Langsung ke konten utama

Meneladani Ketaatan Ibrahim di Era Modern

Meneladani Ketaatan Ibrahim di Era Modern





Dalam sebuah kesempatan teman saya pernah berkata bahwa kemajuan ilmu pengetahuan itu berbanding lurus dengan meningkatnya kebobrokan moral. Kita boleh setuju maupun menolak pendapatnya, betapapun saya pribadi sedikit condong menyetujuinya. 
Umat Muslim boleh berbangga dengan abad keemasan yang katanya pernah dirasakan di zaman dinasti Abbasiyah dimana terdapat banyak cendekiawan muslim yang melakukan beraneka macam penemuan. Ada Ibnu Farabi, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan sederet nama tenar lainnya. Tapi tahukah kita bahwa di zaman itu pula para rajanya banyak yang melakukan tindakan amoral. Mulai dari bermain perempuan, mabuk-mabukan, hingga membunuh untuk mempertahankan kedudukannya. 
Sekarang, di abad ke-21 ini kita tidak perlu menutup mata bahwa Amerika memang benar-benar pusat dari segalanya, khususnya untuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja selurus dengan itu kita juga dapat melihat maraknya kerusakan moral yang terjadi disana. Mulai dari sex bebas, perjudian, dan segala macam hal yang senada dengan itu diizinkan atas nama kebebasan dan humanisme. Betapapun masyarakatnya mayoritas beragama Protestan, tapi hanya segelintir saja yang menjalankannya dengan baik. 
Melihat kenyataan ini, apa yang dapat kita lakukan. Saya rasa meratapinya tidak akan menyelesaikan masalah, pun jika hanya berhenti pada langkah kritik. Kita harus melewati dua langkah itu dan menuju yang ketiga, yaitu introspeksi diri. Mungkin kita sudah terlalu sombong dengan membelakangi Tuhan –dengan segala atributnya- sebagai sesuatu yang kuno. Oleh karena itu introspeksi diri merupakan langkah nyata untuk menyadari bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak akan pernah dapat berjalan sendiri jika tanpa tuntunannya. 
Lalu apa yang harus diintrospeksi? banyak, hanya saja di ruang yang terbatas ini dicukupkan dengan mengajukan salah satunya, yakni soal ketaatan. Masyarakat modern –dengan kesombongannya- gemar untuk memilah-milah, satu bagian (tuntunan Tuhan) yang umumnya disenangi akan dipegang, sedang yang lainnya karena tidak senangi akan disimpan dipunggung. Maka wajar saja jika hasilnya seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya. 
Sepertinya kita harus banyak melirik ke belakang. Ribuan tahun yang lalu, menurut riwayat, pernah ada orang saleh yang sangat taat kepada Tuhannya. Dia tidak memilah-milah tuntunan Tuhannya. Semua dipatuhi. Dialah Ibrahim alaihi salam yang dalam literatur Islam dikenal dengan sebutan khalilullah, kekasih Allah. 
Dalam salah satu episode hidupnya, Allah pernah mengujinya dengan ujian yang maha dahsyat yang mungkin akan segera ditolak oleh seluruh manusia modern saat ini. Bayangkan saja, dia diperintah untuk menyembelih anaknya sendiri. Terekam dalam kitab Taurat bahwa Tuhan berkata kepadanya, Bawalah anakmu, anak tunggalmu, yaitu Ishak, dan pergilah ke tanah Moria. Persembahkanlah dia disana sebagai kurban bakaran...(Kejadian 22: 2). Walaupun berstatus Nabi, Ibrahim juga merupakan seorang ayah, yang tentu ingin mendengar pendapat dari anaknya mengenai mimpinya tersebut. Aneh bin ajaib, sang anak malah menjawab, wahai ayahku, lakukanlah yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar (As-Saffat: 102). Peristiwa ini berakhir dengan kebahagiaan. Sang anak tetap hidup dan Ibrahim semakin tinggi derajatnya karena Allah hanya ingin menguji keimanan mereka berdua saja. 
Kepatuhannya membuat Allah –sekali lagi- berfirman, maka pastilah Aku memberkahimu dan pastilah Aku memperbanyak keturunanmu seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut. Keturunanmu akan menduduki pintu gerbang musuh-musuhnya dan melalui keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkah, karena engkau telah mematuhi perkataa-Ku (Kejadian 22: 17). Itulah balasan bagi siapa saja yang dengan suka rela menaati tuntunan Allah. Semoga kita termasuk di dalamnya. [] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da