Langsung ke konten utama

Ahok dan Benturan Muslim-Kristen

Ahok dan Benturan Muslim-Kristen



Adanya tambal sulam guna menjalin hubungan Muslim-Kristen yang lebih baik telah terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini. Mereka, pelan tapi pasti, bersinergi menutup luka lama yang telah ditorehkan oleh para leluhurnya. Mungkin perang salib dan peristiwa pengeboman gedung WTC menjadi dua contoh kasus yang memelukan jahitan ekstra untuk diobati. Maka, seharusnya kita perlu mengapresiasi kerja keras para “dokter” perdamaian yang setiap tetes keringatnya memiliki peran suci dalam menyumbang perubahan yang lebih baik bagi hubungan penganut dua agama terbesar di dunia ini. Bukan hanya mengapresiasi, melainkan wajib memelihara, dan mengembangkannya. Dan hari ini, alih-alih memelihara, kita malah kembali merusaknya.
Adalah Ahok yang sekarang sedang menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Muslim Indonesia karena pernyataannya yang kontroversial di dalam sebuah kesempatan. Kebetulan ceramahnya terekam penuh dan dapat ditonton dengan mudah di youtube. Video berdurasi kurang lebih satu jam itu merekam ceramah Si Bapak nomor 1 se-Jekardah yang di dalamnya sedikit menyinggung soal surat Al-Maidah. Berikut Saya kutip penggalannya –tanpa perubahan kata.
“Jadi, kalau Saya tidak terpilih pun, Bapak Ibu, Saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalankan dengan baik pun, Bapak Ibu masih sempat panen (pamer?) sama Saya, sekalipun Saya tidak terpilih gubernur. Jadi ceritanya Saya ingin Bapak Ibu semangat. Jadi gausah kepikiran, ‘nanti kalau enggak kepilih, pasti Ahok programnya bubar’. Enggak. Saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja di dalam hati kecil Bapak Ibu, enggak bisa pilih Saya. Ya jangan mau dibohongin -kalau Islam- pakai Al-Maidah ayat 51 macem-macem gitu lho...Itu hak Bapak Ibu. Ya. Kalau Bapak Ibu perasaan ga bisa pilih nih, karena Saya takut masuk neraka. Dibodohin gitu ya. Gapapa. Karena ini kan panggilan pribadi Bapak Ibu. Program ini jalan saja...”   
Setelah kejadian tersebut, gemparlah seantero bumi Indonesia. FPI konon langsung mengadukan Ahok, atas dasar pelecehan agama, kepada pihak yang berwajib. Bukan hanya FPI, barisan Islam “kanan” lainnya pun menyatukan suara mengecam pernyataan Ahok tersebut. Ada beragam cara yang mereka ekspresikan. Ada yang berdemo, mengejek, dan marah-marah. Yang kadarnya lebih rendah, biasanya memosting perkataan/pernyataan tokoh/ulama di laman facebooknya, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa teman Saya yang mengutip pernyataan Buya Hamka. Sayangnya tidak dijelaskan dari sumber apa (buku? Rekaman?) mereka mengutip pernyataan ini.
“Ghirah. Rasa cemburu dalam konteks beragama adalah konsekuensi dari iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Ini pertanda masih adanya ghirah di dalam dirinya. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghirah telah hilang darimu...Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan tiga lapis, sebab kehilangan ghirah sama dengan mati.”
Ada yang mengutip pernyataan Prof. Din Syamsudin, dedengkot Muhammadiyah, sebagaimana yang di share oleh salah seorang pembesar Muhammadiyah, Sudibyo Markus di akun facebook pribadinya.     
“Apa yang dikatakan Ahok adalah penistaan nyata dan terbuka terhadap kitab suci Al-Qur’an dan dapat mengganggu kerukunan bangsa. Wajar kalau umat Islam yang beriman kepada Al-Qur’an marah dan protes. Tetapi kekerasan tidak usah dibalas dengan kekerasan. Lebih baik gugat lewat jalur hukum dan Polri harus memprosesnya demi penegakan hukum dan keadilan di negeri yang berdasarkan hukum ini.”
Ada lagi yang lebih keren. Dibalas langsung dengan menggunakan teks kitab suci. Salah seorang teman Saya menyitir surat Al-Furqon ayat 4 sebagai counter attack pernyataan Ahok, “Dan orang-orang kafir berkata, ‘Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain’. Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.” Juga surat Al-Anbiya ayat 5 “Bahkan mereka mengatakan, (Al-Qur’an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus terdahulu.
Terakhir, Saya ingin sekali mengutip sikap/pernyataan K.H Aa Gym terkait masalah ini. Videonya telah disaksikan kurang lebih 80.000 kali oleh para pengguna youtube.  
“Hadirin-hadirat, para pendengar dan siapapun yang menyimak acara ini. Kemarin terjadi kehebohan dengan viral tersebarnya cuplikan pidato saudara Ahok di Kepulauan Seribu. Saya menyimak, mendengarnya beberapa kali, sehingga banyak umat Islam yang terluka. Berikut, ini adalah statement (dari Saya). Bahwa saudara Ahok, sebagai etnis Tionghoa, itu bukan pilihannya. Ini adalah takdir yang menciptakannya sehingga bukan wilayah kita untuk mengomentari etnis. Dua, bahwa saudara Ahok beragama non-Islam itu adalah pilihannya dan setiap orang berhak memilih apa yang akan dipertanggungjawabkannya dunia akhirat. Bagi kita, umat Islam tidak ada masalah. Lakum dinukum waliyadin. Adapun saudara Ahok memberikan statement, pernyataan, terhadap Al-Qur’an dengan perkataan yang tidak pada tempatnya, dengan cara yang tidak pada tempatnya, ini adalah perbuatan melampaui batas. Ini adalah perbuatan tercela. Ini adalah perbuatan yang akan menimbulkan konsekuensi dari perkataannya. Oleh karena itu sangat bisa dimaklumi jikalau umat Islam merasa tersinggung terluka, oleh pernyataan yang melampaui batas ini, apalagi seorang yang diberikan cobaan menjadi pimpinan di Jakarta. Kepada umat Islam, seluruhnya bahwa takdir adanya kejadian ini adalah ladang untuk beramal dan pencerah pemikiran serta sikap kita. Ini alat ukur apakah hati kita tersinggung atau tidak. Kalau kita merasa biasa-biasa saja, Al-Qur’an diremehkan, maka itu menunjukkan kadar keimanan kita yang masih sangat rendah. Andai kata kita tersengat, merasa terluka, maka ini kita syukuri, bahwa kita masih peduli dan menghormati kalam Allah. Namun pada saat yang sama, kita pun harus menyikapi orang yang melampaui batas ini dengan sikap yang ada di dalam koridor Akhlakul Karimah. Islam tidak mengenal kezaliman terhadap siapapun. Kita sikapi perbuatan Ahok ini dengan sikap yang tidak melampaui batas, bahkan menunjukkan bagaimana Islam menyikapi dengan sikap terhormat akhlakul karimah. Sebaiknya kita ingatkan saudara Ahok bahwa perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat salah. Dianjurkan untuk memohon maaf secara terbuka kepada umat Islam, diakui secara jujur dan tidak mengulanginya lagi. Dan andai pun sudah meminta maaf terbuka, umat Islam adalah pemaaf. Namun jikalau merasa tidak bersalah dan tetap melakukan perbuatan seperti ini, maka mari kita selesaikan dalam koridor hukum. Kita tuntut keadilan lewat koridor yang benar-benar diharapkan bisa menuntaskan ini dengan sikap yang adil. Banyak hikmah dalam kejadian ini. Nyata bahwa pemimpin yang berbeda akidah tidak akan pernah bisa memahami apa yang kita muliakan, kita hormati. Sulit bagi pemimpin yang berbeda akidah akan memuliakan Allah, karena tidak mengimaninya. Tidak akan bisa menghormati Al-Qur’an karena tidak mengimaninya. Tidak akan bisa menghormati dan memuliakan Rasulullah, sebagaimana mestinya, karena tidak mengimaninya. Nyatalah bahwa Al-Qur’an tujuh ayat memerintahkan kita untuk tidak memilih orang yang berbeda akidah, karena memang tidak pernah bisa memuliakan Allah, memuliakan kalam Allah, memuliakan Rasulullah sebagaimana mestinya. Semoga adanya kejadian ini benar-benar memuat kita memahami apa yang semestinya kita lakukan. Mudah-mudahan semua pihak mendapat pelajaran dan mengambil hikmah. Sekian ”
Ada dua poin yang hendak disampaikan oleh Aa Gym. Pertama, menurutnya Ahok telah melakukan sebuah kesalahan yang melampaui batas, sehingga dia harus meminta maaf kepada seluruh umat Muslim. Kedua, Meskipun wajar merasa sakit hati dengan pertanyaan Ahok, umat Muslim harus tetap bersikap non-reaktif dimana mereka harus melawannya dengan akhlak yang mulia, bukan dengan hinaan atau yang semacamnya. Jalan terbaik adalah dengan menggunakan jalur hukum jika Ahok tidak bersedia meminta maaf.
Masih ada dua ragam –dari umat Muslim- lagi dalam melihat realita ini. Yang pertama relatif seakan hendak membela Ahok dengan cara menginterpretasikan pernyataan kontroversial Ahok itu menjadi senormal mungkin. Mereka ini biasanya adalah  dari golongan “cendekiawan” yang menurut Islam “kanan” merupakan musuh dalam selimut yang celotehan dan pendapatnya sering menyakiti umat Muslim mainstream. Dan yang terakhir dari adalah golongan yang cuek, tidak mau tahu terhadap urusan agama maupun perpolitikan. Mereka sudah dimabuk-kepayangkan oleh kehidupan yang serba keras atau mewah.  

Al-Maidah 51 dan Sikap Umat Kristen
“Tokoh” kedua setelah Ahok adalah surat Al-Maidah ayat 51, yang muncul bagaikan bintang sinetron baru. Dikerumuni dan membuat penasaran semua pihak, seakan surat ini adalah anak kemarin sorenya Al-Qur’an. Menurut Ahok dan yang seirama dengannya menyakini bahwa surat Al-Maidah ayat 51 sedang dan sering dipolitisasi oleh umat Islam, wa bil khusus dari golongan “kanan” ketika menjelang pilkada. Apakah penyataan ini benar? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Saya atau kita tidak menutup mata untuk menyatakan bahwa memang ada pihak yang berlaku demikian. Bahkan kalau enggan berkata, Saya kira saat ini Al-Maidah 51 telah dipolitisasi, baik dari kalangan yang menolak maupun yang menerima kepemimpinan non-Muslim, karena setelah masa-masa pilkada usai, Al-Maidah 51 kembali ke “sarangnya” lagi. Pertanyaannya, apakah semua memolitisasi ayat tersebut? Tidak, karena Saya yakin banyak di antara mereka yang memang atas dasar keyakinan dan pemahaman penafsirannya, memutuskan untuk tidak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin. Singkatnya, pure pemahaman atas ayat Al-Qur’an. Lalu, mereka –Saya sebut sebagai kewajaran- mendakwahkan pemahaman ini kepada umat Muslim lainnya.
Sayangnya, Ahok dan sebagian umat Kristen tidak mau menerima alasan yang terakhir ini. Tidak mau menerima penafsiran sebagian -bahkan mayoritas- umat Muslim yang meyakini pelarangan memilih pemimpin non-Muslim. Agaknya hal ini dikarenakan adanya kekurangpengertian mereka terhadap ajaran Islam dan para penganutnya. Sejak kecil mengenal dan bergaul dengan umat Kristen, Saya sudah mulai mengenal style keberagamaan mereka, yang sedikit banyak berbeda dengan style keberagamaan umat Islam. Dan di sinilah letak kekurangpengertiannya, yaitu sering ingin menilai sesuatu menggunakan alat intrumen versinya sendiri. Seperti yang pernah Saya singgung dalam tulisan sebelumnya, umat Kristen sering mempertanyakan ajaran Islam yang  “aneh” yang berbeda dari tradisi ajaran mereka. Misal, karena di dalam tradisi/ajarannya diperbolehkan membuat patung Tuhan atau orang suci, mereka sering heran dengan umat Islam yang melarang pembuatan patung Tuhan/tokoh. Karena di dalam tradisinya sangat longgar soal toleransi, lalu mereka heran dengan umat Islam yang ketat dalam ajaran-ajarannya. Karena di dalam tradisinya diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain, mereka lalu merasa aneh mengapa sesama umat Islam harus saling berdebat mengenai hal sekecil itu. Begitu pun dengan kasus ini. Karena di dalam tradisinya membolehkan memilih pemimpin yang tak seagama, lalu mereka merasa lucu melihat umat Muslim yang meyakini bahwa memilih pemimpin harus yang seagama. Sampai-sampai ada yang ingin melakukan penelusuran tempat-tempat mana saja yang mengajarkan penafsiran semacam itu. Apakah seseorang tidak boleh memilih pemimpin atas dasar indikator kesamaan keyakinan? Sepertinya kita harus banyak belajar lagi menerima dan menghargai penafsiran yang berbeda, dan meskipun hasil pemahaman Saya terhadap teks Al-Qur’an menyimpulkan kebolehan memilih pemimpin non-Muslim, Saya sangat menghargai pendapat umat Muslim yang meyakini bahwa memilih pemimpin harus yang seagama.

So, What?
Betapapun Saya merasa sakit hati dengan pernyataan Ahok, dan beberapa teman Kristen yang masih gagal melihat sisi lain (seperti perasaan sedih umat Muslim yang kitab sucinya dilecehkan), karena malah lebih menekankan analisa Al-Maidah 51 sembari melakukan usaha yang seperti sedikit dipaksakan untuk membela pernyataan Ahok (entah karena kesamaan keyakinan atau apa), Saya tetap mengajak teman-teman Muslim lainnya untuk tidak reaktif sembari jangan mudah menggeneralisir suatu agama hanya karena ulah beberapa pengikutnya. Sama halnya kita tidak ingin di cap teroris oleh mereka hanya karena ada umat Muslim yang melakukan pengeboman. Tetaplah untuk menjalin hubungan dengan non-Muslim supaya rahmatan lil alamin dapat dirasakan oleh semua pihak.
Ada dua cara yang dapat kita lakukan. Pertama, kalau bersikeras menuntut keadilan, silakan adukan ke pihak yang berwajib, sebagaimana yang disarankan oleh Aa Gym, tetapi kalau sekiranya tidak bisa atau tidak perlu, maka saran kedua Saya yang mungkin dapat kita lakukan ialah berdoa. Mengadulah kepada Allah atas segala masalah yang terjadi. Allah akan senang mendengarnya. Berdoalah untuk meminta petunjuk dan jalan yang terbaik bagi ketiga belah pihak, Ahok, Umat Muslim, dan Umat Kristen. Berdamailah. Harapannya, semoga surat Al Maidah 51 tidak “mati” seusai ramai-ramai pilkada, karena satu ayat saja yang diturunkan oleh Allah, Saya yakin dapat menembus beragam dimensi kehidupan manusia, tidak sesempit hanya seputar perpolitikan belaka.

Pare, 9 Oktober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da