Langsung ke konten utama

Problematika Mata Pelajaran Ekonomi dalam Pengaplikasian di Kehidupan Sehari-hari


   
Di era global serta perkembangan IPTEK yang telah membawa perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk masalah ekonomi ini, maka diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas yang juga dapat bersaing dengan bangsa lain. Ekonomi sendiri merupakan salah satu disiplin ilmu dari mata pelajaran IPS yang lebih menekankan dalam hal kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan produksi, konsumsi dan atau distribusi.
Jika ditinjau dari segi waktunya, sudah berapa lamakah kita mempelajari perihal pelajaran ekonomi tersebut? mulai dari SD yang hanya berupa pengenalan-pengenalan saja dan masih bagian dari integrasi mata pelajaran IPS, ketika SMP masuk ke materi yang sudah dijadikan mata pelajaran tersendiri, hingga di tahap SMA yang sudah mulai mendalam dalam membahasnya. Akan tetapi  entah mengapa untuk peserta didik lulusan SMA saja, alih-alih menjadi seorang yang pandai dalam mengatur uang,  ketika dihadapkannya saja mereka belum dapat me-managenya. Fenomena inilah yang ditinjau oleh penulis ketika masih berada di bangku SMA. Ketika mendapat uang yang banyak maka dengan lihai mereka menghabiskannya untuk membeli barang-barang yang mewah di mall, tetapi ketika sudah habis mereka tinggal hanya meminta dan meminta kembali kepada orang tuanya tanpa melakukan pengelolaan terlebih dahulu yang menyebabkan para orang tua kewalahan dalam masalah finansial.
Dalam kasus lain karena sudah mempunyai uang yang cukup untuk dibelanjakan, sang anak pergi ke tempat-tempat dimana anak-anak muda lainnya senang berkumpul, dan mereka bertemu banyak orang, mereka berkencan, dan kadang-kadang mereka menikah. Saat ini aktivitas hidup telah berubah sangat banyak , karena sekarang baik pria (suami) maupun wanita (istri) bekerja. Dua penghasilan dalam sebuah keluarga tentulah menggembirakan. Mereka merasa berhasil, masa depan mereka cerah, dan mereka memutuskan untuk membeli rumah, mobil, televise, berlibur keluar kota ataupun keluar negeri, dan mempunyai anak. Segumpal kegembiraan pun dirasakannya, tetapi karena kebutuhannya begitu besar, maka pasangan yang berbahagia itu memutuskan bahwa karier mereka sungguh penting dan mereka pun mulai bekerja lebh keras, mencari promosi dan kenaikan (gaji maupun jabatan). Kenaikan-kenaikan pun dating, dan mereka juga mempunyai seorang anak lagi sehingga kebutuhan pun bertambah., itu menyebabkan mereka bekerja lebih giat, menjadi karyawan yang lebih baik, bahkan lebih berdedikasi. Mereka bersekolah lagi untuk memperoleh keterampilan yang lebih terspesialisasi dengan harapan bisa menghasilkan uang lebih banyak. Penghasilan mereka pun bertambah, tetapi pajak-pajak yang harus mereka bayar pun semakin bertambah: pajak atas rumah, pajak kendaraan, dan pajak-pajak lainnya. Pasangan yang berbahagia itu sekrang terperangkap dalam perlombaan tikus selama sisa hari-hari kerja mereka. Mereka bekerja untuk para pemilik perusahaan mereka, atau untuk pemerintah, untuk membayar pajak, hipotek bank, dan tagihan kartu-kartu kredit mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak bangsa kita saat ini hanya bekerja untuk uang bukan uang yang  bekerja untuknya, hal ini dikarenakan minimnya menerapkan pelajaran ekonomi dalam kehidupan yang rill.
Ada apa dengan anak-anak bangsa sekarang ini ? apakah sekolah belum dapat menyiapkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia yang rill? Para orang tua dan guru pun hanya mendoktrin anak-anaknya dengan berkata “belajarlah yang giat, raihlah angka yang baik dan kamu akan mendapat pekerjaan yang berupah tinggi dengan tunjangan dan keuntungan yang besar”. Mereka kebanyakan melakukan hal itu tanpa mengaitkannya dengan esensi yang ada di mata pelajaran tersebut, terlebih lagi dalam mata pelajaran ekonomi.  Singkat kata, seperti yang diungkapkan oleh Sharon Lechter (1997) tanpa melek financial dan pegetahuan tentang bagaimana cara uang bekerja, mereka tidak akan siap untuk menghadapi dunia yang sedang menantikan mereka, sebuah dunia dimana pengeluaran lebih ditekankan daripada penabungan.
Untuk itu, perlu ada formula baru untuk menyempurnakan mata pelajaran ekonomi sehingga dapat benar-benar dipahami oleh peserta didik dan dapat diterapkan di dunia nyata. Diantaranya melakukan pembaharuan dalam materi yang diberikan, tidak lagi memberikan konsep-konsep klasik yang tidak dimengerti oleh peserta didik ataupun materi yang sudah kuno dengan cara memberikan pemahaman tentang konsep ekonomi yang sedang membooming saat ini lalu diintegrasikan dengan kehidupan riil terutama di dalam kehidupan induvidu, keluarga dan masyarakat. Begitu banyak siswa yang keberatan dengan materi yang sangat banyak dan begitu rumit, sang pengajar pun tidak begitu memahaminya jika dikaitkan dengan kehidupan. Tetapi jika kita terpusat dengan mempelajari konsep ekonomi yang sedang ramai di dunia, maka kita pun dapat bersaing dan secara langsung dapat dikaitkan dengan kehidupan. Padahal ilmu ekonomi itu sendiri sangatlah erat hubungannya dengan uang, tapi mengapa dalam pendidikan financial/ keuangan  di bangku sekolah masihlah begitu sangat minim? menurut Robert Kiyosaki (1997), anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam sebuah system pendidikan yang kuno, mempelajari masalah-masalah yang tidak akan pernah mereka gunakan, dan menyiapkan diri mereka untuk sebuah dunia yang tidak ada lagi. Dia menambahkan, “bagaimana anda mengajarkan cara berinvestasi bila orang tua atau guru pun tidak menyukai resiko atau tidak berani mengambil resiko?”. Menurut pandangan penulis, hal yang dapat ditambahkan dalam mengajar peserta didik adalah dengan memberikan pengajaran tentang masalah uang, bagimana konsep perputaran uang itu, bagaimana uang itu didapatkan. Selain itu sebagai pengajar, juga harus memberikan pandangan yang luas perihal uang itu dan mengubah cara pandang agar tidak menjadi induvidu yang benalu, maksudnya sang guru harus menjadikan seorang siswa yang berfikir kritis dan mandiri, begitu banyak siswa yang setelah lulus mengandalkan beasiswa, dan jaminan-jaminan social lain dari pemerintah, kerja kantor-kantor dan merelakan dirinya sebagai pegawai (bawahan) dengan berharapkan gaji yang besar dan mendapat uang tunjangan dimasa pensiun, semua mengharapkan perlindungan ataupun menginginkan berada di posisi yang selalu aman. Apakah hal ini baik ? pastinya tidak, mengapa kita tidak menagjarkan kepada siswa untuk menjadi pribadi yang cerdas, kritis, dan mandiri. Tidak mengandalkan orang lain dan senang dengan rintangan. Mengapa mereka tidak berpikir untuk menjadi wirausahawan yang dapat mencipkan uang sendiri, dan juga dapat membantu orang untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu, dengan banyaknya wirausahawan akan menyebabkan daya saing internasional, dapat berperan aktif dalam perkembangan ekonomi di dunia dan dapat berkontribusi besar dalam penghasilan Negara.
 Demikianlah, semoga penerapan mata pelajaran ekonomi di dalam kehidupan yang nyata semakin membaik sehingga berpengaruh positif terhadap masalah financial di negeri ini. Dengan demikian kita tidak khawatir dengan adanya kesenjangan social maupun kebodohan dalam ilmu ekonomi. Dan kita berharap semoga generasi mendatang mampu bersikap mandiri dalam hal ekonomi sehingga dapat berdaya saing baik di era global ini.
Oleh: M.Jiva Agung W
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Pendidikan Indonesia yang aktif di UKM UKDM (unit kegiatan dakwah mahasiswa), UPTQ (unit perkembangan tilawatil quran), dan sebagai DKM masjid Al-Fatihah, jln.Panorama





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da