Ketika Nabi Muhammad masih hidup, tidak ada kesulitan yang berarti bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan sesuai tuntunan Ilahi. Jika ada kebingungan, mereka tinggal berkonsultasi kepadanya, dan Muhammad akan memberikan panduan yang telah Allah berikan kepada-Nya (Alquran), atau sekadar mempersembahkan sesuatu yang diilhami darinya (sunnah/hadits). Meski demikian, di zaman ini format ajaran Islam tidak melulu homogen, sebab Rasulullah sendiri, dalam beberapa urusan, memberi kelapangan kepada para pengikutnya untuk serta merta ikut nimbrung membentuk suatu produk hukum Islam, misalnya tentang tata cara pengumandangan adzan.
sumber gambar: www.masuk-islam.com
Di tambah, masih dalam beberapa persoalan, Nabi memang membolehkan mereka untuk berbeda. Konon Umar bin Khattab pernah mendengarkan suatu bacaan Alquran yang “bid’ah” dari salah seorang muslim. Ia geram lalu “menyeret” orang tersebut ke hadapan Rasulullah. Tanpa diduga, Muhammad malah mengatakan bahwa orang tersebut telah melakukan sesuatu yang benar, tidak menyimpang sama sekali. Itulah yang belakangan kita sebut sebagai ragam pembacaan Alquran.
Lalu zaman berganti, saat Nabi Muhammad wafat jumlah umat muslim semakin banyak saja bahkan mulai tersebar di berbagai wilayah berkat ekspansi yang dilakukan oleh para sahabat. Hal itu berimplikasi pada dua hal, pertama, banyaknya penganut muslim baru (mualaf) yang tidak begitu memahami ajaran Islam, oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan. Kedua, terbitnya persoalan-persoalan baru yang juga kompleks yang hukumnya tidak ditemukan secara eksplisit dalam dua sumber normatif. Di sinilah para pengganti Nabi (khulafaurasyidin) menjalani tugas yang amat berat untuk menjawab aneka tantangan zaman yang berlandaskan wahyu.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Rasulullah yang terpilih menjadi penggantinya, menjalani amanah kepemimpinan selama dua tahun saja (632-634 M), tetapi peristiwa yang terjadi di eranya amat begitu mencekam. Bagaimana tidak, walaupun di satu sisi banyak umat lain yang memeluk Islam, tetapi tak sedikit pula yang hendak hengkang darinya (murtad), atau enggan membayar zakat. Bahkan ada pula yang mengaku-ngaku sebagai Nabi. Dalam menghadapi masalah-masalah ini, juga kasus lainnya, ia mendekati Alquran untuk dijadikan sebuah solusi. Tetapi jika ia tak menemukan hukumnya di dalam Alquran, maka ia akan beralih ke sunnah Rasulullah yang diketahuinya. Apabila tidak ditemukan juga hukumnya, maka ia akan mendatangi sahabat Rasulullah yang barangkali memiliki perbendaharaan sunnah lebih luas darinya. Di antara mereka ialah Ali bin Abi Thalib. Seandainya masih tidak ditemukan hukumnya, jalan terakhir ialah dengan mengumpulkan para sahabat ahli untuk merundingkannya (ijma). Literatur minor mengungkapkan bahwa Abu Bakar juga menggunakan ijtihad pribadi dalam menghadapi suatu perkara baru. Agaknya pengangkatan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, dapat dijadikan salah satu ijtihad pribadi menantu Rasulullah ini.
Berbeda dengan Abu Bakar, tampuk kepemimpinan Umar jauh lebih lama yakni sekitar 11 tahun (634-644 M) dengan jumlah daerah dudukan yang lebih banyak lagi. Untuk mengantisipasi pelbagai pesoalan yang hadir secara sektoral, sikap Umar ialah dengan mengirim para sahabat ahli ke beberapa tempat untuk dapat dijadikan rujukan dalam membina umat. Mereka diberi tugas untuk membahas hukum-hukum bagi aneka permasalahan yang tumbuh berdasarkan Alquran dan as-sunnah, sembari membuka peluang ijtihad jika itu diperlukan. Umar sendiri telah melakukan banyak ijtihad individu seperti menetapkan tahun Islam (hijriyah) berdasarkan peredaran bulan dan pengukuhan jumlah shalat tarawih menjadi 23 rakaat yang dilaksanakan secara berjamaah. Betapapun, alih-alih mendapat celaan, para sahabat malah mengapresiasinya.
Tetapi ada yang unik dari sosok Umar ini yang menyebabkan sebagian kalangan menyatakan bahwa ia adalah khalifah yang paling “liberal” karena, baik secara langsung maupun tidak, telah berani menetapkan suatu hukum yang berbeda dari gambaran harfiah suatu teks dengan beralih kepada semangat etik Alquran (maslahat). Sebagai contoh, dalam surat At-Taubah ayat 60 tertulis jelas bahwa mualaf termasuk golongan yang menjadi penerima zakat, tetapi Umar malah menghentikan pembagian zakat baginya dengan pertimbangan bahwa saat itu umat Islam telah kuat (stabil) sehingga tidak perlu lagi memberi keistimewaan kepada mereka. Anwar Harjono dalam bukunya Hukum Islam menambahkan bahwa penyebab dihilangkannya golongan mualaf karena ia telah tidak melihat illat bagi mereka.
Lagi, dalam surat Al-Maidah ayat 38 tersurat bahwa seorang pencuri harus dihukumi potong tangan, tetapi Umar tidak melaksanakan hukum tersebut, atau lebih tepatnya menunda untuk sementara waktu karena di masa pemerintahannya sedang terjadi masa paceklik di semenanjung arabia. Selain itu di dalam surat Al-Maidah ayat 5 terdapat hukum dibolehkannya pria muslim menikahi ahli kitab (Yahudi dan Kristen) akan tetapi Umar malah melarangnya dengan alasan untuk melindungi kedudukan wanita muslim. Ada pula tentang hukum talak tiga yang dalam konteks saat itu diubahnya demi menjaga kehormatan wanita. Ironi, jasanya yang besar terhadap dialektika hukum Islam ini kurang dapat dibayar dengan baik oleh para pembencinya, Abu Lu’luah, seorang Majusi yang dengan gagah berani menusuk dada Umar saat ia sedang mendirikan shalat.
Adalah Utsman bin Affan yang kemudian menggantikan posisi Umar. Saat itu ia sudah begitu renta dan agak lemah (70 tahun) yang menurut sebagian kalangan membuat banyak anggota sukunya (golongan Umayyah) mengambil kesempatan untuk memperkaya diri dengan mengambil alih posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Di periode pemerintahannya yang cukup lama, Utsman pernah melakukan ijtihad akbar di mana ia melakukan standarisasi mushaf Alquran dengan membakar segala ragam bacaan Alquran lainnya (mushaf Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dll).
Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi Utsman yang wafat dibunuh oleh para pemberontak. Kondisi perpolitikan yang serba tak stabil ini membuat sebagian cendekiawan kesulitan melacak kontribusinya dalam bidang perkembangan hukum Islam. Beruntung beberapa literatur, baik dari sunni maupun syiah, dapat merekamnya. Salah satunya ialah pengqiyasan hukuman bagi peminum khamr dengan pelaku qadzaf (menuduh orang lain berzina). Alasannya karena seseorang yang mabuk yang disebabkan oleh meminum khamar akan mengigau. Apabila dia mengigau, maka ucapannya tidak akan bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Oleh sebab itu, hukuman orang yang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina, yakni 80 kali dera.
Berbicara mengenai hukum Islam di era khulafaurasyidin, maka kita akan menemukan keragaman pandangan meski hal ini terjadi di kalangan para sahabat, padahal mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Rasulullah dan berguru padanya secara langsung. Tetapi kalau kita memahami bahwa setiap orang memiliki kualitas yang berbeda-beda, maka sebuah perbedaan akan dimaklumi. Ada yang sangat berhati-hati, ada pula yang longgar. Hasby Ash-Shiddieqy mengungkapkan bahwa Ibnu Umar, Zubair bin Awwam, dan Ibnu Zubair adalah di antara yang tidak berani melakukan ijitihad personal meski ilmu mereka amat mendalam. Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib, Siti Aisyah, dan Ibnu Abbas yang memiliki nyali untuk menarik makna syariat secara lebih mendalam dan rasional. Di tengah kedua sikap ini, ada Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit yang tidak berani berijtihad tetapi menerima ijtihadnya Umar. []
sumber gambar: www.masuk-islam.com
Di tambah, masih dalam beberapa persoalan, Nabi memang membolehkan mereka untuk berbeda. Konon Umar bin Khattab pernah mendengarkan suatu bacaan Alquran yang “bid’ah” dari salah seorang muslim. Ia geram lalu “menyeret” orang tersebut ke hadapan Rasulullah. Tanpa diduga, Muhammad malah mengatakan bahwa orang tersebut telah melakukan sesuatu yang benar, tidak menyimpang sama sekali. Itulah yang belakangan kita sebut sebagai ragam pembacaan Alquran.
Lalu zaman berganti, saat Nabi Muhammad wafat jumlah umat muslim semakin banyak saja bahkan mulai tersebar di berbagai wilayah berkat ekspansi yang dilakukan oleh para sahabat. Hal itu berimplikasi pada dua hal, pertama, banyaknya penganut muslim baru (mualaf) yang tidak begitu memahami ajaran Islam, oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan. Kedua, terbitnya persoalan-persoalan baru yang juga kompleks yang hukumnya tidak ditemukan secara eksplisit dalam dua sumber normatif. Di sinilah para pengganti Nabi (khulafaurasyidin) menjalani tugas yang amat berat untuk menjawab aneka tantangan zaman yang berlandaskan wahyu.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Rasulullah yang terpilih menjadi penggantinya, menjalani amanah kepemimpinan selama dua tahun saja (632-634 M), tetapi peristiwa yang terjadi di eranya amat begitu mencekam. Bagaimana tidak, walaupun di satu sisi banyak umat lain yang memeluk Islam, tetapi tak sedikit pula yang hendak hengkang darinya (murtad), atau enggan membayar zakat. Bahkan ada pula yang mengaku-ngaku sebagai Nabi. Dalam menghadapi masalah-masalah ini, juga kasus lainnya, ia mendekati Alquran untuk dijadikan sebuah solusi. Tetapi jika ia tak menemukan hukumnya di dalam Alquran, maka ia akan beralih ke sunnah Rasulullah yang diketahuinya. Apabila tidak ditemukan juga hukumnya, maka ia akan mendatangi sahabat Rasulullah yang barangkali memiliki perbendaharaan sunnah lebih luas darinya. Di antara mereka ialah Ali bin Abi Thalib. Seandainya masih tidak ditemukan hukumnya, jalan terakhir ialah dengan mengumpulkan para sahabat ahli untuk merundingkannya (ijma). Literatur minor mengungkapkan bahwa Abu Bakar juga menggunakan ijtihad pribadi dalam menghadapi suatu perkara baru. Agaknya pengangkatan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, dapat dijadikan salah satu ijtihad pribadi menantu Rasulullah ini.
Berbeda dengan Abu Bakar, tampuk kepemimpinan Umar jauh lebih lama yakni sekitar 11 tahun (634-644 M) dengan jumlah daerah dudukan yang lebih banyak lagi. Untuk mengantisipasi pelbagai pesoalan yang hadir secara sektoral, sikap Umar ialah dengan mengirim para sahabat ahli ke beberapa tempat untuk dapat dijadikan rujukan dalam membina umat. Mereka diberi tugas untuk membahas hukum-hukum bagi aneka permasalahan yang tumbuh berdasarkan Alquran dan as-sunnah, sembari membuka peluang ijtihad jika itu diperlukan. Umar sendiri telah melakukan banyak ijtihad individu seperti menetapkan tahun Islam (hijriyah) berdasarkan peredaran bulan dan pengukuhan jumlah shalat tarawih menjadi 23 rakaat yang dilaksanakan secara berjamaah. Betapapun, alih-alih mendapat celaan, para sahabat malah mengapresiasinya.
Tetapi ada yang unik dari sosok Umar ini yang menyebabkan sebagian kalangan menyatakan bahwa ia adalah khalifah yang paling “liberal” karena, baik secara langsung maupun tidak, telah berani menetapkan suatu hukum yang berbeda dari gambaran harfiah suatu teks dengan beralih kepada semangat etik Alquran (maslahat). Sebagai contoh, dalam surat At-Taubah ayat 60 tertulis jelas bahwa mualaf termasuk golongan yang menjadi penerima zakat, tetapi Umar malah menghentikan pembagian zakat baginya dengan pertimbangan bahwa saat itu umat Islam telah kuat (stabil) sehingga tidak perlu lagi memberi keistimewaan kepada mereka. Anwar Harjono dalam bukunya Hukum Islam menambahkan bahwa penyebab dihilangkannya golongan mualaf karena ia telah tidak melihat illat bagi mereka.
Lagi, dalam surat Al-Maidah ayat 38 tersurat bahwa seorang pencuri harus dihukumi potong tangan, tetapi Umar tidak melaksanakan hukum tersebut, atau lebih tepatnya menunda untuk sementara waktu karena di masa pemerintahannya sedang terjadi masa paceklik di semenanjung arabia. Selain itu di dalam surat Al-Maidah ayat 5 terdapat hukum dibolehkannya pria muslim menikahi ahli kitab (Yahudi dan Kristen) akan tetapi Umar malah melarangnya dengan alasan untuk melindungi kedudukan wanita muslim. Ada pula tentang hukum talak tiga yang dalam konteks saat itu diubahnya demi menjaga kehormatan wanita. Ironi, jasanya yang besar terhadap dialektika hukum Islam ini kurang dapat dibayar dengan baik oleh para pembencinya, Abu Lu’luah, seorang Majusi yang dengan gagah berani menusuk dada Umar saat ia sedang mendirikan shalat.
Adalah Utsman bin Affan yang kemudian menggantikan posisi Umar. Saat itu ia sudah begitu renta dan agak lemah (70 tahun) yang menurut sebagian kalangan membuat banyak anggota sukunya (golongan Umayyah) mengambil kesempatan untuk memperkaya diri dengan mengambil alih posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Di periode pemerintahannya yang cukup lama, Utsman pernah melakukan ijtihad akbar di mana ia melakukan standarisasi mushaf Alquran dengan membakar segala ragam bacaan Alquran lainnya (mushaf Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dll).
Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi Utsman yang wafat dibunuh oleh para pemberontak. Kondisi perpolitikan yang serba tak stabil ini membuat sebagian cendekiawan kesulitan melacak kontribusinya dalam bidang perkembangan hukum Islam. Beruntung beberapa literatur, baik dari sunni maupun syiah, dapat merekamnya. Salah satunya ialah pengqiyasan hukuman bagi peminum khamr dengan pelaku qadzaf (menuduh orang lain berzina). Alasannya karena seseorang yang mabuk yang disebabkan oleh meminum khamar akan mengigau. Apabila dia mengigau, maka ucapannya tidak akan bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Oleh sebab itu, hukuman orang yang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina, yakni 80 kali dera.
Berbicara mengenai hukum Islam di era khulafaurasyidin, maka kita akan menemukan keragaman pandangan meski hal ini terjadi di kalangan para sahabat, padahal mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Rasulullah dan berguru padanya secara langsung. Tetapi kalau kita memahami bahwa setiap orang memiliki kualitas yang berbeda-beda, maka sebuah perbedaan akan dimaklumi. Ada yang sangat berhati-hati, ada pula yang longgar. Hasby Ash-Shiddieqy mengungkapkan bahwa Ibnu Umar, Zubair bin Awwam, dan Ibnu Zubair adalah di antara yang tidak berani melakukan ijitihad personal meski ilmu mereka amat mendalam. Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib, Siti Aisyah, dan Ibnu Abbas yang memiliki nyali untuk menarik makna syariat secara lebih mendalam dan rasional. Di tengah kedua sikap ini, ada Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit yang tidak berani berijtihad tetapi menerima ijtihadnya Umar. []
Bekasi, 30 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar