Langsung ke konten utama

Maju tapi Mundur: Ada Apa Dengan Bekasi?

sumber gambar: http://foredi.mc468.com/

Sindiran-sindiran meme yang waktu itu sempat booming membuli Bekasi sepertinya tidak terlalu memengaruhi masyarakatnya. Terlihat tidak ada usaha untuk merekonstruksi pola pikir mereka yang mungkin selama ini dinilai salah oleh sebagian orang. Mulai dari infrastruktur yang amburadul, kemacetan yang terjadi dimana-mana, bencana banjir yang terus berlangsung, hingga cuaca panas yang begitu menyengat, meskipun sebenarnya masalah yang sedang melanda kota patriot ini lebih kompleks daripada sekadar yang tampak oleh indra. Pada kesempatan ini akan Saya sebutkan sebagiannya saja.


Walaupun bisa saja masyarakat Bekasi menyalahkan pemerintahnya yang gagal mengatasi banjir, mungkin karena tata letak kota yang amburadul atau karena kebijakan-kebijakan yang kurang jelas dan tegas, atau bahkan mungkin karena terlalu menganak-emaskan para investor “rakus” -yang membuat Bekasi tidak lagi memiliki daerah resapan, tapi toh nyatanya masyarakatnya sendiri masih memiliki kesadaran yang rendah akan pentingnya merawat lingkungan. Kalau kalian melihat manusia Bekasi yang membuang sampah di tempat sampah, itu adalah pengecualian saja. Umumnya mereka dengan tanpa rasa bersalah membuang sampah di jalanan, baik itu dari kalangan ibu rumah tangga -dengan sampah hariannya; pelajar -dengan jajanannya; atau orang dewasa -dengan makanan atau rokoknya. Semua berjalan begitu alami dan seperti tidak ada pihak yang risih akan hal tersebut. Tidak percaya? silakan amati sendiri.  


Sekilas masyarakat Bekasi memang terlihat semakin “sejahtera”. Terbukti dari semakin tak asing pemandangan para pelajar -sekolah dasar hingga menengah- yang sepanjang hari sibuk dengan gadgetnya, apalagi tidak sedikit yang bermerek Apple. “Kesejahteraan” itu semakin terlihat dari harta benda yang mereka miliki, kendaraan misalnya. Di gang rumah Saya semua rumah minimal punya satu buah motor. Ada yang punya dua, bahkan tiga –ironinya ada tiga motor di rumah Saya sendiri. Mungkin kalian akan memaklumi karena motor sudah seperti menjadi kebutuhan primer di Bekasi, tapi konyolnya di gang rumah Saya ini juga hampir seluruh keluarga memiliki mobil tapi tidak semua memiliki teras/halaman rumah yang membuat mereka selalu memarkirkan mobilnya di jalan. Jadilah sering menyebabkan konflik antar-tetangga. Saya pribadi tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Bekasi lima-sepuluh tahun kemudian? bukan hanya macet, tapi mungkin saat kalian melongok ke luar rumah, jalanan sudah benar-benar dipadati oleh kendaraan yang tidak bisa bergerak.
Patut diakui bahwa gaya yang serba materialis-hedonis ini telah menghujam hati masyarakat Bekasi. Mereka berbangga-bangga dengan hal-hal yang berbau duniawi. Bukan hanya berbangga, mereka juga sangat menyayanginya, bahkan dalam beberapa tingkatan sudah dalam tahap “penyembahan”. Tetangga Saya, saat mobilnya menabrak pagar rumah Saya, bukannya meminta maaf dan mengecek keadaan pagar Saya, dia malah cuek-bebek dan malah sibuk mengecek keadaan mobilnya. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun. Apa itu enggak gokil?
Dunia persekolahan juga sama. Mereka saling membanggakan hal-hal yang berbau materialistik dan mengabaikan esensi. Memang piala dan medali semakin banyak tapi moral pelajar semakin menurun. Persaingan ketat antar-pelajar yang telah dibudayakan di dalam lingkungan sekolah telah menciptakan sifat individualistik, bagaikan hukum rimba –siapa kuat, dia yang menang.
Pelajar-pelajar di Bekasi, sama dengan pelajar di tempat-tempat lainnya, pun belum dapat memfilter budaya-budaya Barat. Malah terlihat seperti terbalik dalam menggunakannya karena mereka lebih mahir mengambil yang buruk dan membuang yang baik. Lihat saja gaya pacarannya yang ultraliberal. Untuk ciuman dan pelukan misalnya, dua hal yang sudah menjadi tindakan lumrah dalam sebuah hubungan berpacaran. Jika dulu seseorang harus bersusah payah mengeluarkan kocek untuk memuaskan nafsu syahwatnya dengan mengunjungi tempat-tempat maksiat, sekarang sudah bukan zamannya karena mereka dapat menikmatinya dengan gratis tis..tis bersama pasangannya masing-masing. Naudzubillah. 
Karena sudah cinta dunia (materialis) maka masyarakat Bekasi mati-matian untuk mendapatkannya. Terlihat dari tindakannya yang selalu bernuansa pragmatis-kekinian-kedisinian. Bagi masyarakat menengah kebawah misalnya, menjadi buruh pabrik (perbudakan modern) atau pegawai kantoran agaknya merupakan posisi yang aman untuk meraih benda-benda duniawi, atau sesekali pergi wisata untuk memuaskan kebahagiaan palsunya. Mereka tidak peduli dengan neo-feodalisme yang sedang dialaminya, bagaikan seseorang yang menikmati pemerkosaan. 
Implikasinya, derajat sosial seseorang akhirnya dilihat dari hal-hal yang berbau materi, seperti bagus-indanya pakaian yang dikenakan, kekayaan, ketenaran, dan pangkat, bukan ilmu ataupun akhlak. Kalau dia hanya berekonomi pas-pasan –meskipun shaleh- jangan harap mendapat perlakuan/penghormatan yang sama  dengan si kaya.
Jika diamati secara radikal, semua itu bermuara pada rendahnya kesadaran mereka mengenai ketuhanan-kealaman-kemanusiaan. Mereka maju, tapi sebenarnya mundur. Untuk itu mereka harus sadar bahwa mereka bukanlah binatang yang hidup hanya untuk makan dan minum, dan hubungan badan. Mereka juga bukan setan, yang mengedepankan ego-nafsu (materialis-hedonis) tapi mereka adalah manusia, yang katanya merupakan makhluk termulia. Oleh karena itu mereka harus menyadari masalah yang sedang menimpanya dan berusaha untuk menyelesaikannya.  
Tidak perlu menunggu Raline Shah menjadi duta Kota Bekasi supaya kalian bergerak, tapi mulailah dari apa yang bisa kalian lakukan, dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Ada banyak cara, dan Saya yakin kalian adalah orang-orang yang kreatif dus inovatif, tapi setidaknya Saya pribadi memiliki beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan. Pertama, baiknya pemerintah dapat membanguan universitas berstatus negeri karena, walaupun tidak mutlak, kampus negeri memiliki sumber daya manusia yang lebih bebas dan memiliki kepekaan sosial yang lebih tinggi daripada kampus swasta yang biasanya lebih berorientasi pada lapangan pekerjaan. Dengan adanya kampus negeri, selain dapat meningkatkan derajat masyarakat Bekasi, juga dari sanalah akan muncul komunitas-komunitas kecil yang siap terjun ke masyarakat untuk melakukan upaya pencerdasan.
Kedua, memang langkah pertama di atas tidak harus ditunggu untuk kalian mulai bergerak memajukan Bekasi, karena sudah kita tahu sejarahnya, jangan terlalu berharap banyak kepada pemerintah. Lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Jadi, untuk kalian masyarakat Bekasi, bisa memulai dengan melakukan upaya-upaya pencerdasan, melalui pendidikan non/informal.
Ketiga, dan ini yang sangat Saya harapkan. Sebenarnya banyak sekali orang pintar di Bekasi, terutama yang kuliah di UI, ITB, UGM, dan kampus-kampus negeri lainnya. Maka, kalau kalian benar-benar cinta Bekasi, maka pulanglah, bangunlah kotamu ini! Jangan menunggu iming-iming baru bergerak, cukuplah ridha Allah. Buatlah komunitas, lembaga sosial atau yang semacamnya. Mungkin akan sangat indah sekali pemadangannya jika, misalnya, lulusan teknik lingkungan –sebagai leadernya- bekerjasama dengan masyarakat setempat, membuat usaha penyadaran mengenai pentingnya memelihara lingkungan. Lulusan fakultas kesehatan (dokter, kesehatan masyarakat, keperawatan) mengajarkan masyarakat gaya hidup yang sehat. Lulusan ekonomi membangun perekonomian berbasis masyarakat menengah atas, seperti koperasi, atau membangun girah untuk menjadi wirasusahawan dibanding menjadi pegawai. Lulusan olahraga melatih dan mendidik masyarakat Bekasi supaya dapat menjadi atlet. Lulusan seni bisa mengajarkan soal kesenian yang berbasis budaya dengan tetap mengindahkan nilai-nilai agama. Lulusan agama bisa mengajarkan soal kehidupan yang tidak melulu menuhankan materi, ataupun mendewakan spiritualitas, melainkan pertengahan di antara keduanya. Begitu pun seterusnya. Dari sini semua komponen bergerak sinergis yang akhirnya bisa mengubah Bekasi dari “maju tapi mundur” ke “mundur tapi maju”. Semoga. []
Bekasi, 16 November 2016




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da