Langsung ke konten utama

Parade Sesat-Menyesatkan: Sulitnya Menggapai Kebenaran*



“Kata” parade di sini aku pakai karena sekarang sedang menjadi kosa kata yang paling nge-hits sebumi pertiwi. Ya, apalagi kalau bukan karena kasus Ahok. Tapi tenang, aku tidak akan membahas soal itu lagi. Bosan, dan mual juga. Tapi kalau kalian penasaran bagaimana pandanganku soal 212, sejujurnya aku tidak setuju dengan kegiatan tersebut. Alasannya? sebagian sudah banyak disinggung oleh golongan yang menolaknya. Betapapun, alih-alih menghina atau mencerca, aku tetap menghargai pandangan para “jihadis” follower Habib Rizieq.
Kembali ke topik utama, kata parade dalam tulisan ini lebih ditujukan kepada kelompok yang berprofesi sebagai “tuhan” karena memiliki sifat Al-Haq, Yang Maha Benar. Yang berbeda dengannya otomatis sesat, salah, dan tertolak.
Beberapa hari belakangan ini aku sedang merasakan kekrisisan iman. Kata salah satu temanku hal itu disebabkan karena aku sekarang adalah seorang pengagguran, punya banyak waktu kosong. Memang benar adanya. Tapi tahukah engkau, demi Allah aku bersyukur memiliki waktu kosong ini. Untuk pertama kalinya aku merasakan nikmatnya melakukan perenungan (kontemplasi). Ini benar-benar merenung, sebuah gerakan aktif dalam fikiran yang melintasi dimentasi ruang dan waktu, bebas menembus batasan-batasan yang telah dibuat oleh manusia. Aku mengira-ngira, bisa jadi inilah step awal proses pencarian jati diri sebagaimana orang-orang dahulu juga pernah mengalaminya. Sebut saja Sidarta Gauthama di pohon Bodhinya, Ibrahim dengan bulan-bintang-mataharinya, Musa di bukit Thursinanya, dan Muhammad di Gua Hiranya.  
Aku bahagia karena aku mengalaminya, tapi apa yang aku dapat? aku galau segalau-galaunya kegalauan. Aku jadi meragukan banyak hal, mulai dari prinsip hidup (values); pengalaman-pengalaman; rencana hidup (masa depan); juga keyakinan, yang sering manusia sebut-sebut sebagai agama. Wahai Raline Shah adindaku, apakah yang akan engkau lakukan jika dirimu berada diposisiku? Coba berilah isyarat dari bibir duckmu yang sexy itu.
Lalu aku rubuhkan “bangunan” itu yang telah disusun selama kurang lebih 22 tahun lamanya dan memulai kembali dengan pertanyaan pembuka “Apa sebenarnya yang aku cari dalam hidup ini?” Kebenaran, jawabku, setelah beberapa lama berkontemplasi di atas kasur yang cukup empuk ini. Makhluk seperti apakah itu kebenaran dan bagaimana cara mendapatkannya, itulah yang masih belum kutemukan jawabannya. Dan sedikit banyak hal tersebut disebabkan oleh kelompok “tuhan” Al-Haq ini.
Orang-orang yang beragama mungkin langsung memberi jawaban absolut seperti, “Masuklah agama Islam, maka kamu akan selamat!” atau “Bacalah Alquran, maka kamu akan memperoleh kebenaran!” tapi nyatanya tidak ada kesepakatan di antara mereka. Di tataran permukaan/lahiriah saja mereka sudah mengklaim diri sebagai yang paling benar. Aku tertarik dengan Quraish Shihab misalnya. Selain karena kedalaman ilmunya, ia pun memiliki dedikasi yang begitu tinggi terhadap Islam. Tapi saat anda mengetik namanya di google, yang muncul malah “Kesesatan Quraish Shihab” “Quraish Shihab Syiah” “Quraish Shihab Liberal” dan cap negatif lainnya.
Hal yang sama pernah aku jumpai pada ulama sekaliber Syaikh Yusuf Al-Qardawi. Dahulu, sebelum aku mengenalnya, aku pernah membaca salah satu bukunya di Gramedia. Aku kira isinya bagus, dan waktu itu hampir saja kubeli bukunya. Untung harganya sangat mahal, jadi aku mengurungkan niat untuk membeli. Tapi aku tertarik dengannya, maka aku cari identitasnya. Lagi-lagi dari google. Kaget bukan main, terekspos jelas banyak tulisan-tulisan yang menyatakan kesesatannya. Aku membaca sebagiannya dan karena saat itu aku masih berada di bangku SMA, aku hanya taken for granted. Dari sana aku tidak berani membaca buku-bukunya lagi. Maklum lah. Belum lagi ditambah derasnya kemunculan buku-buku kelompok “tuhan” Al-Haq karangan Wahabi; Mantan Kyai NU membongkar kesesatan bla bla bla; dan belakangan Hartono Jaiz, menambah rasa takutku untuk mencari ilmu. Pasti sesat !
Alkisah semua berlalu tanpa kepastian hingga akhirnya aku tidak lagi tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiriah, meski juga tidak meninggalkannya. Aku beralih kepada yang lebih halus, yang lebih esensi, dan yang lebih hakikat. Berawal saat aku berada di semester enam, karena waktu itu sedang mengontrak mata kuliah tasawwuf. Aku belajar tentang maqam-maqam yang harus dilewati para pencari kebenaran. Aku juga mempelajari tentang beraneka macam tarekat, mulai dari Qadiriyyah, Naqsabandiyyah, gabungan dari keduanya (TQN), Tijaniyyah, Syatariyyah, dan lain sebagainya.
Banyak ajarannya yang mengagumkan, tapi tidak sedikit juga yang masih meragukan. Metode dzikir yang macam-macam dengan jumlahnya yang fantastis masih membuatku bertanya-tanya. Juga setumpuk amalan non/semi ritual yang masih asing di kehidupanku. Begitu pun dengan konsep manunggaling kawula gusti, wahdatul wujud, ittihad (bersatu dengan Tuhan) yang rasanya sangat aneh. Bagaimana mungkin? Aku tidak pernah menemukan konsep-konsep tersebut di literatur-literatur mainstream. Tidak ada juga riwayat tenar di mana Nabi Muhammad memperkenalkan konsep tersebut, atau mungkin karena buku-buku yang kubaca berasal dari para ulama fikih? Bisa jadi dan akan sangat mungkin berbeda hasilnya jika buku yang kubaca adalah dari kalangan para sufi semacam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Jalaluddin Rumi, dan Ibnu Arabi. Tentu, ajaran yang seperti ini sangat ditentang keras oleh kelompok “tuhan” Al-Haq. Menurut mereka banyak orang awam yang tertipu hanya karena tindakan supranatural yang kadang diperlihatkan oleh para sufi. “Seorang Deddy Corbuzier pun bisa melakukan hal-hal tersebut.” katanya. Jadilah, cap sesat, kafir, murtad, bercampur aduk menjadi satu.
Ya sudah, aku pindah ke stand yang lebih rendah saja. Aku hanya mau bisa shalat khusuk tok. Agus Mustafa dan Abu Sangkan menjadi tempat pelabuhanku. Sekali lagi, mereka berdua juga terkena stempel sesat. Katanya ajaran mengenai panduan shalat khusuk ala mereka telah keluar dari jalur Alquran dan As-Sunnah. Lalu shalat seperti apa yang benar? toh produk shalat “benar” versi kelompok penyesat ini banyak menghasilkan output ekstremis dan tidak terlihat memiliki manfaat sosial yang signifikan.     
Karena selalu terbayang cap sesat, aku hampir menyerah mencari kebenaran hingga akhirnya aku menemukan buku brilliant berjudul Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) karangan Ary Ginanjar. Melalui buku dan pelatihannya, ia ingin memberitahu kepada manusia bahwasanya mereka dapat memperoleh kebenaran melalui suara hati (nurani) yang tidak akan pernah berbohong. Kebenaran universal yang dapat diraih oleh siapapun karena itu merupakan anugerah Allah. God Spot namanya. 
Penasaran dengan konsep tersebut, aku langsung tertarik untuk mengikuti pelatihannya. Tiba-tiba, dengan tatapan tak percaya, aku juga menemukan cap sesat yang ditujukan kepadanya. Beberapa orang yang katanya ulama, menyatakan adanya kesesatan di dalam ajaran ESQ mantan dosen Universitas Udayana ini. Tidak hanya ulama Indonesia, salah satu mufti Malaysia juga ikut memberi sumbangsih label sesat kepadanya. Bisa merusak akidah katanya. Mereka menyatakan bahwa suara hati tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi kebenaran karena bisa jadi suara yang datang berasal dari setan, dan sejuta alasan konyol lainnya.
Alhamdulillah, sempurnalah keraguanku akan semua hal. Terima kasih aku ucapkan kepada kalian, wahai para “tuhan” Al-Haq. Kalian mengatakan bahwa kita harus kembali pada Alquran dan As-Sunnah. Agak kenak-kanakkan memang jawabannya, karena pertanyaannya, siapakah selama ini yang tidak menggunakan Alquran dan As-Sunnah? semua memakainya, tapi nyatanya kita tetap berbeda. Ada yang berbeda tapi tidak bertentangan, tapi tidak menutup mata juga ada perbedaan yang saling bertentangan dan sulit untuk dipersatukan.
Dulu setahuku, instrumen untuk mencari dan mengenal kebenaran adalah menggunakan akal dan hati, tetapi kalian berkata bahwa hati tidak dapat dijadikan instrumen. Okelah anggap saja aku mengikuti alur kalian. Lalu bagaimana dengan akal? Di dalam majelis kalian, kalian mengatakan bahwa manusia dilarang menggunakan akalnya untuk memahami Alquran. Ini pandangan yang absurd sekali. Lalu dengan apa kalian memahami segala sesuatunya termasuk kitab suci? pakai dengkul? mbok ya itu juga namanya akal walaupun berbeda proses internalisasinya. Kalian menerima ayat dan hadits secara literal-tekstual sedangkan kami secara kontekstual –walau tidak semua. Memahami ayat secara literal itu juga menggunakan akal, sayangku!!

Mencari Pembenaran
Dari hasil kontemplasi di atas, aku jadi memiliki satu asumsi bahwa jangan-jangan manusia di dunia ini –dengan mengabaikan adanya sedikit pengecualian- hanya menginginkan/mencari pembenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Kita sedari awal sudah memiliki premis yang kita buat sendiri, lalu hidup kita dihabiskan untuk membela (mencari argumen penguat) premis tersebut, bukan mengujinya. Kalau begini adanya, sebagaimana sabda temanku yang merupakan lulusan Filsafat UGM, hal apapun itu, akan mendapat pembenarannya. Dia sering menganalogikannya dengan seseorang yang ingin memukul anjing, kalau niatnya awalnya (premis) memang ingin memukul anjing, dengan benda apapun pasti orang tersebut dapat memukulnya. Kalau sedari awal sudah ada kesimpulan bahwa Islam itu teroris, dijamin dia pasti berhasil mencari dalilnya. Kalau sedari awal kita sudah meyakini Islam adalah agama yang paling benar, maka kita akan mendapatkan hasil itu.  Tapi pembenaran, bukan kebenaran. Bayangkan jika orang Hindu, Buddha, Zoroaster, Jain, Yahudi, Kristen meyakini agamanya yang benar, maka selama hidupnya bisa kemungkinan besar tidak akan berpindah ke Islam, begitu pun sebaliknya.
Jangan-jangan selama ini kita hanya mengaku-aku, merasa-rasa saja, bukan memperoleh yang sesungguhnya. Mengaku benar, mengaku/merasa tenang ketika shalat, mengaku/merasa dekat dengan Tuhan, padahal belum tentu. Kita bisa merenungi kedua ayat ini “...Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108) atau ayat “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini perkerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?...” (QS. Fathir 35: 8).
Betul, memang tidak mudah memperoleh kebenaran. Muhammad sendiri, sekelas Nabi terbesar, mendapat pencerahan itu ketika berumur 40 tahun. Konon untuk mencapai haqul yaqin Nabi Ibrahim menghabiskan waktu yang lebih lama lagi. Jadi setidaknya, masih ada sisa waktu 18 ke depan bagiku untuk berkontemplasi. Kalaupun di umur ke-40 masih belum tercapai, setidaknya aku harus bisa melihat Raline Shah bahagia bersama aku pasangannya.[]
Pare, 5 Desember 2016






[*] Tulisan ini hanya sebagian dari unek-unek saya mengenai spiritualitas, masih ada banyak hal lainnya yang tak tertuliskan karena sulit untuk membahasakannya.
sumber gambar : http://www.gkri-hi.com/

Komentar

  1. Coba kang jiva ikuti saja yg menurut akal dan hati akang sendiri,seperti kisah bapak anak dan keledai nya, kalau menuruti perkataan orang, jadi serba salah, paling tidak akang punya instrumen sendiri dalam mencari pembenaran, eh kebenaran, haha kebayang wajah raline shah jadi salah tulis haha

    BalasHapus
  2. Ya mungkin utk saat ini seperti itu saja dlu, tp bayangkan kalau semua org menuruti kata akal dan hatinya masing-masing. Yg ada adl kebenaran relatif. Ya tp setidaknya menyatakan raline shah itu cantik itu merupakan kebenaran hakiki. Hahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da