Langsung ke konten utama

Hakikat Berpuasa


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣)
Ayat ini dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun. Ia dimulai dengan satu kata pengantar yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajaran itu. Ia dimulai dengan panggilan mesra, Diwajibkan atas kamu. Kemudian, dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu. Redaksi ini tidak menunjuk siapa pelakau yang mewajibkannya. Sepertinya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, maka manusia sendiri yang mewajibkan atas dirinya sendiri. Dan yang telah diwajibkan ialah aṣ-ṣiyām, yakni menahan diri. Selanjutnya, ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban yang diwajibkan itu adalah, sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu. Ini berarti puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak berdialog pada masa turunnya ayat ini, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun perincian pelaksanaannya berbeda. Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa, yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk. Itulah sedikit pemaparan yang disampaikan oleh Quraish Shihab mengenai ayat yang berhubungan dengan puasa.
Sebentar lagi kita semua –insyallah¬-- akan bertemu dengan bulan yang mulia yaitu bulan Ramadhan dimana semua umat muslim diwajibkan untuk melaksanakan suatu ibadah yang khusus hanya ada di bulan tersebut yakni ibadah berpuasa. Tapi aku sempat bertanya-tanya, dalam pengertian yang sesungguhnya puasa itu apa sih? Apa hanya menahan makan dan minum sampai magrib lalu berbuka pada saat matahari tenggelam? Lalu aku mendapat jawabannya dari Subki (2003: 18) bahwa secara bahasa puasa itu ialah menahan diri, tidak bergerak, atau diam. Sedangkan secara bahasanya berarti menahan diri dari makan, minum, berhubungan seksual, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat melaksanakan perintah Allah yang disertai dengan menahan diri dari perkataan yang sia-sia, perkataan yang dimakruhkan dan diharamkan guna meningkatkan nilai diri. Dari sini dapat kita tarik secara garis besarnya bahwa puasa itu bertujuan untuk memperoleh tingkat takwa disisi Allah. Jadi jika puasanya itu tidak menjadikannya sosok yang bertakwa maka barangkali puasanya akan sia-sia saja. Seperti yang telah Rasulullah sabdakan “Berapa banyak orang yang berpuasa, tiada nilai puasa baginya selain hanya mendapatkan lapar dan haus” Inilah tingkatan yang banyak dialami oleh kita semua. Sebagai contoh kasus, mereka berpuasa tapi maksiat tetap jalan, masih tetap berkata-kata yang buruk atau dusta, selain itu begitu banyak dari kita yang terpaksa membayar zakat tetapi setelah bulan Ramadhan lewat, mereka enggan berinfak atau bershadaqah lagi. Ada yang secara terpaksa untuk membaca Al-qur’an dikarenakan ada faktor-faktor yang menekannya, tetapi setelah ramadhan lewat, dia meninggalkannya kembali. Ada juga yang biasanya tidak pernah shalat dimasjid akhirnya pergi shalat ke masjid untuk melaksankan tarawih di hari-hari pertama karena malu oleh teman atau keluarga jika tidak melaksanakannya. Dan masih banyak lagi hal-hal yang sejenis dengan ini yang kesemuanya ialah suatu hal yang buruk dimana mereka tidak akan mendapat tujuan utama dari ibadah puasa itu sendiri. Adapun tingkatan kedua yaitu orang-orang yang berpuasa juga dengan menahan nafsu ruhaninya. Pada tingkatan ini, selain harus menahan lapar dan haus, serta harus menjauhkan diri dari istri, juga harus menahan nafsu ruhaninya seperti nafsu yang berasal dari indra yang lima. Dalam berpuasa, harus menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Seperti kebiasaan membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang sia-sia, menggunakan lisan untuk berkata-kata yang buruk terlebih lagi sampai menyakiti perasaan orang. Semua kebiasaan-kebiasaan itu harus dilenyapkan karena hal tersebut akan memusnahkan nilai ibadah puasa kita seperti yang dikatakan oleh Rasulullah “Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan kedustaan, maka Allah tidak memerlukannya dalam hal meninggalkan makanan dan minumannya (berpuasa)” Bukan lisan saja, tetapi yang berhubungan dengan mata pun harus dijaga dan dikendalikan. Seperti melihat hal-hal merangsang nafsu, wanita yang membuka auratnya, ataupun film dan video yang berbau porno. Juga yang berhubungan dengan telinga, tidak boleh lagi mendengar aib orang lain apalagi membicarakannya. Tangan, kaki, hidung pun harus dijaga jangan sampai melakukan hal-hal yang buruk yang dapat merusak nilai puasa. Selain kita juga harus menahan diri, kita juga dianjurkan untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan. Sebab pada bulan tersebut, semua amal dilipatgandakan sesuai dengan kehendakNya. Maka rugi sekalilah mereka yang hanya dapat menahan lapar dan hausnya tanpa berlomba melakukan kebaikan.
Dengan memahami secara benar hakikat berpuasa seperti yang dikemukakan diatas, maka hikmah yang akan diperoleh pun akan besar dan luas. Selain hikmah-hikmah yang berhubungan berwujud jasmaniyah, juga akan lahir hikmah-hikmah yang bersifat ruhaniyah. Dengan adanya hikmah-hikmah ini, manusia akan lebih dekat dengan penciptanya. Yang akan memperoleh gelar la ‘allakum tattaqūn. Allah hu ‘alam.
Penulis: M. Jiva

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da