Langsung ke konten utama

PERLUKAH BERTOLERANSI TINGGI ???


    Pengamalan ajaran agama, baik yang ada di negeri ini maupun yang ada dunia luas entah disadari ataupun tidak oleh para penganutnya, sudah memasuki suatu periode krisis yang berlangsung sepanjang hayat. Dr. Malachi Martin yang menjadi guru besar di sebuah universitas di Roma, telah melakukan kajian selama tertahun-tahun terhadap tiga agama serumpun yang berasal dari kemah Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam, juga telah berkesimpulan bahwa agama tersebut telah mengalami krisis yang disebabkan oleh penganutnya1. Dari pernyataan diatas, kita pasti bertanya-tanya, “krisis apa? Apa penyebabnya? Dan apakah solusinya?” dan disini penulis akan memberikan sedikit penjabaran lengkapnya.

    Tiga tahun yang lalu tepatnya pada bulan Desember 2010, di Irak telah terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh segolongan umat muslim terhadap gereja dimana lebih dari lima puluh orang menjadi korbannya, Sebelumnya lagi telah terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh muslim sunni terhadap masjid muslim syiah yang tak kalah sedikit korbannya, yaitu 1000 orang dari muslim syiah meninggal. Di abad 16 telah terjadi peperangan yang bertahun-tahun antara kerajaan di bawah raja katolik di Bayern dengan sebuah kerajaan protestan di Magdeburg, Denmark. Kita juga telah mengetahui sebuah peperangan yang teramat ironis antara umat islam dengan umat nasrani untuk memperebutkan kota Yerusallem (perang salib)2. Di negara kita sendiri, ketegangan ini masih terus berlangsung, mulai dari perang antar agama di Ambon, sampai ke tahap yang lebih kompleks seperti saling mengkafirkan antara umat muslim yang satu dengan umat muslim lainnya. Semua merasa yang paling benar, saling menuding, dan juga saling mencurigai. Semua berteriak “kita harus mempertahankan ideologi kita.”
    Rasanya dunia ini sudahlah tidak aman lagi. Bukankah ini merupakan suatu yang menyedihkan? Sampai-sampai ada yang berkata “masih perlukah kita bergama? Yang karena beragama itu kita menjadi berpecah belah?” bukankah agama itu diturunkan oleh Tuhan baik itu Allah menurut Islam, Yesus menurut Nasrani, Yehova menurut Yahudi, Brahman menurut Hindu untuk menjadikan bumi ini menjadi aman, damai dan tentram. Di dalam agama islam, kita telah mengenal tujuan pokok dari beragama itu sendiri, diantaranya (1) pemeliharaan agama; (2) pemeliharaan jiwa; (3) pemeliharaan akal; (4) pemeliharaan keturunan; (5) dan pemeliharaan harta. Di sisi lain Muhammad bin Abdullah pernah berkata “empat macam kebahagiaan akan dinikmati seseorang yaitu manakala pasangannya baik, anak-anaknya berbakti, lingkungan pergaulannya sehat dan rezekinya diperoleh di tempat kediamannya.3” Menurut agama Hindu menolak tuntutan kepentingan diri sebagai tujuan terakhir4. Tidak kalah dengan yang lain, Allah pun berfirman dalam kitab injil hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang (Roma 12: 18)5, Yesus pun berkata bahwa kita harus mengasihi, mendoakan, dan bersikap baik kepada semua orang walaupun mereka itu bersikap jahat kepada kita. Dalam ten commandment pun Allah memberikan hukum-hukum kepada umat dari Musa yang tujuannya tiada lain untuk terciptanya kedamaian. Begitu pula dengan agama-agama yang lain yang pastinya mereka semua menginginkan adanya perdamaian di muka bumi ini. Lantas mengapa kita yang telah beragama ini harus saling bertengkar? Saling beradu argumen dan memaksakan kehendak dan yang paling ekstrimnya lagi harus berperang atas nama agama untuk melawan agama lain. Tidak bisakah kita hidup bersama secara rukun dalam keberagaman? Tentunya hal ini dapat kita lakukan asalkan setiap induvidu memiliki kesadaran akan pentingnya hidup bertoleransi6. Terlebih lagi perihal perbedaan yang sifatnya ialah kepercayaan (aqidah), sehingga kita tidak dapat memaksakan kehendak pribadi (QS.Al-Kafirun: 1-6) dan (QS.Al-baqarah: 256). Dan untuk masalah perbedaan pendapat di dalam suatu permasalahan yang hanya bersifat furu’iyyah, janganlah dijadikan perpecahan tetapi jadikanlah hal ini sebagai bentuk rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita selaku wakilnya di bumi dan hal ini pun tidak mengakibatkan kekufuran bagi penganutnya, betapapun besarnya perbedaan tersebut7. Selain itu, penting adanya peranan ulama-ulama dari berbagai agama dan pemerintah dalam membimbing umatnya sehingga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
 Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa, kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu dengan keadaan yang beraneka-ragam –baik itu dari agama, negara, ras, sosial dan budaya untuk saling mengenal dan saling tolong-menolong bukan untuk saling mencerca dan menyerang sehingga dapat terciptanya tatanan hidup yang seimbang dan selaras. Perihal perbedaan agama kita dapat saling bertoleransi karena setiap manusia berhak dan bebas untuk memilih apa yang dipercayainya. Dan dalam hal perbedaan pendapat di dalam suatu permasalahan, janganlah dijadikan perdebatan yang tiada usainya tetapi jadikanlah hal itu sebagai bentuk dari rahmat-Nya. Bukankah fitrah manusia itu berkeinginan untuk hidup secara aman dan damai? Lantas hal apakah yang masih meragukan diri kita untuk bersikap toleransi tinggi?
Penulis: M.Jiva Agung (Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan IPAI)
Sumber Referensi
1. Huston smith. 2008. Agama-Agama Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal. ix
2. Kompasiana.com
3. M.Quraish Shihab. 2013. Membumikan Alquran.Bandung. Mizan. Hal 454
4. Huston smith. 2008. Agama-Agama Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal 27
5. http://alkitab.sabda.org/
6. Agus Pranoto (Mahasiswa UPI Jurusan IPAI)
7. Bandingkan dengan M.Qurasih Shihab dalam Membumikan Alquran. Bandung. Mizan. Hal 573


Komentar

  1. Lebih baik kita semua mati agar masing-masing tahu siapa yang benar. Namun sayang manusia terlalu takut untuk mati. Padahal jika tahu bahwa dirinya yang paling benar pasti tidak akan takut. Karena yang dihukum hanya orang yang salah. Orang yang benar tidak akan dihukum.

    Toleransi adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena agama apapun tidak akan berkembang tanpa adanya toleransi. Namun sayang, sekali lagi namun sayang. Hubungan yang tidak baik yang sebenarnya latar belakangnya bukanlah masalah agama berkelanjutan hingga pada akhirnya membawa-bawa agama. Bahkan yang lebih parah membenarkan perbuatan mereka dengan memilih-milih dalil agama.

    wallahu a'lam

    BalasHapus
  2. terima kasih atas komennya :)
    tapi menurut pandangan subjektif penulis, kita tidak perlu mati dahulu untuk mengetahui yang benar. Kita sudah diberi fasilitas oleh Sang Tuhan berupa Utusannya, dan juga Kitab, dalam hal ini Rasul dan Alquran. kita sebagai umat muslim wajib percaya akan kebenarannya kepada keduanya, tanpa ada ragu. untuk membuktikannya, silahkan kepada para ulama melakukan penelitian-penelitian. dan pasti tak akan bertentangan dengan fitrah manusia.
    dan untuk takut mati,menurut saya ga semua orang takut mati, tapi mungkin karena mereka belum siap dengan amal kebaikannya.
    nah untuk masalah toleransi itu penting, saya setuju. dan kebanyakan umat islam ini masih mudah terprovokasi akan isu-isu agama, yang padahal itu adalah bukan permasalahan agama, melainkan politik ataupun ekonomi..
    sekali lagi terima kasih komentarnya ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da