Langsung ke konten utama

Apa sih Lailatul Qadar itu?



Bulan ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu diantaranya ialah laylat al-qadr yaitu satu malam yang oleh Al-Qur’an dinamai lebih baik daripada seribu bulan. Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi seklai saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Qur’an 15 abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaiman kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan)? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam laylatul qadr ini.
Yang pasti dan ini yang harus diimani oleh setiap umat muslim berdasarkan pernyataan Al-Qur’an, bahwa “ada suatu malam yang bernama laylatul qadr” (QS. 97: 1) dan bahwa adalah malam itu “malam yang penuh berkah dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan” (QS. 44: 3)
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci mengiformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2: 185) serta pada malam al qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oelh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengangungan, yaitu Wa mā adrāka mā laylat al-qadr. Kalau dilihat pemakaian Al-Qur’an tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit  dijangkau oleh akal pikiran manusia. Oleh Karena itu, persoalan laylat al qadr harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedomannya.
Kata Al-Qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tida arti:
1.    Penetapan dan pengaturan sehingga latlat al-qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini diperkuat oleh penganutnya dengan firman Allah pada surat 44: 3 yang disebut diatas. Ada ulama yang memahami penetapan itu pada batas setahun. Al-Qur’an yang turun pada malam laylat al qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi Muhammad, guna untuk mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik individu maupun kelompok.
2.    Kemuliaan. Malam tersebut ialah malam mulia yang tiada banding. Ia mulis karea terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur’an serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
3.    Sempit. Malam tersebut ialah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Dari Al-Qur’an kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu turn pada laylat al qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Qur’an telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Rasulullah, maka atas dasar logika itu ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Qur’an. Tetapi pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang kepada teks Al-Qur’an serta sekian banyak teks hadits yang menunjukkan bahwa laylat al qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasulullah pu menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusu pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.
Nah, apabila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang tidur pada malam kehadirannya? Tidak sedikit umat islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu keliru. Disisi lain, ini berarti kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Kehadiran dan kemuliaan yang dihadirkan oleh laylat al qadr tidak akan mungkin diraih kecuali oleh orangorang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke suatu tempat, tidak akan dating menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Demikian juga dengan laylat al qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasulullah dating pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena pada itu diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mecapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul menganjurkan sekaligus mempraktikkan I’tikaf  pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah bersemi, dan laylat al qadr  dating menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat al qadr – dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan ialah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan akhirat kelak, dan saat itu, malaikat turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru di hari kemudian.
Nabi telah menganjurkan untuk mengamalkan i’tikaf  di masjid dalam rangka perenungan dan penyician jiwa. Masjid adalah tempat suci, tepat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga dimasjid seseorang dapat menhindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika I’tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa da bacaan Al-Qur’an.
      Penulis: Prof. Dr. M. Quraish Shihab M.A  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da