidak memiliki hubungan secara eksplisit dengan ilmu-ilmu eksak?
Dari dua karakter tes TPA (Verbal dan Kuantitatif) di atas, terang bahwa tes tersebut tidak bisa mengukur kemampuan calon mahasiswa terhadap bidang studi yang hendak dipilihnya karena adanya ketidaksinkronan antara objek yang diuji dengan instrumen uji. Ini sama halnya seperti menguji calon mahasiswa kedokteran dengan mengujinya dengan soal-soal hukum bacaan mim mati? konyol kan? Jaka sembung bawa golok.
Bukankah lebih baik jika calon mahasiswa Keislaman diuji tentang pemahaman dasarnya terhadap ilmu-ilmu Islam? Calon mahasiswa kedokteran diuji dengan ilmu-ilmu dasar kedokteran, dan begitu seterusnya. Ini lebih logis. Kalau mainnya mau cocoklogi-cocoklogian kayak acara Ini Talkshow, bisa runtuh bumi ini.
Betapapun apa daya hamba daif ini, yang hanya bisa menikmati pemerkosaan para elit. “Turuti saja! kamu ini masih ingusan!” kata mereka. Jadiah saya seperti wanita polos yang tidak memiliki pilihan meskipun sesekali berharap akan datang mesias pendidikan di bumi pertiwi. Engkaukah itu?
Bekasi, 25 Maret 2017
Secara umum TPA terbagi menjadi tiga buah tes, yaitu Kemampuan Verbal, Kuantitatif, dan Penalaran. Kemampuan Verbal bisa berupa tes kosakata, sinonim-antonim, analogi, dan pemahaman wacana (teks). Kemampuan Kuantitatif terdiri dari tes aritmatika-aljabar, deret bilangan-huruf, logika angka, angka dalam cerita. Dan Kemampuan Penalaran yang berupa silogisme, analitik (logika dalam cerita), spasial. Puluhan bahkan ratusan calon mahasiswa biasanya harus bertarung (tinggi-tinggian nilai TPA) untuk dapat merebut satu buah bangku saja. Sedangkan untuk calon mahasiswa S2/S3 –oleh sebagian kampus- hanya perlu menyerahkan sertifikat TPA resmi (BAPPENAS). Tapi bukan berarti itu lebih mudah, sebab umumnya mereka meminta skor yang cukup fantastis, 500 bagi S2 dan 550 untuk S3. Pertanyaan besarnya, apakah soal-soal tersebut cocok untuk mengetahui kemampuan dalam bidang studi yang hendak ditempuh (dipelajari/dikaji) oleh si calon mahasiswa? tidak!
Saya beri gambaran. Di tahun ini saya hendak melanjutkan studi (S2) di bidang keislaman, tapi alih-alih diuji soal pemahaman keislaman, saya malah dituntut untuk belajar sesuatu yang nantinya tidak akan saya geluti. Mungkin, sekali lagi mungkin, untuk tes Kemampuan Verbal (dalam TPA) masih dapat ditolerir, karena bisa jadi tes tersebut dapat mengetahui seberapa banyak pengetahuan saya tentang kekayaan kosa kata dan atau memahami teks bacaan. Ini dipandang masih cocok dengan bidang studi saya sebab salah satu sumber utama dari perolehan ilmu-ilmu sosial (Keislaman dikategorikan sebagai ilmu sosial) adalah dengan membaca. Singkatnya, bagi ilmu-ilmu sosial, tes Kemampuan Verbal masih cukup relevan. Tapi bagaimana dengan calon mahasiswa ilmu-ilmu eksak yang dalam proses pembelajarannya memang tidak terlalu membutuhkan itu? ilmu mereka kan lebih bersifat praktik yang biasanya menggunakan metode drilling (latihan/pengulangan).
Selanjutnya bagaimana dengan tes Kemampuan Kuantitatif (aritmatika-aljabar, deret bilangan-huruf, logika angka, angka dalam cerita) yang sifatnya sangat matematis?
Haruskah saya menjawab/mengetahui soal-soal seperti ini?
Jika X= rata-rata dari 5n, 3n, dan Y= rata-rata dari 2n, 6n dan 9, maka?
X=Y c. X ˃ Y
X ˂ Y d. 2x ˂ Y
Pada pesta ulang tahunnya Jessie menyebarkan undangan kepada teman-temannya, yaitu 60 teman laki-laki dan 50 teman perempuan. Pada saat pesta, yang hadir ternyata hanya 65% teman laki-laki dan 86% teman perempuannya. Berapa persen undangan yang menghadiri pesta Jessie?
Atau yang seperti ini?
Jarak rumah Anto dari kantornya kira-kira 1 ⅕ kilometer. Jika Anto rata-rata berjalan 4⅔ kilometer setiap jam, berapa jam yang diperlukan untuk berjalan pulang pergi selama 6 hari?
Buat apa –bagi saya- pertanyaan semacam ini? Masa iya, nanti di salah satu mata kuliah saya (peminatan Tasawuf) bakal ada pertanyaan yang kayak begini? Misalnya, “Diceritakan suatu hari ruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bepergian dari Baghdad ke Arab (Mekkah) yang jaraknya X kilometer. Jika dalam perjalanannya ia mengunjungi makam Uwais Al-Qarni, Imam Ali, dan Husein. Berapa kecepatan rata-rata perjalanan ruhaninya jika diketahui bahwa ia melakukan itu selama semalam suntuk?” KAN TIDAK!
Begitu pun dengan teman-teman saya yang lainnya yang, misalnya, mengambil jurusan Sastra Perancis, Sejarah, Keparawisataan, Tafsir Quran-Hadits, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Tari, dan lain sebagainya yang memang tidak memiliki hubungan secara eksplisit dengan ilmu-ilmu eksak?
Dari dua karakter tes TPA (Verbal dan Kuantitatif) di atas, terang bahwa tes tersebut tidak bisa mengukur kemampuan calon mahasiswa terhadap bidang studi yang hendak dipilihnya karena adanya ketidaksinkronan antara objek yang diuji dengan instrumen uji. Ini sama halnya seperti menguji calon mahasiswa kedokteran dengan mengujinya dengan soal-soal hukum bacaan mim mati? konyol kan? Jaka sembung bawa golok.
Bukankah lebih baik jika calon mahasiswa Keislaman diuji tentang pemahaman dasarnya terhadap ilmu-ilmu Islam? Calon mahasiswa kedokteran diuji dengan ilmu-ilmu dasar kedokteran, dan begitu seterusnya. Ini lebih logis. Kalau mainnya mau cocoklogi-cocoklogian kayak acara Ini Talkshow, bisa runtuh bumi ini.
Betapapun apa daya hamba daif ini, yang hanya bisa menikmati pemerkosaan para elit. “Turuti saja! kamu ini masih ingusan!” kata mereka. Jadiah saya seperti wanita polos yang tidak memiliki pilihan meskipun sesekali berharap akan datang mesias pendidikan di bumi pertiwi. Engkaukah itu?
Bekasi, 25 Maret 2017
Hm...Bagus tulisanmu,Dik Jiva. Semoga Allah tambahkan ilmu yang bermanfaat bagimu.
BalasHapusTerima kasih.
BalasHapusDoanya jg utk mas..