Langsung ke konten utama

Semangat Islam Moderat di Kampus

#BookReview ke-1

Terinspirasi oleh seorang kawan yang senantiasa menulis jurnal harian ––yang diposting di tumblr pribadinya, terakhir dilihat telah mencapai jurnal yang ke-200, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan tindakan yang agak mirip dengannya.


Hanya saja yang akan saya lakukan ini lebih kepada upaya me-review buku-buku yang telah saya baca. Meski saya senantiasa mengingat gambaran besar isi dari buku yang pernah dibaca, tetapi akan jauh lebih baik jika hal tersebut dirangkum ke dalam sebuah tulisan utuh, sehingga jika suatu ketika buku itu dibutuhkan, saya tidak perlu untuk membacanya secara utuh lagi, tinggal membuka hasil review-nya saja, lebih efisien.

Target awal semoga dapat istiqamah mencapai 365 review, atau setara dengan satu tahun meski saya tak menjamin akan selalu menulis satu review dalam satu hari.

Review perdana saya, sekalian promosi, tiada lain adalah buku yang pertama saya tulis. Judulnya Renungan bagi Aktivis Dakwah Kampus yang diterbitkan pada tahun 2016 silam oleh Quanta, imprint dari PT Elex Media Kompotindo. Buku dengan jumlah bersih 137 halaman ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan pendek yang digabungkan karena memiliki grand mission yang sama, yakni menebar nilai-nilai keislaman yang moderat di tengah dua titik ekstrem (liberal dan fundamental) yang sedang “seksi” di pertunjukkan oleh beberapa umat muslim dewasa ini.

Cucu Surahman, sarjana lulusan master di Universitas Leiden yang juga merupakan dosen penulis, memberi pengantar yang cukup menarik. Menurutnya terdapat perbedaan rekam jejak antara umat muslim moderat dengan yang fundamental. Yang pertama disebut umumnya berlatar belakang pondok pesantren, dan karena sudah “bosan” dengan materi agama yang didapat di kampus ––karena sedikit banyak hanya bentuk pengulangan dari yang didapat di pondok–– maka mereka beralih kepada ilmu-ilmu sosial yang “sekular” karangan sarjana-sarjana Barat. Selain itu, karena telah banyak menguasi ilmu-ilmu dasar keislaman khususnya fikih dan ushul fikih, mereka cenderung terlihat lebih santai dan fleksibel dalam menampakkan wajah agamanya.

Kontras dengan golongan fundamentalis yang menurutnya banyak berasal dari lulusan SMA yang tentunya minim mendapat siraman ruhani maupun ilmu-ilmu keislaman di sekolahnya dahulu yang hal tersebut akhirnya mereka dapatkan di salah satu organisasi yang ada di kampus yang cenderung menekankan sisi eksoteris Islam yang ketat dengan ghirah keagamaan yang menggebu-gebu.

Buku yang tak terdiri dari bab-bab tertentu ini memiliki 14 buah pembahasan. Yang pertama penulis ingin menekankan betapa pentingnya keseimbangan antara menuntut ilmu dengan semangat beramal shaleh, sebab banyak kalangan yang condong terhadap salah satunya sembari kurang memperhatikan sisi lainnya, di dalam sebuah judul Tingkatkan Kualitas Agama dengan Ilmu dan Amal. Judul kedua membahas soal toleransi internal umat muslim dalam hal keagamaan yang sifatnya furuiyyah. Penulis, dengan sumber referensi yang cukup kaya, membeberkan beragam pandangan fuqaha mengenai fikih shalat (niat, bacaan Al-Fatihah bagi makmum, pengucapan basmalah).

Selanjutnya, karena melihat penyebaran dakwah mulai terlihat kurang sehat, penulis membuat ulasan seputar dakwah yang seharusnya tidak dilakukan dengan cara-cara anarkis melainkan elegan dan penuh kasih. Tidak lupa, karena Islam merupakan sebuah agama rahmat bagi seluruh alam, penulis juga mengajak pembaca supaya menebar cinta terhadap hewan, termasuk anjing di dalam judul Sikap Kita terhadap Makhluk Allah.

Kemudian penulis berusaha mengurai beberapa persoalan modern yang sedang dilanda oleh para mahasiswa, mulai dari keegoisan diri (narsistik); merosotnya ketakwaan; rendahnya kepekaan sosial terhadap kaum proletar (dengan menganalisis tafsiran surat Al-Ma’un); dilema seorang hijabers; dan perang pemikiran dengan memaparkan corak keagamaan mahasiswa; serta rusaknya ukhuwah islamiyyah yang disebabkan oleh kefanatikannya terhadap golongan masing-masing.

Keunggulan dari buku ini, selain kaya akan ragam referensi dan sudut pandang ––meski penulis cenderung mengarahkan pembaca kepada corak keagamaan yang moderat–– banyaknya persoalan yang dibahas terkesan akan membuat pembaca tidak akan merasak jemu dengan satu topik saja ––yang biasa terjadi dalam buku lain pada umumnya.

Adapun kekurangannya seperti: masih ada beberapa kata yang typo ––meski tidak fatal; judul buku terlalu panjang yang seharusnya dapat lebih dipadatkan lagi; serta masih mengutip beberapa sumber-sumber yang kurang kredibel, khususnya yang berasal dari internet.

Di luar itu semua, buku ini sungguh cocok untuk menjadi pegangan dan salah satu referensi bagi kawula muda yang sedang asyik bergumul di dunia kampus, sebagaimana diucapkan oleh Panji Futuhrahman, guru Pendidikan Agama Islam yang pernah menjabat sebagai Ketua Bem Jurusan Ilmu Pendidikan Agama Islam, yang cukup bernas,

“Buku ini bercerita banyak tentang kehidupan kampus dan kaitannya dengan tantangan bagi aktivis-aktivis dakwah, bahkan mungkin hampir tak ada yang terlewat. Cara penyampaiannya ringan tapi sarat akan referensi yang kredibel. Keunggulan lainnya adalah adanya pengklasifikasian di tiap pembahasan memudahkan bagi pembaca untuk menerima penyampaiannya. Buku ini harus menjadi salah satu referensi wajib bagi mahasiswa yang hendak dan sedang terjun di dunia dakwah kampus.”

Bekasi, 30 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da