sumber gambar: dokumentasi pribadi
Masih ada diantara kita yang memandang bahwa ibadah hanya seputar shalat, dzikir, ngaji, masjid, selain itu bukanlah ibadah. Sayangnya pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sepatutnya kita meyakini bahwa seluruh aktivitas positif betapa pun tidak selalu seputar shalat, dzikir, ngaji, masjid, juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Bukankah kita selalu membaca doa innā shalātĪ wa nusukĪ wa maḥyāya wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamĪn (QS. Al-An’am [6]: 162). Dalam doa ini terdapat pesan suci Allah kepada hambanya untuk selalu mencurahkan segala aktivitasnya mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi tiada lain lillāhi rabbil ‘ālamĪn. Singkatnya seluruh aktivitas harus bernilai ibadah.
Allah sangat cemburu kepada hambanya yang di satu sisi rajin melakukan ibadah ritual tetapi di sisi lain saat melakukan aktivitas keseharian tidak menghadirkan Allah atau tidak lillāhi rabbil ‘ālamĪn, begitu pun sebaliknya. Allah juga cemburu kepada orang-orang yang hanya puas melakukan perbuatan non ritual sembari meremehkan ibadah-ibadah ritual.
Seharusnya dengan adanya sifat Maha Melihat-Nya Allah, menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi umat muslim. Betapa tidak, semua tindak laku dari yang terkecil hingga terbesar, ritual maupun non ritual terlihat oleh-Nya. Sebagai contoh, seorang laki-laki/perempuan yang melakukan perbuatan baik di tempat yang tersembunyi dan tidak ada satu pun orang yang mengetahui, selama perbuatannya diniatkan lillāhi rabbil ‘ālamĪn akan tetap mendapat pahala karena betapa pun tiada yang melihat, Dia melihat perbuatan kita. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Dan katakanlah ‘bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu’ ” (QS. At-Taubah [9]: 105). Begitu luas ladang ibadah yang dapat kita lakukan hingga tidak perlu bersusah payah untuk mencari atau meluangkan waktu tertentu sebagai bentuk ibadah kita, seakan-akan ibadah ada di satu sisi sedang di sisi lain bukan ibadah.
Ada dampak lain dari sifat Maha Melihatnya Allah bagi umat muslim, yakni seharusnya menjadikan kita selalu merasa diawasi setiap saat. Allah berfirman, “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Saya yakin yang membaca tulisan sederhana ini telah mengetahui dengan akalnya bahwa Allah memiliki sifat Maha Melihat. Tetapi apakah cukup hanya dengan mengetahuinya saja? Saya kira tidak. Selain mengetahui kita perlu meresapinya ke dalam hati dan akhirnya benar-benar berdampak kepada tindakan. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktivitas yang akan mendatangkan manfaat dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindar dari segala aktivitas yang sia-sia bahkan mendatangkan mudarat.
Alhasil, sebagai umat muslim kita harus beribadah kepada-Nya sebagai bentuk pengabdian, kapan pun dan di mana pun. Tidak hanya terbatas kepada salah satu aspek (ritual atau non ritual) melainkan harus kedua-duanya karena Allah melihat dan menilai tindakan kita secara komprehensif serta detail. Jika kita telah menerapkan itu semua berarti kita telah memahami tuntunan Allah, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra [17]: 36). Allahu alam. []
*pertama kali diterbitkan dalam Buletin UKM Al-Qolam UPI
Masih ada diantara kita yang memandang bahwa ibadah hanya seputar shalat, dzikir, ngaji, masjid, selain itu bukanlah ibadah. Sayangnya pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sepatutnya kita meyakini bahwa seluruh aktivitas positif betapa pun tidak selalu seputar shalat, dzikir, ngaji, masjid, juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Bukankah kita selalu membaca doa innā shalātĪ wa nusukĪ wa maḥyāya wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamĪn (QS. Al-An’am [6]: 162). Dalam doa ini terdapat pesan suci Allah kepada hambanya untuk selalu mencurahkan segala aktivitasnya mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi tiada lain lillāhi rabbil ‘ālamĪn. Singkatnya seluruh aktivitas harus bernilai ibadah.
Allah sangat cemburu kepada hambanya yang di satu sisi rajin melakukan ibadah ritual tetapi di sisi lain saat melakukan aktivitas keseharian tidak menghadirkan Allah atau tidak lillāhi rabbil ‘ālamĪn, begitu pun sebaliknya. Allah juga cemburu kepada orang-orang yang hanya puas melakukan perbuatan non ritual sembari meremehkan ibadah-ibadah ritual.
Seharusnya dengan adanya sifat Maha Melihat-Nya Allah, menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi umat muslim. Betapa tidak, semua tindak laku dari yang terkecil hingga terbesar, ritual maupun non ritual terlihat oleh-Nya. Sebagai contoh, seorang laki-laki/perempuan yang melakukan perbuatan baik di tempat yang tersembunyi dan tidak ada satu pun orang yang mengetahui, selama perbuatannya diniatkan lillāhi rabbil ‘ālamĪn akan tetap mendapat pahala karena betapa pun tiada yang melihat, Dia melihat perbuatan kita. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Dan katakanlah ‘bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu’ ” (QS. At-Taubah [9]: 105). Begitu luas ladang ibadah yang dapat kita lakukan hingga tidak perlu bersusah payah untuk mencari atau meluangkan waktu tertentu sebagai bentuk ibadah kita, seakan-akan ibadah ada di satu sisi sedang di sisi lain bukan ibadah.
Ada dampak lain dari sifat Maha Melihatnya Allah bagi umat muslim, yakni seharusnya menjadikan kita selalu merasa diawasi setiap saat. Allah berfirman, “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Saya yakin yang membaca tulisan sederhana ini telah mengetahui dengan akalnya bahwa Allah memiliki sifat Maha Melihat. Tetapi apakah cukup hanya dengan mengetahuinya saja? Saya kira tidak. Selain mengetahui kita perlu meresapinya ke dalam hati dan akhirnya benar-benar berdampak kepada tindakan. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktivitas yang akan mendatangkan manfaat dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindar dari segala aktivitas yang sia-sia bahkan mendatangkan mudarat.
Alhasil, sebagai umat muslim kita harus beribadah kepada-Nya sebagai bentuk pengabdian, kapan pun dan di mana pun. Tidak hanya terbatas kepada salah satu aspek (ritual atau non ritual) melainkan harus kedua-duanya karena Allah melihat dan menilai tindakan kita secara komprehensif serta detail. Jika kita telah menerapkan itu semua berarti kita telah memahami tuntunan Allah, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra [17]: 36). Allahu alam. []
*pertama kali diterbitkan dalam Buletin UKM Al-Qolam UPI
Komentar
Posting Komentar