Membaca status facebook Fahd Pahdepie, “Esok kau menyambut hari kemenangan? Memang apa yang telah engkau kalahkan? Ramadhan?” membuat saya terinspirasi untuk menuliskan artikel sederhana ini. Benar sekali pernyataan dari pemuda lulusan Universitas Melbourne yang telah menulis beberapa buku roman ini, memang apa yang sudah kita menangkan di bulan Ramadan? Toh, saya melihat hiruk-pikuk Ramadan, yang bahkan hanya terasa di lima hari pertama, hanyalah rutinitas atau tradisi belaka yang ritualistik dus hampa esensi. Saya menyadari, meski asumsi ini agak hiperbolis, tetapi mayor para cendekia atau kaum sufi menyadarinya. Di bawah ini beberapa argumentasi saya. Konon serendah-rendahnya, sekali lagi serendah-rendahnya, kualitas berpuasa seseorang ketika kita bisa menahan atau mengontrol hawa nafsu, yakni dari kebutuhan makan dan minum. Sekarang saya ingin bertanya, apakah kita yakin telah dapat menahan hawa nafsu itu? Kalau saya pribadi, amat-sangat meragukannya karena yang saya lihat
Berisi opini dan artikel seputar sosial-keislaman yang berprinsip moderasi dan independen