Langsung ke konten utama

Takwa Sebagai Salah Satu Tujuan Asasi Pendidikan

“Apalah arti seseorang yang memperoleh seluruh dunia ini, tetapi jiwanya kosong”
Pendidikan dalam artian yang luas dapat didefinisikan sebagai gejala manusiawi dan sekaligus usaha sadar yang didalamnya tidak pernah lepas dari keterbatasan yang melekat pada peserta didik (bahawan, anak, siswa, peserta tutoring/mentoring), pendidik (pemimpin, orang tua, guru, tutor, mentor), interaksi pendidik, lingkungan serta sarana pendidikan.
Untuk itu, peningkatan mutu pendidikan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang bermutu dapat menunjang pembangunan di segala bidang. Oleh sebab itu perlu adanya pemahaman tentang arti dan tujuan pendidikan secara mendalam. Tujuan pendidikan itu pun nantinya akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa.
Surat Ali Imran ayat 15 merupakan salah satu ayat yang di dalamnya mengindikasikan ketakwaan seseorang adalah tujuan akhir pendidikan. Karena dalam ayat sebelumnya diceritakan terdapat orang-orang yang menjadikan nikmat duniawi(harta, tahta, wanita) sebagai tujuan  hidup, maka Allah menegurnya dengan memberikan jalan yang lebih baik, yaitu dengan menjadi orang yang bertakwa. Berikut penggalan ayat dari surat Ali Imran ayat 15 :
*ö@è%/ä3ã¥Îm;tRätr&9ŽöyÎ/`ÏiBöNà6Ï9ºsŒ4tûïÏ%©#Ï9(#öqs)¨?$#yZÏãóOÎgÎn/u×M»¨Yy_̍ôfs?`ÏB$ygÏFøtrB㍻yg÷RF{$#tûïÏ$Î#»yz$ygŠÏùÓlºurør&ur×ot£gsÜBÒcºuqôÊÍuršÆÏiB«!$#3ª!$#ur7ŽÅÁt/ÏŠ$t7Ïèø9$$Î/ÇÊÎÈ
“Katakanlah, inginkah kuberitahukan kepada kamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu (perhiasan dunia)? untuk orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dianugerahi) pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan yang sangat besar bersumber dari Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”(QS. Ali Imran [3]: 15)
Ayat ini seakan-akan berkata bahwa Allah melalui Nabi Muhammad ingin memberitahukan kepada manusia secara umumnya atau kepada umat muslim secara khususnya, bahwa terdapat suatu nikmat yang lebih besar bahkan kekal yang akan diperoleh jika mereka bertakwa. Memang Allah memperbolehkan mereka menikmati aneka macam kesenangan dunia –cinta wanita, anak laki-laki, harta yang berlimpah- tetapi dalam ayat selanjutnya –ayat 15- Allah ingin membandingkan aneka nikmat tersebut dengan nikmat yang diperoleh jikalau mereka bertakwa. Sungguh jauh hasilnya. 
Kata ridhwān yang tertera dalam ayat 15 berbentuk nakirah,ini mengandung makna kebesaran. Selanjutnya kata tersebut menggunakan tanwin, ini pun mengandung makna keagungan. Selanjutnya, kata ini terambil dari kata ridhā yang ditambah dengan huruf alif dan nūn, sekali lagi itu menunjukkan kebesaran dan keagungannya. Semua itu masih ditambah bahwa keridhaan yang agung itu bersumber dari Allah. Sehingga dalam ayat ini terlihat adanya peningkatan nilai tambah dibandingkan syahwat-syahwat dunia yang tertera dalam ayat sebelumnya.[1]
Selain itu, ada pula hadits-hadits yang menguatkan ayat diatas. Diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah berpesan kepadaku, bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada. Dan ikutilah kejahatan itu dengan kebaikan niscaya ia aka menghapusnya. Dan bergaullah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik. (HR. Tirmidzi No. 2791)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ditanya, Ya Rasulullah siapa manusia yang paling mulia? Beliau menjawab, orang yang paling bertakwa. (HR. Bukhari)
Bagian dari sikap takwa sebagai upaya memelihara diri itu adalah berbuat kebaikan secara nyata dalam kehidupan sosial kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas. Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak hanya dinilai dan diukur berdasarkan kepada kesalehan pribadi saja dengan mengandalkan pada ibadah ritual belaka, akan tetapi lebih dari itu takwa harus dengan kesalehan sosial kemanusiaan dalam kehidupan realitas berupa etika sosial dan tanggung jawab sosial kemanusiaan tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluaga.[2]
Bahkan kebanyakan hadits mengenai anjuran bertakwa kepada Allah, justru sebagian besar tertuju kepada masalah-masalah sosial seperti perintah bergaul dengan orang lain secara baik dan sopan (memelihara etika sosial), memberikan sedekah walau sebutir kurma, memberi maaf, memberi upah kerja, bersikap adil kepada anak-anak dan baik terhadap suami/istri dalam membina rumah tangga, dan lain sebagainya.
Hubungannya dengan Pendidikan
Tatkala orang mendesain pendidikan, sekali lagi dalam artian yang luas, maka ia harus memulainya dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan dasar pendidikan yang menjadi pandangan hidup pendesain itu ia merumuskan tujuan pendidikan. Jadi, tujuan pendidikan pada dasarnya ditentukan oleh pandangan hidup orang yang mendesain pendidikan itu.[3]
Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekali pun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia diciptakan. [4]
Jika ayat yang sedang dibahas ini dikaitkan dengan pendidikan, maka agaknya pantas dijadikan rujukan sebagai tujuan akhir pendidikan. Terlihat disana golongan orang yang bertakwa diberikan hak spesial dibanding mereka yang tidak menjadikan takwa sebagai tujuan akhir. Ketakwaan mengantarkan manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun peradaban manusia. Disini takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kadar kemampuannya.
Kita selaku masyarakat awam patut berterima kasih kepada aparat pemerintah yang telah menyusun  tujuan Pendidikan Nasional yang mencantumkan ‘ketakwaan’ sebagai salah satu tujuan asasi pendidikan sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan islam. Sebagaimana yang tertera dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, “Tujuan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Karena memang ketakwaan sudah dijadikan landasan Pendidikan Nasional di Negara kita, maka tindak lanjut yang saya sarankan ialah merumuskan nilai-nilai takwa untuk menjadi pilar sistem pendidikan Indonesia dan memayungi setiap kebijakan pendidikan dan proses belajar mengajarnya, selanjutnya dapat dilakukan proses islamisasi pengetahuan karena saat ini pendidikan masih bersifat dikotomi seakan-akan nilai-nilai keislaman hanya terdapat di dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam saja. Maka dari itu secara singkatnya semua aktivitas kependidikan haruslah mengacu kepada pembentukan sikap dan perilaku bertakwa. Sudah barang tentu termasuk tugas para aktivis dakwah. Dengan takwa, iman seseorang dapat dipertanggung jawabkan. Sungguh tinggi derajat anak-anak Indonesia jikalau mereka menempatkan takwa diatas segalanya, termasuk kenikmatan duniawi. []



[1] Quraish Shihab. (2011). Tafsir Al-Mishbah Vol.2. Jakarta: Lentera Hati, hlm. 39
[2] Sayadi, W. (2009). Hadits Tarbawi: Pesan-Pesan Nabi saw Tentang Pendidikan. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 63
[3] Lihat Ahmad Tafsir. (2012). Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Rosda, hlm. 75
[4] Ibid, hlm. 76

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da