Judulnya terkesan berbau
teologis-dogmatis tetapi memang seperti itulah adanya. Tulisan ini mengisahkan
perjalanan panjang saya dalam rangka menuju-Nya, perjalanan yang panjang nan
penuh rintangan. Starting poinnya ada di penghujung SMA.Kala itu, sejak
SMP sampai SMA sepertinya saya hanya bermain-main di roda pemikiran mainstream,
berhasrat dapat bersekolah di tempat unggulan/favorit. Alasannya
bukan supaya mendapat pendidikan yang terbaik, melainkan hanya karena gengsi
semata.Apalagi saat saya “ngotot” memilih jurusan IPA, padahal saya tidak
memiliki kemampuan yang baik dalam ilmu eksakta.Terbukti,
hampir semua ulangan hasilnya selalu kecil, itupun sudah plus mencontek.
Jangan tanya mengapa saya tidak mengambil jurusan IPS. Siswa mana
yang mau memilih jurusan itu?sebuah jurusan yang telah tercap buruk oleh semua
kalangan, baik para orang tua maupun guru. Mereka –baik secara langsung maupun
tidak– telah mendoktrin kami untuk menghindari jurusan tersebut. Hanya
orang-orang bodohlah yang pantas masuk jurusan IPS, katanya. Mereka
melanjutkan, kami akan sulit memperoleh pekerjaan jika tidak mengambil IPA.
Singkat cerita, setengah sadar saya
menyadari bahwa ilmu eksakta memang
bukanlah bidang saya. Selama
tiga tahun (SMA) nyatanya saya lebih suka membaca, khususnya buku-buku agama. Makanya,
setelah berpikir matang-matang, baiknya saya melanjutkan kuliah studi
keagamaan, berbeda dengan pendapat ayah saya yang cenderung memaksa saya untuk
mengambil jurusan teknik yang katanya lebih prospektif. Karena
desakan[1],
saya terpaksa mendaftarkan diri ke dua politeknik negeri lewat jalur nilai
rapor. Alhamdulillah,
sepertinya Tuhan ada dipihak saya. Keduanya
menolak saya. Ayah saya kecewa sedangkan saya bahagia.
Tidak selesai di sana, ketika hendak
mendaftar ujian SNMPTN Tulis, lagi-lagi ayah saya memaksa saya untuk mengambil
jurusan teknik tetapi diam-diam saya malah memilih yang lain. Ada jurusan Ilmu
Pendidikan Agama Islam di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang kuotanya
sekitar 21 orang. Saya pikir jika saya mengikuti anjuran ayah saya, pengalaman
yang lalu akan mungkin sekali terulang, terlebih pendaftar jurusan teknik di
universitas negeri selalu membludak.Selain
itu, andai saja saya keterima, saya sangat tidak yakin dapat belajar dengan
baik di sana. Itu bukan passion saya.
Alhasil saya keterima di UPI, dan saya senang sedangkan ayah saya kecewa –lagi. Mau makan apa kamu kalau jadi guru, katanya. Sayangnya saya belum
berpikir sejauh itu. Saya hanya senang
akhirnya saya diridhai untuk belajar agama, yang saya yakin adalah merupakan passion
saya.
Saya bersyukur sekali bisa kuliah keagamaan
di UPI, membuat saya tercerahkan.UPI telah melebarkan mindset
saya yang
selama ini terkubur oleh jurang kepicikan hidup yang serba pramatis. Mulailah
kegemaran membaca saya meningkat berkali-kali lipat. Bukan hanya itu, saya
juga suka berorganisasi dan berdiskusi/debat. Dan di beberapa tahun akhir
perkuliahan, saya pun concern
menulis, baik berupa artikel, opini, maupun buku. Selama
kuliah saya merasa kalau saya mendapatkan sesuatu yang melebihi ekspektasi
sebelumnya. Dosen, teman
diskusi yang beragam, dan bahan bacaan bisa dikatakan sangat kental mewarnai
perjalan proses pendewasaan saya. Kalau boleh menyebut nama, barangkali ada
Prof. Endis Firdaus –dosen pemikir “liberal” yang sangat gila membaca– dan Dr.Aam
Abdussalam –dosen Tafsir Quran sekaligus ketua prodi IPAI kedua– dari kalangan
pengajar. Panji, Ogie, dan Hendrik, dari teman-teman seangkatan yang kritis dan
luas pengetahuannya. Juga Pergulatan “dingin” dua organisasi ekstra kampus (KAMMI
dan PMII) yang akhirnya membentuk sintesa-sintesa unik dalam diri saya.Tak lupa
buku-buku karangan Prof. Quraish Shihab dan Cak Nur, Cak Nun dan belakangan
tokoh-tokoh nyata di dunia virtual Afi Nihaya Faradisa[2]
dan Muhammad Nurul Banan. Semuanya
semakin membuat saya bergelora untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi lagi.
Ghirah untuk
berkuliah ke luar negeri sudah tak tertahankan.Tepatnya saya ingin kuliah di
Birmingham University, seperti senior saya. Segera
setelah lulus dan diwisuda, saya menuju Kampung Inggris di Pare, apalagi kalau
bukan untuk belajar bahasa Inggris yang menjadi syarat mutlak dalam kegiatan perkuliahan
internasional. Tak tanggung-tanggung,
baik pihak kampus maupun beasiswa menuntut skor 6.5 pada IELTS. Jangankan 6.5,
mendengar kata IELTS saja –awalnya – saya ketakutan, mendengar perkataan banyak
kerabat yang menyatakan bahwa IELTS jauh lebih sulit dibanding TOEFL. Ironinya saat itu saya hanya memiliki skor TOEFL-like 480. Makanya di sana
saya mengambil program dasar dulu hingga merasa mantap untuk mengambil IELTS preparation.
Kira-kira empat setengah bulan saya
mengambil course di Pare
dengan total waktu kotor enam bulan. Tapi tidak mengapa, sebab saya memang
menargetkan satu tahun untuk belajar bahasa Inggis. Di
bulan pertama saya mengambil program grammar
dasar di Elfast English Course. Selanjutnya
sepanjang satu bulan setengah mengambil program speaking di beberapa
lembaga. Sempat break
dua minggu kemudian saya memberanikan diri untuk langsung mengambil program
IELTS selama satu bulan di Elfast. Di
tempat inilah saya bertemu teman-teman yang kesemuanya memiliki target kuliah
ke luar negeri, sama dengan saya.
Sulitnya mencerna materi, menjadikan
saya tersendat di range 5.5 sedangkan ambisi untuk segera berkuliah
semakin tak tertahankan. Setelah
berpikir matang-matang, saya memutuskan untuk kuliah di dalam negeri saja,
setidaknya untuk S2. Maka saya berpindah haluan dari IELTS ke TOEFL dengan
target lolos di UI atau UGM. Setelah selesai program IELTS, saya mengambil
program TOEFL Camp di tempat yang sama.
Menurunkan
derajat kesulitan bukan berarti semuanya berjalan tanpa hambatan. Di scoring/try out
pertama saya
hanya mendapat 440, sedangkan target adalah di atas 500 supaya dapat mendaftar
ke berbagai kampus dalam negeri mapun lembaga pemberi beasiswa. Hanya
saja karena berada dalam satu kamar dengan teman-teman yang sangat bersemangat
belajar saya tetap semangat. Mungkin jika saya tidak memiliki lingkungan belajar yang seperti
ini, tidak akan ada kemajuan yang signifikan dalam proses pembelajaran bahasa
Inggris saya.
Selama 12 kali skoring/try out yang
diadakan setiap dua hari sekali –dalam waktu sebulan saya baru bisa memperoleh
skor di atas 500 satu kali, itupun di skoring terakhir. Sisanya mentok
di range 470. Tetapi karena mau tidak
mau harus sesegera mungkin untuk mendaftar LPDP mengingat tenggat waktu yang
semakin sempit, saya pun mengikuti real test di Pare. Puji Tuhan saya
menggaet skor 510 yang berarti saya dapat memenuhi persyaratan untuk daftar
beasiswa yang paling
banyak diminati anak bangsa ini.
Dua minggu setelah itu saya lekas
mengikuti ujian seleksi masuk (SIMAK) pascasarjana UI di Depok sebab jika saya
menundanya ditakutkan materi-materi bahasa Inggris yang dipelajari akan hilang.
Mengambil jurusan Kajian Timur Tengah dan Islam[3]
dengan peminatan Kajian Islam (Tasawuf), saya pasrahkan semuanya pada Yang “di
atas” berhubung soal-soalnya yang begitu sulit. Untuk Bahasa Inggris, memang
memiliki karakter soal yang mirip stucture
dan reading TOEFL,
tetapi tingkat kesulitan readingnya di atas soal real test TOEFL dengan panjang 40-50 baris per-teks. Tidak berhenti di sana, opsi
jawabannya berbeda dengan TOEFL yang lebih bersifat eksplisit, reading
SIMAK UI menuntut pembacanya untuk memahami teks dengan
sangat sangat teliti, belum
lagi–menurut saya– pemakaian grammarnya setaraf IELTS membuat saya
kelabakan. Tes Potensi Akademik (TPA) lebih sulit lagi. Sebagai
orang yang bergelut di keilmuan sosial, sulit bagi saya untuk mengerjakan tipe
soal matematis (aritmatika,
deret, dll) yang –kalau
tak salah– berjumlah 40 soal. Oleh karenanya saya hanya menjawab kurang dari 10
soal berhubung jika salah menjawab akan ada
pengurangan skor.
Menunggu hasil pengumuman merupakan
saat-saat yang paling menegangkan. Saya tidak memiliki ketenangan di minggu
terakhir, bukan karena diri sendiri takut menerima berita buruk, melainkan karena melihat kedua orang tua saya yang
sangat berharap akan kelulusan saya, dan inilah yang membuat saya tertekan.
Tidak ada masalah dengan saya jika tidak keterima di UI, walaupun sedih atau
kecewa menghampiri, tetapi saya sudah melatih diri untuk senantiasa mengolah
batin[4].
Terlebih saya juga masih dapat mendaftar di kampus lain. UI bukanlah segalanya
bagi saya.
Hari H tiba. Katanya jam 10 akan
dibuka pengumumannya, tetapi saat saya mengecek ternyata diundur menjadi jam
dua siang. Saya ketar-ketir, betapapun, sedapat mungkin untuk tidak terlihat oleh siapapun. Dan,
akhirnya waktunya tiba. Saya
diterima. Ibu saya senang
begitu pun dengan saya, karena ternyata
Tuhan memberi kesempatan, atau lebih tepatnya amanah kepada saya untuk dapat
memperdalam
ilmu guna menuju-Nya.
Berkenaan dengan pemilihan jurusan Kajian
Timur Tengah dan Islam peminatan Kajian Islam (Tasawuf) memang memiliki relasi yang erat dengan transformasi pemahaman keislaman saya ke hal-hal yang sifatnya lebih transendental-mistik. Tasawuf,
menurut sebagian muslim merupakan inti di dalam agama Islam karena jika telah
mencapai maqam tertentu (hakikat/makrifat), seorang muslim akan merasakan
nikmatnya berada di dekat Tuhan (versi tasawuf akhlaqi) bahkan bersatu (wahdatul
wujud) atau melebur (fana) di/dalam Tuhan (versi tasawuf falsafi).
Tabir (mukasyafah) atau mata batin akan dibuka oleh Tuhan sebagai hadiah
supaya lebih cinta kepada-Nya, berbakti kepada-Nya. Pengetahuan akan kebenaran
bukan lagi bersifat ilmu al-yaqin yang
kemungkinan benar maksimalnya sekitar 75% melainkan ain al-yaqin (>90%)
bahkan haq al-yaqin (100%). Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari,
“siapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah
menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku
dengan suatu amal lebih Ku-sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Aku
wajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku
akan menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang
ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul denganna, sebagai kaki
yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku beri dan jika
ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku lindungi.”
Saya menyadari,
tidak mudah untuk melakoni tasawuf, bahkan terkadang ada jurang pemisah yang
besar antara ahli teori tasawuf (dosen/cendekiawan) yang sifatnya lebih
keilmiahan dengan para pelakon tasawuf (mursyid,ulama, dll) yang lebih
mengedepankan
praktik. Meskipun begitu, saya sungguh memiliki keinginan yang kuat untuk
menggapainya. Entah kapan itu terjadi tetapi semoga proses ini semakin dapat
mematangkan spiritualitasku ke maqam yang lebih dewasa.[]
[1] Saya tidak akan melakukan hal ini kepada anak saya kelak. Suatu
kesalahan besar jika orang tua memaksakan kehendak kepada anaknya.
[3] Pertanyaan “bodoh” yang
sering kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak: “kok belajar agama di UI,
kenapa tidak di UIN?” atau “kok belajar keislaman di UPI, kenapa tidak di
UIN?”. Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini selain sangat subjektif juga kurang
etis karena biasanya akan menyinggung lawan bicara. Untuk pertanyaan semacam
ini misalnya, si penanya sebenarnya terlihat memiliki pemikiran yang sempit
seakan universitas-universitas umum semacam UI, UGM, Unpad hanya menyediakan
ilmu-ilmu “duniawi” sedangkan ilmu-ilmu akhirat hanya ada atau pantas diajar di
kampus-kampus agama semacam UIN, IAIN, dll. Tidakkah mereka tahu bahwa
kampus-kampus besar di dunia juga memiliki prodi/jurusan keagamaan yang bahkan
bisa mengalahkan/bersaing dengan prodi/jurusan keislaman di kampus berbau
keagamaan seperti Harvard University, Oxford University, Sorbonne University,
Leiden University, McGill University, dll. Cendekiawan-cendekiawan muslim
cemerlang banyak berasal dari universitas-universitas itu. Tak pelak, begitu
pula yang terjadi dengan kampus-kampus umum yang ada di Indonesia.
Pertanyaan seperti
ini pun berlaku sebaliknya. Jika mereka menganggap bahwa kampus-kampus berbau
keagamaan hanya menyediakan jurusan-jurusan keagamaan, maka mereka sungguh kuper. Universitas Al-Azhar Kairo tidak
hanya memiliki jurusan-jurusan keagamaan yang bagus, mereka juga memiliki
jurusan umum seperti kedokteran, teknik, ilmu sosial, dsb, yang tak kalah bagus
dengan kampus-kampus umum. Kalau pertanyaan semacam “HAH...di UIN ada jurusan
kedokteran?” atau “HAH...di UI ada jurusan keislaman?” keluar dari bibir anda, sudah
dipastikan berarti anda kuper.
Pertanyaan “bodoh”
lainnya yang kadang keluar dari mulut kita seperti: “kenapa kuliah di UIN
Jogja, kan ada UIN di Bandung?” si
penanya berkata seperti ini hanya karena yang ditanya adalah orang Bandung.
Atau “kenapa tidak kuliah di luar negeri saja?” atau “kenapa kuliah di swasta,
tidak di negeri saja?” Untuk yang bertanya seperti ini, saya ingin mengajukan
pertanyaan, “memangnya sudah seberapa kenal dia dengan lawan bicaranya (yang
ditanya) sampai seakan-akan dia ingin menyatakan bahwa keputusan lawan
bicaranya adalah kurang tepat?”. Maka dari itu, bijaklah dalam bersikap.
Daripada sok menasihati, lebih baik turut simpati dengan pilihan studi yang
telah mereka pilih.
[4]Senang sewajarnya jika mendapat kabar gembira atau menerima
kenyataan yang sesuai harapan dan sedih sewajarnya jika mendapatkan yang
sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar