Membaca
status facebook Fahd Pahdepie, “Esok kau menyambut hari kemenangan? Memang apa
yang telah engkau kalahkan? Ramadhan?” membuat saya terinspirasi untuk
menuliskan artikel sederhana ini. Benar sekali pernyataan dari pemuda lulusan
Universitas Melbourne yang telah menulis beberapa buku roman ini, memang apa
yang sudah kita menangkan di bulan Ramadan? Toh,
saya melihat hiruk-pikuk Ramadan, yang bahkan hanya terasa di lima hari
pertama, hanyalah rutinitas atau tradisi belaka yang ritualistik dus hampa
esensi. Saya menyadari, meski asumsi ini agak hiperbolis, tetapi mayor para
cendekia atau kaum sufi menyadarinya. Di bawah ini beberapa argumentasi saya.
Konon
serendah-rendahnya, sekali lagi serendah-rendahnya, kualitas berpuasa seseorang
ketika kita bisa menahan atau mengontrol hawa nafsu, yakni dari kebutuhan makan
dan minum. Sekarang saya ingin bertanya, apakah kita yakin telah dapat menahan
hawa nafsu itu? Kalau saya pribadi, amat-sangat meragukannya karena yang saya
lihat malah sebaliknya. Alih-alih dapat menekan pengeluaran bulanan, momen aneka
aktivitas yang dikerjakan selama di bulan Ramadan malah membuat umat muslim di Indonesia
harus mengeluarkan kocek yang sungguh banyak, terutama untuk kebutuhan perut.
Lihat, bagaimana crowded lautan
manusia saat keluar dari sarangnya untuk membeli makanan dan minuman di sore
menjelang waktu berbuka, seakan-akan anjuran menahan makan di siang hari hanya supaya
dapat dibalas dendamkan saat berbuka. Segala hal dibeli; es buah, kolak,
gorengan, sate, lontong, tak lupa makanan beratnya. Semua dimasukkan ke mulut,
sepenuh-penuhnya. Azan maghrib menjadi alih fungsi yang seharusnya sebagai
penyeru aktivitas shalat, sekarang sekadar dijadikan bel pengingat waktu makan.
Maka jangan aneh kalau masjid tetap sepi, seperti biasanya karena umat muslim
sedang sibuk dengan urusan perutnya. Memang, ada masjid yang ramai saat waktu
magrib, tapi itu hanya karena di sana disediakan makanan berat gratis. Kalau
sekadar takjil, ogah deh.
Bukan
hanya waktu magrib yang sepi, tetapi empat waktu lain juga mengalami nasib yang
sama dengan sedikit pengecualian ketika waktu shalat subuh dan isya, di mana
terjadi peningkatan ––yang tidak signifikan. Itu pun hanya terjadi di minggu
awal Ramadan. Selanjutnya, kembali seperti biasa. Sepi alias kosong-melompong.
Berbicara
mengenai kekonyolan aktivitas shalat di masjid semasa Ramadan, tak berhenti di
sana. Menurut cara pandang umat Muslim Indonesia ––lucunya–– shalat tarawih terkesan
lebih sakral dibandingkan shalat fardu. Bagaimana tidak, mulai dari anak-anak,
pemuda, hingga orang tua, baik laki-laki maupun perempuan terlihat berbondong-bondong
menuju masjid untuk menuaikan shalat sunnah, ya shalat sunnah yang seutama apapun, menurut saya, tetap tak bisa
dibadingkan dengan keluhuran melaksanakan shalat fardu berjamaah di masjid. Seperti
makan nasi tanpa garam, mereka akan merasa tak sempurna jika belum menginjakkan
kaki di masjid untuk mengikuti serangkaian ibadah malam (shalat isya, kultum,
tarawih). Bahkan seperti ada kebanggaan tersendiri saat telah menuntaskan shalat
yang 23 rakaat itu.
Satu
tradisi khas yang tak boleh dilupakan, yakni soal kecepatan dalam beribadah.
Mereka akan senang dengan masjid yang menampilkan imam yang memiliki kecepatan
bacaan super kilat. Dan seperti ada kesepakatan umum, para imam pun, karena melihat
sejumlah permintaan itu, akhirnya menyesuaikan diri dengan berlomba-lomba mempercepat
bacaan shalatnya. Tradisi ini masih kental di kampung halaman saya, Cirebon. Mindset yang seperti ini terbentuk
karena kita merasa Allah lah yang membutuhkan ibadah kita. Telah kadung mewarisi
agama Islam dari orang tua, meski dengan berat hati, terpaksa kita harus
menjalankan segala aturan yang telah terbentuk, termasuk shalat tarawih yang
amat memberatkan itu. Tentu akan sangat berbeda dengan seseorang yang menyadari
bahwa ibadah bukanlah sesuatu tuntutan ilahi, melainkan dengan kesadaran,
menyadari bahwa ibadah adalah suatu kebutuhan, layaknya makan dan minum karena
sejatinya manusialah yang butuh Tuhan, bukan sebaliknya. Jadi, masih yakin
kalau shalat yang seperti itu (buru-buru) akan mendapat ridha Allah? Jangan-jangan,
seperti puasa abal-abal yang hanya mendapat lapar dan haus, shalat tarawih yang
super cepat ini cuma hanya menghasilkan rasa lelah dan penyesalan (akhirat).
Meskipun
teman saya men-share foto atau video suasana
masjid (agung) yang terlihat dipenuhi jamaah, terlebih katanya didominasi oleh
pemuda, hal tersebut tetap tak menggoyahkan keyakinan saya bahwa auforia ini
hanyalah setitik pengecualian sebab jika dibandingkan dengan jumlah umat muslim
di Indonesia, yang katanya terbanyak di dunia, tentu akan sangat jomplang.
Kemudian,
walaupun kajian-kajian keagamaan tumbuh subur di bulan ini, tetapi pesannya
tetaplah sama, tetap membosankan, karena yang disampaikan hanya itu-itu saja, seperti
seputar memperbanyak ibadah, yang bahkan defisininya telah direduksi
besar-besaran sebatas kegiatan ritualistik seperti membaca Al-Quran (akan dibahas
di paragraf selanjutnya). Tidak ada yang sampai menyentuh pada realita yang
sedang dihadapi umat muslim dewasa ini, seperti urusan ketidakadilan, kesenjangan
sosial, runtuhnya moral, amburadulnya spiritualitas, asingnya kejujuran, minimnya
toleransi, dan lain sebagainya.
“Membaca”
Al-Quran sudah menjadi salah satu kegiatan favorit umat muslim, terlihat dari
meningkatnya aktivitas ini sampai-sampai ada yang berniat mengkhatamkannya. Tak
cukup khatam satu kali, kalau bisa dua sampai tiga kali. Semakin banyak khatam,
semakin banyak pahala. Semakin banyak pahala, semakin besar kemungkinan masuk surga.
Padahal melakukan ibadah yang didasarkan pada harapan akan tumpukan pahala
(saja) sudah mendestruktifkan esensi ibadah. Tetapi beginilah pandangan umum
umat muslim Indonesia, termasuk terjadi di dalam keluarga saya yang mendadak
intens mendendangkan firman-firman Ilahi itu. Salah? tidak juga, tetapi kalau salah
paham, iya.
Yang
dilakukan oleh umat muslim pada umumnya ialah “membaca” atau lebih tepatnya
membunyikan Al-Quran, bukan hakikat membaca yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) harus menyertai upaya memahami apa yang tertulis. Kita sering
mengucapkan kata “Ayo, Mengaji!” seharusnya dapat mengetahui bahwa kata mengaji
terambil dari kata dasar kaji, yang berarti belajar, menyelidiki, memeriksa. Di
UIN ada jurusan Dirasat Islamiyah yang
berarti Kajian Islam. Jika ditransformasikan ke dalam bahasa Inggris, maka akan
menjadi Islamic Studies.
Pertanyaannya, apakah ada dalam prosesi tersebut, para mahasiswa hanya membunyikan
isi buku-buku, atau membunyikan isi Al-Quran? Tentu tidak. Yang mereka lakukan
adalah mengkaji/mengaji isi Al-Quran, dipahami, diteliti, ditafsirkan, dan
di-di-di lainnya yang pada intinya adalah sebuah upaya keras supaya Al-Quran
dapat dibumikan, konkret dijadikan sebagai panduan hidup. Kalau sekadar
dibunyikan, burung beo juga bisa. Begitu kurang lebih kata salah satu dosen
saya. Sayangnya, pemahaman yang seperti ini tidak akrab oleh umat muslim
Indonesia. Maka wajar, meski sudah berkali-kali khatam, mereka tidak pernah
tahu apa yang hendak disampaikan oleh Allah dalam firman-Nya.
Bertatapan
dengan minggu-minggu terakhir Ramadan, kita mendapatkan suatu ibadah yang
katanya bernilai sangat tinggi, apalagi kalau bukan i’tikaf guna meraih pahala lailatul qadr, yang konon pahalanya
setara beramal saleh sepanjang 83 tahun lamanya. Siapa yang tidak tergiur? Sayangnya,
di era materalistik ini, iming-iming pahala besar tak berlaku lagi, atau
setidaknya memiliki pengaruhnya yang minim saja. Kita (umat muslim Indonesia)
lebih memilih mendapat sesuatu yang nyata, yang konkret, yang materi daripada
pahala yang sifatnya abstrak, apalagi dikasihnya bukan di dunia ini. Makanya,
daripada melakukan tindakan yang tidak jelas “manfaatnya”, lebih baik ber-“itikaf”
dan “bersai” ria di mall-mall, sebagaimana teramati dewasa ini. Betapapun, saya
tak menutup mata memang masih ada orang-orang yang tidak material oriented yang rela digigit nyamuk, tak tidur semalam
suntuk untuk memakmurkan masjid di malam hari meski sebagian masih ada yang penuh
perhitungan layaknya pedagang (beritikaf hanya di malam ganjil). Untuk golongan
yang terakhir ini saya doakan semoga dapat naik maqam/tingkat di mana
beramal/beribadah tak lagi melihat sedikit-banyaknya pahala, melainkan murni
sebagai bentuk kecintaan kepada Allah. Analoginya seperti ketika saya menuruti
perintah ibu saya untuk belajar bukanlah karena hadiah yang akan saya terima
jika meraih nilai seratus, melainkan karena, selain belajar adalah suatu
kebutuhan yang amat bermanfaat bagi diri saya, juga karena saya amat mencinta
ibu saya. Jika dengan rajin belajar akan membuat saya semakin dekat dengan ibu,
tentu saya tak ragu untuk melakukannya.
Selanjutnya,
ada yang nyinyir bahwa Bulan Ramadan bukanlah bulan penuh berkah, melainkan
bulan penuh sampah sebagaimana jamak diketahui, terlebih saat mudik di mana “kebodohan”
umat muslim terlihat begitu jelas. Lihat bagaimana kondisi jalan raya dan jalan
tol yang dilalui oleh para pemudik, berubah menjadi lautan sampah. Saya pribadi
miris sekali mengetahui rendahnya tingkat kesadaran umat muslim, bahkan untuk
hal yang sesederhana ini. Jika bukan karena saya ngotot untuk tetap menahan
sampah-sampah yang ada di mobil, orang tua saya mungkin sudah termasuk yang
berandil di dalam perbuatan bodoh yang telah membudaya ini. Atau saat ritual
shalat id dilaksanakan, di mana sudah menjadi kebiasaan kita untuk melapisi jalan/
tanah dengan koran yang dibawa dari rumah. Kampretnya, dengan tanpa rasa
berdosa, kita membiarkan sampah koran itu terdampar di jalanan yang bahkan sebagian
kita berkata, “Biarkan saja, nanti juga ada yang memungutnya.” Bayangkan saja
jika semua orang memiliki argumen cacat ini, sudah seperti apa dunia yang penuh
dengan tumpukan sampah. Kalau begitu nanti ada yang berkata boleh saja saya
meminum obat nyamuk, nanti juga ada dokter yang mengobatinya.
Hal
lain yang meragukan saya bahwa umat muslim Indonesia telah memenangi sesuatu di
bulan Ramadan, ialah soal maaf-memaafkan. Kok
malah menjadi seperti parade seremonial di mana setiap individu, instansi,
kelompok, dll, dengan entengnya mengucapkan kata maaf. Lucunya, kita malah
bermaaf-maafan dengan seseorang yang jarang sekali kita temui, bahkan tak kita
kenal, seperti saudara jauh, tetangga nenek kita, penonton di televisi, atau
saudara dari tetangga nenek kita. Lah iki
pie. Saya malah amat menyangsikan berapa banyak orang yang tadinya
bermusuhan/berselisih, lalu di momen lebaran, mereka tulus saling
bermaaf-maafkan?
Terakhir,
sepanjang amatan saya, orang-orang yang menjalani puasa, termasuk saya pribadi,
tidaklah mengalami banyak perubahan kalau enggan berkata tanpa perubahan
sedikitpun. Salah seorang anggota keluarga saya tetaplah seorang pemarah meskipun sudah berpuasa
bertahun-tahun. Perhatikanlah, orang yang pelit meski berpuasa tetaplah pelit.
Orang yang terbiasa mengumbar foto erotis, tetap saja meneruskan kebiasaannya itu
meski puasa dilakoninya, pencaci dan menyebar berita provokatif, tetaplah
melakukan hal itu baik di bulan Ramadan maupun setelahnya, seterusnya dan
seterusnya. Saya tantang kepada pembaca, dapatkah kalian menemukan orang yang
karena ditempa puasa di bulan Ramadan, menjadi berubah ––lebih baik? Atau coba
renungi diri sendiri, apa laku buruk yang sudah berhasil kalian reduksi setelah
berpuasa sebulan penuh lamanya? jangan-jangan tidak ada. Benarkah takbir yang
digaungkan malam ini untuk membesarkan Allah sembari menekan/mengecilkan ego
kita, atau malah sebaliknya.
Akhirnya,
pertanyaan di awal kembali mencuat, “apa yang sudah kita kalahkan?”
Cirebon,
24 Juni 2017
sumber: www.alhayahhayatuna.com
Izin berbagi ke yang lain kang..
BalasHapus