Saya memiliki beberapa pertanyaan seputar keislaman yang sampai saat ini opsi-opsi jawaban yang tersedia masihlah belum dapat memuaskan nalar dan atau hati nurani saya. Barangkali dengan memberitahukannya di tempat ini, ada rekan-rekan yang dapat memberi pencerahan sehingga tenanglah hati hamba. Berikut di bawah ini di antaranya:
1. Bagaimana mekanisme kerja sebuah doa ––yang sesungguhnya?
Sudah lama saya merasa bahwa Tuhan itu tidak berperan ikut campur dalam urusan kehidupan umat manusia, setidaknya hal itu dapat dipahami terjadi setelah berakhirnya masa kenabian yang ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad. Selanjutnya Allah hanya memberikan seperangkat aturan-aturan formil yang mafhum disebut dengan sunnahtullah (hukum alam). Banyak yang mengartikan sunnahtullah ini adalah hukum sebab-akibat, tetapi Quraish Shihab menambahkan bahwa hukum sebab-akibat barulah sebagian dari sunnahtullah itu. Masih ada hukum lain yang terangkum di dalamnya seperti inayatullah (pertolongan Allah). Dalam dimensi ini, tekan ulama penulis kitab tafsir Al-Misbah, terkadang kita menyaksikan “keajaiban-keajaiban” yang terkadang sulit dipahami oleh nalar hukum sebab-akibat tersebut, meski tak harus bertentangan dengannya. Sayang, saya kurang puas dengan jawaban ini dan lebih memilih untuk meyakini hukum sebab-akibat saja termasuk dalam urusan doa.
Entah sejak kapan, mungkin baru beberapa bulan/tahun belakangan, saya memahami doa hanya sebagai suatu urusan spiritual tanpa (keterlibatan) Tuhan sebagaimana yang dipahami oleh penganut agama Buddha karena saya merasa Tuhan tak menjawab doa-doa hamba-Nya, atau setidaknya doa permohonan saya. Kalaupun ada kenyataan atau hasil yang selaras dengan doa, itu ––menurut saya–– bukan berarti Tuhan menjawab doa melainkan karena kinerja hukum alam saja yang sedang bersinergi dengannya, sebagaimana halnya di lain waktu bahwa realita tak sesuai dengan doa/harapan tersebut.
Sepanjang kesadaran saya, sepertinya (saat dewasa) saya tak pernah berdoa memohon sesuatu yang sifatnya “duniawi” seperti meminta supaya dapat memiliki handphone baru, motor Ninja, baju bagus, rumah mewah, jabatan ketua organisasi, pacar secantik Pevita, atau hal-hal semacamnya, alih-alih selalu permintaan doa itu berbau transendental seperti ingin mengenal/merasakan (ma’rifat) Allah, bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi, dll. Atau di bawah itu seperti, saya berdoa untuk bisa kuliah ke luar negeri, lolos beasiswa, supaya dapat berperan membantu atau meningkatkan derajat masyarakat Indonesia, dan doa-doa lain yang sejenis dengan itu ––yang kesemuanya bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi nyatanya Tuhan “diam”. Mungkin rekan-rekan dapat berspekulasi bahwa hal itu dapat terjadi karena saya adalah makhluk yang memiliki banyak dosa sehingga doa tak terkabul. Tapi coba lihatlah, meski dari dulu jutaan ulama ––yang tentunya banyak di antara mereka yang amat bertakwa, wara, dll–– dari seluruh penjuru dunia berdoa demi perdamaian Palestina, tapi toh saat ini hasilnya masih nihil. Jutaan ulama Indonesia mendoakan supaya Indonesia menjadi negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, toh sepertinya keadaan moral bangsa semakin hari semakin merosot.
Dan masih banyak lagi seputar doa yang masih amat mengganggu pikiran saya. Hanya saja, sekali lagi, doa bagi saya masih dibutuhkan sebagai sebuah sugesti internal sebab doa yang isinya berupa harapan-harapan atau kata-kata positif sungguh bermanfaat untuk memantapkan hati. Adapun doa yang isinya ditujukan kepada orang lain, juga memiliki kebermanfaatan, sebab saat itu kita sedang mentransfer energi positif kepada orang tersebut, yang berarti menjadi salah satu faktor atau indikator tercapainya sebuah akibat/hasil yang dikehendaki.
2. Mengapa Allah begitu keras menuntut manusia untuk dapat memahami dengan benar tentang diri-Nya?
Mayoritas manusia di dunia meyakini bahwa Tuhan itu memang ada tetapi mereka berbeda-beda dalam segi kualitas pemahamannya. Selanjutnya, memang pada umumnya mereka sudah meyakini bahwa Tuhan itu satu tetapi permasalahan akan timbul saat kata “satu” itu diurai. Konsep Tuhan yang “satu/esa” dalam pandangan kaum musyrik Quraish berbeda dengan konsep “satu” agama Islam. Konsep “satu” agama Islam berbeda dengan “satu”-nya Hindu, Kristen, maupun Yahudi. Sebagai contoh sederhana, meski orang-orang Arab meyakini Allah itu satu, tetapi pemahaman bahwa Allah memiliki istri dan atau anak dibantah mentah-mentah oleh Alquran (QS. Al-Ikhlas 1-4). Apakah inkarnasi (masuknya Tuhan ke dalam diri makhluk) itu merusak keilahian-Nya?
Jangankan terhadap yang berbeda agama, sama-sama Islam saja, konsep tauhidnya berbeda-beda, makanya muncul berbagai macam aliran tauhid (teologi), yang tentu satu sama lain tak jarang saling bertentangan. Bahkan, dan ini amat sangat saya yakini, setiap kepala memiliki pemahaman atau kualitas yang berbeda-beda terhadap Tuhan plus dengan beragamnya cara pengaktualisasian tauhid yang juga tak kalah pentingnya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa manusia itu amat sulit untuk mengetahui hakikat Tuhan, atau setidaknya pemahaman tauhid seperti apa yang diridhai-Nya. Mengapa Dia begitu “rempong” terhadap pemahaman manusia mengenai diri-Nya yang sejatinya amat sulit untuk dijangkau? Saya tidak mengerti.
3. Apakah sumber kebenaran itu sebenarnya sudah ada di dalam diri atau sesuatu yang didapat dari luar, seperti Alquran dan sunnah rasul?
Di dalam hadits dinyatakan bahwa manusia tidak akan tersesat selama mengikuti tuntunan Alquran dan hadits, tetapi, realita mengatakan bahwa meski bersumber dari sumber yang sama, hasilnya berbeda bahkan seringkali bertentangan. Keduanya, menurut saya, akan tergiring sesuai dengan kecenderungan masing-masing pribadi manusia. Bagaikan pisau, Alquran dapat menjadi “alat” yang netral tergantung si pemakainya. Para pelaku kekerasan atau teroris dapat menggunakan Alquran sebagai legitimasi perbuatannya, begitupun dengan para peacemaker yang bisa menyebarkan perdamaian melalui ayat-ayat Tuhan itu.
Kemudian, sampai dalam keadaan tertentu saya berpikir sepertinya Alquran memiliki peran hanya sebagai alat bantu (penguat) dari sebuah cip kebenaran yang sebenarnya sudah ada di dalam diri setiap manusia (giving dari Tuhan saat manusia terlahir di muka bumi), bukan sebagai sumber primer. Tetapi karena cip kebenaran itu dalam perjalannya terus-menerus tertutupi oleh perbuatan dosa yang dilakukan oleh setiap diri manusia, maka penampakannya semakin samar saja. Oleh karenanya, sebagai bentuk kasih sayang, Allah mengirim bantuan petunjuk berupa Alquran.
4. Masih seputar kebenaran. Apakah manusia dapat menggapai kebenaran hakiki atau hanya sebatas kebenaran parsial? Kalau dikatakan bahwa kita dapat memeroleh kebenaran hakiki, apakah sifatnya tunggal atau plural? Kalau plural, mungkinkah dapat tersepakati bahwa A adalah kebenaran, B juga kebenaran, dan begitupun dengan C berhubung sulit sekali tersepakati indikator-indikatornya.
5. Tidak adakah yang belajar dari sejarah Palestina?
Sepanjang sejarahnya, Palestina telah menjadi perebutan banyak golongan (Romawi, Persia, Islam, Yahudi, dll) yang sudah menelan jutaan korban. Dari semua itu, tidak adakah manusia modern, yang katanya sudah jauh lebih beradab, yang belajar dari sejarah lalu memilih untuk dapat hidup berdamai saja, saling berbagi tempat tinggal dan hidup tanpa satu pihak menghegemoni pihak lainnya (setara)? kalau jawabannya adalah karena kerakusan dan egoisme golongan, yang sepertinya hanya tumbuh dalam diri beberapa orang tertentu saja ––tetapi memiliki pengaruh yang amat besar, tidak bisakah mayoritas mendesak mereka untuk mengurungkan niatnya?
Bekasi, 23 Juli 2017
sumber gambar: FB GraphicPedia
1. Bagaimana mekanisme kerja sebuah doa ––yang sesungguhnya?
Sudah lama saya merasa bahwa Tuhan itu tidak berperan ikut campur dalam urusan kehidupan umat manusia, setidaknya hal itu dapat dipahami terjadi setelah berakhirnya masa kenabian yang ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad. Selanjutnya Allah hanya memberikan seperangkat aturan-aturan formil yang mafhum disebut dengan sunnahtullah (hukum alam). Banyak yang mengartikan sunnahtullah ini adalah hukum sebab-akibat, tetapi Quraish Shihab menambahkan bahwa hukum sebab-akibat barulah sebagian dari sunnahtullah itu. Masih ada hukum lain yang terangkum di dalamnya seperti inayatullah (pertolongan Allah). Dalam dimensi ini, tekan ulama penulis kitab tafsir Al-Misbah, terkadang kita menyaksikan “keajaiban-keajaiban” yang terkadang sulit dipahami oleh nalar hukum sebab-akibat tersebut, meski tak harus bertentangan dengannya. Sayang, saya kurang puas dengan jawaban ini dan lebih memilih untuk meyakini hukum sebab-akibat saja termasuk dalam urusan doa.
Entah sejak kapan, mungkin baru beberapa bulan/tahun belakangan, saya memahami doa hanya sebagai suatu urusan spiritual tanpa (keterlibatan) Tuhan sebagaimana yang dipahami oleh penganut agama Buddha karena saya merasa Tuhan tak menjawab doa-doa hamba-Nya, atau setidaknya doa permohonan saya. Kalaupun ada kenyataan atau hasil yang selaras dengan doa, itu ––menurut saya–– bukan berarti Tuhan menjawab doa melainkan karena kinerja hukum alam saja yang sedang bersinergi dengannya, sebagaimana halnya di lain waktu bahwa realita tak sesuai dengan doa/harapan tersebut.
Sepanjang kesadaran saya, sepertinya (saat dewasa) saya tak pernah berdoa memohon sesuatu yang sifatnya “duniawi” seperti meminta supaya dapat memiliki handphone baru, motor Ninja, baju bagus, rumah mewah, jabatan ketua organisasi, pacar secantik Pevita, atau hal-hal semacamnya, alih-alih selalu permintaan doa itu berbau transendental seperti ingin mengenal/merasakan (ma’rifat) Allah, bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi, dll. Atau di bawah itu seperti, saya berdoa untuk bisa kuliah ke luar negeri, lolos beasiswa, supaya dapat berperan membantu atau meningkatkan derajat masyarakat Indonesia, dan doa-doa lain yang sejenis dengan itu ––yang kesemuanya bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi nyatanya Tuhan “diam”. Mungkin rekan-rekan dapat berspekulasi bahwa hal itu dapat terjadi karena saya adalah makhluk yang memiliki banyak dosa sehingga doa tak terkabul. Tapi coba lihatlah, meski dari dulu jutaan ulama ––yang tentunya banyak di antara mereka yang amat bertakwa, wara, dll–– dari seluruh penjuru dunia berdoa demi perdamaian Palestina, tapi toh saat ini hasilnya masih nihil. Jutaan ulama Indonesia mendoakan supaya Indonesia menjadi negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, toh sepertinya keadaan moral bangsa semakin hari semakin merosot.
Dan masih banyak lagi seputar doa yang masih amat mengganggu pikiran saya. Hanya saja, sekali lagi, doa bagi saya masih dibutuhkan sebagai sebuah sugesti internal sebab doa yang isinya berupa harapan-harapan atau kata-kata positif sungguh bermanfaat untuk memantapkan hati. Adapun doa yang isinya ditujukan kepada orang lain, juga memiliki kebermanfaatan, sebab saat itu kita sedang mentransfer energi positif kepada orang tersebut, yang berarti menjadi salah satu faktor atau indikator tercapainya sebuah akibat/hasil yang dikehendaki.
2. Mengapa Allah begitu keras menuntut manusia untuk dapat memahami dengan benar tentang diri-Nya?
Mayoritas manusia di dunia meyakini bahwa Tuhan itu memang ada tetapi mereka berbeda-beda dalam segi kualitas pemahamannya. Selanjutnya, memang pada umumnya mereka sudah meyakini bahwa Tuhan itu satu tetapi permasalahan akan timbul saat kata “satu” itu diurai. Konsep Tuhan yang “satu/esa” dalam pandangan kaum musyrik Quraish berbeda dengan konsep “satu” agama Islam. Konsep “satu” agama Islam berbeda dengan “satu”-nya Hindu, Kristen, maupun Yahudi. Sebagai contoh sederhana, meski orang-orang Arab meyakini Allah itu satu, tetapi pemahaman bahwa Allah memiliki istri dan atau anak dibantah mentah-mentah oleh Alquran (QS. Al-Ikhlas 1-4). Apakah inkarnasi (masuknya Tuhan ke dalam diri makhluk) itu merusak keilahian-Nya?
Jangankan terhadap yang berbeda agama, sama-sama Islam saja, konsep tauhidnya berbeda-beda, makanya muncul berbagai macam aliran tauhid (teologi), yang tentu satu sama lain tak jarang saling bertentangan. Bahkan, dan ini amat sangat saya yakini, setiap kepala memiliki pemahaman atau kualitas yang berbeda-beda terhadap Tuhan plus dengan beragamnya cara pengaktualisasian tauhid yang juga tak kalah pentingnya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa manusia itu amat sulit untuk mengetahui hakikat Tuhan, atau setidaknya pemahaman tauhid seperti apa yang diridhai-Nya. Mengapa Dia begitu “rempong” terhadap pemahaman manusia mengenai diri-Nya yang sejatinya amat sulit untuk dijangkau? Saya tidak mengerti.
3. Apakah sumber kebenaran itu sebenarnya sudah ada di dalam diri atau sesuatu yang didapat dari luar, seperti Alquran dan sunnah rasul?
Di dalam hadits dinyatakan bahwa manusia tidak akan tersesat selama mengikuti tuntunan Alquran dan hadits, tetapi, realita mengatakan bahwa meski bersumber dari sumber yang sama, hasilnya berbeda bahkan seringkali bertentangan. Keduanya, menurut saya, akan tergiring sesuai dengan kecenderungan masing-masing pribadi manusia. Bagaikan pisau, Alquran dapat menjadi “alat” yang netral tergantung si pemakainya. Para pelaku kekerasan atau teroris dapat menggunakan Alquran sebagai legitimasi perbuatannya, begitupun dengan para peacemaker yang bisa menyebarkan perdamaian melalui ayat-ayat Tuhan itu.
Kemudian, sampai dalam keadaan tertentu saya berpikir sepertinya Alquran memiliki peran hanya sebagai alat bantu (penguat) dari sebuah cip kebenaran yang sebenarnya sudah ada di dalam diri setiap manusia (giving dari Tuhan saat manusia terlahir di muka bumi), bukan sebagai sumber primer. Tetapi karena cip kebenaran itu dalam perjalannya terus-menerus tertutupi oleh perbuatan dosa yang dilakukan oleh setiap diri manusia, maka penampakannya semakin samar saja. Oleh karenanya, sebagai bentuk kasih sayang, Allah mengirim bantuan petunjuk berupa Alquran.
4. Masih seputar kebenaran. Apakah manusia dapat menggapai kebenaran hakiki atau hanya sebatas kebenaran parsial? Kalau dikatakan bahwa kita dapat memeroleh kebenaran hakiki, apakah sifatnya tunggal atau plural? Kalau plural, mungkinkah dapat tersepakati bahwa A adalah kebenaran, B juga kebenaran, dan begitupun dengan C berhubung sulit sekali tersepakati indikator-indikatornya.
5. Tidak adakah yang belajar dari sejarah Palestina?
Sepanjang sejarahnya, Palestina telah menjadi perebutan banyak golongan (Romawi, Persia, Islam, Yahudi, dll) yang sudah menelan jutaan korban. Dari semua itu, tidak adakah manusia modern, yang katanya sudah jauh lebih beradab, yang belajar dari sejarah lalu memilih untuk dapat hidup berdamai saja, saling berbagi tempat tinggal dan hidup tanpa satu pihak menghegemoni pihak lainnya (setara)? kalau jawabannya adalah karena kerakusan dan egoisme golongan, yang sepertinya hanya tumbuh dalam diri beberapa orang tertentu saja ––tetapi memiliki pengaruh yang amat besar, tidak bisakah mayoritas mendesak mereka untuk mengurungkan niatnya?
Bekasi, 23 Juli 2017
sumber gambar: FB GraphicPedia
Komentar
Posting Komentar