Oleh:
M. Jiva Agung (1202282)
Agus
Hasan (1205409)
Nijar
(1202849)
I.
Periwayatan anak-anak,
orang kafir, dan orang fasik
Para muhadditsin memperselisihkan
tentang sah atau tidaknya anak yang belum dewasa, orang yang masih dalam
keadaan yang kafir dan rawi yang masih dalam keadaan yang fasik, disaat ia
menerima hadits dari Nabi untuk meriwayatkan hadits, tetapi menurut jumhur
muhadditsin bahwa riwayat mereka dapat diterima ketika disampaikannya setelah
masing-masing sudah dewasa, memeluk agama islam dan sudah bertaubat.
Adapun alasan jumhur ulama tentang
anak yang belum dewasa dibolehkan menerima riwayat ialah sebuah ijma, yakni
seluruh umat islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan
riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa, karena
banyak sekali dari para sahabat yang menerima hadits sewaktu beliau masih belum
dewasa seperti Hasan, Husein, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, dll. Menurut
jumhur muhadditsin batas minimal umur seseorang yang diperbolehkan untuk
meriwayatkan hadits adalah 5 tahun. Tetapi ada juga ulama seperti Imam Yahya
bin Ma’in yang menetapkan harus sudah berumur 15 tahun. Beliau mengungkapkan
pendapatnya dengan mengeluarkan alasan hadits dari Ibnu Umar, ujarnya: “saya dihadapkan kepada Rasulullah pada waktu
perang uhud, disaat itu saya baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan
aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi pada perang khandaq, disaat itu saya
berumur 15 tahun, beliau memperkenankan aku”
Dalil yang dikemukakan oleh orang
yang masih dalam keadaan kafir ialah hadits dari Jubair bin Muth’im: “bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca
surat At-Thur pada saat shalat maghrib”. Jubair mendengar sabda Rasul
tersebut ketika ia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan tawanan perang
badar dalam keadaan masih kafir yang akhirnya memeluk islam.
Imam Ibnu Hajar menerima raiwayat
orang fasik dengan dalil qiyas “babul aula” artinya, kalau menerimaan riwayat
orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama islam dapat
diterima, apalagi penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah tobat dan
diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima.
II.
Macam-macam cara
menerima riwayat
Cara menerima
riwayat itu ada 8 macam, diantaranya:
1. Sama’min
lafdhi’s-syaikhi, yakni mendengar sendiri
dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun bukan, dan baik dari
hafalannya maupun dari tulisannya. Cara yang demikianlah yang tinggi nilainya
menurut jumhur sebab dimasa Rasul cara inilah yang dijalankannya, yakni sering
para sahabat mendengar apa yang didiktekan oleh Rasul. Dengan cara ini
terpeliharalah kekeliruan dan kelupaan, serta mendekati kebenaran lantaran
sudah menjadi kebiasaan, setelah selesai mereka saling mencocokkan.
Mendengar
perkataan guru dari belakang hijab tetap dianggap sah menurut jumhur, selagi
berkeyakinan bahwa suara yang didengarnya adalah benar-benar suara sang guru.
Hal itu karena ada para sahabat yang mendengarkan hadits-hadits dari Aisyah dan
istri-istri Rasul dari belakang tabir, dan kemudian mereka meriwayatkannya.
Adapun lafadz-lafadz yang dipergunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits atas
dasar sama’ ialah:
·
akhbaranĪ
atau akhbaranā (seseorang telah mengabarkan
kepadaku/kami)
·
ĥaddaŝani atau
ĥaddaŝanā (seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
·
sami’tu atau sami’nā
(saya telah mendengar, kami telah mendengar)
2. Al-qira’ah
‘ala’s-Syaikhi atau disebut dengan ‘aradl. Dikatakan demikian karena si
pembaca mengguyuhkan haditsnya kehadapan sang guru, baik ia sendiri yang
membacanya maupun orang lain yang membacanya sedang ia mendengarnya. Cara yang
demikian adalah sah dan dapat diamalkan. Adapun lafadz yang digunakan untuk
menyampaikan hadits-hadits yang berdasarkan qiraah ini ialah:
·
Qora’tu alaihi (aku
telah membacakan dihadapannya)
·
Quri’a ‘ala fulānin wa
anā asma’u (dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedan aku
mendengarkannya)
·
Ĥaddaŝanā au akhbaranā
qirā’atan ‘alaihi (telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan
dihadapannya)
3. Ijazah, yakni
pemberian izin dari seorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits
daripadanya atau kitab-kitabnya. Kebanyakan para muhadditsin tidak
memperkenankan meriwayatkan dengan ijazah, sebab kalau diizinkan tentu tuntutan
pergi mencari hadits itu gugur dengan sendirinya. Tetapi menurut jumhur
muhadditsin diperkenankan meriwayatkan dan mengamalkannya. Ijazah ini mempunyai
3 tipe yakni:
·
Ijazah
fi mu’ayyanin limu ‘ayyanin (izin untuk
meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang tertentu), misalnya: “aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan kitab si fulan dari saya”. Ijazah semacam ini paling tinggi
nilainya.
·
Ijazah
fi ghairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin
untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak
tertentu), misalnya: “ku ijahzahkan
kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”
·
Ijazah
ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (izin
untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak
tertentu), misalnya: “kuijazahkan kepada
seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”. Sebagian ulama termasuk
Al-Khatib dan Abu Thayyib membolehkan ijazah semacam ini.
4. Munawalah. Yakni
seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah ini memiliki dua macam:
·
Dengan dibarengi ijazah. Misalnya setelah sang
guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan:
“riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang dibacakan seorang murid
dihadapansang guru, lalu dikatakan: “itu adalah periwayatan saya, karenanya
riwayatkanlah” ” periwayatan berdasarkan ini diperkenankan dan bahkan ada yang
berpendapat kebolehannya itu secara ijma, karenanya tidak ragu lagi kewajiban
untuk mengamalkannya.
·
Tanpa dibarengi ijazah.
Yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan
dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar dari si fulan tanpa diikuti dengan
suatu perintah untuk mengamalkannya.
Lafadz-lafadz
yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar munawalah bersama
ijazah ialah: anbaani/anbaanā (seorang telah memberitahukan/ kepadaku/kami)
Munawalah yang
tidak bersama ijazah ialah: nā wa lanĪ, nā
wa lanā (seoran telah memberikan kepadaku/kami)
5. Mukatabah. Yakni
seorang guru yang menulis sendiri at menyuruh orang lain menulis beberapa
hadits kepada orang lain di tempat lain atau yang ada dihadapannya
(korespodensi). Sebagaimana munawalah,
mukatabah ada jua yang dibarengi dengan ijazah. Hukum mukatabah bersama
ijazah ini sah, mempunyai martabat yang kuat seperti munawalah yang bersama
dengan ijazah. Adapun mukatabah yang tidak bersama dengan ijazah, seperti bila
seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya.
Menurut Imam
Al-Mawardi, Al-Amidy dan Ibnu Al-Qattan bahwa mukatabah ghairu maqrunah
bil-ijazah ini tidak sah, sedangkan menurut ahli hadits yang masyur dari
angkatan mutaqaddimin dan mutaakhirin, mukatabah ghairu maqrunah bil-ijazah itu
adalah sah. Sebab nyatanya hal ini dijumpai dalam shahih bukhari maupun shahih
muslim. Seperti “warta dari Warrad (yang)
mengatakan: Mu’awiyyah berkirim surat kepada Al-Mughirah r.a: tuliskan untukku
apa-apa yang telah kau dengar dari Rasulullah. Lalu ditulislah hadits untuknya tentang
bacaan doa setelah shalat…”. Lafadz-lafadz yang digunakan untuk
menyampaikan hadits yang berdasar mukatabah ialah:
·
Ĥaddaŝani fulānun
kitābaħ (seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat)
·
akhbaranĪ
fulānun kitābaħ (seseorang telah mengabarkan
kepadaku denan melalui surat)
·
kataba ilayya fulānun
(seseorang telah menulis padaku)
6. wijadah.
Yakni memperroleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik
dengan lafadz sama’, qiraah maupun
selainnya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut. Para ulama berbeda
pendapat seperti ulama-ulama Malikiyyah tidak memperkenankan, Syafi’i
membolehkannya. Lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang
berdasarkan wijadah ialah:
·
qoro’tu bikhaṭṭi
fulānin (saya telah membaca khat seseorang)
·
wajad tu bikhaṭṭi
fulānin Ĥaddaŝanā fulānun (kudapati khat seseorang, bercerita padaku si fulan…)
7. Washiyah.
Yakni seseorang dikala akan mati ataupun bepergian, dengan sebuah kitab supaya
diriwayatkan. Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan atas
jalan wasiat ini tetapi ulama jumhur tidak membolehkannya, bila yang menerima
wasiat tidak mempunyai ijazah dari pewasiat.
8. I’lam.
yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya
adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang dengan tidak
mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Hadits yang berdasarkan
I’lam ini tidak boleh karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah
mengetahui bahwa dalam hadits tersebut ada cacatnya.
Komentar
Posting Komentar