Umumnya, sebagaimana ungkapan pepatah, diam itu emas. Dan
nyatanya para bijak bestari memang bukan merupakan orang yang banyak berbicara
apalagi membual. Mungkin akan ada puluhan pertimbangan sebelum sebuah kata
keluar dari mulutnya. Betapapun, jika ditelisik lebih dalam, diam tidak
selamanya baik, alih-alih dalam konteks tertentu dapat dikatakan berdosa.
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Reformasi Sufistik mengungkapkan
bahwa setidaknya ada empat buah diam yang menjadi dosa, yakni: pertama,
diam ketika adanya kemungkaran yang dilakukan terang-terangkan di depan anda.
Alquran sangat mengecam perbuatan ini “Mereka satu sama lain tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sungguh amat buruk apa yang selalu mereka
perbuat itu.” (QS. Al-Maidah [5]: 79).
Sejujurnya, poin pertama ini yang paling berat bagi saya karena sering
diabaikan, kalau enggan berkata dilanggar. Di satu waktu saya melihat muda-mudi
–terkadang pelajar, yang saya yakin bukanlah sepasang suami istri, sedang
bermesraan, di lain kesempatan berpelukan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa,
bahkan cenderung menghindar; melihat sekelompok orang yang sedang bermain judi;
berghibah; atau bullying. Dengan mencari-cari dalih yang sebenarnya
semakin menguatkan kepengecutan saya, tak ada aksi nahi munkar yang saya
perbuat, saya tak berdaya. Walaupun bukan berarti menandakan bahwa saya
menyetujui perbuatan-perbuatan tersebut. Saya senantiasa mengingkarinya di
dalam hati, pun dalam sejumlah kesempatan saat saya menjadi pembicara atau pengajar.
Beberapa kolega menganggap saya kurang holistik dalam memaknai
pesan Alquran karena menurutnya, selain harus menjunjung tinggi amr ma’ruf juga perlu melakukan nahi munkar. Mereka
merasa orang-orang semacam saya, para cendekiawan –terlebih yang liberal, atau
ustadz-ustadz mainstream hanya kuat di amr ma’ruf tapi lemah di nahi
munkarnya. Kata mereka hanya Habib Rizieq Shihab beserta followernya
yang gigih pantang mundur meski dikecam banyak pihak menyemarakkan nahi
munkar, yang mungkin jika tidak ada dia, kemungkaran di Indonesia semakin
menjamur saja yang lama-kelamaan bisa jadi dianggap sebagai suatu kewajaran –diperbolehkan.
Bukankah tinja yang dihirup terus-menerus, lama-kelamaan tidak akan terasa bau
lagi? Yang terakhir ini sebenarnya tidak akan terjadi jika aparat kepolisian dapat
menegakkan hukum setegak-tegaknya dan seadil-adilnya. Sayang, para kenyataannya
tidaklah begitu.
Kedua, diam itu menjadi
dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Kang Jalal
mengutip sebuah hadits “berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak
mengajarkan ilmunya; seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan
petunjuk; seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya.” seperti sarjana
yang lebih senang menghabiskan hidupnya untuk bersenang-senang/berpesta-ria, terus-menerus
mengupload foto selfienya saat travelling dibanding mengabdi (melatih
atau mengajar keterampilan kepada warga yang membutuhkan).
Ketiga, ketika tidak
mau berbicara karena tidak berkaitan dengan keuntungan dirinya. Kang Jalal
mengutip pernyataan seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi yang mengatakan bahwa
Allah menyebut ...sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai
(QS. 31: 19). Konon ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan
untuk mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kali, semua
makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan kecuali keledai. Keledai hanya mau
bersuara jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya.
Ketika ada seorang mahasiswa yang nyaris di drop out karena
tidak bisa membayar uang semesteran misalnya, tidak banyak yang peduli. Mereka tengah
sibuk di dunianya masing-masing, ada yang mengejar IPK tinggi, ada yang gemar
keluyuran –nongkrong sana nongkrong sini. Ketika diajak untuk menuntut keadilan
atau lobi keringanan, mereka menghindar. “It’s not my business bro.”
katanya. Ketika ada rumah warga yang terkena gusur dan tidak mendapat
ganti yang sewajarnya, mereka bungkam. Tetapi ketika dihadapkan pada persoalan gajinya
yang tak kunjung diterima, barulah ia angkat bicara. Ketika ada gereja yang
diteror atau dirusak, mereka membisu tetapi saat ada masjid yang dibakar,
mereka langsung reaktif. Rupaya, ungkap Kang Jalal, suara kerasnya itu hanya
suara keledai, berbunyi saat merasa lapar, merasa terancam, atau nafsu belaka.
Keempat, diam itu dosa
ketika anda tidak mau mengakui kesalahan yang anda lakukan di mana kesalahan
tersebut sangat merugikan masyarakat, semisal membuang sampah sembarangan yang
menyebabkan banjir bandang, menimbun barang yang sangat diperlukan oleh
masyarakat, atau pemerintah yang menjual tanah warga untuk kepentingan para
pembisnis.
Bekasi, 26 April 2017
sumber
gambar: www.bantuanhukum.or.id
Komentar
Posting Komentar