Langsung ke konten utama

Opini: Ribut-Ribut Hari Kasih Sayang



RIBUT-RIBUT HARI KASIH SAYANG

Beberapa hari belakangan dan bahkan puncaknya hari ini (14 Februari) berbagai kalangan sedang ramai-ramainya memperbincangkan hari kasih sayang. Mulai dari anak-anak, pelajar sekolah, mahasiswa, orang dewasa, hingga tokoh agama mendengungkannya di berbagai tempat. Yang paling ramai dan paling bebas ya tentu di dunia maya. Mayoritas dari mereka menolak merayakan hari kasih sayang itu meski ada satu dua yang entah secara spontan atau tidak, menunjukkan antitesis  dari kelompok yang menolak. Aku tidak tahu apakah tindakan ‘menakut-nakuti’ itu –yang dilakukan oleh kalangan yang menolak- akan berpengaruh kepada orang yang sedang memiliki status relationship? soalnya ketika melihat realita seperti tidak ada efek sama sekali untuk mereka. Yang pacaran yaa tetap merayakan, yang menolak yaa tinggal hanya kata-kata saja. Aku hanya tersenyum kecil membaca tulisan-tulisan singkat mereka. Tulisan yang telah membanjiri berandaku yang semakin menyingkirkan berita tentang LGBT.  
Kamu bertanya bagaimana dengan sikapku?   OK mari kita bahas sedikit lebih serius. Ada dua hal yang aku pahami. Pertama, memberi kasih sayang adalah anjuran dari setiap agama, bahkan tanpa anjuran agama pun manusia yang masih sehat akalnya secara naluriah akan mencurahkan kasih sayangnya kepada ‘sesuatu’ yang menurutnya berharga. Bukan hanya memberi (give), menurutku mereka lebih senang lagi jika mendapatkan (take)  kasih sayang yang diterima dari pihak luar. Aku sendiri cenderung lebih suka dicintai daripada mencintai. Kedua, secara naluriah manusia juga senang dengan hal-hal yang berkaitan dengan mengabadikan, mengenang, atau mengingat-ingat sesuatu. Jangan tanya bagaimana orang Indonesia. Mereka jagonya. Peringatan hari kemerdekaan, hari pahlawan, hari guru, hari ibu, satu tahun kematian, maulud Nabi,dan jutaan peringatan lain telah ada di bumi Indonesia sejak lama. Ada sih yang menyatakan bahwa peringatan-peringatan tersebut tidak perlu karena kita dapat melakukannya setiap saat tanpa harus menunggu hari-hari tertentu. Kalau anda salah satu dari mereka, ya silakan saja. Aku yakin kok kalau semua orang yang suka memperingati hari-hari tertentu bukan berarti dia hanya melakukannya di hari itu saja melainkan karena ia juga menginginkan ada satu hari tertentu yang dapat merefleksikan hasrat naluriahnya tersebut. Misalnya memperingati hari guru. Bukan berarti di hari-hari biasa para siswa boleh berbuat buruk kepada guru. Mereka harus hormat setiap saat. Tetapi tentu akan sangat membahagiakan –bagi kedua belah pihak- jika ada moment tertentu dimana mereka dapat lebih akrab. Murid-murid mencium tangan guru dengan takzim, memberikan mereka surat cinta atau sekadar seikat bunga dan cokelat. Guru pun akan sangat senang mendapat perlakuan seperti itu. Begitu pun dengan perayaan atau peringatan-peringatan yang lain, termasuk peringatan hari kasih sayang. Selama positif aku yakin agama tidak melarangnya, bahkan menganjurkan.
Hanya saja penulis menyadari bahwa peringatan hari kasih sayang yang konon diimpor dari negeri Barat ini ternyata memiliki dampak negatif yang cukup besar. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Indonesia masih belum cerdas dalam masalah saring-menyaring. Apapun yang datang dari luar diterima secara take for granted padahal tidak semuanya yang dari luar itu cocok untuk bangsa kita. Pelukan, ciuman, pakaian minim, lesbian, gay, dan lain sebagainya kurang tepat untuk diaplikasikan di tanah yang penduduknya beriman kepada Tuhan Yang Esa. Kita punya budaya sendiri yang seharusnya dapat dilestarikan, tentu yang positif. Adapun produk dari luar sebaiknya harus mengalami proses adaptasi terlebih dahulu. Apa ini terjadi karena masyarakat kita minder? malu dengan nilai-nilai luhur milik sendiri? karena dari yang aku baca, menurut teori sosiologi, orang yang memiliki kedudukan rendah atau yang menganggap dirinya sendiri rendah akan mengikuti –apapun- orang yang memiliki kedudukan yang yang dianggapnya lebih tinggi.
Kembali ke masalah memperingati hari kasih sayang. Aku menyayangkan saat masyarakatku menerima peringatan perayaan ini apa adanya. Aku sedih saat mendengar bahwa di beberapa kota terjadi kegiatan freesex  dalam rangka memperingati perayaan hari kasih sayang. Dalam skala persentase yang tinggi pula. Aku miris saat mendengar, sehari setelah perayaan hari kasih sayang, bahwa di beberapa tempat seperti taman dan kebun ditemukan kondom yang berserakan. Aku menangis saat mendengar banyak bayi yang dibunuh, baik saat masih dikandungan (digugurkan) atau yang sudah terlanjur lahir ke dunia. Salah apa mereka? Itu di lingkup teratas. Kita turun sedikit ke bawah. Tidak separah melakukan tindakan freesex, tetapi tetap memalukan, yaitu tindakan-tindakan amoral seperti  bercumbu (petting) yang dilakukan oleh berbagai kalangan lintas umur mulai dari yang dewasa, remaja, bahkan yang masih kanak-kanak. Semua ini terjadi karena adanya kesalahan dalam memahami makna ‘kasih sayang’ dan itu sangat fatal. Makna kasih sayang yang begitu murni, suci, dan luas telah dinodai dan dipersempit sebatas sex. Aku mengira media-media semacam televisi dan internet memiliki andil yang cukup besar untuk mempromosikan hal-hal buruk tersebut.
Aku dan kamu tidak perlu lah untuk terus-menerus mengutuk, apalagi sampai memberi judge negatif (neraka, kafir, dll). Aku sendiri tidak cenderung menolak perayaan kasih sayang, dalam artian yang hakiki sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya. Mari kita merayakan kasih sayang dengan kembali  ke hulu. Kembali kepada makna kasih sayang yang sesungguhnya. kalau dilihat-lihat, masih banyak kok yang melek akan makna kasih sayang. Sebagian temanku ada yang memperingatinya dengan memberikan sebungkus nasi kepada para gembel di pinggiran kota Bandung. Ada yang berkumpul dan makan bersama dengan keluarga tercinta. Ada yang mentraktir jus teman-teman kosannya. Ada juga yang bermain dengan guru-guru favoritnya. Ada yang membelikan mainan kepada anaknya. Ada yang berkunjung ke panti kompo untuk menghibur nenek-kakek. Ada yang memberikan ceramah tentang kasih sayang kepada jamaahnya, dan masih banyak lagi. Kamu sendiri juga dapat memperingatinya dengan caramu sendiri. Singkatnya, tutupi keburukan dengan berbuat baik. Insyaallah akan tetap mendapat pahala. []



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da