Langsung ke konten utama

Masalah Pergaulan di Kampus

Kehidupan yang islami sejatinya amat di harapkan oleh setiap warga kampus. Islam dengan karakteristiknya yang mengatur seluruh kehidupan sudah sewajarnya diyakini dan diterapkan tanpa ada keraguan (QS. Al-Baqarah [2]: 2). Sayangnya dewasa ini remaja muslim –pada umumnya- lebih senang dengan gaya hidup yang hedonis materialis. Wajar kalau ada yang bilang remaja Indonesia dewasa ini sangat latah terhadap segala sesuatu hal yang baru tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Sepertinya apa yang datang dari Barat -kalau di Timur mungkin Korea- dianggap semuanya baik.
Barat dengan segala kemajuannya begitu gencar menyebarkan cara pandang hidupnya kepada dunia, termasuk ke Indonesia. Perilaku-perilaku menyimpang yang mereka lakukan pun dapat dengan mudah di lihat, bahkan sering kali di perlihatkan seolah-olah itu sangat menyenangkan. Seperti pakaian yang terbuka aurat, berpegangan, pelukan, hingga tidur bareng dilakukan seolah-olah adalah hal yang lumrah. Ada teori yang mengatakan[1] bahwa tujuan besar mereka adalah untuk menjauhkan diri dari aturan-aturan kitab suci yang bermuara pada “pembangkangan kepada Tuhan”. Teori lain[2] mengatakan ini merupakan usaha pihak Barat yang merasa terancam dengan pertumbuhan Islam. Buktinya, adanya uturan pelarangan jilbab oleh parlemen Perancis. Padahal, Perancis merupakan Negara Eropa dengan penduduk islam terbesar.
Dan semua itu di tiru oleh remaja muslim saat ini. Anda percaya kan tulisan saya tidak berbohong?
Ada pertanyaan umum yang sering diajukan, “Sebenarnya, bagaimana sih islam memandang pergaulan sesama manusia? Kok ini itu serba dilarang”
Islam bukan lah agama yang datang untuk mengekang setiap aktivitas manusia, tetapi hadir untuk memberikan arahan dan petunjuk-petunjuk supaya manusia dapat hidup harmonis. Adapun mengenai larangan-larangan, sebenarnya untuk keperluan manusia itu sendiri. Ini bisa kita analogikan seperti peraturan lampu lalu lintas, ada lampu merah, lampu kuning, dan lampu hijau. Lampu merah untuk melarang berlaju, lampu kuning untuk berhati-hati, dan hijau untuk melaju. Bisa dibayangkan jika para pengendara mengendarai kendaraannya sesuai kehendak masing-masing, dari semua arah menginginkan kendaraannya yang melaju. Bisa dipastikan akan terjadi banyak kecelakaan. Begitu pula dalam hal pergaulan.
Islam telah menyadari bahwa lelaki dan perempuan adalah sepasang. Yang satu tidak bisa hidup tanpa kehadiran yang lain. Di sana tercipta hubungan-hubungan (interaksi) sosial guna menghasilkan keharmonisan. Sebagaimana yang telah terfirman dalam Alquran:
$pkšr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.sŒ4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©Ÿ@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã׎Î7yzÇÊÌÈ
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti(QS. Al-Hujarat [49]: 13)
Kita juga tidak bisa menistakan interaksi antara kaum lelaki dan perempuan, karena memang kita hidup di tempat yang satu (Bumi). Tidak bisa Bumi di belah, setengah untuk laki-laki dan setengahnya untuk perempuan. Hanya saja dalam interaksi tersebut, di perlukan aturan-aturan sebagaimana layaknya peraturan lampu lalu lintas.
Mengenai hal ini Syaikh Yusuf Qardawimengatakan bahwa pada prinsipnya, hubungan di antara lelaki dan wanita tidaklah ditolak secara total, malahan dibolehkan selama ia ditujukan kepada/untuk kebaikan dan atas perkara-perkara yang dibenarkan oleh syariat. Serta wajib patuhi kehendak dan ajaran Islam juga memperhatikan tentang akhlak dan adabnya.[3]
Islam tidak seperti Negara Barat yang membolehkan kebebasan yang tiada batas –membuka aurat, bercampur baur antara lawan jenis, dan sebagainya- tetapi juga tidak perlu seperti yang di lakukan oleh segolongan kaum ekstremis yang sangat membatasi pergaulan.
Islam sejak dahulu sudah mewanti-wanti mengenai pergaulan, seperti yang tertara dalam Alquran:
Ÿwur(#qç/tø)s?#oTÌh9$#(¼çm¯RÎ)tb%x.Zpt±Ås»sùuä!$yurWxÎ6yÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al-Isra [17]: 32)
Redaksi ayat di atas bukan bertuliskan “dan janganlah kamu berzina” tetapi “janganlah kamu mendekati zina”. Itu berarti sesuatu perbuatan yang mendekati atau mengarah ke zina saja sudah dilarang, terlebih perbuatan zinanya. oleh karena itu, sudah sepantasnya kaum muda-mudi berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak, apakah tindakannya mendekati zina atau tidak.
Selanjutnya, bagi setiap muslim, terlebih kaum remaja di harapkan sangat menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis secara berlebihan.
Saya sendiri menyadari hal ini tidak lah mudah, terlebih di umur-umur mahasiswa yang masih remaja akhir/ dewasa awal sedang menggebu-gebunya kepada lawan jenis. Tetapi bukan berarti –menjaga pandangan- tidak bisa. Maka iman yang kuat menjadi suatu hal yang mutlak.  Karena Allah sediri telah menghimbau dalam firman-Nya:
@è%šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9(#qÒäótƒô`ÏBôMÏd̍»|Áö/r&(#qÝàxÿøtsuróOßgy_rãèù4y7Ï9ºsŒ4s1ør&öNçlm;3¨bÎ)©!$#7ŽÎ7yz$yJÎ/tbqãèoYóÁtƒÇÌÉÈ
katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.(QS. An-Nur [24]: 30)
Karena awal dorongan syahwat adalah dengan melihat. Maka jagalah mata kita ini agar terhindar dari tipu daya setan. Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada wanita yang bukan mahram) dengan pandangan lain, karena pandangan yang pertama itu (halal) bagimu, tetapi tidak yang kedua!” (HR. Abu Daud).
Mengenai hadits di atas ada yang pernah berguyon, “kalau begitu, saya memandang saja dengan lama (tanpa menoleh) sehingga masih dikatakan pandangan yang halal.. hehehe” padahal bukan lah begitu penafsirannya. Yang di maksud dengan pandangan pertama menurut hemat saya adalah pandangan seseorang yang ‘biasa saja’ tanpa ada nafsu, dilakukan secara proporsional, juga bukan memandang yang haram dan pada suasana yang terhormat. Jadi bisa saja kita memandang lawan jenis dengan waktu yang lama, selama syarat-syarat itu terpenuhi. Karena menurut adat Indonesia sendiri, jika berbicara dengan lawan bicara tanpa menghadapkan muka akan dianggap tidak sopan. Sekali lagi, selama syarat-syarat di atas terpenuhi. Sedangkan pengertian ‘pandangan kedua’ adalah pandangan yang penuh nafsu. Jadi, bisa saja walaupun hanya memandang sebentar tetapi penuh dengan nafsu, itu pun terlarang, terlebih jika pandangannya diteruskan.
Ada lagi panduan yang diberikan Allah kepada kita untuk tetap menjaga norma-norma pergaulan, seperti menjaga diri supaya terhindari dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dan salah satu bentuk menjaga diri adalah dengan menutup aurat. Karena rambut pun aurat –bisa di bilang mahkotanya wanita-, sudah sepantasnya memakai kerudung bukan hanya ketika shalat.
 Aurat adalah suatu kehormatan atau nilai yang sangat berharga yang dimiliki oleh setiap pribadi, sehingga tidak boleh sembarang orang melihat apalagi menyentuhnya. Allah berfirman:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótƒô`ÏB£`Ïd̍»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùŸwuršúïÏö7ャ`ßgtFt^ƒÎžwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(tûøóÎŽôØuø9ur£`Ïd̍ßJ胿24n?tã£`ÍkÍ5qãŠã_(ŸwuršúïÏö7ャ`ßgtFt^ƒÎžwÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä÷rr&Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r&÷rr&Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr&£`ÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/£`ÎgÏ?ºuqyzr&÷rr&£`Îgͬ!$|¡ÎS÷rr&$tBôMs3n=tB£`ßgãZ»yJ÷ƒr&Írr&šúüÏèÎ7»­F9$#ÎŽöxîÍ<'ré&Ïpt/öM}$#z`ÏBÉA%y`Ìh9$#Írr&È@øÿÏeÜ9$#šúïÏ%©!$#óOs9(#rãygôàtƒ4n?tãÏNºuöqtãÏä!$|¡ÏiY9$#(ŸwurtûøóÎŽôØo£`ÎgÎ=ã_ör'Î/zNn=÷èãÏ9$tBtûüÏÿøƒä`ÏB£`ÎgÏFt^ƒÎ4(#þqç/qè?urn<Î)«!$#$·èŠÏHsdtmƒr&šcqãZÏB÷sßJø9$#÷/ä3ª=yès9šcqßsÎ=øÿè?ÇÌÊÈ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(Qs. An-Nur [24]: 31)
Dan yang terakhir, upayakan untuk tidak bersentuhan fisik dengan lawan jenis. Ada banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sekali pun menyentuh tangan wanita, walaupun ada beberapa ulama yang menyangsikan mengenai keharamannya. Tetapi alangkah baiknya untuk dihindari, kecuali pada saat-saat darurat.
Keegoisan di kalangan Mahasiswa
Sering mendengar teman-teman kita yang berkata, “aku mah… kalau aku mah…ari urang mah” ? atau mungkin kita sendiri seperti itu. Jika ia, berarti masih ada penyakit egois di dalam diri kita. Secara umum egoisme dapat diartikan sebagai ‘terlalu mementingkan diri sendiri’ atau bisa di katakan sebagai ‘mencintai diri sendiri’ dan sangat mungkin akan merambah untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan pajang lebar.
Ali Amir –wartawan Mesir- menulis dalam harian Akhbar Al-Yaum, bahwa suatu perusahaan telepon merekam lima ratus percakapan dalam rangka mengetahui kata yang paling banyak diucapkan. Dan ternyata kata tersebut adalah yang menunjuk pada diri pembicara seperti “aku” atau “saya”. Ia terulang sebanyak 3.999 kali atau sama dengan delapan kali setiap dilakukan dalam suatu percakapan.[4]
Rupanya kata “aku” merupakan kata yang paling ringan, indah, dan lezat untuk diucapkan, walaupun seringkali kata tersebut merupakan kata yang “berat” terdengar di telinga mitra bicara kita. Mungkin saja ini adalah suatu indikator mendalamnya individualisme. [5]
Bukankah kita sering kesal ketika bertemu teman yang hanya ingin menceritakan tentang dirinya sendiri. Bahkan ketika kita sedang bercerita, dia malah balik menceritakan kisahnya, bukan mendengar atau memperhatikan cerita kita. Saya berikan satu ilustrasi untuk mudah dipahami.
[Suatu ketika di sela-sela jam perkuliahan]
Tami: “ilmy, kamu tahu ga, liburan kemarin aku senaang banget. Bisa ketemu mamah, papah, adik, dan yang lainnya.”
Ilmy: “oh gitu. Walaupun tidak pulang kampung, bukan berarti liburan ku membosankan. Hari minggu kemaren aku ikut lomba dalam acara seminar menulis di ITB, senang deh bertemu teman baru yang hebat-hebat dari berbagai universitas.”
Tami: “ya walaupun gitu, seharusnya kamu pulang kampung dong, kan masih punya keluarga. Oia, aku juga menghabiskan waktu untuk berwisata ke kebun binatang lho. Seru deh, melihat binatang-binatang langka secara langsung… hehehe”
Ilmy: “kalau aku mah udah janjian sama teman-teman di sana untuk membuat buku bersama…Aku juga foto bareng dengan mereka di studio. Dan satu lagi, aku juara dua lho. haha ”
Melihat ilustrasi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tiap masing-masing individu (Tami dan Ilmy) hanya mencerikan pribadinya. Mereka hanya ingin orang lain peduli, bukannya malah menanggapi lawan bicara. Bisa di bayangkan, walaupun secara kasar mereka terlihat saling berinteraksi tetapi bagaikan hanya seseorang yang berbicara kepada boneka. Contoh lain,saudara-saudara ku bisa melihat sendiri ketika ada segolongan ibu-ibu yang sedang merumpi membicarakan kelebihan anaknya masing-masing. Akhirnya, saya ingin bertanya kepada saudara-saudaraku sekalian. Apakah kita juga seperti ini? Sebuah renungan besar.
Mari sejenak beralih ke Alquran. Dalam Alquran, Tuhan dan manusia menggunakan kata “aku” atau “saya”, walaupun diakui bahwa Allah Mahamutlak serta tidak ada yang menyamai kebesaran dan keagungan-Nya. Namun –walaupun Dia Raja segala raja- jarang sekali Dia Yang Mahakuasa itu menggunakan kata-kata “aku”. Jika dikhawatirkan timbul kesalahpahaman tentang Zat atau wewenang-Nya, barulah kata-kata tersebut digunakan. Pada umumnya, Tuhan menunjuk kepada diri-Nya dengan bentuk jamak (Kami), yang antara lain mengandung makna keterlibatan makhluk bersama-Nya dalam aktivitas yang ditunjuk.[6]
Di sisi lain, manusia-manusia pilihan Allah (Para Nabi) menggunakan kata “aku” bukan dalam rangka menonjolkan keakuan, tetapi justru menggambarkan kebutuhan dan kelemahan mereka khususnya di hadapan Allah[7]. Misalnya dalam ayat :
@è%HwãAqè%r&óOä3s9ÏZÏãßûÉî!#tyz«!$#IwurãNn=ôãr&|=øtóø9$#IwurãAqè%r&öNä3s9ÎoTÎ)î7n=tB(÷bÎ)ßìÎ7¨?r&žwÎ)$tB#Óyrqュn<Î)4ö@è%ö@ydÈqtGó¡o4yJôãF{$#玍ÅÁt7ø9$#ur4Ÿxsùr&tbr㍩3xÿtGs?ÇÎÉÈ
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku’ (QS. Al-An’am [6]: 50)
Demikian juga halnya jika untuk satu dan lain sebab mereka menonjolkan keistimewaan, sebagaimana dalam ayat ini ini adalah sebagian anugerah dari Tuhanku, dalam rangka mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmatNya) (QS. An-Naml [27]: 40)
Disamping itu, kalau kata “aku” mereka gunakan, maka itu dalam rangka menggabungkan diri kedalam kelompok. Orang-orang terpuji menyatakan keislaman mereka dalam mengucapkan dan saya termasuk ke dalam kelompok orang muslim, atau aku diperintahkan menjadi salah satu dari kaum muslim (QS. 10: 72; 41: 33)[8]
Kiranya dari sini kita dapat memahami, mengapa tokoh Qarun dikecam Alquran ketika menonjolkan keakuannya dengan berkata sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku (QS. 28: 78)[9]
Sama halnya ketika Iblis yang merasa (keakuan) lebih hebat di banding manusia yang di abadikan dalam Alquran:
tA$s%ߧŠÎ=ö/Î*¯»tƒ$tBy7s9žwr&tbqä3s?yìtBtûïÏÉf»¡¡9$#ÇÌËÈtA$s%öNs9`ä.r&yàfóX{@t±u;Ï9¼çmtFø)n=yz`ÏB9@»|Áù=|¹ô`ÏiB:*uHxq5bqãZó¡¨BÇÌÌÈ
Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai iblis! Apa sebabnya kamu (tidak ikut) sujud bersama mereka?’. Ia (iblis) berkata, ‘aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Enkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk’  (QS. Al-Hijr [15]: 32-33)
Dua ayat di atas (tentang Qarun dan Iblis) seharusnya menjadi renungan kita bersama. Sikap mereka itu di sebabkan karena tingginya ego/ keakuan yang berlebihan sehingga menimbulkan sikap-sikap merasa pandai, merasa hebat, merasa kaya, merasa cantik, dan sebagainya.
Tanpa perlu berpanjang lebar, demikian islam menuntun kita dalam hal berinteraksi dengan lawan jenis. Agaknya tuntunan di atas belum seluruhnya di perhatikan oleh mahasiswa. Untuk itu saya pribadi –juga berusaha- berharap besar kepada para pemimpin, orang tua, guru, aktivitis dakwah untuk bisa menyebarkan tuntunan-tuntunan di atas. Bukankah kita mengharapkan suasana yang islami dimanapun, termasuk kampus?



[1] Afred Suci. (2012). 151 kospirasi Dunia Paling Gila & Mencengangkan. Jakarta: PT. Wahyu Media, hlm. 254
[2] Ibid
[3]http://fattfatma.wordpress.com
[4] Quraish Shihab. (2013). Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan, hlm. 195
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 196
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hlm. 197

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da