Beberapa menit yang lalu saya melaksanakan shalat isya berjamaah di
musholla dekat rumah –seperti biasa. Mungkin sudah sejak SMA saya melakukan hal
tersebut (shalat berjamaah di masjid/musholla) tapi satu hal yang membuat saya sedih
bukan kepalang yaitu ternyata saya belum benar-benar berkomunikasi dengan-Nya,
yang saya lakukan hanyalah sesuatu tindakan kebiasaan (habbit) yang dilakukan
berulang-ulang tanpa “kesadaran”. Mungkin saya hanya kecanduan shalat, bukan
benar-benar shalat.
Waktu itu sang imam langsung –setelah sujud- berposisi tahiyat
akhir padahal kami baru melaksanakan tiga rakaat. Saya, yang hendak berdiri karena
ada perasaan bahwa jumlah rakaat belum sempurna, seketika mengurungkan niat dan
turun kembali (menggerakkan kaki untuk berposisi tahiyat akhir). Saya sempat
berpikir sejenak “sepertinya baru tiga rakaat deh...”. Mata saya melirik
ke kanan dan kiri. Dan saya melihat semua orang juga melakukan hal yang sama
dengan saya, alih-alih mengucapkan tasbih (pertanda sang imam melakukan
kesalahan).
Saya tunggu beberapa detik mungkin akan ada satu dua orang yang
akan mengucapkannya, tapi ternyata semua terdiam. Saya pun begitu, tidak berani
berucap karena tidak yakin apakah sang imam benar-benar telah lupa. Sampai
akhirnya shalat berakhir, barulah beberapa orang riuh rendah mengatakan bahwa
sepertinya kami hanya melaksanakan shalat tiga rakaat saja.
Saya malu bukan kepalang. Demi Allah, saya malu dengan diri saya
sendiri, malu dengan gelar yang saya punya, malu dengan banyaknya buku yang
telah saya baca. Lalu saya membego-begokan diri sendiri. Beristigfar
seistigfar-istigfarnya.
Saya memang tidak khusuk ketika itu. Saat imam membaca Ar-Rahman,
alih-alih berusaha meresapinya, saya malah melakukan “kuda-kuda” takut-takut
sang imam salah membacanya atau ada ayat yang dilewatkannya. Sebab, terasa oleh
saya dalam beberapa waktu sang imam melompati satu ayat dalam sebuah kesempatan
yang mana saya tidak sempat mengoreksinya. Maka dari itu, saya tidak mau
mengulangi kesalahan itu lagi.
Hal yang sama terjadi sewaktu rakaat kedua/ketiga berlangsung.
Terbesit di pikiran mengenai kelanjutan studi S2 saya, apakah saya akan
diterima di kampus X atau tidak; apakah saya akan mendapat beasiswa atau tidak,
dsb. Hilang satu masuk yang baru. Entah mengapa saya kepikiran mantan,
mengenang beberapa peristiwa yang pernah kami alami; juga bertanya-tanya bagaimana
kabarnya saat ini; apa kesibukannya; bagaimana jika saya ngechat dia seusai
shalat. Gangguan silih berganti hingga sang imam mengucapkan salam.
Sejujurnya tidak biasanya saya tidak khusuk. Meskipun definisi
khusuk masih beragam, setidaknya dalam banyak kesempatan bershalat, sekuat mungkin
saya berusaha selalu meresapi bacaan shalat. “jangan bertakbir sebelum jiwa
dan raga kalian benar-benar hadir (untuk bersiap shalat) juga jangan dimulai sebelum
kalian menghadirkan Tuhan di hadapan diri kalian.” adalah wejangan salah
satu dosen saya yang senantiasa terngiang-ngiang. Terlebih setelah saya membaca
buku karangan Abu Sangkan Pelatihan Shalat Khusuk, semakin membuat saya
menikmati shalat, malah kalau bisa berlama-lama saya lakoni. Sayang, sepertinya
hal itu tidak berlaku untuk shalat isya ini.
Selanjutnya saya juga menyesali “kebodohan” jamaah yang hadir.
Mengapa dari sekian banyak makmum (musholla terisi penuh) tidak ada yang sadar?
mengapa tak satu pun dari mereka yang mengucapkan tasbih? Dengan sangat yakin
saya menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang khusuk. Pikirannya,
sama dengan saya, sedang melayang-layang ke sana ke mari tersibuki oleh urusan
duniawi. Saya kesal sekali saat itu. Saya marah, kepada diri sendiri maupun
mereka. Inikah potret masyarat muslim Indonesia? sebuah miniatur yang
merefleksikan rendahnya maqam spiritualitas bangsa.
Patut diakui bahwa sepertinya kita (umat muslim) masih berkondisi mabuk,
tidak sadar akan segala sesuatu yang dilakukan, terjerembab oleh lingkaran
setan realitas-realitas yang semu. Kita terlalu malas untuk berpikir, merenung,
berkontemplasi, atau mengkritisi keyakinan dan lebih senang bersikap pragmatis
yang picik. Saya berencana, sembari mengintrospeksi diri, perlukah saya mengganti
suasana dengan berpindah tempat langganan shalat ke jamaah yang lebih paham
agama?
Bekasi, 8 April 2017
Komentar
Posting Komentar