Langsung ke konten utama

Sholat-Sholatan: Sikap Pragmatis Kita









(sumber foto: www.fotodakwah.com dgn sedikit editan)




Beberapa menit yang lalu saya melaksanakan shalat isya berjamaah di musholla dekat rumah –seperti biasa. Mungkin sudah sejak SMA saya melakukan hal tersebut (shalat berjamaah di masjid/musholla) tapi satu hal yang membuat saya sedih bukan kepalang yaitu ternyata saya belum benar-benar berkomunikasi dengan-Nya, yang saya lakukan hanyalah sesuatu tindakan kebiasaan (habbit) yang dilakukan berulang-ulang tanpa “kesadaran”. Mungkin saya hanya kecanduan shalat, bukan benar-benar shalat.
Waktu itu sang imam langsung –setelah sujud- berposisi tahiyat akhir padahal kami baru melaksanakan tiga rakaat. Saya, yang hendak berdiri karena ada perasaan bahwa jumlah rakaat belum sempurna, seketika mengurungkan niat dan turun kembali (menggerakkan kaki untuk berposisi tahiyat akhir). Saya sempat berpikir sejenak “sepertinya baru tiga rakaat deh...”. Mata saya melirik ke kanan dan kiri. Dan saya melihat semua orang juga melakukan hal yang sama dengan saya, alih-alih mengucapkan tasbih (pertanda sang imam melakukan kesalahan).
Saya tunggu beberapa detik mungkin akan ada satu dua orang yang akan mengucapkannya, tapi ternyata semua terdiam. Saya pun begitu, tidak berani berucap karena tidak yakin apakah sang imam benar-benar telah lupa. Sampai akhirnya shalat berakhir, barulah beberapa orang riuh rendah mengatakan bahwa sepertinya kami hanya melaksanakan shalat tiga rakaat saja.
Saya malu bukan kepalang. Demi Allah, saya malu dengan diri saya sendiri, malu dengan gelar yang saya punya, malu dengan banyaknya buku yang telah saya baca. Lalu saya membego-begokan diri sendiri. Beristigfar seistigfar-istigfarnya.
Saya memang tidak khusuk ketika itu. Saat imam membaca Ar-Rahman, alih-alih berusaha meresapinya, saya malah melakukan “kuda-kuda” takut-takut sang imam salah membacanya atau ada ayat yang dilewatkannya. Sebab, terasa oleh saya dalam beberapa waktu sang imam melompati satu ayat dalam sebuah kesempatan yang mana saya tidak sempat mengoreksinya. Maka dari itu, saya tidak mau mengulangi kesalahan itu lagi.
Hal yang sama terjadi sewaktu rakaat kedua/ketiga berlangsung. Terbesit di pikiran mengenai kelanjutan studi S2 saya, apakah saya akan diterima di kampus X atau tidak; apakah saya akan mendapat beasiswa atau tidak, dsb. Hilang satu masuk yang baru. Entah mengapa saya kepikiran mantan, mengenang beberapa peristiwa yang pernah kami alami; juga bertanya-tanya bagaimana kabarnya saat ini; apa kesibukannya; bagaimana jika saya ngechat dia seusai shalat. Gangguan silih berganti hingga sang imam mengucapkan salam.
Sejujurnya tidak biasanya saya tidak khusuk. Meskipun definisi khusuk masih beragam, setidaknya dalam banyak kesempatan bershalat, sekuat mungkin saya berusaha selalu meresapi bacaan shalat. “jangan bertakbir sebelum jiwa dan raga kalian benar-benar hadir (untuk bersiap shalat) juga jangan dimulai sebelum kalian menghadirkan Tuhan di hadapan diri kalian.” adalah wejangan salah satu dosen saya yang senantiasa terngiang-ngiang. Terlebih setelah saya membaca buku karangan Abu Sangkan Pelatihan Shalat Khusuk, semakin membuat saya menikmati shalat, malah kalau bisa berlama-lama saya lakoni. Sayang, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk shalat isya ini.
Selanjutnya saya juga menyesali “kebodohan” jamaah yang hadir. Mengapa dari sekian banyak makmum (musholla terisi penuh) tidak ada yang sadar? mengapa tak satu pun dari mereka yang mengucapkan tasbih? Dengan sangat yakin saya menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang khusuk. Pikirannya, sama dengan saya, sedang melayang-layang ke sana ke mari tersibuki oleh urusan duniawi. Saya kesal sekali saat itu. Saya marah, kepada diri sendiri maupun mereka. Inikah potret masyarat muslim Indonesia? sebuah miniatur yang merefleksikan rendahnya maqam spiritualitas bangsa.
Patut diakui bahwa sepertinya kita (umat muslim) masih berkondisi mabuk, tidak sadar akan segala sesuatu yang dilakukan, terjerembab oleh lingkaran setan realitas-realitas yang semu. Kita terlalu malas untuk berpikir, merenung, berkontemplasi, atau mengkritisi keyakinan dan lebih senang bersikap pragmatis yang picik. Saya berencana, sembari mengintrospeksi diri, perlukah saya mengganti suasana dengan berpindah tempat langganan shalat ke jamaah yang lebih paham agama?

Bekasi, 8 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da