Langsung ke konten utama

Merenungi Kembali Surat Al-Ma'un

|M÷ƒuäur&Ï%©!$#Ü>Éjs3ãƒÉúïÏe$!$$Î/ÇÊÈšÏ9ºxsùÏ%©!$#íßtƒzOŠÏKuŠø9$#ÇËÈŸwurÙçts4n?tãÏQ$yèsÛÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#ÇÌÈ×@÷ƒuqsùšú,Íj#|ÁßJù=Ïj9ÇÍÈtûïÏ%©!$#öNèd`tãöNÍkÍEŸx|¹tbqèd$yÇÎÈtûïÏ%©!$#öNèdšcrâä!#tãƒÇÏÈtbqãèuZôJtƒurtbqãã$yJø9$#ÇÐÈ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka itulah orang yang menghardik ank yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat. (yaitu) orang yang lalai dalam shalatnya. Yang berbuat riya. Dan enggan (memberikan) bantuan.(QS. Al-Ma’un [107]: 1-7)
Siapa yang tidak kenal dengan surat Al-Mā’un? Saya rasa seluruh kaum muslim –baligh- telah menghafal dan membacanya dalam shalat. Tetapi apakah –dari seluruh muslim- telah memahami kandungannya? Saya rasa belum, jikalau sudah, apakah yang memahaminya, telah menerapkan kandungan surat Al-Mā’un dalam kehidupan? Mari bertanya pada diri sendiri.
Sebelum membahas lebih dalam, alangkah baiknya jika kita telusuri dahulu latar belakangnya. Surat ini menurut sebagian riwayat tergolong dalam surat Makiyyah. Tetapi, menurutriwayat yang lain tergolong Makiyyah dan Madaniyah. Tiga ayat pertama tergolong Makiyyah, sedangkan sisanya tergolong Madaniyah. Pendapat yang kedua lebih di unggulkan,sebab sebagian topik yang dibicarakannya termasuk topik-topik Alquran yang tergolong Madani, yaitu berkaitan dengan kemunafikan dan riya yang belum dikenal di dalam jamaah Muslim di Mekkah. Betapapun, surat ini secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang terpadu.
Diceritakan bahwa ada tokoh musyrik di Kota Mekkah yang bernama Abu Sufyan yang selalu menyembelih unta setiap minggunya dan dia membagi-bagikan kepada teman-temannya. Ketika itu datanglah seorang anak yatim yang mampir untuk meminta sedikit daging, tetapi malah didorong hingga jatuh. Riwayat lain berkata bahwa yang mendorong ialah Abu Jahal. Maka turunlah surat ini.[1]
Sedangkan menurut Shaleh[2] dan pendapat ini juga senada dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas[3] mengungkapkan bahwa didalam suatu riwayat, ayat ini (QS. Al-Mā’ūn [107]: 4-7) turun berkenaan dengan kaum munafik yang suka mempertontonkan shalatnya kepada kaum mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman.
Hemat saya, surat Al-Ma’un mengandung suatu bentuk acaman keras terhadap orang-orang yang tidak mempercayai hari akhirat. Seperti yang dilakukan oleh Abu Sufyan dan orang-orang munafik.
Sekarang mari berkaca diri. Sudahkah kita mempercayai hari akhirat itu? Mungkin secara spontan akan menjawab ‘ya’. Tapi di dalam hati kecil saya mengatakan bahwa tidak semua yang mengatakan ‘ya’ memang benar-benar mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, atau kalau boleh di bilang, belum mengamplikasikannya secara menyeluruh. Agaknya jawaban yang kedua ini yang lebih tepat.
Apakah di dalam diri kita masih ada sifat-sifat seperti Abu Sufyan? Dia melakukan kebaikan hanya untuk mendapatkan posisi (jabatan) tertentudi kalangan petinggi-petinggi Mekkah. Maka alangkah wajar jika dia berlaku kasar terhadap anak yatim yang ingin meminta makanan tersebut (perhatikan kembali ayat kedua). Ini bagaikan dia berkata, “hmm.. hadiah-hadiah ini diberikan supaya di saat-saat tertentu saya bisa mendapatkan posisi (jabatan) yang tinggi” dan atau “ga ada keperluan sedikitpun dengan orang-orang yang lemah. Itu derita yang harus mereka tanggung sendiri”. Coba kita alihkan ke dalam diri masing-masing. Adakah sifat-sifat yang seperti di atas masuk ke dalam pribadi kita? Seperti memberi hadiah kepada guru supaya mendapat nilai besar[4], menghambur-hamburkan uang untuk pesta sedangkan masih banyak orang yang membutuhkan, dan lain sebagainya.
Sifat buruk lainnya yaitu enggan menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin. Perhatikan kembali redaksi dalam ayat ketiga. Disana Allah sangat memahami bahwa tidak semua orang mampu untuk memberikan makanan kepada orang miskin, makanya Allah hanya menyuruh setiap orang wajib saling menganjurkan satu sama lain untuk memberi makan orang miskin. Sudah kah kita melakukan hal itu? Kalau belum, lakukanlah segera. Anjuran ini bukan berarti kita merasa puas setelah menyuruh orang lain memberi makan orang miskin. Karena selagi masih mampu, maka kewajibannya adalah untuk memberi, bukan menganjurkan orang untuk memberi. Ingat! Allah menggolongkan orang yang tidak menganjurkan memberi makanan dalam kumpulan para pendusta/pengingkar hari akhir. 
Fa wailu al-mushallin’ ada yang mengartikan ‘maka celakalah orang-orang yang shalat’, tapi ada juga yang mengartikan ‘maka masuk neraka (wail) lah orang-orang yang shalat[5]. Perhatikan! Orang yang shalat saja masih diancam celaka atau masuk neraka. Maka sudah sepantasnya tidak ada kesombongan bagi orang yang sudah melaksanakan shalat, bisa jadi shalat kita tidak diterima karena berbagai faktor yang belum terpenuhi. Tapi jangan lantas anda berfikir untuk mengurungkan shalat. Salah besar. Seharusnya anda berfikir kalau orang yang sudah shalat saja bisa diancam Allah, apalagi orang yang tidak shalat.
Kita selaku hamba yang lemah tidak pantas berbangga dengan amal-amal yang telah dilakukan, terlebih lagi kita tidak bisa memastikan semua itu telah diterima. Cukup bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas sembari berdoa supaya amal kita diterima di sisi-Nya.
Berlanjut ke ayat selanjutnya. Ada dua sebab mengapa orang yang sudah shalat tetap di ancam celaka atau masuk neraka. Menurut ahli tafsir, pertama karena orang itu sering melalaikan waktu shalat. Maksudnya, mereka sering mengulur-ulur waktu shalat dengan melakukan aktivitas yang tiada berguna, seperti berleha-leha hingga waktu shalat hampir habis (shalat di akhir waktu)[6].Kedua, karena lalai dalam substansi shalatnya[7]. Memang benar mereka takbir, ruku’, i’tidal, sujud tetapi hati mereka tidak hidup bersama shalatnya. Ruh-ruh mereka tidak menghadirkan hakikat shalat dan hakikat bacaan-bacaan, doa-doa, sertadzikir-dzikir yang ada di dalam shalat.Shalatnya hanya merupakan gerakan-gerakan rutinitas yang biasa dilakukan, tanpa adanya penghayatan, dan tidak pula menikmati pengaruh shalatnya. Biasanya itu karenamereka telah menghafal kalimatnya(bacaan), sedangkan maknanya tidak dimengerti. Dosen saya pernah berkata ‘Janganlah shalat dulu (memulai takbir) kalau diri kalian belum sadar ingin melakukan shalat. Sadarilah dulu bahwa kalian benar-benar ingin berhadapan dengan-Nya’.
Sungguh, ayat ini amat keras ancamannya. Menyindir sekian banyak orang yang sering menunda-nunda shalat, atau orang yang shalat tetapi hanya karena sebuah rutinitas belaka tanpa mengerti apa yang dibaca. Tidak tanggung-tanggung Allah Swt memasukkannya ke dalam kelompok orang yang celaka/ masuk neraka.
Ayat selanjutnya mengecam orang-orang yang riya dalam shalatnya. Riya dapat diartikan sebagaimengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi melalui ibadah. Dan makna awal dari kata ini adalah mencari kedudukan atau pujian di hati manusia.[8] Karena penyakit riya ini sangat halus, mudah terselip di dalam hati, sehingga seringkali tidak sadar telah merasuk ke dalam jiwa kita.
Seperti memanjangkan atau meiramakan bacaan shalat. Pernahkah kita berlaku demikian? Ketika kita dipilih menjadi imam, bacaan dipanjang-panjangkan bahkan seringkali diiramakan supaya dikata hebat, tetapi ketika sedang shalat sendiri malah di persingkat. Salah satu dosen saya pernah berguyon, “kalau lagi shalat bersama mertua, bacaan dipanjang-panjangkan, eeh pas shalat sendiri mah cepat pisan.. hehe”. Amat tercela perbuatan riya hingga Allah mengancam dengan api neraka.
Sedangkan ayat yang terakhir, secara tidak langsung telah memberitahu kepada kita bahwa keengganan memberi bantuan merupakan efekdari tidak memahami substansi shalat. Jika diperhatikan, semua ibadah-ibadah ritual akan dapat dikatakan berhasil setelah si pelaku menerapkannya dalam kehidupan. Inilah yang dinamakan kesalehan sosial. Bagaimana mungkin orang yang memahami substasi shalat, enggan memberikan bantuan? Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah orang-orang yang sangat memahami substansi shalat, maka dari itu mereka tidak segan-segan untuk memberikan bantuan kepada sesama.
Demikian, agaknya dapat kita resapi kesimpulan yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Abduh[9], dia berkata: “Orang-orang yang mengerjakan sembahyang hanya sekedar untuk dilihat orang, bersedekah hanya untuk mempertahankan kedudukannya, dan tidak bangkit berusaha dengan dorongan rahmat yang bergejolak di dalam dadanya untuk membantu memenuhi kebutuhan orang yang sangat memerlukan, orang-orang yang demikian itu tidak sedikit pun mengambil manfaat dan sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang mendustakan agama.
Surat Al-Ma’un memaparkan begitu gamblang ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Mestinya menjadi hak mutlak bagi saudara-saudaraku aktivis dakwah untuk berkaca diri, sudahkah kita terlepas dari golongan orang yang mendustakan agama? Semoga. []



[1] Quraish Shihab. (2009). Tafsir Al-Mishbah Vol.15. Jakarta: Lentera Hati
[2] Shaleh. (2000). Asbabun Nuzul. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, hlm. 677
[3] Aam Amirudin. (2004). Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Juz ‘Amma (Vol 1). Bandung: Khazanah Intelektual, hlm. 109
[4] Ini bukan berarti tidak boleh memberikan hadiah. Selama niatnnya baik –untuk menyambung silahturahmi dan sebagainya- dan tidak ada embel-embel lain, itu diperbolehkan.
[5] Lihat Quraish Shihab. (2011). Tafsir Al-Mishbah Vol.15. Jakarta: Lentera Hati, hlm. 648
[6] Lihat Abu Bakar Jabir al-jazair. (2009). Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar Vol.7. Jakarta: Darus Sunnah, hlm. 1049. Lihat juga Ath-Thabari. (2009). Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azam, serta Al-Qurthubi. (2009). Tafsir Al-Qur’an Juz Amma. Jakarta: Pustaka Azzam, hlm. 793
[7] Lihat Mustafa Al-Maraghi. (1993). Terjemah Tafsir Al-Maraghi Vol.10. Semarang: PT. Karya Toha Putra, hlm. 437. Lihat juga Sayyid Quthb. (2001). Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani, hlm. 358, serta Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. (2002). Al-Bayan Vol.II. Semarang: Pt. Pustaka Rizki Putra, hlm. 4710
[8] Al-Qurthubi. (2009). Tafsir Al-Qur’an Juz Amma. Jakarta: Pustaka Azzam, hlm. 795

[9] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. (2003). Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Vol.V. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da