#BookReview
ke-8
Buku
berjudul Buku Putih Mazhab Syiah yang
ditulis oleh Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI) dan diterbitkan oleh Dewan Pengurus
Pusat Ahlul Bait Indonesia (DPP ABI) pada tahun 2012 lalu ini menjadi sebuah
bacaan wajib bagi siapa saja yang merindukan kerukunan, khususnya di internal
umat muslim.
Diberi
kata pengantar oleh Prof. Quraish Shihab, tim penulis mengutarakan bahwa buku
ini memiliki dua buah tujuan, pertama ingin memberikan penjelasan yang valid kepada
masyarakat Indonesia mengenai mazhab Syiah demi mencapai kerukunan umat
(Sunni-Syiah) dan menghindari kesalahpahaman.
Penekanannya bukan pada asas
kesepakatan, melainkan upaya untuk menjembatani rasa saling pengertian. Tujuan keduanya
ialah untuk meluruskan pemahaman di kalangan internal Syiah sendiri yang mana
terkadang mereka pun belum paham mengenai ajaran mazhab yang diyakininya, yang seringkali
menjadi penyebab kefanatikan.
sumber foto: www.satuislam.files.wordpress.com
Berisi
tujuh buah bab plus beberapa
lampiran, penulis mengawali pemaparannya seputar fakta eksistensi Syiah, bahwa
benar Syiah itu ada dan merupakan anak kandung dalam kesejarahan agama Islam.
Mereka hidup, berkembang, berkontribusi dalam berbagai hal, dan tentunya
mendapatkan legitimasi dari seluruh dunia maupun negara Islam. Tidak ada satu
pun dari mereka yang menyatakan Syiah itu sesat apalagi kafir.
Sebagai buktinya,
ungkap penulis, mereka mendapat keluasan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Mereka juga telah menjadi bagian dari berbagai organisasi Islam internasional,
seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabithah Al-‘Alam Al-Islami, Organisasi
Parlemen-Parlemen Dunia Islam (PUIC), Majma’ Taqrib, dll. Bukan hanya itu,
keeksistensiannya pun divalidasi oleh sejumlah deklarasi ulama muslim dunia
seperti di Deklarasi Amman, Deklarasi Makkah, Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, dan
sebagainya. Setingkat di bawah itu, dikonfirmasi pula oleh ulama-ulama kredibel
semacam Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, dan Syaikh Abu
Zahrah.
Kemudian,
jika kita menengok sejenak ke belakang, melihat berdirinya Dinasti Fathimiyyah,
Idrisiyyah, Buwahyiah, Kerajaan Peurlak, ataupun munculnya tokoh-tokoh sekaliber
Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Razi, Ikhwan Shafa, Al-Khawarijmi, nyata membuktikan bahwa
peradaban Islam tak luput dari peran Syiah. Di Indonesia, banyak pesantren yang
memakai kitab-kitab Syiah sebagai salah satu bahan ajarnya. Sebut saja kitab Nayl Al-Awtar dan Subul Al-Salam karya Al-Syaukani yang telah mafhum beredar di
kalangan pesantren.
Setelah
melukiskan presensi Syiah, tim penulis melanjutkan narasinya dengan membahas
tentang keislaman dan kesyiahan. Untuk yang pertama, bagi mereka syahadatain
adalah kunci paling fundamental dalam Islam yang berarti jika seseorang tidak
mengakui salah satu bagiannya saja, ia sudah dapat dikatakan murtad.
Sebaliknya, jika syahadatain itu masih diyakini, betapapun memiliki pandangan
yang berbeda dalam hal furu’, maka mereka harus tetap dimasukkan ke dalam
barisan Islam. Hal pokok lain yang menyertainya adalah seperti kewajiban
melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, serta menjadikan Alquran-hadits muktabar
dan ijma/jumhur sebagai bahan rujukan utama, merupakan indikator bahwa mereka
tak boleh dituduh telah keluar dari Islam. Dan menurut tim penulis, mazhab
Syiah memegang erat perkara-perkara substantif di atas yang dijabarkan lebih
detail dalam bab ketiga dengan judul Deskripsi
Umum tentang Ajaran Syiah.
Penulis
mengungkapkan bahwa terdapat tiga buah dimensi dalam ajaran Syiah, yakni
akidah, akhlak, dan syariah (fikih). Akidah di sini meliputi prinsip
ketauhidan, kenabian, dan hari kebangkitan. Dari prinsip tauhid muncul pemahaman
mengenai keadilan Ilahi, sedangkan dari prinsip kenabian muncul konsep imamah.
Kadang bagian-bagian ini digabung menjadi satu kesatuan yang dikategorikan ke
dalam ushuluddin Syiah.
Sama
dengan tauhidnya Sunni, Syiah meyakni bahwa Allah itu esa (dalam zat, sifat,
dan perbuatan), mutlak, tidak dapat dijangkau oleh siapa pun, Maha Sempurna,
tak terbatas oleh apa pun. Dalam kerangka akidah ini, Syiah juga meyakini
prinsip al-bada’ yang berarti adanya
kemungkinan pengubahan takdir manusia yang dikarenakan oleh amalan salih atau
tindakan jahatnya (QS. Ar-Ra’d [13]: 11 dan 39).
Dalam
prinsip nubuwwah (kenabian), persis
dengan Sunni, Syiah meyakini eksistensi para nabi dari Adam hingga Muhammad,
dan Muhammad adalah seorang manusia suci (maksum) yang mengemban misi kenabian
yang mana ia diberikan kitab suci Alquran untuk memandu manusia ke jalan yang
benar. Bedanya adalah saat masuk ke dalam persoalan imamah karena Syiah meyakini
bahwa setelah wafatnya Rasulullah ada orang-orang terbaik (berjumlah 12) yang
maksum yang melanjutkan estafeta perjuangannya.
Lebih lanjut, mereka meyakini
bahwa imamah ini bukan suatu yang sifatnya mubah, melainkan sudah menjadi
ketentuan wajib yang diperintahkan langsung oleh Allah dan Rasulnya berbasiskan
data Alquran dan hadits. Syiah juga meyakini bahwa imam yang kedua belas
(Muhammad bin Hasan Al-Mahdi) masih hidup hingga sekarang, tetapi dalam keadaan
gaib, namun akan muncul kembali di akhir zaman. Bagi mereka, imamah bukan hanya
merupakan jabatan politik atau kekuasaan formal melainkan juga jabatan
spiritual, hanya saja tak membawa syariat baru.
Adapun
di dimensi akhlak, penulis mengutarakan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara
Syiah dan Sunni, bahkan buku Ihya Ulumuddin-nya
Al-Ghazali banyak disyarah oleh ulama-ulama Syiah. Sedangkan dalam dimensi
fikih, Syiah terbagi menjadi dua golongan: akhbari
dan ushuli. Yang pertama menjalankan
fikih dengan pendekatan tekstualis-skriptual sebagaimana halnya dengan
pendekatan yang dilakukan oleh ahli hadits-nya
mazhab Sunni. Sedangkan golongan ushuli,
menjalankan fikih dengan pendekatan yang menerima prinsip-prinsip rasionalitas.
Di akhir pembahasan, penulis mengungkapkan bahwa dewasa ini jumhur ulama Syiah cenderung
bergolongan ushuli.
Beralih
ke bab selanjutnya, yang membahas seputar isu perbedaan antara Sunni-Syiah, tim
penulis mencoba untuk meluruskan tuduhan-tuduhan miring yang sering diarahkan
kepada Syiah, seperti mengenai tahrif (pengubahan/penambahan) Alquran, as-sunnah
dan rukun iman-islam yang konon berbeda dengan kerangkanya Sunni, penambahan
redaksi syahadat, terminologi rafidhah, kebiasaan mencari-maki sahabat Istri
dan sahabat Nabi, nikah mut’ah, konsep taqiyah, dan hubungan sosial
Sunni-Syiah.
Mengenai
tahrif, mayoritas Syiah menyangkal hal tersebut. Mereka lebih meyakini surat
Al-Hijr ayat 9 yang mana Allah menjamin pemeliharaan Alquran hingga akhir zaman.
Memang ada segelintir person Syiah yang meyakini adanya tahrif (mereka dari golongan akhbari), tetapi
pandangan syad ini tidak dapat
diterima secara umum.
Lalu
berkenaan dengan hadits, Syiah sering dituduh telah mempercayai hadits yang
berbeda dengan Sunni. Jelas, pandangan ini mereka bantah dengan tiga argumen. Pertama, meski berbeda rantai periwayatannya,
tetapi banyak sekali hadits Syiah yang memiliki kesamaan konten dengan hadits Sunni.
Kedua, tak jarang ulama Syiah
menggunakan hadits-hadits Sunni. Ketiga, banyak
rijal hadits kalangan Syiah yang
diterima periwayatannya di berbagai kitab hadits Sunni.
Kemudian
perihal rukun iman-Islam. Tim penulis
menuturkan bahwa rukun iman dan Islam adalah sebuah rumusan dari konsensus
generasi belakangan. Sebagai buktinya, hadits terkenal tentang Jibril yang
menjelma sebagai manusia (tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari) tidak ada redaksi iman kepada qada dan qadar.
Malah
dalam kitab Shahih-nya Imam Muslim,
1/35 Bab Al-Amru bil Iman Billah wa
rasulihi, orang yang menjalankan shalat, zakat, berpuasa ramadhan, dan
membayar khumus dimasukkan ke dalam kategori (rukun) iman, bukan (rukun) Islam
sebagaimana umumnya diyakini mazhab Sunni. Dan untuk perihal syahadat, bagi
mayoritas Syiah, redaksi tambahan “wa
aliyan waliyullah” sulit ditemukan dalam literatur mereka sendiri. Kalau pun
ada yang menggunakan penambahan tersebut, keganjilan ini tidak bisa dijadikan
generalisasi terhadap seluruh Syiah.
Satu
ihwal yang cukup sering menjadi jurang pemisah Syiah-Sunni ialah tentang
sahabat Nabi. Berbeda dengan Sunni yang begitu longgar menyematkan kata sahabat
kepada siapa pun yang pernah bertemu Rasulullah, bahkan dihukumi adil secara
mutlak, bagi Syiah sahabat adalah manusia biasa yang sangat mungkin melakukan
kesalahan. Selain itu setiap sahabat juga memiliki kualitas yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, amat wajar dalam literatur-literatur Syiah banyak berisi kritikan
(bukan hujatan/caci-maki) terhadap tokoh-tokoh sahabat, seperti Muawiyah, dll.
Pasal
lain yang tak kalah kontroversialnya ialah mengenai nikah mut’ah. Satu yang
diyakini bersama, bahwa mut’ah pernah diperbolehkan Nabi, sedangkan riwayat
tentang pelarangannya masihlah bersifat debateable
(ada yang berkata bahwa Umar yang melarang, tapi ada pula Nabi sendiri yang
kemudian melarangnya). Oleh karena itu, Syiah lebih memilih riwayat yang pasti,
yakni hukum kebolehannya. Mereka juga memegang keyakinan itu berdasarkan dalil
surat An-Nisa 24 dan hadits Bukhari yang diriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim
di mana ia mendengar bahwa Ibnu Mas’ud berkata:
“kami berperang ke luar kota bersama
Rasulullah saw. Ketika itu kami tidak bersama-sama wanita, lalu kami berkata
‘wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?’, maka beliau melarang kami
melakukannya, lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan
mahar sebuah baju.”
Setelah
itu, Abdullah membaca aya Al-Maidah 87, “Hai
orang-orang yang beriman, jangalah kami mengharamkan apa-apa yang telah Allah
halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Bagi mereka, adanya
penyelewengan-penyelewenangan yang terjadi pada nikah mut’ah dapat pula terjadi
pada pernikahan daim (lawan dari nikah mut’ah) atau pun syariat lain. Jadi,
adanya penyelewengan bukan berarti menyebabkan hukum suatu perbuatan menjadi terlarang.
Ada
juga tentang taqiyah, yang penulis
paparkan secara panjang lebar yang pada intinya perbuatan tersebut
diperbolehkan demi menjaga keutuhan jiwa. Dan di bagian terakhir bab ini,
mereka menyajikan informasi bahwasanya ulama-ulama Syiah memperbolehkan para
pengikutnya untuk menikah dengan muslim Sunni, dapat saling mewarisi, dan
bermakmum kepadanya.
Menuju
bab lima, penulis membahas seputar mitos konflik Sunni-Syiah yang menurut
mereka kedua golongan ini tidak pernah mengalami konflik besar sampai masuknya
imperialisme Barat yang gemar mengadu domba. Penulis juga mengutip pandangan
Syaikh Ali Jum’ah yang mengatakan bahwa sejarah Mesir adalah sejarah damai
antara Sunni dan Syiah. Adapun sehubungan dengan konflik Suriah yang terkesan
bersifat ideologis, bagi penulis adalah murni persoalan politik. Lebih-lebih
Bashar Assad adalah pemimpin yang secara ideologis beraliran Baath yang
sekular, yang sama sekali tidak merepresentasikan Syiah sama sekali.
Bab
enam mengurai salah satu faktor yang membuat sulitnya Sunni-Syiah bersatu,
yakni karena adanya pemalsuan buku-buku karangan ulama Syiah yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Salah satu buku yang sering
dipalsukan ialah kitab Kasyful Asrar karangan Imam Khomeini. Di
dalam buku yang sudah dipalsukan itu disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah
dua berhala Quraish, padahal redaksi ini tidak ada dalam teks aslinya;
dikatakan pula bahwa Khomeini mencaci-maki para sahabat, padahal tidak; dan
sebagainya.
Bab
terakhir, supaya lebih kontekstual, tim penulis juga mendeskripsikan kehadiran
Syiah di pentas tanah air. Bagi mereka, kemunculan Syiah di Indonesia segaris
lurus dengan masuknya Islam ke Indonesia itu sendiri. Beberapa sejarawan
seperti Abu Bakar atceh, A.Hasyimi, Agus Sunyoto, dan Azmi Jamil, mengamini hal
ini.
Lihat saja buktinya bahwa beberapa tradisi Islam Syafi’iyyah di Indonesia sedikit
banyak saling berdialektika dan berasimilasi dengan tradisi Syiah, mulai dari kegiatan
melantunkan shalawat khas Syiah, wirid-wirid tertentu yang menyebutkan lima
keturunan Ahlul Bait, kebiasaan ziarah kubur, membuat kubah pada kuburan,
tahlilan, hingga haul.
Akhirnya,
sebagai penutup tim penulis membubuhkan beberapa lampiran seperti mengenai keutamaan Imam Ali dalam
Alquran dan hadits, riwayat hadits ghadir khum dan hadits 12 imam, serta
kutipan penolakan ulama Syiah terhadap tahrif Alquran.
Memang
secara umum buku ini telah berhasil mengupayakan pembeberan informasi yang lebih
soft dan tak berbau apologetik,
tetapi akan lebih baik lagi jika isu-isu seputar kelahiran Syiah juga dijamahi
karena masih ada sebagian umat muslim yang meyakini bahwa Syiah adalah buatan
orang Yahudi. Penulis juga tidak membahas ihwal perayaan Karbala yang menurut
banyak kalangan Sunni telah menyimpang dan keluar dari nilai-nilai
rasionalitas.
Komentar
Posting Komentar