Kok jadi KZL yah melihat keloyoan literasi di dalam tubuh keluarga besar IPAI di saat gelombang informasi HOAX dan ujaran kebencian/caci maki kian membludak. Di suasana seperti ini saya malah melihat mereka adem-ayem saja. Mahasiswa aktifnya misalnya, mereka malah termabukkan atau mungkin keasyikan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, hafalan berjuz-juz, proker BEM yang terkesan tak memiliki ruh, dan lain sebagainya. Minim kecintaan terhadap dunia baca-tulis. Padahal syarat sahnya hidup abadi adalah jika manusia mencintai dunia literasi. Soekarno, Hatta, dan Gus Dur, mereka semua adalah penggila buku dan gemar menulis. Sudah melihat perpustakaan pribadi Habibie kan, yang tersorot dalam video klip adzan maghrib di salah satu stasiun televisi? Istri Quraish Shihab mengatakan bahwa ia sebenarnya hanyalah istri kedua dari penulis Tafsir Al-Misbah itu, sebab mantan menteri agama era Soeharto ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis. Konon Prof. Endis Firdaus, guru kita tercintah, sampai harus “membuang” buku-buku yang ada di rumahnya, karena kediamannya tak bisa lagi menampung banyaknya buku yang dimiliki.
Ironinya, di sisi lain, para dosen IPAI pun sepertinya tak mau repot dengan semua persoalan ini. Jujur, saya pribadi sulit sekali melacak ide-ide para dosen yang tertuang dalam tulisan popular. Paling banter, hanya membuat tulisan yang dipublis ke jurnal yang saya sendiri meragukan siapa gerangan yang hendak membacanya. Dugaan kuat saya, tak lebih dari 50 orang saja. Itu pun terlalu saya besar-besarkan. Pernah satu-dua opini Pak Cucu dipublis di beberapa media cetak, tapi entah mengapa sekarang tidak ada lagi.
Tidak hanya mahasiswa dan dosennya, para alumni yang seharusnya dapat dijadikan role model, panutan bagi adik unyu-unyu angkatan pertama, malah menghilang bagaikan ditelan bumi. Sibuk di dunianya masing-masing. Ke mana nih Kang Faro (2012) yang katanya selalu menggaet juara MTQ di bidang Karya Tulis Al-Qur’an? Di mana juga dikau Kang Kiki (2008) yang konon tulisannya sudah menggema di seantero koran nasional?
Untung masih ada Kang Gelar yang meski harus berjuang mati-matian melawan lapar dan dahaga selama 18 jam di negeri Sherlock Holmes, masih senang menyempatkan waktu untuk membuat tulisan. Sesederhana apa pun, saya tetap mengapresiasinya. Ada pula Kang Panji (2012), Kang Irfan (2012), dan Kang Ridwan (2010) yang sesekali memposting tulisannya di Breakpos atau blog pribadinya.
Padahal kalau kita telisik lebih dalam, dari sisi kualitas staf pengajarnya saja misalnya, saya rasa kita berada jauh di atas kampus UIN. Untuk studi S1, di sana masih banyak dosen yang bertitel S2 bahkan untuk ketua prodinya. Lah ini, di IPAI, hampir semua dosennya bergelar doktor. Tak kalah dengan seluruh bahan ajarnya yang menurut saya cukup komprehensif, siap guna untuk menelurkan calon sarjana-sarjana unggul.
Lalu salah di mananya?
Saya akan coba urai satu per satu. Pertama, memang selama kurang lebih empat tahun kita selalu dijejali dengan tugas pembuatan makalah yang sangat berguna bagi pengembangan skill penulisan kita, tetapi sayang, tugas yang demikian masih terkesan bersifat “ritualistik” belaka, jarang ada dosen yang benar-benar memperhatikan, memeriksa, atau mengoreksi tulisan mahasiswanya itu. Mereka lebih concern terhadap berapa banyak jumlah referensi yang dipakai, seberapa jauh isi makalah itu sesuai dengan ide/pemahamannya, atau sedikit lebih jauh, mereka mencoba untuk melihat proses dinamika dialektis antara si pembuat makalah dengan pendengar.
Dari sekian dosen, saya baru melihat aksi dari Pak Saepul saja yang berusaha mengarahkan mahasiswanya bagaimana cara menulis makalah yang “baik” dan “benar” tapi sayang usahanya masihlah setengah hati. Beliau tak memberikan pengajaran bagaimana membuat latar belakang yang baik dan cara menyistematiskan tulisan yang ada di bab dua (isi makalah) dengan teknik parafrase yang benar. Kami hanya tahu bagaimana menyambung satu paragraf dengan paragraf selanjutnya (contoh: Senada dengan Shihab, Tafsir menyatakan bahwa…Selaras dengan pemaparan di atas, dll). Bahkan masih ada mahasiswa yang menyalin utuh kata-kata dari buku yang dikutipnya (tidak melakukan parafrase). Oleh karena itu, jika ingin meningkatkan kualitas literasi mahasiswa IPAI, agaknya para dosen perlu melakukan perbaikan di lini ini.
Kedua, meski saya tak meragukan potensi-potensi mahasiswa IPAI (dari segi pemikiran), terlihat bagaimana mereka sangat aktif saat berdiskusi di kelas, beradu argumen, sampai ada yang lempar kursi (eh, enggak ding) juga terbukti dari banyaknya dari mereka yang menjadi ketua di berbagai organisasi (BEM REMA, Tutorial, PMII, KAMMI, KMNU, Kalam, dll), tapi mereka merasa sulit atau mungkin malas menuangkan gagasannya ke dalam bentuk tulisan. Malah senangnya men-share tulisan orang lain, yang bisa jadi kredibilitasnya patut dipertanyakan. Untuk Muji (2011), Tatang (2011), Fauzan (2014) tolong kaffah dengan kekanan dan kekirianmu. Juga kepada Yang Terhormat, Syaikhul Akbar Surya Dinullah Al-Bantani, seyogyanya bisa menaikkan derajat kefilsufanmu dengan membuat tulisan yang tersistematis dalam akun facebookmu, bukan hanya sekadar satu-dua paragraf, dengan begitu probabilitas keviralan akun akang akan meningkat 100x lipat. Amin.
Ketiga, dan ini yang paling berbahaya, masih banyak yang mengira bahwa menulis adalah kerjaan orang-orang yang “pintar” atau “menonjol” saja. Ini salah besar. Menulis dapat dilakukan oleh siapapun (laki-laki & perempuan), dan tak memandang strata otak karena, mengambil ucapan teman saya, setiap tulisan pasti akan menemukan pembacanya. Misalnya saja, dengan kemunculan tulisan rekan-rekan di medsos saya, setidaknya hal itu dapat meminimalisir hobi “nakal” saya untuk men-like atau nge-love foto-foto Raline Shah dan Pevita yang…ah sudahlah. Sesederhana itu, mengambil ucapan Asep (2013) di salah satu tulisannya.
“Saya bingung harus menulis apa…” adalah ucapan yang terindikasikan dari orang yang kurang gemar membaca, maka mulailah memaksa diri untuk mencintai dunia perbukuan. Pesan saya, jangan sampai menyesal di hari tua saat kita menyadari betapa pahitnya menjadi orang tak berilmu!
Yuk Bergerak !
Kalau tak salah, bidang Pendidikan BEM HIMA IPAI pernah membuat sebuah blog yang diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa IPAI di mana mereka dapat menulis apapun yang disukainya. Apa blog itu masih hidup? saya amat sangat meragukannya. Ya sudah, tak usah dipikirkan, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang IPAI mempunyai pasukan literasi (dari angkatan 2013) yang siap mewadahi seluruh rekan-rekan keluarga IPAI untuk menuangkan segala unek-uneknya di dalam Breakpos. Manfaatkanlah dengan maksimal, bahkan kalau bisa jadikanlah tempat pertarungan intelektual di sana, karena katanya Breakpos menapung berbagai corak pemikiran. Kita dapat saling menyanggah, berdialektika, atau berdakwah dengan cara yang beradab, bukan biadab. Bukankah IPAI mau menjadi ragi?
Jika saran ini diterima, implikasinya para redaktur Breakpos sebaiknya harus lebih totalitas dalam urusan menejerialnya. Cekatan dan jangan mencla-mencle. Kalau bisa, bagaimana pun caranya, jika ingin menyamai bahkan menandingi situs semacam Mojok, Qureta, Geotimes, dll, minimal dapat memposting 5-10 tulisan/per harinya, bukan 1 tulisan per 5 hari. Ketinggalan gerbong nantinya. Pengalaman saya mengirim tulisan ke sini, yang seharusnya dapat sesegera mungkin di-upload, malah di-post beberapa hari kemudian di mana opini tersebut sudah agak basi. Padahal “rukun” website adalah senantiasa up to date. Saran selanjutnya, daripada menggunakan sumber gambar dari internet untuk dijadikan foto sampul, mengapa Breakpos tidak memanfaatkan kontribusi dari Silmi (2014), Vyanti (2014), Kang Panji (2012) atau Kang Ridwan (2010) yang memang tak perlu diragukan lagi keahliannya dalam menggambar? Seharusnya mereka dapat menyetujui hal ini dengan senang hati, hehe.
Last but not least, semoga IPAI semakin jaya dan juara…serta jangan lupa dukung Ridwan Kamil menjadi orang nomor1 se-Jabar !
Bekasi, 4 Juni 2017
sumber gambar: akun facebook GraphicsPedia
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKereeeennnn sepakat meski saya belum mulai nulis kang :D
BalasHapusKetum dpm mah kudu jd role model.hhe
HapusMantap, ada keritikan yang sifatnya membangun..
BalasHapusTinggal action :)
Hapus