Langsung ke konten utama

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA




 

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd  dan Mokh. Iman Firmansyah M.Ag





Disusunoleh
Kelompok 9
M. Jiva Agung                      (1202282)
Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855)









PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai macam Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia.
Penyusun menyadari bahwa selama  penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh sebab itu,  penyusun mengucapkan terimakasih kepada Dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam, orang tua dan rekan-rekan seangkatan sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah ini.
            Makalah ini jauh dari kata sempurna karena masih memiliki kekurangan- kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penyusun.








Bandung,   April 2014

i
 
Penyusun



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan setelah pasang surut beberapa abad yang lalu. Kini pendidikan Islam berkembang kembali dengan ditandai munculnya beberapa organisasi dan lembaga pendidikan Islam.
Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia diawali dengan lahirnya Organisasi Muhammadiyah yang memiliki visi dan misi serta tujuan dalam bidang pendidikan Islam. Begitu pun selanjutnya semakin berkembang organisasi-organisasi lain serta muncul lembaga-lembaga yang mendukung perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk menjelaskan organisasi-organisasi serta lembaga-lembaga pendidikan yang mendukung perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa dan bagaimana pergerakanOrganisasi Pendidikan Islam di Indonesia?
2.      Apa dan bagaimana pergerakanLembaga Pendidikan Islam di Indonesia?

C.    Tujuan Pembuatan Makalah

Sejalan dengan rumusan masalah, penyusun memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Menjelaskan Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia.
2.     
1
 
Menjelaskan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN


A.      Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia

1.      Muhammadiyyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II adalah Muhammadiyyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. (Zuhairini, 2004: 171)
Selain sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid (pembaharuan), organisasi Muhammadiyyah juga telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan. Penempatan ini selain strategis juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa dalam rangka mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu wahana untuk berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa, Muhammadiyyah telah merumuskan visi, misi, tujuan, dan kelembagaan pendidikannya. (Hamdan, 2009: 77)
a.       Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyyah
Bagi Muhammadiyyah, pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pencapaian maksud dan tujuan Muhammadiyyah, yakni menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya. Menurutnya tujuan Muhammadiyyah itu dapat diwujudkan dengan melaksanakan dakwah yang salah satunya melalui pendidikan. (Hamdan, 2009: 78)
2
 
Menurut Hamdan (2009: 78) bahwa visi yang diemban oleh pendidikan Muhammadiyyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berfikir) peserta didik setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyyah. Sedangkan misinya ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua aspek kehidupan. Adapun implementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyyah ini tentunya mendapat penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
b.      Tujuan Pendidikan Muhammadiyyah
Sejak awal berdirinya, ormas Muhammadiyyah merupakan gerakan purifikasi (pemurnian) pemikiran Islam dan sekaligus memosisikan diri sebagai gerakan dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi keagamaan yang sangat concern dengan dunia pendidikan, Muhammadiyyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal (sekolah), non-formal (di masyarakat, sekolah), dan informal (rumah tangga, masyarakat, sekolah).(Hamdan, 2009: 80)
Sebenarnya tujuan umum pendidikan Muhammadiyyah secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di Betawi yang berisi, (1) menggiring anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar semangatnya, (2) badannya sehat, tegap bekerja, dan (3) hidup tangannya mencari rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang besar dan berharga hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama. (Hamdan, 2009: 84)
Kemudian di dalam konferensi di Pekajangan, Pekalongan tanggal 21-25 Juli 1955, rumusan itu diubah menjadi: “membentuk manusia muslim, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.” Selanjutnya tujuan pendidikan Muhammadiyyah dioperasionalkan oleh Majelis Dikdasmen Muhammadiyyah dengan menuangkannya dalam lima kualitas output pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyyah, yakni:
a)      Kualitas ke-Islaman. Ke-Islaman adalah ciri khas dari pendidikan Muhammadiyyah. Ia merupakan dasar dan tujuan dari cita-cita dalam proses pendewasaan manusia yang digagas oleh Muhammadiyyah. Sebagai institusi pendidikan yang diharapkan menjadi lembaga yang mencetak kader, sekolah/madrasah/pesantren Muhammadiyyah haruslah menegaskan diri dalam menghasilkan peserta didik yang mengejawentahkan nilai-nilai Islam.
b)      Kualitas keindonesiaan. Kualitas ini berhubungan dengan rasa kebangsaan peserta didik. Rasa kebangsaan akan tumbuh bila setiap warga negara mematuhi hukum, dengan lebih mengedepankan pelaksanaan kewajiban sebelum menuntut hak.
c)      Kualitas keilmuan. Adalah tingkat kemampuan peserta didik menyerap pengetahuan yang diajarkan. Ia bagian dari kecerdasan yang menjadi target pencapaian dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan.
d)     Kualitas kebahasaan. Adalah memiliki keterampilan dasar berbahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris.
e)      Kualitas keterampilan. Merupakan kemampuan atau keterampilan mengoperasionalkan teknologi, khususnya teknologi informasi.(Hamdan, 2009: 86-87)

c.       Kelembagaan Pendidikan Muhammadiyyah
Menurut Ahmad Tafsir (Hamdan, 2009: 88) mengatakan bahwa program pendidikan di SD, SMP, SMA Muhammadiyyah tidak sebatas pada program yang sebagaimana tertulis di dalam buku kurikulum sekolah itu masing-masing. Muhammadiyyah menganggap perlu juga adanya kegiatan pendidikan yang bersifat menunjang kurikulum yang tertulis didalam kurikulum tersebut. Kegiatan penunjang itu seperti Madrasah Diniyah sore hari, kursus bahasa Arab dan agama Islam tiga hari dalam seminggu, dan kegiatan belajar lainnya yang menunjang.

2.      Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H di Surabaya yang didirikan oleh alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa. Diantaranya:
a.    K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
b.    K.H Abdul Wahab Hasbullah
c.    K.H Bisri Joombang
d.   K.H Ridwan Semarang
e.    Dan lain-lain
Latar belakang didirikannya organisasi ini pada mulanya adalah sebagai perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan, (1) untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh di tangan pembaharuan, (2) untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. (Zuhairini, 2004: 179)
Masih dalam Zuhairini (2004: 181) bahwa maksud perkumpulan NU ialah memegang salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat, yaitu: (1) Syafi’i (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. Dan untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
a.         Mengadakan perhubungan antara ulama-ulama yang bermazhab di atas tersebut
b.        Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah
c.         Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik
d.        Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
e.         Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihkwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin
f.         Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam
Demikian maksud dan tujuan NU sebagaimana yang tersebut dalam Anggaran Dasar 1926 (sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan budi luhur masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga mengadakan tablig-tablig serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu. (Zuhairini, 2004: 181)
3.      Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920 ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri (perjamuan makan) yang didakan secara berkala di salah satu anggota kelompok di Bandung. Di sana mereka berbincang mengenai masalah-masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang, oleh Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jam’iat Khair. Juga pembicaraan soal komunisme yang telah berhasil memecahkan Sarekat Islam yang begitu kuat. (Zuhairini, 2004: 187)
Menurut Zuhairini (2004: 188) hal utama yang diperhatikan oleh Persis adalah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tablig, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Dalam kegiatan ini Persis beruntung karena mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan terpelajar.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig serta publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimasudkan untuk anak-anak dari anggota Persis, juga kursus-kursus dalam masalah agama seperti masalah iman, ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. (Zuhairini, 2004: 190)
Sebuah kegiatan yang penting lainnya dalam rangka pendidikan Persis ini adalah membentuk lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang diprakarsai oleh M.Natsir dan terdiri dari beberapa buah sekolah seperti Taman Kanak-kanak, HIS (keduanya pada tahun 1930), sekolah Mulo (1931), dan sebuah sekolah guru (1931).Disamping pendidikan Islam, Persis juga mendirikan Pesantren di Bandung pada bulan Mei 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Lalu pesantren ini dipindah ke Bangil, Jawa Timur, ketika Ahmad Hasan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa dari Bandung. (Zuhairini, 2004: 191)
4.      Al-Jam’iat Al-Khairiyah
Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa adanya pandang bulu. Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini adalah, (1) pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan (2) pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.Bidang yang kedua ini sering terhambat dan kekurangan biaya juga karena kemunduran khilafah, dengan pengertian tidak ada seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah memainkan peranan penting setelah mereka kembali ke Indonesia. (Zuhairini, 2004: 159)
Sekolah dasar Jam’iat Khair ini bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga memperlajari pengetahuan umum lainnya seperti berhitung, sejarah Islam, ilmu bumi, dan sebagainya. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Dan untuk memenuhi tenaga guru yang berkualitas, Jam’iat Khair mendatangkan guru-guru dari daerah-daerah lain bahkan dari luar negeri. (Zuhairini, 2004: 159)
Di samping membawa pembaharuan dalam sistem pengajarannya, menurut Zuhairini (2004: 161) mereka juga memperjuangkan persamaan hak sesama muslim dan pemikiran kembali ke Alquran dan As-Sunnah. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka terasing dari kalangan Sayid dari Jam’iat Khair yang melihat ide persamaan hak ini akan mengancam kedudukan mereka (Sayid) yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain dalam masyarakat Islam di Jawa. Hal ini akan berakibat lanjut terjadinya perpecahan dikalangan umat Jam’iat Khair, yang kemudian melahirkan organisasi Al-Irsyad.
5.      Al-Islah Wal Irsyad
Syaikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta pada bulan Febuari 1912, seorang alim yang terkenal dalam pengetahuan agamanya, beberapa tahun kemudian meninggalkan Jam’iat Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri bernama Al-Ishlah Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme). (Zuhairini, 2004: 162)
Zurairini melanjutkan (2004: 162)  bahwa pada tahun 1914 berdirilah perkumpulan Al-Ishlah Irsyad, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun 1915 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain.
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia bukan termasuk orang Arab, ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi lain, seperti Muhammadiyyah dan Persatuan Islam, organisasi ini meluaskan perhatian kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. (Zuhairini, 2004: 163)
Sekolah Al-Irsyad di Jakarta memiliki berbagai jenis. Terdapat sekolah-sekolah tingkat dasar, sekolah guru, bagian takhassus (dengan pelajaran 2 tahun) dimana pelajar dapat mengajarkan spesialisasi dalam ilmu agama, pendidikan atau bahasa.Murid-murid Al-Irsyad pada tahun-tahu pertama didirikan, terdiri dari anak-anak dari kalangan Arab dan sebagian juga (walaupun sedikit) anak-anak Indonesia asli dari Sumatera dan Kalimantan. Di luar Jakarta dan Surabaya murid-muridnya terdiri dari anak-anak keluarga setempat saja. Mereka banyak terdiri dari anak-anak penghulu, pedagang, dan guru-guru, serta  beberapa diantaranya anak-anak pegawai pemerintahan.

6.      Perserikatan Ulama
Perserikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif K.H Abdul  Halim. Enam bulan setelah kembali dari Mekkah pada tahun 1991, K.H Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama dengan Hayatul Qulub yang bergerak dibidang ekonomi maupun pendidikan. Anggotanya bermula hanya sekitar enam puluh orang, umumnya terdiri dari petani dan pedagang. Dalam bidang pendidikan K.H Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali dalam seminggu untuk orang-orang dewasa yang diikuti oleh 40 orang. Umumnya pelajaran yang ia berikan adalah pelajaran-pelajaran fikih dan hadits. (Zuhairini, 2004: 168)
Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan para pedagang Cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian dianggap oleh pemerintahan sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun berdiri. Tetapi kegiatannya terus berlanjut walau tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang ekonomi. Sedangkan untuk bidang pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi. Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bersifat modern.Tetapi sistem berkelas dan sistem koedukasi yang diintrodusir oleh K.H Ahmad Halim dalam lembaga lima tahunnya tidak disukai. Maka dari itu untuk memperbaikinya, K.H Ahmad Halim berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-irsyad di Jakarta.
Organisasi tersebut yang kemudian diganti dengan nama Perserikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S Cokroaminoto (Pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perserikatan Umat Islam pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), menjadi persatuan Umat Islam (PUI). (Zuhairini, 2004: 169)
Pada tahun 1932 (Zuhairini, 2004: 170) dalam suatu kongres Perserikatan Ulama di Majalegka, K.H Ahmad Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja hanya dengan ilmu agama dan ilmu umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung pada bakat dan minatnya masing-masing.
Kongres itu pun menerima usul K.H Ahmad Halim.Suatu keluarga yang kaya dari Ciomas menyediakan sebidang tanahnya, dipasir Ayu. Kira-kira sepuluh meter dari Majalengka, untuk keperluan pelakasanaan cita-cita tersebut. Lembaga ini dinamakan Santi Asrama yang dibagi menjadi tiga bagian: tingkat permulaan, dasar, dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada sekolah-sekolah lain dari Perserikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran umum, pelajar-pelajar dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu) menenun dan mengolah berbagai-bagai bahan, seperti membuat sabun. Mereka harus tinggal di suatu asrama dibawah disiplin yang ketat, terutama tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua tahun 1930 kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama terebut sebagai pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut belajar pula. (Zuhairini, 2004: 170-171)

B. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Proses Islamisasi di Indonesia dilalui lewat beberapa saluran yang diantaranya ialah melalui perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Di saat itu pendidikan masih bersifat informal. Kontak-kontak person antara mubalig dan masyarakat masih belum terstruktur secara jelas dan tegas. (Daulay, 2009: 11-13)
Sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, menurut Zuhairini (2004: 192) telah terdapat berbagai macam lembaga pendidikan Islam yang memegang peranan sangat penting dalam rangka penyebaran ajaran Islam di Indonesia.
Jika dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang bersifat non-formal dan juga ada yang bersifat formal. Di sini akan dipaparkan berbagai macam lembaga yang ada di Indonesia.
1.    Masjid dan Langgar
Sebagai implikasi dari terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat, maka secara serta merta pula mereka membutuhkan masjid dan langgar untuk melaksanakan ibadah. Dan pada akhirnya fungsi tersebut meluas hingga menjadi tempat sarana pendidikan Islam untuk orang dewasa maupun anak-anak. (Daulay, 2009: 13)
Dalam kasus di pulau Jawa menurut Nata (2012: 199) lembaga pendidikan seperti langgar selanjutnya berubah namanya menjadi Taman Pendidikan Anak-anak (TPA) yang tersebar di seluruh pedesaan atau perkotaan. Melalui TPA ini anak-anak dibimbing untuk mengenal huruf hijaiyah, mengucapkan kata-kata dan kalimat-kalimat huruf Arab, dan selanjutnya membaca dan menghafal surat dan ayat-ayat pendek. Selain itu anak-anak juga diberikan pelajaran tentang praktik shalat, berdoa, akidah, akhlak, dan interaksi sosial.
2.    Pondok Pesantren
Masih belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali didirikan. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa pesantren pertama kali muncul pada zaman walisongo, dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren. (Daulay, 2009: 13)
Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. Kata pondok itu berasal dari kata funduk yang artinya adalah pondok, penginapan, atau hotel.Sedangkan untuk kata pesantren mengandung arti pesantrian yang berarti tempat santri.
Pada tahun 1899 berdirilah pondok pesantren Tebuireng di Jombang oleh K.H Hasyim Asy’ari, madrasahnya yang formal berdiri pada tahun 1919 bernama Salafiyah yang diasuh oleh K.H Ilyas. Madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. (Zuhairini, 2004: 194)
Sesudah pondok pesantren Tebuireng, maka menyusul pondok pesantren Tambak Beras di Jombang oleh K.H Wahab Hasbullah dan ponodk pesantren Rejoso Peterongan di Jombang oleh K.H Tamin pada tahun 1919. Selanjutnya, didirikan juga pondok pesantren Gontor oleh K.H Imam Zarkasy dan K.H Sahal. (Zuhairini, 2004: 194)
Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren ini pada perkembangannya memiliki lima macam keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen suatu pesantren, yaitu:
a)    Pondok Pesantren Salaf/ Klasik
Yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan bersistem klasikal (madrasah) salaf
b)   Pondok Pesantren Semi Berkembang
Sama dengan pondok pesantren salaf, hanya saja bedanya pondok pesantren ini menggunakan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum
c)    Pondok Pesantren Berkembang
Sama dengan pondok pesantren semi berkembang, hanya saja kurikulum pelajaran umum di sini lebih diperbanyak hingga 30%
d)   Pondok Pesantren Khalaf/ Modern
Sama dengan pondok pesantren berkembang, hanya saja sudah lebih legkap lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, antara lain diselenggarakannya sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf), PT (umum dan agama), adanya koperasi, dan dilengkapi juga dengan takhasus (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris)
e)    Pondok Pesantren Ideal
Sama dengan pondok pesantren modern, hanya saja lembaga pendidikan ini sudah lebih lengkap terutama dengan adanya bidang pertanian, teknik, perikanan, perbankan dan lain sebagainya dan juga benar-benar memperhatikan kualitasnya disertai tidak menggeser ciri-ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan kebutuhan zaman.


3.             Meunasah, Rangkang, Dayah (Aceh)
Menurut Hasjmy (Daulay, 2009: 14) menyatakan bahwa meunasah adalah lembaga pendidikan pertama yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di sini pula murid diajar menulis dan membaca huruf Arab, dan ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (melayu). Dan pada perkembangannya berkembang seperti madrasah-madrasah seperti di daerah-daerah lain. Lalu rangkang adalah sebuah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid. Karena sang murid butuh mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat tinggal untuk mereka di sekitar masjid. Dan yang terakhir adalah dayah.Istilah kata dayah ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah. Kata zawiyah itu sendiri merujuk pada sudut satu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid yang pada akhirnya berlangsung proses pendidikan dalam bentuk halaqah. Zawiyah ini pada hakikatnya adalah suatu lembaga pendidikan Islam untuk tingkat menengah.
4.             Surau
Pengertian surau pada mulanya di Sumatera Barat erat kaitannya dengan budaya setempat. Anak laki-laki yang sudah aqil balig tidak layak lagi untuk tinggal di rumah orang tuanya sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin dan di rumah itu akan datang laki-laki lain yang menjadi suami dari saudara perempuannya sehingga anak laki-laki itu harus pindah ke suatu tempat yang dinamakan surau. (Daulay, 2009: 15)
Di surau itu mereka belajar cara hidup sebagai laki-laki yang kelak harus bertanggung jawab mencari nafkah. Mereka juga saling tukar-menukar pengalaman.Di surau itu pula mereka belajar mengenai berpantun, latihan bela diri yang diajarkan oleh orang yang lebih tua. (Nata, 2012: 198)
Selain dari fungsi budaya itu, maka surau juga mempunyai fungsi pendidikan dan agama.(Daulay, 2009: 15)
Adapun surau yang pertama kali membuka madrasah formal menurut Zuhairini (2004: 193) ialah Tawalib di Padang Pajag pada tahun 1921 M dibawah pimpinan Syeikh Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka.


5.             Sekolah Dinas
Pedidikan agama Islam baru diadakan di sekolah-sekolah ketika berdirinya sekolah-sekolah yang diasuh oleh organisasi Islam. Setelah Indonesia merdeka, diterapkan departemen yang membimbing dan mengurus masalah agama yang tiada lain diperuntukkan kepada departemen agama. Oleh karena pendidikan agama telah dimasukkan menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah sejak berlakunya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, maka pada tahun 1946 ada tindak lanjut seperti diberi kewenangannya Departemen Agama untuk mengangkat seorang guru agama. (Daulay, 2009: 22)
Di bawah ini adalah jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia,
Jenjang Pendidikan
Waktu
PAUD
1-2 Tahun
TK
1-2 Tahun
SD
6 Tahun
SMP
3 Tahun
SMA
3 Tahun
PT
1-6 Tahun
(Muchtar, 2005: 136)
6.             Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar.Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis kegamaan.Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan umum. (Nata, 2012: 199)
Nata (2012: 199) melanjutkan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara-negara lainnya yang didalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
Abdul Mujib dan Jusuf mudzakir (Nata, 2012: 199) menyatakan bahwa kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya memiliki empat latar belakang, yaitu: (1) sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan sistem pendidikan Islam, (2) sebagai usaha menyempurnakan terhadap sistem pendidikan pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah, (3) adanya sikap ental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka, (4) sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akuturasi.
Menurut Langgulung (2000: 125) madrasah berasal dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya dengan luas disebabkan oleh materi Saljuqi yang bernama Nizam Al-Mulk yang mendirikan madrasah Nizamiyah yang berasal dari namanya, di kota Baghdad pada tahun 458 H, lalu menyebar ke berbagai daerah seperti Balakh, Harran, Asfhan, Basrah, Marw, Amal Tibrisan, dan di Mausil. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa di setiap kota Iran dan Khurasan pasti ada madrasah.
Dari Irak dan Khurasan lalu menyebar ke negeri Syam yang didirikan pertama kali di Damaskus pada tahun 491 H. dari situ berpindahlah ide pembentukan madrasah di Mesir di bawah naungan Salahuddin Al-Ayyubi, yaitu pada tahun 567 H. Kemudian baru muncul di Afrika Utara seabad kemudian. (Langgulung, 2000: 126)
Menurut Gibb dan Kramers yang dikutip oleh Langgulung (2000: 126) menyatakan bahwa Salahuddin Al-Ayyubi dipandang sebagai pendiri yang terbesar bagi madrasah-madrasah setelah Nizam Al-Mulk. Ini karena kegiatan utamanya, sebagai pendiri madrasah-madrasah adalah di negeri-negeri yang menduduki tempat yang sangat penting bagi dunia Islam seperti Syria, Palestina, dan Mesir. Dan dari negeri-negeri inilah madrasah-madrasah itu tersebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia
Menurut Zuhairini (2004: 192) pendidikan Islam mulai besemi dan berkembang pada awal abad ke-20 Masehi dengan berdirinya madrasah Islamiyyah yang bersifat formal. Madrasah-madrasah yang bermunculan di Sumatera antara lain: Madrasah Adabiyah di Padang, Sumatera Barat yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini berubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M. pada tahun 1910 M didirikan Madras School I daerah Batu Sangkar, Sumatra Barat oleh Syeikh M. Taib Umar. Pada tahun 1918 M Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan dari Madras School.
Menurut Nata (2012: 201) khusus di Indonesia, dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Alquran, Hadits, fikih/Usul Fikih, Akidah-Akhlak, Sejarah Islam, dan Bahasa Arab, juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya berlangsung hingga kelas empat. Adapaun madrasah sebagai sekolahumum yang berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap religiusitas bagi para pelajar yang senantiasa akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.
Di bawah ini adalah jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia
Jenjang Pendidikan
Waktu
TK/TPA/Bustanul Atfal/Raudlatul Atfal
1-2 Tahun
MI (Madrasah I’tibadiyyah)
6 Tahun
MTS (Madrasah tsanawiyyah)
3 Tahun
MA (Madrasah aliyyah)
3 Tahun
PT (Pesantren tinggi )
1-6 Tahun
(Muchtar, 2005: 136)
7.         Pendidikan Tinggi Islam
Lembaga pendidikan tinggi Islam pertama didirikan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1945 yang diberi nama dengan STI (Sekolah Tinggi Islam) yang dipelopori oleh Masyumi. Sebuah organisasi besar saat itu. Tetapi karena kondisi politik yang kurang kondusif saat itu, STI dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1948 dan dirubah namanya menjadi UII (Universitas Islam Indonesia) dengan memiliki 4 buah fakultas, yaitu fakultas hukum, fakultas agama, fakultas pendidikan, dan fakultas ekonomi. Pada perkembangan berikutnya, fakultas agama UII ini diubah statusnya menjadi negeri sehingga terpisah dari UII dan merubah namanya menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang diresmikan pada tahun 1950. Tetapi baru bisa dioperasionalkan pada tahun 1951. (Daulay, 2009: 23)
Dalam Zuhairini (2004: 197) pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan Penetapan Menteri Agama No.1 tahun 1957. Tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan Departemen Agama. Pada bulan Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah. Sampai saat ini sudah ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia.



















BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab pembahasan di atas, penyusun menyimpulkan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Faktor-faktor yang membuat Baghdad menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokan menjadi dua, yakni faktor intern dan ekstern. Di antara faktor intern adalah danya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang tergabung  dalam daulah Abbasiyyah, munculnya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang menyebabkan konflik berdarah dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternalnya adalah Perang salib yang terjadi beberapa gelombang dan hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
2.      Kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Cordova, Spanyol disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya perebutan kekuasaan di antara ahli waris, lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al-Hakam II dan lain sebagainya.
3.      Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad dan Cordova sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di Timur dan di Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang intelektual dan materil, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.




189
 
 

B.     Saran

Berdasarkan pembahasan di atas, masa kemunduran Islam terjadi karena beberapa faktor diantaranya mengebaikan perkembangan  dunia material dan lebih memperhatikan kehidupan batin. Dari sejarah pendidikan Islam pada masa kemunduran tersebut, alangkah baiknya jika kita mengambil pelajaran untuk kemajuan pendidikan Islam sekarang ini, yaitu dengan menyeimbangkan antara kehidupan dunia atau materian dengan kehidupan batin atau spiritual.





















DAFTAR PUSTAKA

 

Daulay, H. P. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamdan. (2009). Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyyah. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Langgulung, H. (2000). Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Muchtar, H. J. (2005). Fikih Pendidikan. Bandung: Rosda.
Nasir, R. (2010). Tipologi format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Zuhairini. (2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
20
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da