Sudah ada ratusan bahkan ribuan artikel dan opini yang telah
membahas persoalan keriuhan percaturan Pilgub DKI yang mana titik klimaksnya telah
berakhir kemarin sore setelah Anis-Sandy terpilih sebagai gubernur baru DKI,
meski belum dilantik. Maka untuk membedakannya dari tulisan-tulisan yang lain, saya
tidak akan membahas dari sisi politik ataupun ekonominya karena selain bukan
bidang saya pun ditakutkan malah menimbulkan gejolak (lagi), alih-alih saya
hanya membatasi pada ruang sosio-religinya.
Agaknya benih-benih konflik mulai muncul semenjak kontroversi video
Ahok di Kepulauan Seribu menjadi trending topik. Sebagaimana sebagian
umat Muslim merasa tersinggung yang akhirnya menimbulkan aksi demo
berjilid-jilid, kestabilan emosional masyarakat Indonesia mulai terguncang. Kuatnya
sense of religious identity seakan telah membelah masyarakat Indonesia
menjadi dua buah kubu besar; sebagian umat Muslim –yang merasa terlecehkan oleh
ucapan Ahok– dan umat Kristen di sisi lain (Ahokers). Yang terakhir ini diduga
kuat karena memiliki ikatan emosional-psikologis dengan Ahok yang beragama
Kristen. Saya berkata sebagian umat Muslim saja karena sebagiannya lagi, baik
secara langsung maupun tidak, cenderung memihak pada Ahok, tentu dengan alasan
yang beragam. Semenjak itulah dogma agama mulai diangkat kembali; ujaran
kebencian, cacian SARA, berita-berita hoax bermunculan tak terbendung. Sepanjang
pergulatan ini, (sebagian) umat Muslim –dengan bermental korban pelecehan agama–
terlihat lebih offensive dibanding kubu Ahokers yang cenderung defensive.
Meskipun bertahan, bukan berarti mereka tidak melakukan penyerangan.
Kondisi diperparah dengan hadirnya Zakir Naik, seorang dokter yang
ahli dalam urusan perbandingan agama yang datang ke Indonesia untuk mengadakan
seminar keagamaan di beberapa tempat termasuk di almamater kampus saya (UPI
Bandung), membuat kubu pertama semakin petantang-petenteng karena merasa
memiliki kartu AS yang tak terkalahkan. Apalagi fatwa Zakir Naik tentang
tafsiran Al-Maidah 51 memperkuat thesis mereka. Uniknya, euforia ini
juga diperlihatkan oleh kalangan Islam abangan yang menjadi sangat bangga dengan
identitas keislamannya, bersorak-sorai mengunggah foto atau video ceramah
cendekiawan asal India itu. Kontras, pihak Ahokers –yakni dari Kristen, “Islam
kiri”, dll– semakin geram dengan kubu lawannya, tetapi apa daya, mereka hanya
bisa membalas sebisanya saja. Terakhir, serangan pamungkas yang ditandai kemenangan
Anis-Sandy adalah pluit pertanda kemenangan kubu (sebagian) umat Muslim
sedangkan kubu Ahokers, diakui ataupun tidak, mereka kalah telak.
Gejala apakah ini?
Saya
sedih, agaknya begitu pula dengan para agamawan yang sudah bermaqam hakikat/makfirat
melihat gejala ketidaksehatan spiritualitas-moralitas bangsa Indonesia sekarang.
Ketidakmatangan, kalau enggan berkata piciknya pandangan hidup, masih menghujam
kuat di sanurabari masyarakat Indonesia. Baik yang mengaku pengikut Muhammad
maupun Yesus. Dulu saya mengira (banyak) umat Muslim yang masih kekanak-kanakan
–dalam beragama, tapi ternyata tak ada bedanya dengan (banyak) umat Kristen
Indonesia. Jadi bisa dibilang ini merupakan gejala nasional lintas agama.
(Penulis bersama teman-teman Kristen Advent)
(Penulis berdialog kitab-kitab suci bersama teman Kristiani)
Ada beberapa alasan mengapa saya sampai dapat berasumsi demikian, pertama
walaupun umur kehadiran agama di Indonesia sudah ratusan tahun tetapi tidak
melulu beriringan dengan kematangan spiritualitas penganutnya, stuck di simbol
identitas keagamaan dengan penekanan dikotomi-dikotomi –dengan agama lain– serta
menganggap yang berbeda adalah “musuh”, atau setidaknya “makhluk asing”. Alih-alih
menganggap agama untuk manusia, kita condong memahami manusia hidup untuk
agama.
Sebenarnya sah-sah saja memiliki sense of religious identity lalu
–misalnya– karena hal tersebut membuat kita memilih Ahok atau Anis karena
adanya kesamaan identitas keagamaan, tetapi baiknya tak perlu berlebihan
apalagi sampai menganggap seseorang yang tidak sehaluan dengan kita dianggap
sebagai musuh. Andai saya adalah warga Jakarta, saya memiliki kecondongan untuk
memilih Anis-Sandy. Betapapun, tak pernah terbetik dalam hati untuk menganggap
Ahok atau orang yang memilih Ahok adalah musuh, kafir, munafik atau statement
jelek lainnya, apalagi dengan menebar berita-berita buruk tentangnya. Memangnya
saya ini malaikat yang tak punya dosa? saya pun tak mau jika aib saya ditebar di
ranah publik.
(Penulis selalu menekankan toleransi beragama saat berkesempatan mengajar di SMAN 5 Bandung)
Sense of religious
identity ini akan menimbulkan hal buruk jika kita menyikapinya secara
berlebihan. Akan terjebak dalam ruang kefanatikan, perlakuan subjektif yang ultra
picik, dan tidak akan bisa melihat kebenaran yang ada dipihak lain. Untuk itu,
alih-alih memahami Islam sebagai identitas keagamaan yang terlembagakan, saya
lebih cenderung memahaminya sebagai sebuah kata sifat, yakni penyerahan diri
secara total kepada Tuhan. Dengan begitu umat Muslim lebih banyak
berintrospeksi diri, sibuk memperbaiki kekurangan dan meningkatkan
keimanan/spiritualitas supaya meraih maqam hakikat/makrifat daripada
sedikit-sedikit menjustifikasi orang lain. Pahami dan temukan jati diri dengan
melakukan perenungan atau komtemplasi (tahannuts) secara kontinu. Nikmati
proses pencarian akan Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi dan
orang-orang saleh.
Umat Kristen juga baiknya melakukan hal yang sama. Menjalankan –dengan
penuh kesungguhan– tuntunan agama yang diyakini, terlebih yang esensial. Saya
sering mendengar teman Kristen yang berkata bahwa tidak semua orang Kristen itu
adalah pengikut Isa. Ini sepertinya memiliki kesamaan padanan frasa dengan
istilah Islam KTP.
Cobalah untuk membuka diri dari pemahaman keagamaan yang lebih heterogen.
Bisa jadi kita akan menemukan kebenaran baru kerena sejatinya manusia adalah
makhluk dinamis yang senantiasa melakukan perevisian terus-menerus hingga
mencapai maqam spiritual yang lebih matang. Tiada salahnya –bagi yang Muslim–
untuk membaca atau mendengar ceramah ulama-ulama yang menurut saya telah
mencapai maqam tinggi sehingga yang ada tinggallah ketenangan, kedamaian, dan
kesejukan seperti KH Mustofa Bisri, Abah Anom, Quraish Shihab, Emha Ainun
Nadjib (CakNun), Aa Gym, dan lain-lain. Yang Kristen bisa melirik Frans
Magniz-Suseno, Bunda Teresa atau dapat pula belajar dari orang-orang bijak
seperti pemilik akun facebook Afi Nihaya Faradisa, Gobind Vashdev, dan Muhammad
Nurul Banan.
(Penulis membuat buku relasi Islam-Kristen)
Alasan kedua adalah karena adanya penyakit hati. Mungkin
kita sudah sering mendengar pernyataan ini. Para dai atau pendeta kondang
senantiasa menekankannya dalam setiap ceramah mereka, sayang kita sering
menganggap remeh bahkan mengabaikannya padahal menurut saya penyakit hati
inilah sumber dari segala sumber permasalahan. Salah satunya ragamnya ialah
berpikiran negatif (negative thinking) khususnya kepada yang berbeda keyakinan/pandangan.
Sepanjang saya menjalani hidup, saya lebih banyak bertemu Muslim yang
berpikiran negatif kepada umat agama lain –Kristen, Yahudi, dll– ketimbang yang
berpikiran positif, apalagi ayat-ayat Alquran yang dibaca secara harfiah seakan
melegitimasikannya. Saya tidak ingin menutup fakta bahwa –banyak– para orang tua, guru agama di sekolah, dan
para dai lebih gemar mendoktrinasi anak-anak atau jamaahnya untuk mencap
negatif pemeluk keyakinan lain daripada mengajak untuk berbelas kasih tanpa
memandang bulu. Slogan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin hanya
kebohongan yang sering digembor-gemborkan karena menurut saya istilah rahmatan
lil muslimin lebih cocok, itupun harus memakai tanda bintang kecil seperti yang
terdapat dalam iklan-iklan shampo sebab umat muslimnya pun harus yang sepaham
dengannya, jika tidak, tentu tak lepas dari justifikasi sesat-kafir. Saya
taksir, keadaannya tak jauh berbeda dengan umat Kristen. Jadi wajar jika
(sebagian) umat Islam cenderung menyangsikan Ahok-Kristen sebagaimana
(sebagian) umat Kristen meragukan Anis-Islam. Tak perlu menyangkal bahwa memang
ada perasaan takut yang kuat di antara kedua belah pihak jika pemegang
kekuasaan DKI dipegang oleh yang bukan dari golongan mereka.
Padahal negative thinking ini memiliki dua sisi kemudaratan,
internal dan eksternal. Yakinlah bahwa selama adanya pikiran negatif, maka
orang tersebut tidak akan memiliki kedamaian hakiki di dalam dirinya, pun tak
dapat menjalin hubungan horizontal yang positif, cenderung menjaga jarak. Oleh
karena itu perlu adanya perombakan besar-besaran dari para pemimpin keagamaan
perihal ajaran agamanya mengenai agama lain. Dahulukanlah –bagi umat Muslim–
ayat-ayat universal –demi terciptanya kemaslahatan dunia– semisal Al-Hujarat
9-13 atau hadits “tidak ada seorang pun di antaramu memiliki iman sampai
kamu mengasihi saudaramu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri.” daripada
ayat-ayat polemik yang sangat terikat pada konteks tertentu. Jangan tanya
bagaimana sumber-sumber Kristiani berbicara soal ini. 1 Yohanes 4: 20 dengan
indah menyampaikan, “Jikalau seseorang berkata: ‘aku mengasihi Allah’, dan
ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta karena barangsiapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak
dilihatnya.” Selain itu upaya-upaya aplikatif-praktis dalam mengembangkan
kesalingpercayaan antar umat beragama perlu ditingkatkan di seluruh lini.
Tahukah kalian wahai orang yang mengaku bertuhan plus beragama,
bahwa kita memiliki banyak PR? segudang permasalahan seperti kebobrokan moral
bangsa, ketamakan dan gaya hidup hedenonis menantikan agama untuk bertindak sebagai
solusinya. Aduhai indahnya jika pemeluk agama-agama bergotong-royong memajukan
martabat bangsa. Ingat sekali lagi, agama dibuat untuk kepentingan manusia,
bukan manusia diciptakan untuk agama. Kalau agama malah menjadi ladang
perpecahan, pertarungan, lantas jangan salahkan jika kaum ateis tertawa!
Bekasi, 20 April 2017
sumber gambar Ahok-Anis: VoxNtt.com
bagus sekali kang Jiva . . . :)
BalasHapusSemoga tulisan Fajrul bisa lebih bagus lagi.
BalasHapus